AM I JEALOUS?


Teriakan demi teriakan tak henti mengisi pendengaran laki-laki si pemilik rambut gondrong. Laki-laki itu terus berlari, membuat rambutnya ikut naik dan turun seirama dengan langkah kaki yang dibawa. Sesekali ia menyugar ketika matanya tertutupi oleh rambut. Padahal baru satu bulan kemarin ia memotongnya, namun tak tahu mengapa kini rambut tersebut sudah cepat tumbuh.

“Jay, oper, Jay!”

Jaya tak menoleh—lebih tepatnya tak memberikan bola tersebut pada seseorang yang telah memintanya. Bukan karena ia egois ingin terlihat unggul dalam bermain, tetapi ketika ia akan mengoper bola itu, secara tiba-tiba sang lawan telah berjaga di belakang—berancang-ancang akan merampas bola itu dari teman satu timnya.

“GOOOOLLL!!!”

Ia bisa rasakan satu per satu teman timnya berlari berhamburan sekadar memberikan ucapan pujian atau memberikan tepukan pada pundaknya—bentuk apresiasi. Kedua mata ia menyipit selaras dengan ujung bibir menaik, tersenyum puas atas kerja kerasnya dalam membobol gawang sang lawan.

Biasanya ia dengan teman-temannya akan menghabiskan waktu jam istirahat pertama untuk bermain bola atau basket di lapangan secara bersama-sama, lalu jam istirahat kedua dipakai untuk makan siang dan merangkai mimpi sampai bel masuk berbunyi—atau sebaliknya.

Lapangan itu akan mereka pakai apabila kelas dua belas tidak menggunakannya lebih dulu. Bukan karena senioritas, namun sedikit sungkan apabila harus berbagi lapangan dengan orang-orang yang tak dikenalnya. Contohnya seperti saat ini, lapangan sekolah terbagi menjadi dua: lapangan atas dan lapangan bawah. Lapangan atas terdapat dua wilayah: khusus bermain bola atau voli, dan khusus bermain basket. Ia beserta kelas sebelas lainnya saat ini tengah memakai lapangan khusus bola, sementara kelas dua belas tengah memakai lapangan khusus bermain basket.

Jaya berlari, mengangkat salah satu tangan berharap seseorang tengah menggiring bola itu akan mengoperkan padanya. Bola itu ditendang ke arahnya, akan tetapi sangat disayangkan Jaya gagal menaklukan, sebab seseorang tiba-tiba berlari dan merampas bola tersebut.

Jaya berdecak, bahkan salah satu tangannya bergerak memukul angin saking kesalnya karena telah lalai dalam memperhatikan ancaman sang lawan. Jaya tak begitu menyadari bahwa sedari tadi ia sudah diintai oleh tim lawan.

Ketika hendak berlari guna merampas kembali bola tersebut, sekonyong-konyong penglihatannya tak sengaja terjatuh pada satu titik objek yang entah mengapa hal itu berhasil membuat kedua kakinya enggan untuk melangkah.

Semua orang berada di lapangan itu sibuk dengan tugasnya masing-masing, terkecuali Jaya yang hanya diam dengan tatapan terjatuh pada pemandangan itu. Di antara banyaknya objek di hadapannya saat ini, tak tahu mengapa justru tatapannya tertuju pada seorang gadis tengah mengobati luka kaki seseorang.

Cuaca memang sedang panas, namun ia bukan sedang kepanasan karena keberadaan matahari di atas kepala itu. Melainkan, ada sebuah pemandangan tak sengaja ia lihat.

Jaya mendengkus. Bibirnya mencibir. Rentetan sumpah serapah terlontar dengan suara teramat kecil—bahkan masih kalah oleh seruan dari orang-orang sengaja duduk di pinggir lapang untuk menghabiskan waktu istirahat demi menonton permainan di lapangan sembari menyuapkan jajanan.

Jaya berjalan mendekati Jagat yang tengah sibuk memperhatikan sang target. “Gat, tolong dorong aing pas aing lagi giring bola entar,” ucap Jaya tiba-tiba.

“Hah?” Jagat bersuara sembari mengerutkan dahi. Kepala laki-laki itu sesekali menoleh dengan kedua kakinya terus berlari karena bola yang telah mati-matian dipertahankan teman satu timnya berhasil direbut tim lawan.

Jaya berlari kecil, menyejajarkan langkahnya dengan langkah Jagat. “Dorong aing sekarang buru.”

Jagat mengubah larian kecil itu menjadi berjalan santai. “Kenapa saya harus dorong kamu?” tanya Jagat kebingungan.

“Dorong aja, Anjing, jangan banyak nanya.”

Walaupun kebingungan masih menyertai Jagat, ia mulai mendorong punggung Jaya. Ia berani sumpah, ia bahkan tak memberikan tenaga apa pun, namun tubuh laki-laki itu justru terjatuh cukup kencang. Hal itu sontak menghentikan kaki Jagat yang berniat akan kembali berlari.

“Anjing!”

Jaya merintih—berjongkok menahan salah satu lututnya yang bergesekkan dengan lapangan. “Jagat tolol, harusnya maneh kasih aing aba-aba dulu!” gerutu Jaya, menahan erang kesakitan.

Terlampau keras dan tiba-tiba, celana seragam abu laki-laki itu sampai robek, menandakan jatuhnya Jaya memang benar-benar bukan seperti adanya bentuk unsur kesengajaan—walaupun kenyataannya ia yang meminta. Entahlah bagaimana nanti nasib ia saat sampai di rumah dan Mama Sumarni menyadari celana seragamnya robek, mungkin ia akan menundukkan kepala puluhan menit demi menyerahkan kedua telinganya dalam mendengar semua celotehan yang Mama Sumarni berikan.

Jagat menghampiri Jaya, niat ingin meraih lengan laki-laki itu untuk membantunya berdiri, akan tetapi bantuan ia justru ditolak oleh yang bersangkutan. “Eh … saya nggak pake tenaga, sumpah!” kata Jagat membela diri. “Saya minta maaf, ya, Jay.” Jagat benar-benar tak menyangka apabila dorongannya berhasil membuat laki-laki itu jatuh sungguhan. Lagi pula, Jagat berani sumpah, bahwa ia mendorongnya sangat pelan.

Kepala Jaya menggeleng, tangan kanannya terangkat—lalu mengibas-ngibas sebagai tanda bahwa hal tersebut bukanlah permasalahan cukup besar.

Dan, bersamaan dengan Jaya yang terjatuh, permainan itu mendadak berhenti. “Jay, maneh kenapa?!” teriak Harri, menendang bola sembarang arah demi menghampiri temannya yang sudah berlutut di pinggir lapangan.

Harri memelotot, salah satu jemarinya menunjuk ke suatu tempat. “Jay, lutut maneh berdarah, Jay!” teriak Harri menciptakan rasa penasaran pemain lain yang ikut berdatangan secara bersamaan.

Jaya berdecak pelan selaras dengan kepalanya terus mengangguk. “Iya, Monyet, aing juga bisa liat sendiri,” jawab Jaya terkesan ketus.

Akui kesabaran yang ia miliki tak setebal buku yang biasa ia lihat ketika Jagat membaca buku tersebut di sela-sela jam kosong berlangsung Sehingga, kala Aksara, Rakha, dan Yolan melontarkan kalimat persis apa diucapkan Harri sebelumnya, ia hanya bisa menghela napas panjang—sembari diam-diam berupaya menelan paksa segala kalimat berada di ujung lidah yang siap untuk ia lontarkan.

Harri memukul pelan pundak Aksara karena sedari tadi mulut laki-laki itu tak bisa diam. “Berisik ai maneh nanya terus, kasian itu temen maneh lagi tertimpa kesialan!”

Rakha membalikan tubuh, merentangkan tangan demi mengusir orang-orang yang ikut penasaran. “Bubar, bubar! Hareudang!” Saat ini Rakha terlihat seperti tengah mengusir segerombolan anak ayam yang kehilangan jejak sang induk, sehingga berbaik hati akan mengembalikan ke tempat asal.

Mendengar teman-temannya yang sedang sibuk sendiri, lantas Jaya mencuri-curi kesempatan mengarahkan pandangan pada tempat tadi. Akan tetapi, sayangnya keberadaan gadis itu tak dapat ia temukan di sana. Jaya sendiri tak tahu kapan pastinya gadis itu telah menarik diri dari sisi lapang, padahal salah satu alasan mengapa ia bisa terjatuh karena ada sangkut pautnya dengan gadis itu.

Maneh kenapa bisa jatoh?” Kali ini giliran Rakha yang mengeluarkan suara, setelah menyelesaikan tugas mengusir yang tidak berkepentingan, walaupun masih ada satu sampai dua orang yang datang demi mengetahui kondisi Jaya.

Jagat menelan ludah dan menatap cemas pada Jaya. “Sa—”

Jaya memutus pandangan. “Aing jatoh sendiri,” timpal Jaya cepat sengaja memotong ucapan Jagat sampai-sampai berhasil menghadirkan tatapan terkejut dari wajah laki-laki itu. Tanpa harus susah payah menoleh pun Jaya sudah tahu bahwa ia saat ini sedang dihadiahi kedua bola mata laki-laki itu yang terbuka lebar.

“Yaudah atuh ayo kita ke UKS aja, si aku anterin!” Yolan menekuk lutut, tangannya bergerak meraih pundak Jaya dengan maksud berniat membantu laki-laki itu untuk menuju ruang UKS. Namun, Jaya justru menepis tangan itu, bahkan sampai rela bergeser demi menghindari bantuan dari Yolan.

Sontak Yolan dibuat melongo atas respons penolakan tersebut. Yolan terdiam dengan kedua mata mengerjap cepat, masih memproses kejadian itu dan menganggap apabila Jaya tak mau dibantu karena ingin pergi sendiri.

Menyadari suasana hening dan canggung, Jagat berdeham dan menarik bahu Yolan untuk kembali berdiri dan memberi kesempatan untuk Jaya berdiri sendiri.

Yolan menoleh, kemudian dibalas senyuman juga anggukkan kepala dari Jagat. Seolah Jagat paham akan tatapan yang Yolan berikan.

Aing ke UKS dulu.”

“Mau aing temenin nggak, Jay?” Aksara bersuara. Nihilnya, laki-laki itu sama sekali tak menjawab ucapan Aksara dan lebih memilih pergi sendiri. Aksara anggap bahwa Jaya tak ingin dibantu, sehingga ia menjadi orang pertama untuk kembali ke lapangan dan melanjutkan permainan yang sempat terhenti. Lalu, hanya berselang beberapa detik, keempat orang lainnya mulai mengikuti jejak Aksara kembali melanjutkan bermain bola.

Selama perjalanan menuju UKS Jaya tak henti menggerutu, ingin memaki Jagat yang menjadi tersangka utama mengapa ia bisa berakhir mendapatkan luka. Tetapi, tidak akan ada asap jika tak ada api. Dan, api tersebut tak lain bersumber dari ia sendiri yang telah mengusulkan ide bodoh itu.

Sempat terlintas dalam pikiran Jaya untuk membasuh luka tersebut dengan air mengalir, mengingat jika luka itu dibasahi obat merah akan terasa sakit berkali-kali lipat. Jika terus dibiarkan dan tidak diobati, Jaya takut apabila luka itu akan memburuk dan parahnya akan lama untuk pulih—membatasi ruang gerak dirinya.

Jaya mengembuskan napas kasar saat melihat pintu ruangan itu tertutup. Kalau dilihat dari tempat ia berdiri dan mencuri pandang lewat kaca jendela yang gelap, di dalam sana seperti tak ada tanda-tanda akan kehadiran seseorang. Jaya enggan untuk mendekati jendela—mengintip—karena takut tiba-tiba ada yang ikut mengintip di dalam sana.

Jaya membalikan tubuh, hendak pergi dan memilih opsi awal untuk membasuh luka itu di bawah air yang mengalir, sampai akhirnya tiba-tiba seseorang dari dalam ruangan itu membuka pintu dan menginterupsinya.

“Mau ke ruang UKS, A?”

Jaya menghentikan langkah. Ah, ia kira di dalam sana tak ada satu pun anggota PMR. Ia membalikan tubuh. Sudut bibir laki-laki itu terangkat kecil, matanya bergerak menuju lutut kanan dan mengangguk.

Laki-laki itu mau tak mau ikut mengarahkan pandangan pada kaki sang kakak kelas. “Masuk aja, A, kebetulan lagi ada yang diobatin.”

Yang lebih muda membuka pintu lebar-lebar dan menahannya agar tak menutup ketika Jaya melewatinya.

Baru satu langkah kakinya berhasil melewati pintu tersebut, Jaya langsung dikejutkan oleh pemandangan gadis yang sedari tadi ia cari dan alasan utama mengapa ia sampai mendapatkan luka itu ada di dalam ruangan ini bersama dengan seorang laki-laki tengah diobatinya.

Jaya berjalan menuju ranjang yang kosong, mendudukkan diri di sana. Ia celingak-celinguk, lantaran tak ada satu pun orang yang terlihat akan datang membantu mengobati lukanya.

Karena bosan menunggu, Jaya menolehkan wajah ke samping dan menyambut laki-laki di sana dengan tatapan sinis sampai-sampai membuat yang tengah diobati itu terpaksa mengalihkan pandangan ke sembarang arah.

Suasana di dalam ruangan ini sangat hening, bahkan saking heningnya ia bisa mendengar deru napasnya sendiri. Satu-satunya suara yang menemani kesunyian itu hanyalah denting jam yang tiap sekonnya bergerak. Jaya sesekali membawa pandangan ke segala penjuru ruang untuk mencari keberadaan obat merah itu. Setelah menunggu bermenit-menit, Jaya meyakini dirinya akan mengobati lukanya sendiri agar tak membuang waktu secara cuma-cuma.

Usai menemukan keberadaan obat merah itu, alih-alih beranjak dan meraihnya, punggung Jaya justru spontan menegak saat melihat gadis itu berjalan di hadapannya. Jaya bahkan sampai dibuat melongo saat kehadirannya sama sekali tak digubris oleh gadis itu. Jangankan dilirik, mengetahui kehadirannya di ruangan ini pun sepertinya gadis itu tak sadar. Gadis itu justru kembali berjalan ke tempat semula setelah berhasil mengambil kapas baru.

Tanpa berpikir lama, Jaya bangkit lalu berjalan menghampiri gadis itu—melupakan rencana akan mengobati lukanya sendiri.

Langkah Jaya berhenti tepat di samping gadis itu. Merasa ada seseorang yang kembali menatapnya, lantas Jaya pun membalas tatapan tersebut—sekadar menatap balik tanpa memberikan pelototan, namun mampu membuat yang bersangkutan menundukkan kepala.

Jaya berdeham kecil. “Syifa, Jaya luka,” ucap Jaya dengan nada lirih.

Syifa yang berniat ingin menuangkan obat merah ke atas kapas pun langsung menghentikan aktivitas demi menolehkan wajah pada sang tersangka yang tiba-tiba berdiri di sampingnya. Kedua mata gadis itu mengabsen satu per satu tubuh kakak kelasnya, lalu berakhir menatap salah satu lutut laki-laki itu yang sudah berdarah.

Mata Syifa melotot. “Ih, iya! Cepet obatin, Kak, nanti takut infeksi!”

Ucapan gadis itu dianggap angin lalu olehnya. Sebab, alih-alih kembali duduk dan menunggu seseorang akan mengobatinya, Jaya justru lebih memilih untuk diam di samping gadis itu tanpa bergerak sedikit pun.

Pandangan Syifa mengitari ruangan. “Arin, tolong obatin Kak Jaya, dong, itu!”

Mendengar kalimat itu, Jaya sukses melongo. Sadar tak sadar, bibir bawah laki-laki itu maju beberapa senti—cemberut karena sang gadis tak mengerti maksud ucapannya beberapa saat lalu.

Arin menoleh, bersiap-siap berdiri dan akan membantu mengobati Jaya. Namun, Jaya menyambut Arin dengan gelengan kepala.

“Nggak mau sama dia,” ucap Jaya sukses menghentikan langkah Arin.

Dahi Syifa menukik. “Terus mau sama siapa lagi, Kak? Yang lagi ada di sini cuman Syifa sama Arin aja,” kata Syifa, seraya mengedarkan pandangan berharap tiba-tiba mendapati kehadiran anggota PMR lainnya.

“Syifa.”

Yang disebutkan namanya lantas menoleh, memamerkan wajah kebingungan.

“Sama Syifa,” jawab Jaya selepas melihat kerutan tercipta di dahi gadis itu. “Mau sama Syifa.”

Syifa terdiam. Hal itu menciptakan decakan kecil yang terlontar dari bibir Jaya. Apakah jawaban darinya masih kurang jelas?

Jaya memalingkan wajah. “Ayo obatin Jaya.”

Walau kedua mata Jaya sedang tak mengarah pada gadis itu, namun melalui ujung matanya ia bisa lihat gadis itu mulai menggelengkan kepala. “Aduh, maaf, ya, Kak. Bukannya Syifa nggak mau nolongin Kak Jaya, tapi sekarang Syifa lagi obatin dulu Reyhan temen sekelas Syifa.”

Jaya tak tahu harus memberikan raut seperti apalagi. Mulai dari raut kesakitan, ketidaksukaan, bahkan raut merajuk telah ia berikan. Akan tetapi, pertahanan gadis itu sama sekali tak tergoyahkan.

“Syifa, Jaya cemburu.”

Brugh!

Jaya mengerjapkan kedua matanya cepat, masih mencoba memproses kejadian sekaligus mengembalikan kesadarannya yang sempat hilang. Lalu, hanya berselang beberapa detik setelahnya, mata laki-laki itu membulat sempurna.

“BANGSAT!” erang Jaya usai menyadari ia baru saja terbangun dari mimpinya. Jaya seketika langsung mendudukkan diri. Kepalanya beberapa kali terlihat geleng-geleng, laki-laki itu rupanya tengah berusaha menghalau segala mimpi yang baru saja terjadi.

“Kenapa aing bisa sampe mimpiin dia, sih?!” Jaya mengacak-ngacak rambut frustasi. Setelah ingat apa yang terjadi di dalam mimpi tadi, ia langsung meluruskan kaki kanannya. Diusaplah lututnya, selepas tak mendapatkan rasa sakit apa pun ia mengembuskan napas. Ternyata kejadian itu hanya sebatas mimpi belaka.

Keadaan kamarnya gelap gurita—lupa menyalakan lampu ketika tidur. Jam yang terpasang di dinding entah telah menujukkan pukul berapa karena sama sekali tak dapat terlihat. Namun, Jaya dapat pastikan bahwa sekarang sudah memasuki malam hari karena dari sela-sela gorden Jaya bisa lihat langit di luar sana berwarna hitam, pun lampu balkon telah menyala.

Ia benar-benar tak paham. Di antara kemungkinan mimpi yang bisa mendatanginya malam itu, mengapa tidak memimpikan bahwa pada akhirnya ia memiliki bengkel yang sudah lama diidam-idamkan? Mengapa justru harus memimpikan hal yang tak seharusnya mampir dalam bunga tidurnya?

Apalagi setelah ingat mimpi yang baru saja terjadi itu sangat aneh, bukan seperti dirinya. Sekadar untuk Jaya mengingatnya kembali pun enggan dilakukan.

Jika sudah begini, rasanya canggung apabila di sekolah nanti ia justru tak sengaja berpapasan dengan gadis itu.


Puspas Niskala Universe

by NAAMER1CAN0