NAAMER1CAN0


tw // violence , blood



Puspas Niskala Universe

by NAAMER1CAN0


“Halo?”

Kata tersebut menjadi awalan dari perbincangan mereka berdua sejak sambungan telepon itu terhubung. Padahal sebelumnya Ivanka berniat akan diam saja sampai laki-laki di seberang sana yang mengawali pembicaraan duluan. Namun, detik demi detik berlalu, yang di seberang tak kunjung menyapanya.

“Halo? Suara aku nggak kedengeran, ya?” tanya Ivanka sekaligus memastikan, takut apabila earpods yang sengaja sudah ia pinjam dari Della—temannya—rusak.

Terdengar suara grasah-grusuh dari seberang sambungan. Apabila didengar-dengar, Ivanka samar-samar mendengar derap langkah disertai roda keranjang sengaja diseret dan bergesekkan dengan lantai di bawahnya.

Bentar, Va, gua lagi jalan ke tempat sayuran dulu.

Ivanka mengangguk, meski jawaban secara gerakan kepala itu tak akan bisa dilihat oleh yang di seberang sambungan.

Ivanka menyandarkan punggung. Tatapannya lurus ke depan, mengabsen satu per satu pengunjung baru saja datang dan terlihat kebingungan memilih tempat duduk untuk menikmati secangkir kopi dengan suasana sore hari begitu syahdu.

Bandung sejak siang tadi diguyur hujan, bahkan sampai hampir menggagalkan rencana Ivanka untuk mengerjakan tugas di Kafe. Beruntung, ketika Ivanka sudah siap pergi, hujan sudah reda. Mungkin hujan-hujan itu mendengar doa yang sudah Ivanka hafalkan di dalam hati, memohon diberikan suasana terang sebentar sampai Ivanka berhasil menginjakkan kaki di tempat tujuannya.

Dan, yang lebih mengejutkan adalah saat Ivanka berhasil sampai di Kafe, hujan itu tiba-tiba turun kembali. Bahkan, rintikkan air itu masih setia menghujani kota Pasundan sampai detik ini. Meski tak sederas sebelumnya, namun apabila sengaja berdiam diri di bawah rintikkan air hujan itu dengan jangka waktu yang lama, tetap akan membuat pakaian menjadi basah. Parahnya bisa membuat kepala sakit dan demam. Hujan gerimis adalah salah satu jenis hujan paling menyakitkan untuk kesehatan—kalimat itu adalah kalimat sering diucapkan oleh Mama Sumarni.

Ivanka, woy.

Ivanka kembali tersadar dari lamunan ketika mendengar panggilan ketiga kalinya yang diserukan laki-laki di seberang telepon.

Ivanka menelan ludah kasar, matanya bergerak melepas kecanggungan. “Eh iya, gimana, Kaleel?”

Gua nyalain kamera, ya. Gua arahin kameranya ke ikan asin terus lu nanti bantu pilihin.

Kepala Ivanka mengangguk pelan. “Boleh. Tapi maaf, ya, aku nggak bisa nyalain kamera soalnya lagi di luar.“

Pertama, Ivanka tak sepenuh berbohong. Ivanka memang benar-benar sedang berada di Kafe, bahkan alunan musik yang sengaja dimainkan pun samar-samar mungkin akan terdengar oleh Kaleel di seberang sana. Kedua, alasan lainnya adalah—anggap saja Ivanka belum berani memunculkan dirinya di hadapan laki-laki itu. Entahlah, mungkin karena mereka berkenalan melalui sosial media, sehingga Ivanka belum sepenuhnya menyiapkan diri.

Santai, Va. Gua juga nyalain kamera buat minta bantuan pilih sayuran sama ikan asin yang disukain adek gua. Lagian—

Dahi Ivanka mengerut lantaran tiba-tiba Kaleel menggantung kalimatnya. “Lagian apa?”

Lagian kalau kamera lu dinyalain nanti yang ada pengunjung di sini pada ketakutan.

“Apa sih! Emang muka aku kayak tikus!”

Kalimat ketusan dari Ivanka berhasil menuai tawa Kaleel. Meski tak begitu jelas, tetapi Ivanka sangat yakin bahwa laki-laki di sana sedang menertawainya.

Tak habis pikir, padahal ini menjadi kali pertama mereka berinteraksi secara langsung, Ivanka mengira bahwa kadar menyebalkan laki-laki itu setidaknya akan berkurang sampai sepuluh persen. Namun, kenyataannya kadar menyebalkan laki-laki itu justru bertambah berkali-kali lipat dari sebelumnya.

Ivanka berdecak. Mungkin Ivanka terlalu keras dalam memberi respons tersebut sampai akhirnya tawa itu menghilang dan digantikan oleh dehaman singkat. “Bercanda, Vankuy.

Kaleel membawa langkah mendekati berbagai ikan-ikan berjejer rapi. Dari jenis ikan berasal dari air laut sampai ikan berasal dari air tawar pun ada. Ivanka dapat melihat saat ini Kaleel sedang berjalan-jalan seraya mendekatkan kamera pada tiap-tiap ikan segar di sana. Sengaja agar Ivanka dapat melihatnya dengan jelas. Kaleel tak begitu menggubris dan memedulikan tatapan kebingungan dari orang-orang di sebelahnya, walau Kaleel sekarang ini Kaleel sudah mendapatkan tatapan tersebut untuk kesekian kali.

Satu kali, Ivanka dan Kaleel belum menemukan ikan yang dimaksud. Ivanka memberi perintah agar Kaleel kembali berjalan seperti semula, namun dengan tempo langkah lebih pelan. Kaleel menuruti.

Namun, untuk kedua kalinya pun Ivanka tak berhasil menemukan keberadaan ikan tersebut. “Kaleel, coba, deh, kamu jalan sampai ke daerah sebelahnya,” kata Ivanka namun dibalas penolakan dari Kaleel.

Di bagian sana udah masuk daging sapi, Va.

Ivanka bergumam. “Hm, kamu kayaknya dateng ke tempat yang terlalu mewah, deh, Kaleel.”

Emang ikan itu nggak dijual di supermarket?

Ivanka menggeleng seraya mengangkat bahu. “Nggak tau. Aku biasanya kalau beli ikan asin gitu di pasar swalayan atau di warung-warung khusus sayuran.” Ivanka membenarkan duduknya. “Yaudah mending kamu lanjut ke tempat sayuran aja, nanti coba cari yang paketan kalau ada biar lebih enak masaknya.”

Diam-diam Ivanka menahan gelak tawa saat menyadari kamera laki-laki itu berganti menyorot orang-orang di sekitar, seakan sedang mempersilakan Ivanka untuk ikut melihat suasana di sana secara tidak sengaja. Terlebih bagaimana hasil video itu bergoyang, Ivanka sangat yakin apabila Kaleel sedang menggenggam ponsel seraya mendorong keranjang.

Langkah Kaleel berhenti. Layar ponsel Ivanka sudah normal kembali, memperlihatkan sayur-sayuran terlihat begitu segar. Sayur-sayur itu hampir setengahnya sudah pernah Ivanka makan karena ketertarikan Mama Sumarni dalam dunia sayur-mayur. Ivanka tak begitu keberatan apabila harus menikmati makanan sayur hijau itu setiap hari, namun adiknya—Jaya—akan menjadi orang pertama yang menentang. Aneh, bahkan di antara Ivanka, Mama Sumarni, dan Papa Jajang, hanya Jaya seorang diri yang tak begitu menyukai makanan sehat itu.

Nggak ada, Va. Kebanyakan buat sayur sop, dah.

“Beli satuan aja kalau gitu.”

Sayur asem emang harus banget pake melinjo, Va?

“Harus nggak harus. Tapi, adek kamu suka banget sama melinjonya.”

Kamera ponsel kembali bergoyang. Sepertinya Kaleel acuh tak acuh dengan sambungan teleponnya. “Aku nggak bisa liat.”

Bentar, Va, gua lagi perhatiin satu per satu buat nemuin letak melinjo.

Ivanka terkekeh pelan. “Saran aku, lain kali kalau mau belanja mending sekalian nyoba ke pasar aja. Lebih enak. Terus nanti kalau misalnya lagi nyari satu bahan makanan, pasti diarahin sampai ke tukang pedagangnya.”

Iye kapan-kapan, dah. Ini gua tinggal nyari labu siam, kacang panjang, melinjo, daun melinjo, jagung manis, sama kacang merah aja, kan, Va?

“Iya, Kaleel.”

Kaleel mematikan kembali kamera, mendekatkan ponsel agar dapat mendengar jelas suara Ivanka. Kesalahan utama Kaleel hari ini adalah lupa membawa earpods sehingga sedari tadi Kaleel harus berusaha menajamkan pendengaran demi mengetahui tiap kalimat yang diucapkan Ivanka. Sialnya, suara yang dihasilkan dari ponsel Ivanka pun sama pelannya. Bahkan, suara-suara musik di disana sedikit mendominasi. Ingin protes, tetapi Kaleel urungkan mengingat hari ini ia sudah merepotkan Ivanka dalam mencari menu makanan untuk adiknya Hartigan.

Kaleel siang tadi baru sampai di Jakarta. Setelah kembali ke rumah dan menyimpan barang bawaannya, Kaleel langsung bergegas keluar sebelum Hartigan nanti datang lebih awal. Kaleel sengaja pulang tak memberitahu Hartigan dan Daniel karena sesekali ingin memberi kejutan.

Dan, kejutan itu adalah dengan Kaleel memasak makanan selalu dibicarakan oleh Hartigan. Hartigan tak henti membicarakan betapa lezatnya sayur asem yang dibuat Mama Jaya, sehingga hal itu membangkitkan sisi ambisi Kaleel demi mendapatkan pujian yang sama.

Yaudah, Va, gua matiin kalau gitu, ya. Sisanya biar gua cari sendiri aja.

Kedua alis Ivanka menyatu keheranan. “Lah, terus ikan asinnya gimana?” tanya Ivanka, lantaran yang menjadikan alasan utama mengapa Kaleel sampai rela menghubunginya duluan adalah untuk mendapatkan ikan yang sudah diingin-inginkan.

Nggak apa-apa, nanti gua beli aja ikan biasa terus gua olesin garem yang banyak biar sama asinnya,” timpal Kaleel diselipkan dengan kekehan kecil. Tak kuasa membayangkan apabila ia benar-benar melakukan hal bodoh itu, pasti reaksi yang akan diperlihatkan adiknya akan sangat menghibur. Akan tetapi, setelah ingat betapa buruknya sifat merajuk Hartigan, Kaleel mengurungkan ide jahil tersebut.

Ivanka mendengkus. “Mana bisa kayak gitu!”

Kaleel tertawa untuk kesekian kali, kali ini tawanya lebih rendah dibandingkan tawa sebelumnya. “Nggak enak gua udah ganggu waktu lu. Kalau gitu gua tutup, ya, Va. Thank you udah mau bantuin gua.

Ivanka tersenyum dan mengangguk. “Iya sama-sama, Kaleel. Aku tutup, ya.”

Iya, Vanka, tutup aja.

Bersamaan dengan kalimat telah selesai Kaleel ucapkan, Ivanka benar-benar mengakhiri sambungan telepon tersebut. Suasana langsung hening, meski sebenarnya alunan musik masih mendominasi di sana. Rasanya seperti ada yang hilang.

Tawa terakhir yang dilantunkan laki-laki itu justru masih tersangkut dalam ingatannya. Setelah mencoba mengingat-ngingat, ternyata suara laki-laki itu mirip dengan suara dari salah satu penyanyi yang setiap malam hampir selalu Ivanka putar guna menemani dalam menggarap semua tugas-tugas yang selalu datang secara keroyokan. Pantas saja saat mendengar suara itu Ivanka berasa nyaman, ternyata Ivanka sudah lebih dulu familier.


Kaleel Ivanka Universe

by NAAMER1CAN0


“Halo?”

Kata tersebut menjadi awalan dari perbincangan mereka berdua sejak sambungan telepon itu terhubung. Padahal sebelumnya Ivanka berniat akan diam saja sampai laki-laki di seberang sana yang mengawali pembicaraan duluan. Namun, detik demi detik berlalu, yang di seberang tak kunjung menyapanya.

“Halo? Suara aku nggak kedengeran, ya?” tanya Ivanka sekaligus memastikan, takut apabila earpods yang sengaja sudah ia pinjam dari Della—temannya rusak.

Terdengar suara grasah-grusuh dari seberang sambungan. Apabila didengar-dengar, Ivanka samar-samar mendengar derap langkah disertai roda keranjang sengaja diseret dan bergesekkan dengan lantai di bawahnya.

Bentar, Va, gua lagi jalan ke tempat sayuran dulu.

Ivanka mengangguk, meski jawaban secara gerakan kepala itu tak akan bisa dilihat oleh yang di seberang sambungan.

Ivanka menyandarkan punggung. Tatapannya lurus ke depan, mengabsen satu per satu pengunjung baru saja datang dan terlihat kebingungan memilih tempat duduk untuk menikmati secangkir kopi dengan suasana sore hari begitu syahdu.

Bandung sejak siang tadi diguyur hujan, bahkan sampai hampir menggagalkan rencana Ivanka untuk mengerjakan tugas di Kafe. Beruntung, ketika Ivanka sudah siap pergi, hujan sedang reda. Mungkin hujan-hujan itu mendengar doa yang sudah Ivanka hafalkan di dalam hati, memohon diberikan suasana terang sebentar sampai Ivanka berhasil menginjakkan kaki di tempat tujuannya.

Dan, cukup mengejutkan saat Ivanka berhasil sampai di Kafe, hujan tiba-tiba turun kembali. Bahkan, rintikkan air itu masih setia menghujani kota Pasundan. Meski tak sederas sebelumnya, namun apabila berdiam diri di bawah air-air itu dengan jangka waktu yang lama, tetap akan membuat pakaian menjadi basah.

Ivanka, woy.

Ivanka kembali tersadar dari lamunan ketika mendengar panggilan ketiga kalinya yang diserukan laki-laki di seberang telepon.

Ivanka menelan ludah kasar, matanya bergerak melepas kecanggungan. “Eh iya, gimana, Kaleel?”

Gua nyalain kamera, ya. Gua arahin kameranya ke sayuran terus lu nanti bantu pilihin.

Kepala Ivanka mengangguk pelan. “Boleh. Tapi maaf, ya, aku nggak bisa nyalain kamera soalnya lagi di luar.“

Pertama, Ivanka tak sepenuh berbohong. Ivanka memang benar-benar sedang berada di Kafe, bahkan alunan musik yang sengaja dimainkan pun samar-samar mungkin akar terdengar oleh Kaleel di seberang sana. Kedua, alasan lainnya adalah—anggap saja Ivanka belum berani memunculkan dirinya di hadapan laki-laki itu. Entahlah, mungkin karena mereka berkenalan melalui sosial media, sehingga Ivanka belum sepenuhnya menyiapkan diri.

Santai, Va. Gua juga nyalain kamera buat minta bantuan pilih sayuran sama ikan asin yang disukain adek gua. Lagian—

Dahi Ivanka mengerut lantaran tiba-tiba Kaleel menggantung kalimatnya. “Lagian apa?”

Lagian kalau kamera lu dinyalain nanti yang ada pengunjung di sini pada ketakutan.

“Apa sih! Emang muka aku kayak tikus!”

Kalimat ketusan dari Ivanka berhasil menuai tawa Kaleel. Meski tak begitu jelas, tetapi Ivanka sangat yakin bahwa laki-laki di sana sedang menertawainya.

Tak habis pikir, padahal ini menjadi kali pertama mereka berinteraksi secara langsung, Ivanka mengira bahwa kadar menyebalkan laki-laki itu setidaknya akan berkurang sampai sepuluh persen. Namun, kenyataannya kadar menyebalkan laki-laki itu justru bertambah berkali-kali lipat dari sebelumnya.

Ivanka berdecak. Mungkin Ivanka terlalu keras dalam memberi respons tersebut sampai akhirnya tawa itu menghilang dan digantikan oleh dehaman singkat. “Bercanda, Vanka.

Kaleel membawa langkah mendekati berbagai ikan-ikan berjejer rapi. Dari jenis ikan berasal dari air laut sampai ikan berasal dari air tawar pun ada. Ivanka dapat melihat saat ini Kaleel sedang berjalan-jalan seraya mendekatkan kamera pada tiap-tiap ikan segar di sana.

Satu kali, Ivanka dan Kaleel belum menemukan ikan yang dimaksud. Ivanka memberi perintah agar Kaleel kembali berjalan seperti semula, namun dengan nempo langkah lebih pelan. Kaleel menuruti.

Namun, untuk kedua kalinya pun Ivanka tak berhasil menemukan keberadaan ikan tersebut. “Kaleel, coba, deh, kamu jalan sampai ke daerah sebelahnya,” kata Ivanka namun dibalas penolakan dari Kaleel.

Di bagian sana udah masuk daging sapi, Va.

Ivanka bergumam. “Hm, kamu kayaknya dateng ke tempat yang terlalu mewah, deh, Kaleel.”

Emang ikan itu nggak pernah dijual di supermarket?

Ivanka menggeleng seraya mengangkat bahu. “Nggak tau. Aku biasanya kalau beli ikan asin gitu di pasar swalayan atau di warung-warung khusus sayuran.” Ivanka membenarkan duduknya. “Yaudah mending kamu lanjut balik ke tempat sayuran aja, nanti coba cari yang paketan kalau ada biar lebih enak masaknya.”

Diam-diam Ivanka menahan gelak tawa saat menyadari kamera laki-laki itu berganti menyorot orang-orang di sekitar. Terlebih bagaimana hasil video itu bergoyang, Ivanka sangat yakin apabila Kaleel sedang menggenggam ponsel seraya mendorong keranjang.


Kaleel Ivanka Universe

by NAAMER1CAN0


Akha mau es krim coklat, nggak mau es krim vanilla! Mama! Papa ambil es krim, Akha!

Mamaa! Liat Papa rusakin gambar Akha!

Mama, kata Papa tadi malem Mama tidurnya kentut.

Rakha terbangun dalam tidur. Keringat bercucuran datang dari pori-pori dahi Rakha saat laki-laki itu sibuk berdoa agar malam ini dapat tidur dengan nyenyak dan tenang. Namun lagi-lagi, pada kenyatannya Rakha harus terbangun dengan perasaan campur aduk.

Rakha mengatur napas, memundurkan tubuh guna bersandar pada kepala ranjang. Rakha menyeka asal keringat, tak peduli apabila nanti ujung baju tidurnya akan menguning jika terus-menerus melakukan kegiatan yang selalu terulang-ulang setiap harinya.

Satu hal yang paling Rakha takuti adalah ketika langit sudah gelap dan memaksakan dirinya untuk berbaring di atas ranjang, mempersilakan segala mimpi-mimpi tak diundang untuk datang dan menggerakkan alam bawah sadar dirinya tak tahu arah. Padahal Rakha sudah berkali-kali memohon untuk tidak didatangkan mimpi paling Rakha hindari.

Siapa yang pernah bilang apabila mimpi hanyalah bunga tidur, ketika bangun nanti akan hilang dengan sendirinya? Buktinya, mimpi-mimpi itu masih melekat jelas dalam ingatan Rakha.

Rakha sangat tidak menyukai apabila harus terbayang-bayang oleh segala kesedihan yang bahkan ia sendiri sudah berusaha dengan segala cara melupakannya. Lantas, bagaimana bisa mimpi tersebut terus mendatanginya?

Rakha lelah, ingin beristirahat setidaknya tanpa harus mengkhawatirkan mimpi itu datang kembali.

Mimpi di mana pada beberapa tahun lalu, ada sebuah keluarga kecil yang selalu memperlihatkan kebahagiaan. Di dalam rumah itu hanya ada gelak tawa, bahkan kedua telinganya pada saat itu tak pernah mendengar ada tangisan walau sebentar. Seolah hanya sebuah tawalah yang dapat memasuki indra pendengarannya.

Rumah itu sangat hangat, seperti asal di mana tempat matahari akan terbit.

Rumah itu sangat indah, seperti sengaja ditaburi bunga-bunga bermekaran pada halaman depan. Memasang umpan agar seluruh orang tahu bahwa di sini ada kehadiran rumah yang hampir mendekati kata sempurna.

Kala itu, rasa kantuk akan cepat muncul saat usapan hangat mendarat di atas puncak kepalanya, menciptakan kedua ujung bibir menaik sempurna. Kedua mata Rakha akan selalu terpejam, selalu berdoa kemakmuran keluarganya ini semoga tak cepat hilang.

Namun sayang, doa Rakha saat itu mungkin terbawa oleh angin serta burung-burung yang berterbang riang di atas rumahnya. Masa kejayaan keluarganya itu berakhir menjadi kenangan memahitkan. Sebenarnya sekadar mengingat—membayangkan bahwa dulu ia pernah seberuntung itu, mendapatkan rumah paling diidam-idamkan semua orang, sangat malas. Sebab, ketika lagi-lagi ingatan itu muncul, dadanya selalu terasa sesak. Puluhan—bahkan ratusan pukulan yang Rakha berikan pada dadanya tak dapat merubah apa pun. Keluarga kecilnya sudah tak semanis dulu.

Rakha dihantui penyesalan, mengapa rumah paling ia elu-elukan harus hancur lebur bersamaan dengan harapan terpaksa ia kubur?

Rakha menarik napas, lalu mengembuskan dengan kasar. Laki-laki dengan pakaian kusut di bagian bahu itu lantas beranjak, berjalan menuju dapur. Setelah lelah bermimpi, Rakha menjadi haus. Rakha ingin cepat-cepat meneguk air minum di dalam kulkas yang dingin untuk menjernihkan isi kepala.

Di sela-sela perjalanan, Rakha melirik sebuah jam yang menunjukkan setengah dua pagi. Keadaan rumah Rakha sangat sepi—walau setiap hari keadaan seperti ini—akan tetapi, Rakha merasa bahwa Papa Supriyadi tak pulang malam ini. Tetapi setelah dipikir-pikir, malam tadi Papa Supriyadi tak mengirimkan pesan apa pun perihal akan atau tidaknya pulang. Sehingga, Rakha cukup yakin apabila Papa Supriyadi saat ini sudah berbaring di atas ranjang demi mengistirahatkan segala rasa lelah yang ada.

Ada orang yang memang senang dengan kesunyian karena ingin meraup sebanyak-banyaknya ketenangan guna melepaskan diri dari kehidupan yang bajingan. Ada pula ditemani kesunyian karena semesta yang menuntutnya secara demikian rupa tanpa diberi kesempatan menolak bahwa sebenarnya ia sangat tidak suka dengan kesunyian.

Jikalau ditanya apa Rakha tidak takut berjalan-jalan sendirian di tengah keheningan dan waktu dini hari seperti ini? Jawabannya, iya. Rakha sejujurnya sangat takut, takut apabila tiba-tiba ia dicegat oleh sosok bayangan ketika ingin mengambil air minum. Namun pada akhirnya, Rakha mencoba menepis hal-hal buruk tersebut agar tak merasa ketakutan sendiri.

Ketika menyisakan beberapa langkah lagi untuk menuju dapur, kedua telinga Rakha tak sengaja mendengar bunyi denting alat makan dari arah ruang makan. Sontak kaki Rakha otomatis melangkah mendekati sumber suara itu.

Di sana memperlihatkan sang kepala keluarga tengah menundukkan kepala, menikmati satu piring makanan berat ditemani oleh kesunyian. Pencahayaan yang minim, suara yang berusaha dipelankan agar meminimalisir kebisingan dan akan membangunkan anak semata wayangnya dari tidur yang nyenyak.

Rakha menghela napas. Tangan laki-laki itu terulur menyentuh dada dan meremasnya sejenak. Entah mengapa saat melihat pemandangan itu hati Rakha tiba-tiba berdenyut kembali.

Rakha tak dapat mendeskripsikan apa pun, selain merasa iba melihat sang papa duduk sendirian dan menikmati makan malam dengan khusyuk, seakan kejadian ini sudah biasa dilakukan pria paruh baya tersebut.

Sejujurnya, ini bukan kali pertama Rakha menemukan Papa Supriyadi sedang menikmati makan malam sendirian di waktu dini hari. Sebelum-sebelumnya Rakha juga pernah, dengan kondisi yang sama. Rakha terbangun dari tidur dan merasa kehausan. Namun, saat itu Rakha lebih baik mengagalkan perjalanan menuju dapur dan seolah-olah pemandangan itu tak pernah Rakha temukan. Rakha tak kuasa menahan rasa sakit menyadari betapa kesepiannya Papa Supriyadi malam itu. Andai saja semuanya tidak seperti ini, mungkin Papa Supriyadi tengah ditemani sang mama dan saling bertukar cerita tentang hari ini—seperti yang biasa mereka lakukan.

Rakha membalikkan tubuh, mengapus air mata yang telah membuat pemandangannya mengabur. Ia tarik dalam-dalam udara, sebelum akhirnya berjalan menuju kulkas. Rakha meraih satu gelas dan mengisikannya dengan air sampai penuh. Lalu, Rakha meneguknya tak sabaran. Setelah selesai, Rakha ulangi lagi dengan mengisi air pada gelasnya dan gelas baru—tetapi untuk kali ini dengan air hangat.

Kini kedua kaki Rakha telah melangkah mendekati Papa Supriyadi. Rakha bisa lihat jelas bagaimana Papa Supriyadi terkejut melihat kedatangan Rakha tanpa disangka-sangka. Rakha hanya merespons keterkejutan itu dengan senyuman lalu menyimpan satu gelas air hangat untuk sang Papa.

“Baru makan, Pa?” tanya Rakha, menarik satu kursi dan mendudukkan di sana.

Papa Supriyadi mengangguk mengiakan. “Iya, tadi Papa mau tidur tapi tiba-tiba laper. Jadi, Papa ke dapur buat ambil makan.”

Rakha manggut-manggut, menatap lahapnya Papa Supriyadi menikmati satu piring nasi dengan sayur bayam dan ayam goreng yang telah dibuatkan Bibi. Rakha cukup sadar diri tak begitu mahir dalam urusan memasak dan membereskan pekerjaan rumah, sehingga Papa Supriyadi berinisiatif mencari seseorang yang akan membantu memasak dan membereskan segala pekerjaan rumah. Tidak sampai menginap. Bibi bekerja dari pagi sampai sore. Rumahnya pun tak jauh dengan keberadaan rumah Rakha. Jadi, Papa Supriyadi cukup tenang dan mempercayakan perihal rumah kepada Bibi.

“Rakha mau makan lagi nggak? Itu di dapur masih ada satu potong ayam sama satu porsi sayur bayam.”

Rakha menggeleng pelan, menolak secara halus. “Nggak, Pa. Rakha mau nemenin Papa aja.”

Sudut bibir Rakha terangkat menyadari kebiasaan sang Papa yang selalu lupa membawa gelas air minum ketika makan. Mungkin Papa Supriyadi masih terbayang dengan kehadiran mama yang akan selalu membawakan satu gelas air hangat.

Ah, berbicara akan hal itu Rakha jadi merindukan masa-masa dahulu yang selalu makan malam di meja yang sama. Bertukar cerita, saling melemparkan candaan, dan selalu menjahili mama sampai-sampai mama merengut sebal.

Rakha menghela napas berat. Helaan napas itu tak disangka-sangka sampai ke telinga Papa Supriyadi. “Kenapa? Lagi ada masalah?” tanya Papa Supriyadi khawatir, menyadari raut wajah tak biasa yang diperlihatkan Rakha.

Kepala Rakha menggeleng pelan. “Nggak.” Rakha terdiam sejenak, berpikir untuk mencari topik pembicaraan lain agar tak merasa canggung.

“Pa.”

“Hmm?” Papa Supriyadi menjawab panggilan Rakha dengan dehaman.

“Rakha nanti mau olimpiade biologi. Tolong doain Rakha, ya, Pa. Rakha mau bawa piala pulang biar Rakha bisa banggain Papa.”

Papa Supriyadi meletakkan sendok serta garpu dengan pelan, meraih gelas dan meneguk air demi menghilangkan nasi serta lauk-pauk lain yang mungkin masih bersarang di kerongkongan. “Rakha, mau menang atau nggak, Papa tetep bangga sama Rakha. Dengan Rakha dipercayai sekolah buat jadi perwakilan olimpiade aja Rakha udah hebat.”

Satu yang Rakha senangi dari Papa Supriyadi adalah beliau selalu tahu bagaimana cara mengapresiasi hal kecil yang bahkan Rakha sendiri tak pernah merasa bangga akan hal itu. Tetapi, Papa Supriyadi akan selalu mengucapkan beribu-ribu kata syukur dan kalimat pujian untuknya. Rakha senang. Setidaknya, keberadaan Rakha benar-benar sangat dihargai.

“Kapan lombanya? Di mana?”

“Masih bulan depan. Di Jakarta.”

“Kabarin Papa, ya, nanti Papa bakalan hadir buat dukung Rakha.”

“Papa, kan, ngajar.”

“Nggak apa-apa, masalah itu bisa Papa atur.”

Rakha tersenyum dan mengangguk. Ego Rakha cukup tinggi, sehingga saat ini tengah mati-matian menahan agar air matanya tak terjatuh detik itu juga.

Untuk mengalihkan perhatian Rakha, laki-laki kelahiran bulan Maret itu meneguk air secara perlahan. Walaupun Rakha berusaha menahan air matanya tak terjatuh dan mengaliri kedua pipi, setidaknya Rakha tak menahan air untuk mengaliri kerongkongannya.

“Rakha kalau udah lulus nanti mau dilanjut kuliah jurusan apa?”

Rakha meneguk ludah. “Psikologi, Pa,” jawab Rakha dengan sedikit nada lirih.

Dahi Papa Supriyadi mengerut. “Kenapa Rakha mau pilih jurusan itu?”

Soalnya Rakha mau nyembuhin luka dan berusaha damai dengan keadaan Rakha sekarang ini.

Rakha tertawa canggung. “Nggak tahu, Pa, pengen aja.” Kepala Rakha menunduk, berusaha menghindar kedua mata Papa Supriyadi tengah menatap lekat ke arahnya. Rakha takut merasa terintimidasi akan kalimat itu. Terlebih, Rakha takut melihat respons sang kepala keluarga dan menolak akan keinginannya itu.

Papa Supriyadi tersenyum, meski senyuman tampannya itu tak bisa dilihat Rakha. “Papa dukung-dukung aja apa pun kemauan Rakha, karena yang jalanin semuanya Rakha sendiri. Tapi, Papa cuman nitip ambil jurusan yang punya prospek kerja tinggi, ya. Papa mau Rakha nanti punya pekerjaan sendiri yang bisa menghidupi segala keperluan Rakha dengan cukup.”

Kalimat-kalimat petuah sukarela Papa Supriyadi ucapkan itu Rakha masukkan ke dalam kepala. Rakha akan selalu mengingatnya di setiap Rakha melangkah.

“Papa gimana tadi di kampus? Ada kejadian-kejadian lucu mahasiwa-mahasiswa Papa kayak waktu itu lagi nggak?”

Papa Supriyadi tertawa kecil, tiba-tiba kembali teringat dengan kekonyolan para mahasiswa tadi ketika Papa Supriyadi masuk kelas dan langsung mengumumkan bahwa hari ini akan diadakan kuis dadakan sebelum mata kuliah di mulai. Ricuhnya kelas pada saat itu tak bisa Papa Supriyadi jelaskan, yang pasti erangan kekecewaan dan teriakan menolak akan ide kuis menjadi salah satu reaksi paling mendominasi dan paling Papa Supriyadi ingat.

Kadang ada kalanya Rakha akan selalu menagih segala cerita tentang hari ini maupun hari-hari kemarin yang sudah Papa Supriyadi jalani. Sebab, Rakha cukup mafhum bahwa Papa Supriyadi pun membutuhkan seseorang untuk berkeluh kesah. Rakha hanya ingin memastikan bahwa Papa Supriyadi menjalani hari-harinya dengan baik-baik saja.

Rakha selalu berpikir, bahwa selama ini ia masih bisa tertawa lepas karena akan kehadiran teman-temannya di sekolah. Lalu bagaimana dengan Papa Supriyadi? Apakah beliau juga sama seperti dirinya yang selalu tak sabar berangkat sekolah demi bertemu dan membuat kenangan-kenangan konyol bersama teman-temannya?

Jam setengah dua pagi menjadi salah satu di antara banyaknya waktu yang paling Rakha senangi. Di jam setengah dua pagi, Rakha akhirnya dapat kembali menceritakan segala hal tanpa perlu merasa khawatir dengan apa yang akan terjadi di kemudian hari. Di jam setengah dua pagi, Rakha akhirnya tahu berapa sulitnya dengan pekerjaan sang Papa yang sedang dijalani. Di jam setengah dua pagi, Rakha tahu akan impian sang Papa untuk melanjutkan kuliah S3. Di jam setengah dua pagi, Rakha kembali merasakan membuatkan secangkir kopi untuk Papa Supriyadi dan bertukar cerita sampai pagi. Lalu, di jam setengah dua pagi, Rakha tahu bahwa selama ini ia masih mendapatkan kasih sayang yang sama besarnya seperti kasih sayang sang Papa sewaktu keluarga mereka masih utuh.

Untuk sekarang Rakha hanya memohon satu, Rakha ingin Papa Supriyadi sehat selalu agar bisa lihat Rakha sukses di kemudian hari. Rakha akan selalu membuat Papa Supriyadi bangga karena telah membesarkan dirinya penuh kasih sayang.

Dari Rakha untuk Papa di masa depan

Papa, Rakha bakalan selalu bangga punya Papa sehebat Papa. Papa selalu ngajarin Rakha gimana perlunya menghargai waktu dan usaha. Papa selalu ngasih semangat Rakha untuk selalu nuntut ilmu. Papa secara nggak langsung udah jadi panutan buat Rakha. Waktu Rakha besar nanti, Rakha berharap bisa sama hebatnya kayak Papa.

Papa, makasih udah bertahan demi Rakha. Tungguin Rakha sukses, ya, Pa. Rakha berharap Papa sehat selalu. Rakha bakalan selalu berdoa biar Papa dikasih kemudahan di setiap langkah Papa ambil, dan dijauhkan dari orang-orang yang nggak suka sama Papa.

Papa, Rakha ada di sini. Kalau Papa mau cerita, jangan sungkan bilang Rakha. Nggak selalu harus di jam setengah dua pagi. Kapanpun Papa boleh minta Rakha. Nanti Rakha buatin satu gelas kopi dan pisang goreng buat teman cerita kita nanti.

Papa, terima kasih, ya.

Salam hangat, Rakha Prathama.


Jagat Universe

by NAAMER1CAN0


Ia pikir bahwa ajakan tempo hari mengenai akan melaksanakan kegiatan memancing hanya omongan belaka—sekadar ajakan tanpa berniat dilaksanakan. Namun, siapa sangka bahwa ajakan itu justru berakhir dengan ia ikut duduk seraya menunggu ada Ikan-kan memakan umpan yang sudah Papa Jajang pasang.

Tak terhitung sudah berapa kali ia menguap, demi menukar pasokan udara sebelumnya dengan udara baru. Kakinya sudah pegal. Semula hanya hinggapi kaki kiri, saat ini rasa pegal itu justru berpindah pada kaki kanannya.

Dari mulai punggung membungkuk sampai tegak, kemudian kembali membungkuk, Ikan-Ikan itu tak kunjung memperlihatkan tanda-tanda terperangkap pada umpan yang entahlah ia sendiri tak tahu apa saja bahan dasarnya.

Jaya menolehkan wajah ke samping, menatap Papa Jajang yang masih asyik memantau pancingan tersebut. Tak habis pikir, sebab ia tak bisa menemukan letak keseruan dalam memancing yang sudah membuat Papa Jajang terus-menerus melakukannya setiap minggu.

“Pa.” Panggilan dari Jaya menuai tanda tanya yang terlihat dari raut wajah Papa Jajang. “Masih lama?”

Jaya bisa lihat dada Papa Jajang perlahan membusung namun pada detik selanjutnya kembali pada posisi semula. “Dede, Papa aja baru nyelupin pancingan lima menit yang lalu.”

Dan, entah bagaimana, kini justru Jaya ikut menarik napas dalam-dalam lalu dikeluarkan dengan berat hati.

Jaya mengalihkan pandangan, mencoba mencari objek lain untuk ia tatap. Helaan napas lagi-lagi lolos dari mulutnya selepas menolehkan ke samping, ia melihat Harri justru tengah menikmati aktivitas yang sama sekali tak ada letak keseruannya di mata Jaya. Walau jarak mereka terpaut beberapa langkah, akan tetapi Jaya bisa yakini laki-laki itu tak henti menyerukan kalimat sumpah serapah akibat pancingan Papa Asep gagal dalam dimangsa oleh para Ikan-Ikan di bawah sana.

Jaya menahan gelak tawa ketika menyadari laki-laki itu akan melontarkan kalimat tak senonoh, namun dengan cepat ditahan oleh telapak tangan—sengaja membungkam mulut agar kalimat-kalimat itu tak sampai terucapkan. Terlebih menyadari keberadaan Papa Asep di sebelahnya. Apabila Harri sampai mengucapkan kalimat itu, bisa-bisa ia disuruh pulang dengan berjalan kaki.

“Harri, tolol.”

Papa Jajang menengok usai mendengar Jaya tengah bergumam. “Kenapa, De?” Akan tetapi pertanyaan itu justru dibalas gelengan kepala cepat oleh Jaya.

“Papa, Bapak-Bapak di sini Papa kenal semuanya?” tanya Jaya melepas keheningan. Sebab, ia sendiri bingung untuk mengisi kebosanan yang sukar menghilang, selain saling bertukar pertanyaan dengan sang Papa.

“Ada sebagian yang Papa kenal, ada yang nggak.”

Jaya manggut-manggut, kembali membungkam mulut seraya memperhatIkan alat pancingan Papa Jajang. Diam-diam Jaya berharap lambat-laun benda itu akan segera bergerak dan memunculkan Ikan sedari tadi sudah ditunggu untuk bisa ia beserta Papa Jajang bawa pulang.

“Papa kalau mancing kayak gini, De. Biasanya nanti siang suka disiapin nasi liwet, makanya kadang uang iurannya mahal,” jelas Papa Jaya sembari menyiapkan umpan baru. Selama Papa Jajang mengajaknya bicara, tatapan ia justru sengaja dipusatkan pada serangkaian senar pancing serta kail yang perlahan diberi umpan baru sudah disiapkan Papa Jajang.

Hendak ingin melemparkan pertanyaan mengapa Papa Jajang menyimpan umpan baru, sementara umpan lama saja masih terbenam di dalam air, namun pertanyaan itu harus berakhir ia telan lantaran setelah Papa Jajang mengangkat pancingan itu, umpan sudah tiada. Jaya baru tersadar, mengapa Papa Jajang terkadang pulang dengan tangan kosong. Ternyata Ikan-Ikan itu pintar mencuri umpan tanpa harus menyerahkan diri.

“Kalau umpan abis tapi Papa belum dapet Ikannya gimana?” Jaya bersuara seraya menengok, menatap kedua bola mata Papa Jajang dengan serius.

“Ya, pulang.”

Jikalau tahu memancing Ikan itu sesulit ini, mungkin saat itu Jaya tak akan menertawakan Papa Jajang. Sebab, di antara puluhan orang yang sudah melilingi kolam, tak ada satu pun yang sudah berhasil menarik Ikan-Ikan itu keluar. Sampai-sampai Jaya berpikir bahwa sebenarnya Ikan-Ikan itu tak ada di dalam kolam, atau parahnya hanya ada satu Ikan sehingga mereka harus pintar-pintar dalam mengikat hati hewan itu.

Mendengar sayup-sayup bunyi langkah seseorang yang perlahan kian mendekatinya, Jaya sontak segera menegok ke sumber suara—memperlihatkan Harri tengah berjalan menghampiri. Jaya menaikkan salah satu alis, menunggu Harri mengungkapkan maksud dan tujuan selepas laki-laki itu berdiri persis di sampingnya.

Harri celingak-celinguk, sebelum akhirnya berjongkok dan membisikkan sesuatu. “Jang, gimana kalau kita lomba?” ucap Harri tiba-tiba dengan kedua tangan bersedekap.

Dasar kurang ajar! Di situasi yang hanya terpaut beberapa jengkal dengan sang Papa pun laki-laki itu masih saja memanggil namanya dengan sebutan tak sopan.

Jaya memutuskan pandangan, merasa tak tertarik dengan ide konyol itu. Jangankan untuk berlomba, untuk ia berdiam di sini beberapa menit ke depan pun sangat enggan dilakukan.

Harri mengembuskan napas kasar. “Yang dapet ikan paling banyak aing traktir kopi!” lanjut Harri, berusaha menarik perhatian Jaya agar mengiakan cetusan ide darinya itu.

Keterdiamannya Jaya sukses membuat bahu Harri terjatuh. Apabila tidak sedang berada di sisi Papa Jajang, mungkin saat ini ia sudah memukul pundak Jaya tanpa belas kasihan.

“Yaudah, bensin full tiga hari. Ini penawaran terakhir dari aing.”

Deal.”

“Monyet!”

Siapa sangka ucapan dari Harri yang tak sengaja melantun keras itu menuai respons terkejut dari wajah Papa Jajang juga Papa Asep yang sedari tadi sibuk dengan kegiatannya. Harri gelagapan, tubuhnya sontak menegang karena tertangkap basah meloloskan sebuah kata yang sedari tadi sudah susah payah ia tahan agar tak keluar.

Ai Aa meuni awon cacariosan teh,” kata Papa Asep dengan raut wajah tak suka mendengar si sulung mengucapkan kata yang tak seharusnya ia dengar.

Harri menggeleng cepat. “Nggak! I-itu—” Harri menunjuk asal pada pemandangan di depan—pada pohon tinggi yang saling berjejer rapi. “Tadi di sana ada Monyet, Pa!” lanjut Harri, ekspresi wajahnya sudah jelas-jelas memperlihatkan raut ketakutan. Takut apabial setibanya di rumah nanti, ia justru berakhir mendapatkan rentetan kalimat petuah dari sang Papa.

Jaya mengurai tawa. Dan sialnya tawa darinya itu justu dihadiahi pukulan tanpa aba-aba yang diberikan laki-laki di sampingnya itu.

Harri mendengkus. “Maneh kayak Babi!” ucap Harri, menekankan pada kata terakhir seraya memberikan tatapan maut dan kembali berjalan pada tempatnya.

Alih-alih merasa takut, Jaya justru makin dibuat tertawa. Aneh, laki-laki itu selalu mudah tersulut emosi. Padahal sedari tadi ia bahkan tak mengucapkan kalimat apa pun selain satu kata terakhir untuk mengiakan penawaran dari laki-laki itu.

Detik berganti menit. Menit berganti jam. Dan, selama itu pun Ikan-Ikan belum juga memperlihatkan tanda-tanda akan datang. Entah memang Ikan-Ikan itu sangat pintar—sadar akan nyawanya sedang terancam, atau memang ada yang salah dengan umpan dari Papa Jajang. Lantaran setelah Jaya coba perhatikan, hanya mereka berdua yang tak kunjung menyerukan kebahagiaan akibat pancingannya bergerak. Laki-laki di sampingnya yang tadi memberikan penawaran menarik pun rupanya sudah mengantongi satu sampai dua Ikan. Lalu, mengapa hanya ia dengan Papa Jajang yang sedari tadi tak mendapatkan Ikan?

“Papa, kayaknya Papa salah milih tempat. Di sini mah kayaknya Ikan-Ikan pada nggak mau dateng soalnya kepanasan,” kata Jaya sembari mendongakkan kepala ke atas.

Di atas sana memperlihatkan sang raja siang sedang menyombongkan diri, mengusir kehadiran awan-awan di sekeliling sehingga menciptakan sinar yang begitu terik. Yang membuat Jaya kesal adalah tiba-tiba angin datang seolah sedang berbisik, menertawakan betapa malangnya nasib ia berserta sang Papa.

“Nggak, De. Kuncinya mancing itu sabar, yakin, dan jangan pernah pantang menyerah!”

Akui Jaya sangat menyukai sisi semangat Papa Jajang dalam memancing, namun jika terus-menerus begini, mereka hanya membuang waktu dengan sia-sia. Umpan habis, waktu tersita banyak, tenaga terkuras, dan Ikan pun tak dapat.

Kalau begini, ia harus siap-siap mengeluarkan uang demi membayar bensin Harri tiga hari ke depan. Bukannya untung malah buntung. Jika tahu akan berakhir seperti ini, mungkin seharusnya ia tak perlu mengiakan penawaran tersebut saja sedari awal. Namun mau bagaimana lagi? Nasi sudah jadi bubur, toh, hal yang sudah terjadi tak bisa diulang kembali.

PAPA KITA DAPET IKAN LAGI, PA!

Jaya melirik. “Ck, alay,” ketus Jaya tak suka.

Apabila melemparkan kursi sedang ia duduki adalah suatu tindakan yang terpuji, mungkin Jaya sudah melemparkan kursi-kursi miliknya beserta kursi milik pengunjung lain untuk ia lemparkan pada laki-laki itu secara bertubi-tubi. Terlebih ketika bayangan betapa sombongnya wajah laki-laki itu, rasanya Jaya ingin mendorong tubuh Harri ke dalam kolam—sengaja agar laki-laki itu sekalian meraih Ikan-Ikan dengan kedua tangannya. Toh, lebih mudah juga, bukan?

Jaya bangkit. “Pa, Dede ke belakang dulu.”

Usai mendapatkan balasan anggukkan kepala dari sang Papa, Jaya segera melangkahkan kaki. Setelah dipikir-pikir untuk apa juga ia ikut memancing apabila pada akhirnya keberadaan ia sama sekali tak dapat membantu Papa Jajang. Jika begini, lebih baik saja sekalian Jaya menarik diri dari sana.

Menyadari kepergian Jaya, Harri terburu-buru menyimpan kembali alat pancingan. “Pa, Aa mau nyamperin dulu Ajay, ya, bentar.”

Papa Asep melirik kunci yang tergantung di celana si sulung. “Kunci mobilnya siniin dulu, A', jangan dibawa.” Padahal Harri sendiri tak berniat akan meninggalkan Papa Asep di sana, namun agar tak memperpanjang sehingga ia segera menyerahkan kunci tersebut pada Papa Asep.

Napas Harri tersenggal-senggal selepas sampai di mana langkah Jaya akhirnya berhenti. “Maneh mau ke mana, Anying?!

Jaya terperanjat sampai-sampai menggagalkan niat untuk masuk ke dalam mobil. “Babi, aing reuwas!”

Harri berjalan mendekat. “Ai maneh mau ke mana, De?” tanya Harri kebingungan saat menyadari laki-laki itu akan memasuki mobilnya dan meninggalkan Papa Jajang di kolam.

Jaya kembali membuka pintu mobil. “Aing mau nongkrong aja. Bosen di sini cuman bisa planga-plongo kayak gambar tengkorak di baju maneh,” balas Jaya, tatapannya terjatuh pada gambar di pakaian laki-laki itu.

Mendengar kalimat itu sontak membuat Harri melirik pakaiannya. “Anying! Planga-plongo bengeut maneh!” Jaya tertawa tanpa berniat menimpali ucapan itu. “Tolol, ih, terus itu Bapak maneh gimana? Masa ditinggalin gitu aja?”

Jaya mengedikkan bahu. “Biar Bapak maneh yang anterin aja. Bapak aing, kan, yang ngajak mancing. Jadi, udah seharusnya Bapak maneh bales budi nganterin Bapak aing balik.”

Harri melongo. “Kebalik, Monyet! Harusnya Bapak maneh yang nganterin Bapak aing balik!”

“Berisik. Maneh ikut moal? Mun moal, awas. Aing mau keluar.”

Dan, sialnya, entah mengapa berakhir Harri yang ikut terduduk di samping kemudi selagi Jaya fokus dengan jalanan di depan. Padahal niat ia pergi menghampiri Jaya hanya untuk memberi jawaban atas rasa penasarannya. Namun, entah mengapa ia justru ikut masuk pada ide konyol Jaya untuk pergi dari tempat itu. Pantas saja Papa Asep tadi meminta Harri untuk memberikan kunci mobil, mungkin Papa Asep sudah memilki feeling apabila mereka berdua akan pergi.


Papah XL Dede dimana Mobil dibawa dede bukan

You Ya. Dede bosen di sana mah. Dede sama harri, lagi ngopi.

Papah XL Ai dede Papah pulang gimana kalo dede bawa mobil mah

You Papah nanti pulangnya sama papah harri aja. Minta anterin, pasti mau da.

Papah XL Ih ai dede Tau dede mau keluar mah tadi papah larang

You Emang papah selesai jam berapa gitu mancingnya.

Papah XL Papah beres jam set6, jemput papah jam segitu Papah gak enak kalo minta papah harri anterin papah mah

You Ya.

Papah XL Ya


Bukan tak sopan karena telah meninggalkan Papa Jajang. Toh, tadi ia sudah meminta izin untuk keluar. Dan, ia sangat ingat betul Papa Jajang pun mengiakan kalimatnya.

Terik matahari yang sedari tadi membuat dahi-dahinya mengeluarkan keringat pun tergantikan oleh angin sepoi-sepoi sampai-sampai rambut Jaya sesekali ikut bergerak mengikuti arah ke mana angin itu berembus. Langit sudah tidak sebiru tadi. Keadaan langit saat ini memperlihatkan semburat merah jingga, mungkin langit ikut tersipu kala sepasang kaki milik Jaya melangkah guna menjemput sang Papa di dalam sana—langit tahu saja salah satu penghuninya yang memiliki wajah tampan.

Niat ingin menyapa Papa Jajang dan mengucapkan permintaan maaf karena telah meninggalkannya begitu saja, tiba-tiba tubuh Jaya membeku usai mendengar percakapan yang entah mengapa kalimat itu justru mengiris hatinya. Ia tak mudah tersentuh dengan suatu hal, namun untuk kali ini pengecualian.

Pak Aan, dapet Ikan Nila nggak?

Muhun ini saya teh dapet empat ekor, Pak Jajang. Gimana?

Pak, boleh tuker satu sama Ikan Mas punya saya nggak? Kebetulan anak saya yang bungsu nggak bisa makan Ikan Mas dan jarang mau makan Ikan. Sekalinya mau makan, sukanya Ikan Nila. Boleh dituker satu nggak sama Ikan Mas punya saya?

Oh, mangga candak aja, Pak Jajang. Nggak usah dituker juga nggak apa-apa saya mah!

Nggak apa-apa, Pak Aan, tuker aja sama Ikan Mas saya. Saya sama istri mah nggak apa-apa nggak makan ikan juga, yang penting mah anak-anak saya aja yang makan. Da, saya mancing mah cuman buat hiburan aja. Saya ambil satu, ya, Pak Aan. Karena Ikan Nila Pak Aan gede jadi saya tuker sama dua Ikan Mas saya.”

Jaya tersenyum miris, tak tahu mengapa langkah kakinya justru berputar untuk kembali ke tempat di mana mobilnya terparkir. Setelah dipiki-pikir, lebih baik ia menunggu di dalam mobil saja.

Seketika ada setitik perasaan yang sulit untuk Jaya deskripsikan, tentang mancing, tentang Ikan, dan tentang bagaimana perjuangan Papa Jajang memberikan kasih sayang dengan caranya sendiri.


Jagat Lingga Erlangga Universe

by NAAMER1CAN0


Teriakan demi teriakan tak henti mengisi pendengaran laki-laki si pemilik rambut gondrong. Laki-laki itu terus berlari, membuat rambutnya ikut naik dan turun seirama dengan langkah kaki yang dibawa. Sesekali ia menyugar ketika matanya tertutupi oleh rambut. Padahal baru satu bulan kemarin ia memotongnya, namun tak tahu mengapa kini rambut tersebut sudah cepat tumbuh.

“Jay, oper, Jay!”

Jaya tak menoleh—lebih tepatnya tak memberikan bola tersebut pada seseorang yang telah memintanya. Bukan karena ia egois ingin terlihat unggul dalam bermain, tetapi ketika ia akan mengoper bola itu, secara tiba-tiba sang lawan telah berjaga di belakang—berancang-ancang akan merampas bola itu dari teman satu timnya.

“GOOOOLLL!!!”

Ia bisa rasakan satu per satu teman timnya berlari berhamburan sekadar memberikan ucapan pujian atau memberikan tepukan pada pundaknya—bentuk apresiasi. Kedua mata ia menyipit selaras dengan ujung bibir menaik, tersenyum puas atas kerja kerasnya dalam membobol gawang sang lawan.

Biasanya ia dengan teman-temannya akan menghabiskan waktu jam istirahat pertama untuk bermain bola atau basket di lapangan secara bersama-sama, lalu jam istirahat kedua dipakai untuk makan siang dan merangkai mimpi sampai bel masuk berbunyi—atau sebaliknya.

Lapangan itu akan mereka pakai apabila kelas dua belas tidak menggunakannya lebih dulu. Bukan karena senioritas, namun sedikit sungkan apabila harus berbagi lapangan dengan orang-orang yang tak dikenalnya. Contohnya seperti saat ini, lapangan sekolah terbagi menjadi dua: lapangan atas dan lapangan bawah. Lapangan atas terdapat dua wilayah: khusus bermain bola atau voli, dan khusus bermain basket. Ia beserta kelas sebelas lainnya saat ini tengah memakai lapangan khusus bola, sementara kelas dua belas tengah memakai lapangan khusus bermain basket.

Jaya berlari, mengangkat salah satu tangan berharap seseorang tengah menggiring bola itu akan mengoperkan padanya. Bola itu ditendang ke arahnya, akan tetapi sangat disayangkan Jaya gagal menaklukan, sebab seseorang tiba-tiba berlari dan merampas bola tersebut.

Jaya berdecak, bahkan salah satu tangannya bergerak memukul angin saking kesalnya karena telah lalai dalam memperhatikan ancaman sang lawan. Jaya tak begitu menyadari bahwa sedari tadi ia sudah diintai oleh tim lawan.

Ketika hendak berlari guna merampas kembali bola tersebut, sekonyong-konyong penglihatannya tak sengaja terjatuh pada satu titik objek yang entah mengapa hal itu berhasil membuat kedua kakinya enggan untuk melangkah.

Semua orang berada di lapangan itu sibuk dengan tugasnya masing-masing, terkecuali Jaya yang hanya diam dengan tatapan terjatuh pada pemandangan itu. Di antara banyaknya objek di hadapannya saat ini, tak tahu mengapa justru tatapannya tertuju pada seorang gadis tengah mengobati luka kaki seseorang.

Cuaca memang sedang panas, namun ia bukan sedang kepanasan karena keberadaan matahari di atas kepala itu. Melainkan, ada sebuah pemandangan tak sengaja ia lihat.

Jaya mendengkus. Bibirnya mencibir. Rentetan sumpah serapah terlontar dengan suara teramat kecil—bahkan masih kalah oleh seruan dari orang-orang sengaja duduk di pinggir lapang untuk menghabiskan waktu istirahat demi menonton permainan di lapangan sembari menyuapkan jajanan.

Jaya berjalan mendekati Jagat yang tengah sibuk memperhatikan sang target. “Gat, tolong dorong aing pas aing lagi giring bola entar,” ucap Jaya tiba-tiba.

“Hah?” Jagat bersuara sembari mengerutkan dahi. Kepala laki-laki itu sesekali menoleh dengan kedua kakinya terus berlari karena bola yang telah mati-matian dipertahankan teman satu timnya berhasil direbut tim lawan.

Jaya berlari kecil, menyejajarkan langkahnya dengan langkah Jagat. “Dorong aing sekarang buru.”

Jagat mengubah larian kecil itu menjadi berjalan santai. “Kenapa saya harus dorong kamu?” tanya Jagat kebingungan.

“Dorong aja, Anjing, jangan banyak nanya.”

Walaupun kebingungan masih menyertai Jagat, ia mulai mendorong punggung Jaya. Ia berani sumpah, ia bahkan tak memberikan tenaga apa pun, namun tubuh laki-laki itu justru terjatuh cukup kencang. Hal itu sontak menghentikan kaki Jagat yang berniat akan kembali berlari.

“Anjing!”

Jaya merintih—berjongkok menahan salah satu lututnya yang bergesekkan dengan lapangan. “Jagat tolol, harusnya maneh kasih aing aba-aba dulu!” gerutu Jaya, menahan erang kesakitan.

Terlampau keras dan tiba-tiba, celana seragam abu laki-laki itu sampai robek, menandakan jatuhnya Jaya memang benar-benar bukan seperti adanya bentuk unsur kesengajaan—walaupun kenyataannya ia yang meminta. Entahlah bagaimana nanti nasib ia saat sampai di rumah dan Mama Sumarni menyadari celana seragamnya robek, mungkin ia akan menundukkan kepala puluhan menit demi menyerahkan kedua telinganya dalam mendengar semua celotehan yang Mama Sumarni berikan.

Jagat menghampiri Jaya, niat ingin meraih lengan laki-laki itu untuk membantunya berdiri, akan tetapi bantuan ia justru ditolak oleh yang bersangkutan. “Eh … saya nggak pake tenaga, sumpah!” kata Jagat membela diri. “Saya minta maaf, ya, Jay.” Jagat benar-benar tak menyangka apabila dorongannya berhasil membuat laki-laki itu jatuh sungguhan. Lagi pula, Jagat berani sumpah, bahwa ia mendorongnya sangat pelan.

Kepala Jaya menggeleng, tangan kanannya terangkat—lalu mengibas-ngibas sebagai tanda bahwa hal tersebut bukanlah permasalahan cukup besar.

Dan, bersamaan dengan Jaya yang terjatuh, permainan itu mendadak berhenti. “Jay, maneh kenapa?!” teriak Harri, menendang bola sembarang arah demi menghampiri temannya yang sudah berlutut di pinggir lapangan.

Harri memelotot, salah satu jemarinya menunjuk ke suatu tempat. “Jay, lutut maneh berdarah, Jay!” teriak Harri menciptakan rasa penasaran pemain lain yang ikut berdatangan secara bersamaan.

Jaya berdecak pelan selaras dengan kepalanya terus mengangguk. “Iya, Monyet, aing juga bisa liat sendiri,” jawab Jaya terkesan ketus.

Akui kesabaran yang ia miliki tak setebal buku yang biasa ia lihat ketika Jagat membaca buku tersebut di sela-sela jam kosong berlangsung Sehingga, kala Aksara, Rakha, dan Yolan melontarkan kalimat persis apa diucapkan Harri sebelumnya, ia hanya bisa menghela napas panjang—sembari diam-diam berupaya menelan paksa segala kalimat berada di ujung lidah yang siap untuk ia lontarkan.

Harri memukul pelan pundak Aksara karena sedari tadi mulut laki-laki itu tak bisa diam. “Berisik ai maneh nanya terus, kasian itu temen maneh lagi tertimpa kesialan!”

Rakha membalikan tubuh, merentangkan tangan demi mengusir orang-orang yang ikut penasaran. “Bubar, bubar! Hareudang!” Saat ini Rakha terlihat seperti tengah mengusir segerombolan anak ayam yang kehilangan jejak sang induk, sehingga berbaik hati akan mengembalikan ke tempat asal.

Mendengar teman-temannya yang sedang sibuk sendiri, lantas Jaya mencuri-curi kesempatan mengarahkan pandangan pada tempat tadi. Akan tetapi, sayangnya keberadaan gadis itu tak dapat ia temukan di sana. Jaya sendiri tak tahu kapan pastinya gadis itu telah menarik diri dari sisi lapang, padahal salah satu alasan mengapa ia bisa terjatuh karena ada sangkut pautnya dengan gadis itu.

Maneh kenapa bisa jatoh?” Kali ini giliran Rakha yang mengeluarkan suara, setelah menyelesaikan tugas mengusir yang tidak berkepentingan, walaupun masih ada satu sampai dua orang yang datang demi mengetahui kondisi Jaya.

Jagat menelan ludah dan menatap cemas pada Jaya. “Sa—”

Jaya memutus pandangan. “Aing jatoh sendiri,” timpal Jaya cepat sengaja memotong ucapan Jagat sampai-sampai berhasil menghadirkan tatapan terkejut dari wajah laki-laki itu. Tanpa harus susah payah menoleh pun Jaya sudah tahu bahwa ia saat ini sedang dihadiahi kedua bola mata laki-laki itu yang terbuka lebar.

“Yaudah atuh ayo kita ke UKS aja, si aku anterin!” Yolan menekuk lutut, tangannya bergerak meraih pundak Jaya dengan maksud berniat membantu laki-laki itu untuk menuju ruang UKS. Namun, Jaya justru menepis tangan itu, bahkan sampai rela bergeser demi menghindari bantuan dari Yolan.

Sontak Yolan dibuat melongo atas respons penolakan tersebut. Yolan terdiam dengan kedua mata mengerjap cepat, masih memproses kejadian itu dan menganggap apabila Jaya tak mau dibantu karena ingin pergi sendiri.

Menyadari suasana hening dan canggung, Jagat berdeham dan menarik bahu Yolan untuk kembali berdiri dan memberi kesempatan untuk Jaya berdiri sendiri.

Yolan menoleh, kemudian dibalas senyuman juga anggukkan kepala dari Jagat. Seolah Jagat paham akan tatapan yang Yolan berikan.

Aing ke UKS dulu.”

“Mau aing temenin nggak, Jay?” Aksara bersuara. Nihilnya, laki-laki itu sama sekali tak menjawab ucapan Aksara dan lebih memilih pergi sendiri. Aksara anggap bahwa Jaya tak ingin dibantu, sehingga ia menjadi orang pertama untuk kembali ke lapangan dan melanjutkan permainan yang sempat terhenti. Lalu, hanya berselang beberapa detik, keempat orang lainnya mulai mengikuti jejak Aksara kembali melanjutkan bermain bola.

Selama perjalanan menuju UKS Jaya tak henti menggerutu, ingin memaki Jagat yang menjadi tersangka utama mengapa ia bisa berakhir mendapatkan luka. Tetapi, tidak akan ada asap jika tak ada api. Dan, api tersebut tak lain bersumber dari ia sendiri yang telah mengusulkan ide bodoh itu.

Sempat terlintas dalam pikiran Jaya untuk membasuh luka tersebut dengan air mengalir, mengingat jika luka itu dibasahi obat merah akan terasa sakit berkali-kali lipat. Jika terus dibiarkan dan tidak diobati, Jaya takut apabila luka itu akan memburuk dan parahnya akan lama untuk pulih—membatasi ruang gerak dirinya.

Jaya mengembuskan napas kasar saat melihat pintu ruangan itu tertutup. Kalau dilihat dari tempat ia berdiri dan mencuri pandang lewat kaca jendela yang gelap, di dalam sana seperti tak ada tanda-tanda akan kehadiran seseorang. Jaya enggan untuk mendekati jendela—mengintip—karena takut tiba-tiba ada yang ikut mengintip di dalam sana.

Jaya membalikan tubuh, hendak pergi dan memilih opsi awal untuk membasuh luka itu di bawah air yang mengalir, sampai akhirnya tiba-tiba seseorang dari dalam ruangan itu membuka pintu dan menginterupsinya.

“Mau ke ruang UKS, A?”

Jaya menghentikan langkah. Ah, ia kira di dalam sana tak ada satu pun anggota PMR. Ia membalikan tubuh. Sudut bibir laki-laki itu terangkat kecil, matanya bergerak menuju lutut kanan dan mengangguk.

Laki-laki itu mau tak mau ikut mengarahkan pandangan pada kaki sang kakak kelas. “Masuk aja, A, kebetulan lagi ada yang diobatin.”

Yang lebih muda membuka pintu lebar-lebar dan menahannya agar tak menutup ketika Jaya melewatinya.

Baru satu langkah kakinya berhasil melewati pintu tersebut, Jaya langsung dikejutkan oleh pemandangan gadis yang sedari tadi ia cari dan alasan utama mengapa ia sampai mendapatkan luka itu ada di dalam ruangan ini bersama dengan seorang laki-laki tengah diobatinya.

Jaya berjalan menuju ranjang yang kosong, mendudukkan diri di sana. Ia celingak-celinguk, lantaran tak ada satu pun orang yang terlihat akan datang membantu mengobati lukanya.

Karena bosan menunggu, Jaya menolehkan wajah ke samping dan menyambut laki-laki di sana dengan tatapan sinis sampai-sampai membuat yang tengah diobati itu terpaksa mengalihkan pandangan ke sembarang arah.

Suasana di dalam ruangan ini sangat hening, bahkan saking heningnya ia bisa mendengar deru napasnya sendiri. Satu-satunya suara yang menemani kesunyian itu hanyalah denting jam yang tiap sekonnya bergerak. Jaya sesekali membawa pandangan ke segala penjuru ruang untuk mencari keberadaan obat merah itu. Setelah menunggu bermenit-menit, Jaya meyakini dirinya akan mengobati lukanya sendiri agar tak membuang waktu secara cuma-cuma.

Usai menemukan keberadaan obat merah itu, alih-alih beranjak dan meraihnya, punggung Jaya justru spontan menegak saat melihat gadis itu berjalan di hadapannya. Jaya bahkan sampai dibuat melongo saat kehadirannya sama sekali tak digubris oleh gadis itu. Jangankan dilirik, mengetahui kehadirannya di ruangan ini pun sepertinya gadis itu tak sadar. Gadis itu justru kembali berjalan ke tempat semula setelah berhasil mengambil kapas baru.

Tanpa berpikir lama, Jaya bangkit lalu berjalan menghampiri gadis itu—melupakan rencana akan mengobati lukanya sendiri.

Langkah Jaya berhenti tepat di samping gadis itu. Merasa ada seseorang yang kembali menatapnya, lantas Jaya pun membalas tatapan tersebut—sekadar menatap balik tanpa memberikan pelototan, namun mampu membuat yang bersangkutan menundukkan kepala.

Jaya berdeham kecil. “Syifa, Jaya luka,” ucap Jaya dengan nada lirih.

Syifa yang berniat ingin menuangkan obat merah ke atas kapas pun langsung menghentikan aktivitas demi menolehkan wajah pada sang tersangka yang tiba-tiba berdiri di sampingnya. Kedua mata gadis itu mengabsen satu per satu tubuh kakak kelasnya, lalu berakhir menatap salah satu lutut laki-laki itu yang sudah berdarah.

Mata Syifa melotot. “Ih, iya! Cepet obatin, Kak, nanti takut infeksi!”

Ucapan gadis itu dianggap angin lalu olehnya. Sebab, alih-alih kembali duduk dan menunggu seseorang akan mengobatinya, Jaya justru lebih memilih untuk diam di samping gadis itu tanpa bergerak sedikit pun.

Pandangan Syifa mengitari ruangan. “Arin, tolong obatin Kak Jaya, dong, itu!”

Mendengar kalimat itu, Jaya sukses melongo. Sadar tak sadar, bibir bawah laki-laki itu maju beberapa senti—cemberut karena sang gadis tak mengerti maksud ucapannya beberapa saat lalu.

Arin menoleh, bersiap-siap berdiri dan akan membantu mengobati Jaya. Namun, Jaya menyambut Arin dengan gelengan kepala.

“Nggak mau sama dia,” ucap Jaya sukses menghentikan langkah Arin.

Dahi Syifa menukik. “Terus mau sama siapa lagi, Kak? Yang lagi ada di sini cuman Syifa sama Arin aja,” kata Syifa, seraya mengedarkan pandangan berharap tiba-tiba mendapati kehadiran anggota PMR lainnya.

“Syifa.”

Yang disebutkan namanya lantas menoleh, memamerkan wajah kebingungan.

“Sama Syifa,” jawab Jaya selepas melihat kerutan tercipta di dahi gadis itu. “Mau sama Syifa.”

Syifa terdiam. Hal itu menciptakan decakan kecil yang terlontar dari bibir Jaya. Apakah jawaban darinya masih kurang jelas?

Jaya memalingkan wajah. “Ayo obatin Jaya.”

Walau kedua mata Jaya sedang tak mengarah pada gadis itu, namun melalui ujung matanya ia bisa lihat gadis itu mulai menggelengkan kepala. “Aduh, maaf, ya, Kak. Bukannya Syifa nggak mau nolongin Kak Jaya, tapi sekarang Syifa lagi obatin dulu Reyhan temen sekelas Syifa.”

Jaya tak tahu harus memberikan raut seperti apalagi. Mulai dari raut kesakitan, ketidaksukaan, bahkan raut merajuk telah ia berikan. Akan tetapi, pertahanan gadis itu sama sekali tak tergoyahkan.

“Syifa, Jaya cemburu.”

Brugh!

Jaya mengerjapkan kedua matanya cepat, masih mencoba memproses kejadian sekaligus mengembalikan kesadarannya yang sempat hilang. Lalu, hanya berselang beberapa detik setelahnya, mata laki-laki itu membulat sempurna.

“BANGSAT!” erang Jaya usai menyadari ia baru saja terbangun dari mimpinya. Jaya seketika langsung mendudukkan diri. Kepalanya beberapa kali terlihat geleng-geleng, laki-laki itu rupanya tengah berusaha menghalau segala mimpi yang baru saja terjadi.

“Kenapa aing bisa sampe mimpiin dia, sih?!” Jaya mengacak-ngacak rambut frustasi. Setelah ingat apa yang terjadi di dalam mimpi tadi, ia langsung meluruskan kaki kanannya. Diusaplah lututnya, selepas tak mendapatkan rasa sakit apa pun ia mengembuskan napas. Ternyata kejadian itu hanya sebatas mimpi belaka.

Keadaan kamarnya gelap gurita—lupa menyalakan lampu ketika tidur. Jam yang terpasang di dinding entah telah menujukkan pukul berapa karena sama sekali tak dapat terlihat. Namun, Jaya dapat pastikan bahwa sekarang sudah memasuki malam hari karena dari sela-sela gorden Jaya bisa lihat langit di luar sana berwarna hitam, pun lampu balkon telah menyala.

Ia benar-benar tak paham. Di antara kemungkinan mimpi yang bisa mendatanginya malam itu, mengapa tidak memimpikan bahwa pada akhirnya ia memiliki bengkel yang sudah lama diidam-idamkan? Mengapa justru harus memimpikan hal yang tak seharusnya mampir dalam bunga tidurnya?

Apalagi setelah ingat mimpi yang baru saja terjadi itu sangat aneh, bukan seperti dirinya. Sekadar untuk Jaya mengingatnya kembali pun enggan dilakukan.

Jika sudah begini, rasanya canggung apabila di sekolah nanti ia justru tak sengaja berpapasan dengan gadis itu.


Puspas Niskala Universe

by NAAMER1CAN0


Apabila suara bising knalpot bisa menjerit, mungkin benda itu tak henti mengungkapkan betapa bosannya karena sedari tadi ia terus berusaha membuat keadaan jauh lebih ramai. Sementara, kedua orang yang berada di atas motor tak memiliki inisiatif untuk menghangatkan suasana. Tak ada obrolan yang terucap semenjak motor itu bergerak meninggalkan kawasan sekolah. Sesekali hanya ada suara si gadis, itu pun karena harus menunjukkan jalan menuju rumahnya.

Jaya bukan tipikal orang yang pandai mengawali pembicaraan, sehingga laki-laki itu tampak biasa-biasa saja menyadari keadaan yang hening. Toh, hari-hari biasanya pun Jaya selalu bertemu dengan suasana seperti ini, mempersilakan bising klakson dan knalpot kendaraan lain yang mengisi penuh pendengarannya, dan mempersilakan berisik itu menemaninya sampai rumah.

Hal itu justru berbanding terbalik dengan seorang gadis di belakang yang tampak kebingungan untuk menghilangkan kecanggungan di antara mereka. Namun, setelah mencuri pandang ke arah laki-laki itu berada, yang di sana tampak tidak keberatan sekali dengan keheningan tersebut.

Syifa mengabsen satu per satu kendaraan yang melintas di depannya. Ia tak tahu seberapa banyak kendaraan di belakang, lantaran posisi duduknya yang miring. Terlampau bosan dan tak ada yang bisa ia lakukan selama di atas motor itu selain diam, pada akhirnya Syifa lebih memilih untuk menghitung kendaraan yang melintas. Baru satu menit berlalu, tetapi ia sudah banyak mengantongi jumlah kendaraan yang dapat dilihatnya.

Syifa memiringkan wajahnya sedikit ke arah Jaya. “Masih lurus, ya, Kak Jaya, jangan belok.”

Jaya membalas ucapan itu dengan berdeham seraya menganggukkan kepala.

Syifa diam-diam mengembuskan napas, sangat pelan sampai-sampai kakak kelasnya itu tak menyadarinya sama sekali.

Sejak duduk di jok motor ini, ia sama sekali tak mendengar satu patah kata yang laki-laki itu ucapkan. Sebanyak apa pun ia berbicara untuk menunjukkan jalan, laki-laki itu hanya membalasnya dengan dehaman atau bahkan anggukkan kepala saja.

Jika tahu akan berakhir seperti ini, mungkin ketika laki-laki itu mengajaknya pulang bersama—ralat, menitipkan helm dengan ia memakainya di atas jok motor ini—maka, dengan lantang ia akan menolaknya. Pulang dengan Abang Ojek saja ia selalu bertukar cerita, lalu mengapa saat ini dengan laki-laki itu mereka saling membungkam mulut seolah tengah bertengkar hebat?

“Kenapa?”

Syifa menoleh. “Hah? Kenapa apanya, Kak?” Badan ia menegak, berusaha menyamakan tinggi tububuhnya lantaran terhalang lebarnya bahu laki-laki itu. Kepalanya masih sibuk memproses, sekaligus tak percaya bahwa akhirnya laki-laki itu angkat bicara juga.

Jaya melirik spion sekilas. “Dari muka Syifa kayak ada yang diomongin.” Setelah kata itu berhasil diucapkan, laki-laki itu kembali menatap jalanan di depan.

Ah, ternyata laki-laki itu benar-benar bersuara, ia kira sedang berhalusinasi. Bahkan hebatnya, ucapannya itu lebih panjang dari perkataan sebelumnya. Ia sempat berpikir bahwa yang sedang bersamanya ini bukanlah kakak kelasnya sungguhan karena tak menunjukkan respons yang ia inginkan.

“Kenapa?” Jaya kembali bertanya, sebab Syifa tak ada tanda-tanda akan segera menjawab.

Mulut gadis itu kembali menutup ketika tiba-tiba matanya menangkap satu gerobak es tebu yang sedang berjualan di pinggir jalan. Tangan Syifa menepuk pundak Jaya dengan ribut. “Kak Jaya! Kak Jaya! Berhenti di depan!” titah Syifa, mengabaikan pertanyaan Jaya seakan kalimat itu hanyalah sebuah angin lewat yang tak perlu susah payah diberikan atensi.

Dahi Jaya mengerut selaras dengan kedua mata turut mengikuti ke mana gadis itu menunjuk. “Di sana?” tanya Jaya memastikan. Pasalnya, tempat yang telah ditunjuk Syifa bukanlah sebuah perumahan. Jadi, jika permintaan gadis itu minta diberhentikan di sana dengan alasan sudah sampai, cukup mustahil.

Syifa mengangguk. “Iya, Kak Jaya mau beli juga nggak?”

“Beli apa?” tanya Jaya lengkap dengan gurat-gurat halus tercipta di dahi laki-laki itu.

“Es tebu. Syifa mau beli es tebu dulu soalnya haus. Kak Jaya mau beli juga nggak?”

Sein kiri sudah Jaya nyalakan, laki-laki itu pun beberapa kali terlihat memantau kendaraan di belakang melalui spion sebelum benar-benar membawa motornya untuk berlaju di sisi kiri. “Nggak.” Jaya menggeleng serta mengamati kondisi motornya. “Susah bawahnya, nggak ada dashboard.”

“Syifa nanti bantu pegangin, Kak!”

Setelah ucapan itu keluar dari bibir manis sang adik kelas, entah mengapa pikiran Jaya mendadak melayang pada adegan gadis itu sepanjang jalan bantu memegangi satu cup es tebu demi ia bisa menikmati cairan manis itu. Tangan yang setengah memeluk perut Jaya—karena masuk di sela-sela tangan untuk menghindari dari bahayanya pengendara di sekitar.

Hanya sekadar membayangkan saja Jaya tersipu sendiri. Lantas ia segera menggelengkan kepala guna menepis pikiran tersebut. “Nggak usah, Syifa sendiri aja yang beli,” tolaknya sehalus mungkin agar gadis itu tak merasa sakit hati.

Dan, entah bagaimana ceritanya, ia justru berakhir ikut duduk di pinggir jalan menghabiskan satu cup es tebu sembari menikmati suasana sore hari dan disuguhkan pemandangan langit jingga juga kendaraan padat merayap.

Bibir Jaya menaik usai tak sengaja melihat kedua kaki gadis itu yang sengaja diluruskan bergerak-gerak kecil. Jaya menyeruput es tebu, lalu menelannya—memberikan hadiah pada kerongkongan yang tanpa disadari sudah mengering.

Selama mereka berdua duduk dan menikmati minuman itu, Jaya sama sekali tak berani menatap wajah Syifa walau sebentar. Padahal gadis itu sempat mengajaknya dalam konversasi kecil, namun Jaya lebih senang mendengarkan gadis itu berbicara dengan tatapan terjatuh pada tiap-tiap kendaraan yang melintas.

Satu tas yang dibiarkan tergeletak di samping kaki Jaya, tak memedulikan apabila barang itu akan kotor. Dan satu tas lainnya tak absen meninggalkan punggung Syifa—masih digendong seolah sama sekali tak terganggu dengan keberadaan barang itu.

“POV jadi Panda,” ucap Jaya dengan tiba-tiba.

Syifa menoleh dengan dahi mengerut, hendak menyeruput es tebu namun ia urungkan usai mendengar ucapan itu. “Maksudnya, Kak?” tanya Syifa kebingungan, bahkan posisi kepala gadis itu sampai miring.

Jaya membalas tatapan bingung Syifa seraya menggoyangkan gelas berisikan cairan manis alami dari tebu. Ia bisa lihat garis-garis tercetak di dahi gadis itu. “Kita lagi ngerasain jadi Panda, soalnya lagi nikmatin tebu,” jawab Jaya di akhiri tawa kecil dan memutuskan pandangan.

Melihat kakak kelasnya itu mulai tersenyum, tak tahu mengapa ujung bibirnya seakan ditarik paksa untuk memberikan reaksi yang sama. Apalagi setelah melihat bola mata laki-laki itu yang perlahan tenggelam oleh kelopak matanya. Bukan hanya langit semburat senja yang terlihat indah, melainkan senyuman dari laki-laki di sebelahnya tak kalah jauh indah dari kondisi langit sore hari ini.

“Tapi, Panda bukannya makan bambu, ya, Kak?”

Jaya mengangguk dan tersenyum. “Iya. Anggep aja kayak gitu.”

“Oh, iya, iya! Kita beneran kayak Panda sekarang!” Syifa cengar-cengir.

Mendengar suara intonasi ucapan gadis itu berubah riang, menghadiahkan gelengan kepala dari Jaya.

Menikmati indahnya sore hari dengan laki-laki di sebelahnya, berhasil buat jantung Syifa berkali-kali lipat berdetak kencang. Bibirnya mendadak kelu, sulit untuk mengucapkan segala kalimat berada di dalam kepala, padahal rasanya ada banyak hal ingin ia bicarakan dengan laki-laki itu. Entah sekadar menghabiskan waktu berdua, ingin melihat senyumannya kembali, atau bahkan saling berdiam diri sembari menikmati kepergian senja.

“Wangi baju Kak Jaya sekilas mirip wangi Ayah Syifa,” ucap Syifa, usai meyakinkan diri untuk berbicara.

Jaya mengangkat sedikit bahu kanannya—sengaja mendekatkan pada hidung. “Itu harum pewangi baju. Jaya jarang semprot parfum di jaket,” timpal Jaya selesai menghirup wangi pada jaketnya.

Lalu, hening kembali. Baik Jaya maupun Syifa saling berlarut dengan pikiran masing-masing.

Syifa memejamkan mata. Rasanya bodoh sekali karena ia memilih untuk diam dibandingkan menyahuti jawaban itu. Ini semua karena semua kalimat berada di dalam kepalanya seketika hilang begitu saja. Padahal, ia sudah berusaha untuk menciptakan obrolan hangat. Kesalnya, laki-laki itu sama sekali tak memiliki inisiatif untuk memperpanjang obrolan tersebut.

Seketika sedotan es tebu miliknya berhenti tepat di depan bibir sebelum Jaya sempat menyeruputnya. Tubuh Jaya mendadak membeku usai menyadari bahwa gadis itu mengetahui aroma pewangi dari tubuhnya. Lantas jika begitu, secara tidak langsung ketika di atas motor tadi, gadis itu telah diam-diam mencium aroma wangi tubuhnya?

Kepala Jaya menggeleng cepat. Es tebu itu ia teguk tak sabaran dengan harapan tegukan demi tegukan itu mampu membuat isi kepalanya kembali jernih.

Sebuah suara serta-merta membuyarkan lamunan Jaya. Jaya menengok ke arah sampingnya. Laki-laki itu terlihat menahan gelak tawanya agar tak pecah saat itu juga. Bagaimana tidak, ketika telinganya saat ini dipenuhi suara gadis itu tengah menyeruput cairan es tebu yang sudah habis.

“Mau beli lagi nggak es tebunya, Syifa?”

Syifa terperanjat, cup es tebu itu hampir saja Syifa lemparkan. “Nggak, Kak! Syifa cukup minum satu aja soalnya tadi di sekolah udah banyak minum manis-manis takutnya nanti batuk.”

Kayak anak kecil. Jaya menggeleng-gelengkan kepala.

Syifa ingin kembali menyeruput minuman itu, namun digagalkan oleh bunyi notifikasi ponselnya di dalam rok. Maka, dengan cepat Syifa mengeluarkan benda itu. Satu cup es tebu yang semula mati-matian Syifa isap melalui sedotan sudah ia simpan di sampingnya bersamaan dengan satu per satu pesan mulai ia baca melalui layar ponsel yang masih terkunci.

Sontak gerak-gerik tersebut memunculkan rasa penasaran dari Jaya. Dahi Jaya mengerut saat matanya tak sengaja menangkap jelas tiap-tiap kalimat yang tertera di layar ponsel gadis itu. Akui Jaya tak sopan, atau lebih tepatnya gadis itu yang teledor membiarkan ia bisa melihat isi pesan tersebut. Akan tetapi, salah satu pesan tersebut mampu membuat Jaya merutuk dalam hati.

Jaya membuang muka begitu menyadari Syifa berancang-ancang menyudahi membalas pesan itu.

Syifa mengunci kembali ponselnya dan dimasukkan ke tempat semula. “Kak Jaya.” Jaya menoleh dengan alis terangkat selagi menunggu yang lebih muda akan melanjutkan kalimatnya. “Kak Jaya beneran mau nganterin Syifa pulang?”

Jaya mengangguk.

Syifa melirik motor yang tengah terparkir beberapa langkah di depannya. “Nanti kalau bensin Kak Jaya berkurang banyak gara-gara nganterin Syifa dulu, kabarin, ya, Kak!”

Jaya tersenyum kecil disertai gelengan kepala. “Masih banyak, kok. Baru diisi pagi tadi.”


Sial, sejak mimpi itu datang, ia selalu terbayang-bayang tiap adegan maupun dialog dalam bunga tidur itu. Acap kali melihat raut wajah Syifa, lagi-lagi ingatan Jaya terjatuh pada bagaimana gadis itu tak mengacuhkan kehadirannya. Sampai detik ini, ia masih tak menyangka bahwa dirinya akan dihantui oleh kejadian itu. Oleh karena itu, alasan mengapa ia banyak memandang arah lain, selain muka gadis itu salah satunya karena alasan tersebut.

“Makasih banyak udah mau nganterin Syifa pulang, ya, Kak Jaya!”

Terlampau sibuk dengan pemikiran sendiri, Jaya bahkan sampai tidak sadar bahwa gadis itu telah turun dari motornya. Pun, Jaya tidak sadar sudah menghentikan motor tepat di depan gerbang rumah si pemiliknya.

Jaya berdeham kecil dan memalingkan wajah. “Nitip helm, bukan nganterin,” ucap Jaya, dengan nada suara terkesan sedikit ketus.

Cih, laki-laki itu pandai sekali dalam menjatuhkan ekspetasi yang susah payah ia bangun sendirian.

Syifa mendengkus. “Iya, iya, itu maksudnya!” Syifa melipat tangan. Kalau saja bukan karena laki-laki itu telah mengantarnya pulang, ia pastikan sudah meninggalkannya sedari tadi. “Makasih, ya, udah nitipin helm sama Syifa. Berkat Kak Jaya, Syifa jadi nggak perlu ngeluarin ongkos buat bayar ojek,” kata Syifa, memberi nada penekanan pada kata-kata tertentu.

“Sama-sama.”

Dan, yang lebih membingungkan adalah, mereka berdua masih setia diam di tempat tanpa ada yang berniat menarik diri lebih dulu. Para pengendara motor yang tak sengaja melewati mereka pun beberapa kali terlihat memberikan wajah kebingungan pada mereka. Pasalnya, Jaya setia duduk di atas motor dengan kondisi mesin sudah dimatikan. Sementara, di sampingnya ada Syifa yang berdiri dengan kaki sengaja digerakkan di aspal—menggambar bentuk sembarang menggunakan ujung sepatunya.

“Syifa.”

Syifa mendongak cepat. “Iya, Kak Jaya?”

Jaya menunjuk kepala Syifa. “Helmnya belum dibuka, BTW.”

Syifa memegang kepala. Ah, jadi alasan mengapa laki-laki itu sedari tadi diam karena sedang menunggu barang itu? Ia pikir ada hal yang ingin dibahas namun sulit untuk mengungkapkan. “Oh, iya!” Maka, dengan buru-buru ia langsung membuka benda bulat tersebut lalu diserahkan pada kakak kelasnya.

Jaya meraih helm itu, mengaitkannya sebelum ia simpan di depan tangki. “Yaudah, kalau gitu Jaya pulang dulu.”

Syifa mengangguk cepat. “Iya, Kak Jaya. Hati-hati, ya!”

Jaya menyalakan mesin motor. Laki-laki itu menoleh ke arah Syifa, memberikan senyuman sekilas sebelum meninggalkan sang pemilik rumah yang masih terdiam di tempat sembari memperhatikan punggung laki-laki itu yang perlahan menjauh.

Syifa mengulum senyum, dalam hati menjerit riang karena ia telah menghabiskan waktu dengan laki-laki itu. Daun-daun hijau sepanjang jalan yang dilalui gadis itu menjadi saksi bahwa saat ini sang pemilik rumah tak memberikan perhatian kepada mereka seperti biasanya. Mereka tak diacuhkan, tak disapa, bahkan tak dianggap keberadaannya ada. Padahal setiap sore gadis itu pasti akan memberikan asupan air demi menjaga kesehatan mereka dalam menyejukkan rumah ini.

“Ih, kamu abis dianterin siapa, tuh? Cieeee.”

Syifa terkejut bukan main. Badannya berjengit, hampir terjatuh jika ia tak langsung berpegangan pada pondasi rumah. “Ih, kamu kenapa tiba-tiba ada di sini?!”

Ary menunjuk tong sampah dengan wajah cemberut. “Aku abis buangin sampah kamu yang ada di kulkas! Nanti pulang dari supermarket ibu pasti marahin kamu!”

Biasanya, jika ia mendapatkan ancaman tersebut pasti akan ketakutan sendiri. Akan tetapi, untuk kali ini tidak. Bahkan, wajah ia terlihat tersenyum riang—tak memiliki beban bahwa mungkin saja beberapa waktu setelah ini ia benar-benar mendapatkan kalimat petuah dari ibunya seperti yang dikatakan si bungsu.


Puspas Niskala Universe

by NAAMER1CAN0


Bel istirahat belum genap satu menit dibunyikan, akan tetapi seluruh murid di dalam kelas sudah berhamburan—tak sabaran keluar dari ruangan penuh kepenatan itu. Bahkan yang lebih parah adalah guru di depan saja belum sepenuhnya keluar kelas. Jaya hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah laku teman-teman kelasnya, entah apa yang sedang mereka perebutkan—grasah-grusuh itu seakan-seakan mereka sedang terburu-buru menuju tukang cilok yang selalu ramai dan habis dalam sekejap.

“Mau makan sekarang atau nanti wae istirahat kedua, euy?

“Sekarang ajalah, biar istirahat keduanya bisa aing pake buat tidur,” timpal Rakha, seraya membereskan buku-buku berserakan yang telah selesai dipakai.

Harri beranjak. “Yaudah atuh hayu, takut udah keburu penuh kantinnya.”

Jaya yang terlihat tampak ogah-ogahan itu tak berniat untuk bergegas merapikan barang di atas meja. “Aing nyusul nanti.” Kemudian, laki-laki itu kembali menggoreskan pena di atas buku bergaris—melanjutkan catatan yang belum selesai. Ingin terbebas dari pekerjaan yang belum tuntas. Sebab, ia masih teringat dengan perkataan dari Mama Sumarni yang selalu berpesan untuk selalu menyelesaikan pekerjaan sampai selesai—tidak boleh ditunda-tunda dan dilakukan setengah-setengah.

Jagat berhenti tepat di samping bangku Jaya, mengangkat bekal makan siangnya seolah meminta penjelasan. Jaya yang merasa sebagian bukunya tiba-tiba gelap, lantas menoleh. “Apaan?” tanya Jaya, melirik pada kotak bekal Jagat.

“Mau tukeran bekal nggak?”

Jaya memutuskan pandangan seraya menggeleng. “Nggak, mama aing sekarang lagi nggak bekelin sayur.”

Jagat manggut-manggut. “Yaudah, kalau gitu saya ke kantin duluan, ya, Jay.”

Anggukkan dari Jaya seakan memberi Jagat lampu hijau untuk bergabung dengan Harri dan Rakha yang mungkin kini sudah berjalan lebih dulu sembari memikirkan apakah masih ada meja kosong untuk mereka tempati.

Ini semua karena kemalasan Jaya untuk segera memindahkan catatan dari papan tulis pada bukunya, hingga saat ini Jaya kewalahan sendiri. Jari-jarinya terasa pegal, namun Jaya sendiri enggan untuk berhenti mengingat waktu terus berjalan. Apabila ia berhenti sebentar, artinya waktu Jaya untuk istirahat pun makin tersisa sedikit.

Sebenarnya ia bisa-bisa saja menikmati bekal makan siang itu ketika istirahat kedua nanti, namun konsekuensinya ia akan melakukan aktivitas menyuapkan nasi tersebut sendirian. Dan, kebiasaan buruk dirinya adalah selalu memindahkan makanan berada di kotak bekal miliknya pada kotak bekal milik teman-temannya—meminta tolong untuk bantu habiskan karena kapasitas perut yang sudah penuh. Lalu, alasan utama lainnya adalah karena jam istirahat kedua nanti akan ia pakai untuk bermain bola bersama teman-teman kelas IPA lain yang sudah direncanakan.

Beruntung Jaya sempat memotret tiap-tiap kalimat di papan tulis sebelum dihapus, sehingga Jaya tak perlu susah payah mengartikan tulisan dari teman sebangkunya—Rakha—yang ditulis terburu-buru, asal menulis agar cepat selesai. Bahkan, Jaya sendiri berani menjamin Rakha akan kesusahan sendiri ketika membaca ulang saat di rumah nanti. Itu pun apabila Rakha membaca ulang. Jika tidak, ya, berarti Rakha tak akan begitu memedulikan hasil coretannya.

Waktu terus berjalan. Kepala Jaya sesekali mendongak untuk melihat kehadiran jam di dinding depan kelas, ketika jarum panjang itu menunjukkan pukul sembilan empat puluh, kedua mata Jaya spontan terbelalak. Jari-jemarinya makin tak beraturan dalam menulis, untung saja itu menjadi kalimat terakhir yang perlu ia keluarkan sisa-sisa tenaganya. Bersamaan dengan titik terakhir yang baru Jaya tuliskan, helaan napas lega mulai terdengar menandakan pekerjaan laki-laki itu telah sepenuhnya selesai. Walaupun hasil tulisannya akhirnya tak jauh berbeda dengan hasil tulisan Rakha—tidak rapi-rapi amat, namun untuk sekadar ia baca dan artikan sendiri masih mengerti. Apabila orang lain yang baca, Jaya tak akan berpikir orang tersebut mampu membacanya dengan benar.

Buku catatan dengan sampul coklat muda itu ia tutup, dimasukkan kembali ke dalam tas dan tidak lupa menyimpan satu bolpoin dengan tip-x ke tempat pensil. Jaya tidak ingin bolpoinnya kembali hilang ketika laki-laki itu tak sengaja menggeletakkan di atas meja. Terhitung sudah lima bolpoin milik Jaya hilang dalam satu bulan ini. Angka tertinggi dalam sejarah Jaya kehilangan bolpoin. Biasanya sang tersangka utama yang sering menghilangkan bolpoin miliknya adalah Harri, lalu kandidat kedua ditempati oleh Nakula—teman kelasnya. Padahal Jaya sudah sering mewanti-wanti untuk meletakkan kembali ke kolong bangku Jaya, namun sepertinya titahan dari Jaya tak mampu menembus ke dalam indra pendengaran kedua laki-laki itu. Bukan karena Jaya pelit, tetapi Jaya sudah lelah sendiri harus terus-menerus kehilangan barang yang sama, dan mengorbankan uang jajannya untuk membeli barang tersebut kesekia kalinya.

Jaya bangkit, merenggangkan sedikit otot pinggang sebelum akhirnya meraih bekal makan siang dan segera menyusul teman-temannya di kantin. Sesekali Jaya melirik jam, memastikan masih tersisa waktu untuk Jaya habiskan bekal makan siang ini. Sehingga, untuk istirahat kedua nanti bisa Jaya pakai bermain bola.

Akan tetapi, ketika hendak melangkah mendekati meja di ujung sana, kedua kaki Jaya tiba-tiba berhenti. Laki-laki itu menyangkal saraf motorik, pun menyangkal pesan dari otaknya untuk segera bergabung ke meja sana dengan mereka. Sepuluh detik Jaya terdiam di tempat, dan hanya dalam kurun waktu tersebut kini laki-laki itu telah memutar badan dan berjalan kembali menuju kelas. Sepertinya untuk istirahat kali ini Jaya akan menghabiskan bekal makan siang itu di dalam kelas saja. Jaya lebih baik menikmati nasi serta suwiran ayam kecap bersama dengan teman-teman kelas, dibandingkan harus bergabung bersama mereka dengan pemandangan yang enggan untuk Jaya saksikan.

Berbicara mengapa pada akhirnya Jaya kembali ke kelas, sebab ketika kedua kaki Jaya hampir mendekati meja mereka, dari jauh samar-samar Jaya melihat kehadiran seorang gadis yang tengah asyik tertawa dengan salah satu temannya—entahlah untuk sekadar Jaya sebut namanya saja rasanya sangat malas. Laki-laki itu adalah laki-laki dengan terang-terangan mendekati seorang gadis yang beberapa hari terakhir absen berinteraksi dengannya—Yolan.

“Tai, kenapa juga harus ada dia,” gerutu Jaya di sela-sela perjalanan menuju kelas.

Sesampainya di kelas, Jaya bersyukur karena masih menemukan keberadaan beberapa rekan kelasnya masih duduk melingkar di depan kelas. Kotak bekal mereka belum sepenuhnya habis, artinya Jaya masih memiliki kesempatan untuk bergabung dengan mereka.

Jaya meletakkan kotak makan, lalu disusul olehnya yang ikut duduk di lantai yang cukup dingin. Jaya membuka makan siangnya, meraih satu tisu untuk membersihkan sendok sebelum benda tersebut menyendokkan sesuap nasi yang akan ia masukkan ke dalam mulut.

“Tumben maneh nggak makan di kantin, Jay,” kata Rio—sang ketua kelas sebelas IPA empat.

Heeh, lagi males aing di sana rame pisan.” Jaya tersenyum miris, menyuapkan satu sendok nasi ke dalam mulut dengan ogah-ogahan. Selera makannya mendadak hilang. Padahal cacing-cacing di perutnya saat Jaya menulis tadi sudah bernyanyi dengan lantang. Kini, ke mana keberadaan cacing-cacing tersebut? Apakah cacing-cacing bak berdemo itu hilang bersamaan dengan hatinya yang mendadak terasa bergejolak?

Jaya terlalu bodoh untuk menyadari perasaannya. Apa yang ia rasakan tidak sama dengan apa yang ia ucapkan. Entah benar-benar bodoh atau berusaha menyangkal semua perasaan itu.

“Yo, maneh tau nggak, sih, si Abi sama Deni?” kata Ilyas memulai perbincangan, sekaligus menemani kegiatan makan siang mereka agar tak terlalu hening.

Heeh, tau. Kenapa emang, Yas?”

“Itu, anying. Mereka, kan, sekarang musuhan.”

Rio membulatkan mulut. “Sumpah? Tau dari mana maneh, Yas? Musuhan gara-gara apa ceunah?

Aing denger dari barudak badminton, katanya gara-gara cewek.”

Obrolan itu menjadi salah satu obrolan paling menarik di telinga Jaya. Diam-diam ia membuka lebar-lebar kedua telinganya, ingin ikut mendengar namun tak ingin memperlihatkan dirinya yang terang-terangan sedang penasaran. Ia sampai-sampai berusaha menyamarkan obrolan lain yang tak begitu penting. Tak tahu karena sumber obrolan itu dekat dengan posisinya berada atau karena topik yang sedang mereka angkat telah mengalihkan sepenuhnya perhatian Jaya. Bahkan, sampai-sampai ia mengabaikan notifikasi ponselnya yang sedari tadi terus bergetar dari dalam saku celana.

“Eh, urang juga denger desas-desus itu. Padahal Abi sama Deni sohib pisan, tapi gara-gara cewek mereka kayak udah nggak saling kenal,” kata Hasan tiba-tiba ikut menimbrung obrolan Rio dan Ilyas.

“Kenapa bisa? Main belakang apa gimana?” tanya Rio penasaran.

“Nggak, Yo. Gosipnya mah Abi lagi deket sama si cewek itu, eh Deni diem-diem deket juga sama cewek yang Abi taksir,” jelas Ilyas. “Terus ketauanlah dan akhirnya mereka adu omong, dan udah nggak pernah keliatan nongkrong bareng lagi.”

Dari ujung mata Jaya bisa lihat Rio tengah mengerutkan dahinya. “Tapi, mereka nggak saling tau, kan?”

Ilyas mengangguk. “Heeh, dari gosipnya, sih, si Abi-nya nggak terus terang kalau suka sama itu cewek.”

Nakula mengembuskan napas. “Yaudah, kalau gitu mah salah dua-duanya kata aing. Coba aja mereka jujur, nggak akan berakhir deketin cewek yang sama,” kata Nakula ikut bersuara setelah mencoba berdiam diri untuk menikmati sisa-sisa suapan terakhir bekal makan siangnya. “Menurut aing jujur soal perasaan ke temen deket mah nggak masalah, sih, malah bagus. Biar wanti-wanti hal gituan bakalan terulang, soalnya sayang kalau sampe buat pertemanan hancur mah.”

Mereka yang berada di sana serempak menganggukkan kepala, menyetujui dengan kalimat dari Nakula.

Merasa ada yang memperhatikan, lantas Ilyas menoleh. “Maneh kenal nggak, Jay, sama si Abi Deni?” tanya Ilyas dibalas gelengan cepat oleh Jaya.

Bertepatan dengan itu, mereka melanjutkan obrolan dengan berbagai topik yang herannya terus-menerus mengalir tanpa henti. Sementara Jaya sudah tak menyimpan perhatian pada obrolan mereka. Ia sibuk bergelut dengan pikirannya sendiri. Bahkan, Jaya sempat mengabaikan keberadaan nasi yang tinggal menyisakan beberapa suapan terakhir.

Kalimat terakhir dari Nakula itu sukses telah menusuk hatinya.

Dan, anehnya, mengapa ketika melihat adegan di kantin tadi ia justru merasa kepanasan sendiri? Padahal ia sendiri kerap menyangkal semua pernyataan yang mengatakan bahwa ia mulai menaruh hati untuk gadis itu. Lalu, mengapa rasanya saat gadis itu mulai tak mengirimkan pesan—atau walau hanya sebatas membalas stori Instagram—rasanya, seperti ia merasa kehilangan?


Puspas Niskala Universe

by NAAMER1CAN0


https://open.spotify.com/track/1RyqmamAZTAB9WSZpX4S3f?si=2ff6ac23fdde40aa


Rasanya sangat asing ketika ia membawa langkahnya menyusuri tiap jalanan dengan langit masih berwarna hitam pekat. Dinginnya pagi itu benar-benar terasa sampai menembus kulit. Ketika angin datang, laki-laki itu merapatkan ritsleting jaketnya—tak membiarkan sedikit pun angin pagi itu akan membuat tubuhnya tumbang.

Harri sangat was-was lantaran jalanan yang sedang ia lewati ini hanya diberikan oleh lampu-lampu di beberapa titik saja, itu pun keadaan lampunya sudah sangat remang. Beruntung, Harri masih diberikan cahaya lainnya oleh bulan di atas sana yang setia menemani Harri melewati jalanan cukup sepi ini.

Langkah Harri tergontai dengan kedua tangan sengaja disembunyikan di saku jaket—tengah membungkus tubuhnya. Helaan napas lagi-lagi keluar dari bibir Harri. Harri hanya bisa tersenyum simpul saat perkataan dari orang yang selalu Harri anggap segalanya sudah menyayat hatinya. Sekalipun perkataan itu terlontar dengan kesadaran di batas ambang. Namun, rasa sakit yang menghantam dadanya, pun bagaimana perkataan itu terlontar justru masih tertinggal di kepala dan hati Harri.

Sia teu baleg pisan jadi lanceuk, téh! Cenah rék ngabantuan urang ngajagaan adi-adi sia, tapi sia sorangan anu ingkar kana janji!

“Lo nggak becus banget jadi kakak, tuh! Katanya mau bantuin Bapa ngejagain adek-adek lo, tapi lo sendiri yang ingkar sama janji!”

Sia.

Sia.

Sia.

Untuk pertama kalinya, kata yang biasa ia ucapkan kepada teman-teman sebayanya kini terlontar dari bibir sang kepala keluarga. Kata tersebut adalah kata yang selama ini ia takuti akan keluar dari bibir Papa Asep. Kata tersebut adalah kata yang selama ini ia hindari untuk mendengar langsung dari bibir orang paling diseganinya.

Namun, hari ini, segala ketakutan itu justru mendatanginya tanpa permisi.

Bagai disambar petir, ketika kalimat itu terucap begitu saja, tubuh Harri langsung membeku. Ia masih ingat betul dengan tiap-tiap kejadian yang berada di dalam rumahnya. Bahkan, hal-hal yang tak disangka-sangka pun ikut hadir. Orang yang selama ini Harri hormati, hampir melemparkan remote televisi yang ikut tergeletak di bawah lantai bersama kepingan kaca televisi yang telah hancur melebur kepadanya. Beruntung, malam itu Tuhan langsung mengirimkan perempuan amat disayanginya yang datang dan membantu menepis barang sialan tersebut dari tangan Papa Asep. Harri tak tahu, apabila satu detik saja Tuhan telat mengirimkan malaikat tak bersayap, mungkin barang itu akan menjadi salah satu barang paling ia benci setelah laptop.

Untuk pertama kalinya, air yang selama ini selalu berhenti di pelupuk mata, mengalir begitu saja melewati kedua pipi sehingga membuat Harri tak bisa menatap jelas objek apa yang berada di hadapannya.

Untuk pertama kalinya, malam itu, ia menangis di depan mata sang kepala keluarga.

Untuk pertama kalinya, malam itu, ia selalu berpikir apa yang kurang dari dirinya sampai setiap hal masih terlihat salah di mata sang kepala keluarga?

Pun, untuk pertama kalinya, pagi itu, Harri meninggalkan sejuta kenangan di dalam rumah dengan pergi tanpa arah. Pergi tanpa satu patah kata yang terucap. Pergi tanpa menatap dan mencium kening ketiga adiknya.

Pagi itu, rasa emosi menyelimuti dirinya sampai-sampai Harri tak diperkenankan untuk berpikir jernih. Harri tak diperkenankan untuk menghalau segala permasalahan yang selama ia anggap akan berakhir baik-baik saja.

Setiap orang pasti memiliki titik terendahnya masing-masing. Baginya, mendapatkan sesuatu kata bahkan kalimat yang tak seharusnya ia dengar dari mulut orang tua adalah salah satu kesedihan yang sulit untuk dilupakan.

Papa Asep yang selalu berucap lemah lembut, yang selalu mengajarkan dirinya untuk bertutur kata yang baik dan sopan kepada siapa pun, yang tak segan akan memarahi dan memberikan berbagai kalimat nasihat, seketika hilang dan tergantikan oleh Papa Asep yang kasar.

Bahkan, Harri tak pernah sekali pun mendengar Papa Asep berucap kalimat serupa pada teman-teman sebayanya. Papa Asep adalah salah satu wujud laki-laki yang selalu menjadi panutan untuknya.

Dan, untuk pertama kalinya pula, malam itu, segala rasa hormat kepada sang kepala keluarga seketika hilang—mengalir bersamaan dengan tetesan air mata yang telah terjatuh dari kedua matanya.

Merasa kedua kakinya terasa pegal, akhirnya Harri lebih memilih untuk duduk pada salah satu batu besar dengan kondisi jalanan dilalui oleh beberapa kendaraan. Harri tak berani untuk sekadar beristirahat dalam keadaan sepi, sebab perkataan Papa Asep untuk selalu waspada di mana pun berada terus terngiang-ngiang di dalam kepala.

Tenggorokannya telah mengering. Peluh keringat sudah menghiasi dahi Harri. Kemudian, tak lama keberadaan keringat itu seketika hilang lantaran angin tiba-tiba datang dan membawa keringat tersebut dengan sukarela.

Namun sayang, angin tak bisa membawa pula segala hal buruk dalam kepala Harri.

Harri merogoh ponsel, mencari sebuah kontak untuk ia kirimkan beberapa pesan atas perasaan sedang dirasakannya saat ini. Selama jari-jari itu bergerak liar di atas layar ponsel, Harri hanya bisa memasang wajah tersenyum memaksakan. Bagaimana sekuat-kuatnya ia berusaha tersenyum, hal itu selaras dengan tusukan-tusukan mengenai hatinya.

Harri tak benci Papanya. Tidak. Harri hanya benci mengapa tadi malam ia tak bisa melarang kedua adiknya dalam bermain bola di dalam rumah. Harri hanya benci mengapa tadi malam ia sebaiknya tak mengungkapkan apa yang sedang dibutuhkannya. Harri hanya benci mengapa ia tak bisa mencegah Mama Iis dalam mempercayai satu hal yang sama sekali belum terbukti benar atau tidaknya.

Ironisnya, hal yang tak sepatutnya Harri sesali justru membuat laki-laki itu terus-menerus menyalahkan dirinya sendiri. Terus-menerus dihantui oleh kesalahan ini, dan kesalahan itu.

Lagipula, tak semua hal bisa ia cegah.

Tak selamanya hidup dapat berjalan sesuai rencana. Harri cukup sadar berapa pun tawa yang telah ia lantunkan, pasti akan ada kesedihan dan tangisan di kemudian hari. Sebab, hidup itu akan selalu seimbang antara kesenangan dan kesedihan. Makin banyak rasa senang yang ia dapatkan, maka makin banyak pula rasa sedih kemungkinan datang mendatangi hidupnya. Dan kini, Harri percaya akan hal itu.

Selepas pesan-pesan itu ia kirimkan pada salah satu temannya. Harri kemudian mematikan data seluler yang dapat diakses oleh aplikasi tersebut. Harri ingin tenang mencari angin sampai semuanya kembali seperti semula.

Harri menyugar rambut, terdiam beberapa saat untuk ia pikirkan tempat akan didatanginya. Bodoh rasanya ketika sedang berada salam situasi ini, Harri sampai melupakan membawa buku-buku pelajaran, baju ganti, bahkan kendaraan yang biasa ia pakai. Sebab, Harri berpikir dengan membawa segala barang tersebut justru akan menyadarkan mereka bahwa ia benar-benar pergi untuk sementara waktu. Meskipun ia sendiri meninggalkan beberapa kata untuk Mama dan Papanya.

Berbicara tentang mengapa Harri bahkan tak membawa kendaraannya, ia berpikir untuk sekadar membuka garasi lalu menyalakan mesin—membuka gerbang lebar-lebar, takut membuat orang-orang di rumah terbangun dengan kebisingan yang dibuatnya. Sehingga, pada akhirnya Harri memilih untuk keluar tak membawa apa pun kecuali barang-barang berharga. Sebab, Harri masih bisa berpikir jernih untuk hidup di luar sana nanti.


Harri berdiri di depan gerbang murah sangat familier sebab ia sering kali bertemu gerbang tersebut hampir setiap hari. Bahkan, diibaratkan gerbang itu bisa berbicara, mungkin ia akan mengucapkan betapa bosan terus bertemu dengannya tak henti. Dan, saat itu pula mungkin Harri akan menjawabnya dengan tawa renyah.

Senyum Harri mengembang setelah kedua matanya menangkap sebuah postur dari gadis yang dicintainya sedang mengeluarkan motor dari garasi rumah. Harri tak beranjak sedikit pun dari tempatnya walau gadis itu perlahan berjalan mendekati gerbang rumah, kemudian sesaat kemudian Harri bisa lihat raut keterkejutan yang tercetak gelas pada wajah gadis itu.

“Isel.”

Fara terdiam di tempat dengan mulut menganga. “Harri?! Kan jadwal hari ini bukan jadwal kamu jemput aku?!” Fara mendorong gerbang rumah, membuka lebar-lebar sekaligus mempersilakan Harri untuk masuk.

“Kenapa kamu pake baju kayak ginian?” Kepala Fara kemudian celingak-celinguk seakan sedang mencari sesuatu barang yang hilang. “Motor kamu mana?”

“Grisel....”

Ketika mendengar panggilan kedua kalinya dari laki-laki itu disertai sorot mata terlihat kosong, Fara hanya bisa menepis segala hal buruk yang sempat mengisi pikirannya.

“Kenap—”

Kalimat Fara belum sepenuhnya terucap, namun sebuah rangkulan tiba-tiba saja hinggap pada tubuhnya. Apabila Fara tak segera menyeimbangkan tubuhnya, mungkin detik itu juga mereka berdua terjatuh secara bersamaan.

Pikiran Fara kalut. Berbagai pertanyaan terus-menerus datang tanpa mendapatkan jawaban yang diinginkan. Melalui rangkulan itu, Fara sadar bahwa laki-laki dalam pelukannya saat ini sedang tak baik-baik saja.

Fara tersenyum. Gadis itu meneduhkan tatapannya dengan elusan tangan tak henti diberikan pada punggung Harri. Pada detik berikutnya, elusan tersebut Fara ganti dengan tepukkan pelan. Tepukkan yang biasa Ayah Yudhis berikan ketika Fara sedang rindu dengan mendiang Ibunya.

“Soal rumah, ya?” tebak Fara kemudian dibalas anggukkan oleh Harri.

Fara tak tahu sebesar apa permasalahan itu, yang pasti ini adalah pertama kalinya Harri langsung mengeluarkan air mata ketika pelukan tersebut Fara dapatkan. Fara hanya bisa menerka-nerka apa yang telah terjadi. Fara berpikir bahwa permasalahan kali ini lebih besar dari permasalahan-permasalahan sebelumnya. Sebab, bahu Harri terus bergetar sampai kedua telinga Fara dapat mendengar jelas isakkan tersebut. Isakkan tangis memilukan yang tanpa sadar telah membuat dadanya ikut sesak pula.

Sekuat apa dia selama ini sampai-sampai tangisan itu terdengar memilukan? Sekuat apa dia selama ini sampai-sampai tubuhnya merosok dengan kepala menunduk seakan tak berani untuk sekadar berbagi pilu lewat tatapan mata untuknya. Sekuat apa dia selama ini sampai-sampai hari ini terlihat hari yang dia nantikan untuk datang.

Mau tak mau Fara pun ikut berjongkok, menyejajarkan tubuh miliknya dengan tubuh laki-laki itu. “Jangan duduk di sini, Yang, kotor!” Fara berusaha menarik kedua lengan Harri, walaupun usaha itu berakhir sia-sia karena Harri menginginkan hal sebaliknya. “Ayo masuk, Yang, nggak ada Ayah, kok di dalem! Cuman ada Bibi aja!”

Tanpa harus diberitahu keberadaan sang kepala keluarga pun Harri telah menyadarinya lebih dulu ketika ia menginjakkan kaki di depan gerbang dan tak melihat tanda-tanda keberadaan mobil Ayah Yudhis berada. Maka dari itu, Harri menyimpulkan bahwa beliau memang benar-benar tak berada di rumah.

“Nggak mau, malu muka aku lagi nangis.”

“Ya, nggak apa-apa. Emang kalau aku liat muka kamu lagi nangis kenapa? Nggak semua hal wajar yang sering kita lakuin itu jadi sumber rasa malu buat kamu!”

“Jangan liat mata aku dulu.”

Fara kembali berusaha meraih kedua lengan Harri dengan tatapan terarah pada objek di sampingnya sesuai dengan permintaan laki-laki itu untuk tak menatap wajah—terutama matanya.

“Iya! Aku nggak akan liat mata kamu, ini aku lagi liat pohon di rumah aku!”

Harri mendongakkan kepala. Seulas senyuman terbit di bibir manis laki-laki itu ketika melihat Fara tengah memandang asal pada tiap-tiap sumber hijauan di halaman rumah itu.

Harri berdiri, menopang beban tubuh menggunakan kedua kaki yang masih terasa lemas. Terima kasih kepada kekasihnya yang sigap membantu tubuh Harri untuk masuk ke dalam kediaman Fara.

“Bi! Maaf mau tolong ambilin air minum, ya!” teriak Fara saat kedua kaki miliknya telah melewati batas pintu rumah. Keduanya kini sedang berjalan menuju sofa, lalu mendudukkan Harri di sana dengan kedua mata memejam—masih menepati janji untuk tak menatap mata laki-laki itu.

“Udah, buka aja mata kamu.”

Fara membuka mata persis di hadapan wajah Harri. “Ya, nggak di depan muka aku banget! Aku kaget sendiri!” amuk Harri dikejutkan dengan kedua bola mata yang telah membulat menatap dirinya tanpa aba-aba.

Fara menarik kepalanya dari sana, kemudian gadis itu terkekeh sembari mendudukkan diri di sebelah Harri.

“Aku abis dimarahin Papa.”

Fara yang semula tengah tertawa sontak membungkam mulut saat Harri mulai menceritakan alasan di balik tangisan memilukan tadi. Fara membiarkan Harri bercerita tanpa berniat untuk ia interupsi barang sejenak. Mempersilakan Harri mengambil pusat perhatiannya kali ini. Mempersilakan suara bariton laki-laki itu memenuhi indra pendengarannya. Fara selalu siap untuk mendengarkan tanpa pernah akan merasa bosan.

“Mereka berdua berantem gara-gara aku abis minta barang yang dari awal seharusnya nggak aku minta.”

“Mama Iis baru kena tipu sampe buat tabungan Papa Asep sisa dikit.”

Mata Fara melotot. Gadis itu tampak akan mengeluarkan suaranya, namun segera diurungkan setelah melihat Harri akan kembali melanjutkan ucapannya.

Kepala Harri menunduk. “Aku di-sia-sia-in sama Papa gara-gara suatu hal yang nggak bisa aku jelasin ke kamu.” Salah satu ujung bibir Harri ditarik seolah sedang tersenyum secara terpaksa. “Maaf.”

Fara manggut-manggut. Telapak tangannya kembali meraih punggung Harri untuk ia berikan usapan-usapan kecil.

Aku nggak mau cerita soal beratnya jadi seorang sulung ke kamu, ketika kamu sebentar lagi ada kemungkinan bakalan jadi seorang kakak, Sel. Aku nggak mau buat kamu takut jadi seorang kakak. Aku yang terlalu lebay aja belum bisa jadi kakak yang baik, makanya lagi-lagi masalah kayak gini terus terjadi sama aku.

Menyadari Harri telah kembali bungkam membuat Fara memberanikan diri untuk bertanya. “Jadi, itu alesan kamu kabur dari rumah, Yang?” tanya Fara hati-hati, takut menyinggung perasaan Harri.

Harri menggeleng cepat. “Aku nggak kabur! Aku cuman keluar cari angin aja!” sanggah Harri bersungut-sungut. “Aku sakit hati banget dikasarin sama Papa, Sel. Aku belum pernah sama sekali Papa ngomong sekasar itu. Ya, walaupun aku tau diri kalau aku kasar. Tapi, kalau dikasarin orang tua itu rasanya aneh banget. Aku nggak suka....”

Fara menepuk punggung Harri, menggenggam telapak tangan laki-laki itu yang sibuk memainkan jari jemarinya.

“Aku kadang suka mikir aku terlalu lebay apa gimana baru dikasih masalah kayak gini aja sampe nangis, aku malu sama dunia. Aku seharusnya liatin sisi ceria aku ke dunia, bukan sisi lemahnya aku, Yang.”

“Hush, nggak boleh ngomong kayak gitu. Setiap orang yang hidup di muka bumi ini berhak memvalidasi perasaan mereka sendiri, berhak buat nangis sekenceng-kencengnya. Bukan cuman orang, bahkan makhluk hidup kayak hewan aja mereka bisa nangis. Tangisan—air mata yang keluar itu bukan tolak ukur seseorang lemah atau enggaknya. Itu adalah salah satu bentuk cara mengekspresikan diri, karena dengan kalimat mungkin rasa emosional di hatinya itu belum tentu bisa tersampaikan dengan baik. Kamu nggak boleh berpikiran kayak gitu lagi!”

Harri mencermati tiap-tiap untaian kata yang disusun menjadi tiap kalimat mampu menusuk sekaligus menenangkan dirinya. Sorot mata dipenuhi rasa sedih itu kemudian menatap balik kedua mata Fara.

“Aku nggak suka kalau kamu selalu berpikir, kalau kamu nangis itu salah. Itu enggak sama sekali salah Harri! Sekuat-kuatnya orang pun pasti pernah nangis.” Fara menghela napasnya sejenak. “Aku nggak suka kamu keluar rumah kayak gini…, aku tau pasti susah banget kalau kamu terus ada di rumah waktu semuanya lagi nggak baik-baik aja. Tapi, apa dengan kamu keluar gini semua masalah di rumah bakalan selesai?” Fara menatap kedua bola mata Harri sembari meraih salah satu tangan laki-laki itu. “Jawabannya enggak, Harri. Yang ada, tanpa kamu sadari, dengan kamu keluar gini malah nambah permasalahan yang nggak kamu tau.”

“Tapi, Sel—”

Genggaman Fara pada tangan Harri menguat. Gadis itu tak lupa memberi elusan kecil untuk menenangkan Harri.

“Aku tau kamu butuh waktu sendiri, tapi nggak harus dengan cara kabur, Harri. Kamu bisa diem di kamar dan kunci pintu. Kamu bisa pergi dan nginep di rumah temen kamu. Asal jangan keluar. Papa, Mama, Adik-adik kamu pasti khawatir banget, Harri. Gimana kalau misalnya dengan kamu keluar waktu ada masalah gini malah dicontoh adik-adik kamu nanti?” tanya Fara lembut, meneduhkan sorot matanya.

Harri menggeleng pelan. “Nggak mau….”

“Kadang adik-adik tuh nyontoh sikap dan sifat kakaknya. Aku cuman takut secara nggak sadar, kamu buat mereka ngelakuin hal sama persis yang kamu lakuin sekarang.”

Bersamaan dengan Fara tak sengaja melihat jam di dinding, Bibi pun datang dengan satu gelas air di atas nampan. “Kamu minum dulu.” Fara meraih gelas tersebut dan segera menyerahkan pada Harri. Setelah menangis, kadang membuat tenggorokannya pasti mengering. Pun, Fara tau laki-laki itu pasti sudah kelelahan terlihat dari cara berdiri dan berjalan pun sedikit berbeda dari biasanya. “Kamu mau sekolah nggak?”

Harri menggeleng di tengah-tengah kegiatan meneguk air minum.

“Udah bikin surat?”

Harri menjawab pertanyaan itu dengan menganggukan kepala, mengiakan.

Fara tak bertanya lagi, melainkan gadis itu berlari ke luar rumah membuat Harri yang masih asyik menikmati satu gelas air berakhir bertanya-tanya. Namun, baru saja Harri ingin bangkit untuk menyusul Fara, tiba-tiba Fara kembali dengan satu kotak makan berada di tangannya.

“Harri!” teriak Fara, berlari kecil menghampiri Harri yang terduduk di sofa dengan wajah keheranan. “Aku tadi masak nasi goreng buat bekel makan siang kita—aku sengaja bawain buat kamu. Tapi, karena kamu nggak akan sekolah, jadi kamu makan aja sekarang, ya!” Fara menyerahkan satu kotak makan itu.

Harri menatap bekal kotak makan siang itu sekilas, sebelum kembali menatap kedua bola mata Fara. “Terus bekel kamu?”

Fara menepuk pundak Harri sebanyak dua kali dengan penuh kasih sayang. “Kamu tenang! Bekel aku ada di motor!” tunjuk Fara menuju pintu—menujuk kendaraan yang terparkir di luar sana.

Harri mengulas sebuah senyuman seraya meraih kotak makan itu. “Makasih, Sel. Kamu hati-hati, ya, berangkat sekolahnya. Jangan ngebut, liat spion kalau mau belok. Jaketnya disleting yang rapet. Terus nanti kalau temen-temen aku nanya, kamu jawab nggak tau, ya.” Harri mengusap rambut Fara, kemudian diakhiri dengan menepuk pelan pada puncak kepala gadis itu.

“Iya siap!” jawab Fara sembari memberikan gestur hormat dengan senyuman lebar, sampai-sampai Harri bisa melihat jelas deretan gigi kekasihnya.

Harri menengok ke arah jam, lalu berdiri. “Ya udah cepet berangkat, Sel, takut nanti kesiangan.”

Mata Fara menyipit, dengan garis-garis halus telah memenuhi dahinya. “Kamu mau ke mana?” tanya Fara heran sebab Harri tiba-tiba berdiri, seolah akan segera keluar dari kediamannya.

“Ke...luar?” jawab Harri ragu-ragu.

Fara menggeleng cepat, mendorong tubuh Harri sampai laki-laki itu kembali terduduk di sofa. “Nggak boleh! Kamu diem aja di sini sampe aku pulang sekolah! Kamu nanti tidur di kamar tamu, nanti aku bilang Bibi buat bersihin! Jangan ke mana-mana sampe aku pulang! Nanti aku beliin kamu mi ayam pulangnya!”

Rentetan kalimat yang terus-menerus keluar dari bibir Fara membuat tawa Harri melantun.

“Harri kamu denger nggak tadi aku bilang apa!” Fara kembali bertanya sembari menghadang tubuh Harri.

“Iyaaaa, Grisel, aku denger.”

“Nanti kalau mau mandi, mandi aja, ya. Nanti aku suruh Bibi kasih kaos Ayah yang udah kecil buat kamu.”

Harri lagi-lagi mengangguk seraya memberikan senyuman terbaiknya. “Iya. Ya udah, gih, kamu berangkat.”

Harri bukan bermaksud mengusir kehadiran Fara, hanya saja waktu telah menunjukkan hampir pukul enam pagi. Harri hanya takut apabila Fara akan terlambat datang ke sekolah. Mengingat hari ini adalah hari Jum'at.

“Aku berangkat, ya. Setelah pulang sekolah aku bakalan langsung pulang cepet!”

Namun sayangnya, harapan Fara untuk bertemu Harri selepas pulang sekolah hanya sebatas angan-angan. Setelah bergulat dengan segudang mata pelajaran dan tugas-tugas di sekolah, Fara pulang disambut oleh keheningan. Tak ada Harri di sana sesuai dengan pesannya tadi pagi. Bahkan, sandal yang dipakai laki-laki itu pun telah lenyap di depan teras rumah. Awalnya Fara berpikir bahwa sandal Harri akan disimpan di dalam rumah. Akan tetapi, ternyata lenyapnya sandal itu bersamaan dengan lenyapnya Harri di dalam rumah.

Sia-sia Fara yang sudah terburu pulang dan membelikan satu bungkus mi ayam. Sebab, kehadiran Harri sudah tak di sana lagi.

Neng... tadi Harri nitipin surat ini ke Bibi,” ucap Bibi dari arah belakang kemudian berjalan menghampiri Fara yang terduduk lemas di sofa. Bibi menyerahkan satu lembar surat.

Dengan penuh perasaan campur aduk, Fara mulai membuka surat itu dan membacanya dalam diam.

“Harri....”


Kolase Asmara Universe

by NAAMER1CAN0


https://open.spotify.com/track/6xeqCawPZngDVqw2W2aGaR?si=4a424a26e1324658


Bentakan-bentakan kecil tak bisa lepas begitu saja dengan cepat dalam isi kepala Harri. Bentakan sekecil apa pun memungkinkan menjadi salah satu penghuni terlama di hati, meninggalkan bekas yang sulit untuk ia halau sendiri.

Tetapi, bentakan kecil yang diberikan oleh orang paling disegani di dalam rumah apakah sama dengan bentakan yang mungkin tak sengaja ia berikan untuk mereka? Apakah mereka dapat merasakan rasa sakit yang sama? Rasa sakit yang berakhir membuat kedua kakinya melangkah tak tahu arah. Melangkah dan terus melangkah sampai-sampai tak tahu di mana ia saat ini berada. Melangkah mengikuti setiap angin berembus. Melangkah mengikuti air mengalir. Dan melangkah mengikuti burung-burung beterbangan riang tanpa arah yang pasti.

Terkadang Harri merasa iri dengan keberadaan sang burung di atas sana yang selalu riang beterbangan tanpa perlu khawatir akan tersesat. Ketika sedang merasa gundah, mereka akan beterbang. Mengepakkan sayap, membiarkan tubuh mereka diterjang kerasnya embusan angin.

Bagaimanapun, tindakan dirinya saat ini tetap salah. Tak seharusnya ia berlari dan meninggalkan rumah tanpa satu patah kata yang terucap. Benar kata kekasihnya, dengan ia memilih jalan seperti ini justru secara tidak sadar bahwa ia telah memberi contoh hal yang salah kepada tiga adiknya di rumah. Bodoh. Harri sangat bodoh. Susah payah ia menjadi sosok kakak yang berusaha untuk selalu melindungi para adiknya—menjadi garda terdepan di setiap masalah, namun hari ini ia justru telah mengacaukan dengan dalih emosi sesaat yang tumbuh—dan membiarkan emosi tersebut mengontrol dirinya.

Tak seharusnya ia mengedepankan rasa egois ketika di belakang sana banyak orang-orang yang bergantung padanya. Apabila bisa memutar kembali waktu, mungkin Harri dengan lantang menginginkan sejak dini hari itu ia lebih memilih tidur di kamar dengan segala perasaan gundah dibandingkan pergi berkelana tanpa arah dan menciptakan permasalahan baru.

Apalagi yang perlu ia cari kala berawal dari kaki itu melangkah sampai berhenti, potongan-potongan kejadian tersebut masih melekat jelas di dalam kepala. Jika angin tak bisa ikut membawa segala ingatan perihal kejadian telah membuatnya kecewa, lalu apalagi yang harus ia jadikan opsi lain? Apakah opsi tersebut tidak jauh lebih baik dengan ia membawa kedua kakinya untuk kembali pulang pada rumah yang selalu ia elu-elukan pada semua orang?

Sebab, Harri selalu berpikir bahwa permasalahan yang datang berawal dari rumah, akan terselesaikan di rumah pula. Sehitam-hitamnya keadaan rumah dalam pandangannya sendiri, akan terdapat ruang tersendiri untuk dirinya memandang bangunan itu seperti dilapisi emas pada setiap sisinya. Satu permasalahan yang datang menghampirinya tidak akan membuat seluruh pandangan Harri terhadap keluarga sepenuhnya tertutup. Bagaimanapun, keluarganya adalah rumah terbaik sepanjang masa yang Harri punya.

Pun, Harri selalu berpikir selelah-lelahnya ia mendapatkan title sebagai kakak tertua, akan jauh lebih lelah kedua orang tua yang sudah merawat ia beserta ketiga adiknya sedari kecil. Untuk menjaga dan menjadi garda terdepan bagi ketiga adiknya seharusnya tidak semelelahkan itu.

Harri menarik napas panjang. Jemari laki-laki itu mencengkeram erat tas berwarna abu yang telah ia pinjam dari kekasihnya. Harri tatap sejenak bangunan yang tak terlalu megah di depan, sebelum akhirnya Harri memutuskan untuk melangkah melewati gerbang yang menjadi saksi utama atas kepergian dirinya sejak pagi hari itu.

Satu hal yang Harri rasakan ketika kedua kakinya sudah berada persis di depan pintu, ia tak bisa mendengar keributan yang biasa selalu bantu menghangatkan rumah mereka. Entah keributan dari kedua adik kembar yang saling merengek karena menolak untuk disuruh tidur, keributan dari Papa Asep dengan si kembar saling berebut saluran televisi, atau keributan teriakan dari Kaila karena diganggu si kembar ketika sedang belajar. Harri tertawa kecil, bahkan kenangan-kenangan seperti itu yang akan selalu ia rindukan. Bagaimana ia mampu meninggalkan rumahnya ini dengan semudah itu?

Ah, berbicara perihal televisi, mungkin benda itu masih rusak sehingga ia tak dapat mendengar sedikit pun siaran televisi seperti biasanya. Pun, ketika Harri tak sengaja menangkap jam pada pergelangan tangan, Harri sendiri disadarkan oleh waktu yag telah menunjukkan malam hari. Pantas saja kediamannya sunyi, sebab mungkin mereka telah berlarut dalam tidurnya masing-masing.

Agar tak membangunkan seisi rumah atas kedatangannya yang tak tahu malu ini—datang dan pergi sesuka hati—Harri mendorong pelan-pelan pintu di hadapannya. Setelah pintu terbuka, Harri tak langsung masuk, melainkan laki-laki itu membuka sepatunya terlebih dahulu dan menjinjing untuk disimpan di atas rak sepatu.

Betapa terkejutnya Harri ketika pintu itu sudah sepenuhnya ia buka, sebuah teriakan pun kedatangan seseorang langsung menyergap kedatangannya.

Aa!”

Dan, ya, teriakan tersebut berasal dari ketiga adiknya beserta Mama Iis. Mereka berempat berbondong-bondong memeluk tubuh Harri. Bahkan, mereka tak mengizinkan Harri untuk menyapa barang sejenak.

Harri tak begitu memikirkan sepatunya yang terjatuh. Bila lantai rumahnya kotor, ia sendiri akan membersihkannya.

Mendengar isakan tangis begitu memilukan dan saling bersahutan, secara tak sadar membuat air mata Harri mengalir tanpa diduga-duga. Harri merengkuh erat tubuh Mama Iis yang berkali-kali mengatakan permohonan maaf dan mengatakan betapa rindunya perempuan tersebut kepadanya.

Meskipun pandangan Harri mengabur, tetapi ia masih bisa lihat jelas sosok Papa Asep yang berdiri di depan sana tanpa berniat menghampirinya. Walau dengan pandangan tak begitu jelas, Harri menyadari tatapan dari Papa Asep menyorotkan kekhawatiran begitu mendalam.

Mau tahu rasa sakit yang menusuk relung hati dan tak bisa disembuhkan oleh semua hal yang ada di muka bumi ini? Yaitu jawabannya ketika Papa Asep berniat mendekati Harri namun laki-laki itu justru menundukkan wajah dan bersembunyi di ceruk leher Mama Iis dengan tangan berusaha melindungi kepalanya. Jangan tanyakan seberapa hancur perasaan Papa Asep malam itu. Papa Asep sangat jarang memperlihatkan tangisan kepada anak-anaknya. Namun malam itu, air mata Papa Asep mengalir bersamaan dengan rasa penyesalan yang sudah tak bisa ia hindari.

Apa yang sudah Papa Asep perbuat sampai-sampai memberikan rasa trauma dan ketakutan dari putra kesayangannya. Rasanya Papa Asep ingin sekali mengembalikan waktu untuk memperbaiki sedari awal. Sebab Papa Asep tahu, jika sudah begini, untuk mendapatkan kepercayaan dari putra sulungnya mungkin akan sulit atau bahkan tak bisa mengembalikan seperti sedia kala.

Tubuh Papa Asep merosot, berlutut di lantai dengan kepala menunduk—menutupi wajahnya sedang menangis.

Mama Iis mengendurkan pelukan, meraih wajah Harri dan mengusap air mata yang mengalir pada pipi putra sulungnya. “Aa ke mana aja kasep? Mama kangen Aa, Aa makan nggak? Aa tidur di mana?” Tak peduli dengan air mata yang terus mengalir bahkan sudah terjatuh membasahi bagian depan baju tidurnya, Mama Iis hanya ingin melepaskan segala rindu dengan Harri yang sudah pergi tanpa memberi kabar.

Pertanyaan-pertanyaan itu terus diucapkan Mama Iis tanpa berniat untuk Harri jawab. Sebab apabila boleh jujur, ia sendiri tak kuasa untuk menjawab rentetan pertanyaan itu. Harri ingin kejadian kemarin dianggap menjadi kejadian selewat yang tak perlu dipikirkan. Harri pun malu sendiri ketika harus mengingatnya.

Di depan sana, Harri bisa lihat Papa Asep yang masih setia berlutut di lantai. Tak berniat bangkit lantaran masih menyesal dengan perbuatan yang sudah membuat putra sulungnya pergi tak tahu arah.

“Maafin Mama, ya, Aa….”

Apabila sebelumnya Harri berpikir bahwa kejadian ini seratus persen karena ulahnya yang terlalu egois untuk mencari kesenangan sendiri. Maka, lain dengan Mama Iis yang beranggapan bahwa permasalahan ini memang murni atas keteledorannya. Mama Iis terlalu mudah menyimpan rasa percaya pada orang lain sampai-sampai dirinya berakhir tertipu.

Harri menggelengkan kepala. “Udah, Ma, udah. Ini bukan salah Mama, emang Aa juga salah nggak liat situasi.” Harri mengelus punggung Mama Iis dengan beraturan. “Lain kali kalau ada apa-apa jangan lupa langsung bilang Aa atau Papa, ya, Ma. Mama jangan nutup-nutupin sendiri kayak kemaren. Aa sedih liatnya.”

Mama Iis tersenyum seraya mengangguk. Tangan Mama Iis bergerak menyugar rambut Harri yang sedikit basah karena keringat.

Aa, Aa jangan pergi-pergi lagi… Kaila sedih banget kalau nggak ada Aa di rumah. Maafin Kaila kalau selama ini Kaila bandel, tapi jangan pergi tinggalin Kaila sendiri lagi, ya.”

Tangis Harri kembali pecah ketika mendengar ucapan yang sukses menyayat hatinya. Ingatan Harri kembali pada saat hari di mana kedua orang tuanya bertengkar hebat dan Kaila mengucapkan sebuah kalimat yang tak diduga-duga akan dikatakan oleh seorang anak SD.

Aa, kalau misalnya nanti Papa sama Mama beneran pisah. Kaila mau ikut sama Aa, ya. Kaila nggak mau ikut Papa atau Mama. Kaila pengen ikut Aa aja. Kaila nggak mau kepisah sama Aa.”

Tubuh Harri merosot, berlutut menggunakan kedua kaki yang ditekuk dan segera memeluk tubuh Kaila erat-erat. “Aa nggak akan pergi lagi, Aa ada di sini, ya, geulis, ya, bageur. Maafin Aa kemarin udah ninggalin Ila sendirian.” Harri mencium puncak kepala Kaila, menenangkan si kecil dari tangisan yang belum terlihat tanda-tanda akan segera berhenti.

Pandangan Harri kemudian tertuju pada si kembar—sibuk memeluk dari belakang punggung Harri. Tak berselang dari situ Harri dibuat tertawa kecil lantaran Aariz yang jarang sekali menangis di hadapan Harri, kini si bungsu tak malu untuk memperlihatkan tangisannya.

Hidung yang memerah dengan bibir mengerucut. Seharusnya Harri merasa iba. Namun anehnya Harri justru menangkap pemandangan itu sangat lucu.

“Kenapa si kembar belum pada tidur, Ma?”

Mama Iis menghapus jejak air mata di kedua pipi Aarash dan Aariz yang telah mengering. “Tadi Papa bilang katanya Aa mau pulang, jadinya si kembar bangun lagi terus mau nungguin Aa barengan di ruang tengah,” sahut Mama Iis sembari tersenyum, seakan masih tak percaya dengan kehadiran Harri di depannya.

Harri hampir saja lupa akan keberadaan sang kepala keluarga di depan sana.

Harri memutuskan pandangan dari Papa Asep, memandang si kembar dengan senyuman begitu manis dari sebelumnya. “Hayu tidur lagi, kasep, besok sekolah, kan?”

Mereka berdua menggelengkan kepala kompak. “Nggak mau, takut kalau Aarash tidur nanti Aa keluar lagi dari rumah,” kata Aarash lengkap dengan raut cemberut, masih teringat jelas keberadaan si sulung yang tiba-tiba menghilang.

Bagai sedang dilempar ribuan batu-batuan, hati Harri mencelus. Laki-laki itu merasakan nyeri di bagian dada bersamaan dengan kalimat yang selesai diucapkan Aarash.

Harri tersenyum kecil dan menggeleng pelan. Kedua tangannya terbuka untuk merangkul Aarash dan Aariz. “Nggak, bageur. Aa bakalan ada di rumah terus, nggak akan keluar cari angin lagi!” timpal Harri berusaha meyakinkan.

Ketika Harri bergerak ke kanan dan ke kiri—memeluk si kembar penuh kasih sayang, tiba-tiba saja telinga Harri mendengar suara yang berasal dari dalam tas. Sontak Harri langsung melepaskan rangkulan.

“Ma!” panggil Harri dengan sedikit nada seperti berteriak. “Aa tadi nggak sengaja ketemu tukang parabot serba lima ribu terus beli ini!” Harri melepaskan tas, menariknya ke pangkuan dan mulai membuka ritsleting perlahan. “Aa beli tempat makan buat Kaila, Aarash, Aariz, beli baskom kecil, sama beli gelas kecil buat Papa minum!” Barang-barang tersebut Harri keluarkan secara satu per satu sembari menyusunnya di atas lantai, mempersilakan Mama Iis untuk melihat langsung dengan barang telah dibelinya.

Lagi-lagi tetesan air dari mata Mama Iis terjatuh. Mama Iis terburu menghapus sebelum Harri akan melihatnya. Mama Iis dibuat tersentuh akan perlakuan si sulung yang masih sempat-sempatnya memikirkan penghuni rumah di saat dia sendiri berada dalam keadaan yang tidak sedang baik-baik saja.

“Semuanya berapa Aa? Nanti Mama ganti, ya, uangnya.”

Kepala Harri menggeleng cepat. “Nggak usah, Ma! Aa emang mau beliin aja buat kalian!” balas Harri, menolak akan kalimat dari Mama Iis yang mengatakan akan mengganti uangnya.

Harri tak berbohong, ia membeli barang-barang itu memang atas kemauannya sendiri. Harri masih ingat dengan keluhan si kecil yang mengatakan tempat makannya sudah tak bisa menutup sempurna. Pun, dari keluhan Papa Asep mengenai perlu mengganti gelas kaca dengan gelas plastik agar si kembar tak akan memecahkan kembali ketika membawanya.

“Makasih, ya, Aa kasep.”

Harri mengangguk riang, membuat sedikit rambut-rambutnya ikut bergerak naik dan turun.

Aa udah makan? Aa lagi mau makan apa kasep? Mama masakin bentar, ya?”

“Nggak usah, Ma. Kalau Aa boleh minta, Aa mau mi kuah pake telur aja boleh nggak?”

“Boleh, Aa. Mama buatin, ya, Aa jangan ke mana-mana.”

Jangan ke mana-mana. Baru kali ini Harri benci mendengarkan kalimat tersebut.

Aarash mau ikut bantuin masakin mi buat Aa Harri!”

Aariz juga!”

Kaila menyeka air mata yang tersisa di pelupuk mata. “Aa, Ila juga mau ikut ke dapur, ya.” Harri mengangguk mempersilakan Kaila untuk ikut bergabung bersama mereka yang sudah lebih dulu memasuki dapur.

Harri menghela napas panjang. Matanya menatap Papa Asep masih berlutut di atas lantai yang terasa sangat dingin lantaran waktu sudah hampir menunjukkan pukul sebelas malam.

Harri berjalan pelan-pelan menuju Papa Asep berada. “Pa,” panggil Harri tak kunjung mendapatkan balasan dari sang kepala keluarga.

Papa Asep sebenarnya mendengar jelas panggilan itu, namun ia terlalu enggan untuk sekadar mendongakkan kepala dan menjawab panggilan tersebut.

“Papa.”

Akhirnya, pada panggilan kedua pun Papa Asep berhasil menatap balik kedua bola mata Harri setelah semua keberanian sudah Papa Asep kumpulkan.

“Pa—”

Sayangnya, belum sempat Harri mengucapkan maksud kalimat tersebut sampai akhir, akan tetapi Papa Asep lebih dulu memotongnya dan membuat Harri mau tak mau memilih untuk kembali bungkam.

Aa,” panggil Papa Asep dengan tatapan kembali mengabur. “Papa minta maaf, ya, Aa. Papa nggak bermaksud buat Aa sakit hati sama perkataan dan tingkah laku Papa.” Papa Asep menjeda sedikit kalimatnya untuk mengais udara dalam-dalam. “Maaf kalau selama ini Papa masih belum bisa jadi Papa yang baik buat Aa dan adik-adik Aa.”

Tangis Papa Asep kembali pecah. Untuk pertama kali Harri melihat Papa Asep menangis sambil berlutut. Memohon-mohon untuk dimaafkan segala kesalahan yang telah diperbuat dan telah memberikan goresan luka di hati Harri.

Harri menggeleng cepat, ikut berlutut dan mendekap tubuh Papa Asep. “Nggak! Papa udah jadi Papa terbaik buat Aa dan adik-adik Aa! Aa emang masih sakit hati sama omongan Papa, tapi jangan khawatir nanti juga Aa bakalan lupa sendiri!”

“Tapi, Aa—”

“Pa, Aa emang kecewa sama Papa. Tapi bukan berarti Papa gagal. Papa justru berhasil ngedidik Aa dan adik-adik Aa buat jadi orang yang bertanggungjawab. Tapi, maaf, Pa, buat kali ini Aa ngelanggar dan malah lari dari masalah. Aa terlalu egois buat diri sendiri, maafin Aa, ya, Pa.”

Aa nggak salah, Papa yang salah. Papa salah nggak bisa ngontrol emosi Papa sampe akhirnya tanpa sadar Papa ngebentak dan ngucapin kata-kata yang nggak seharusnya Papa ucapin ke Aa.”

Harri mengangguk selaras dengan tangan masih sibuk mengeratkan pelukan pada tubuh Papa Asep. Rasanya sangat jarang ia dapat memberikan atau merasakan pelukan hangat dari Papa Asep. Dirinya terlalu gengsi untuk sekadar memeluk tubuh Papa Asep.

Papa Asep melepaskan pelukan, mencengkeram erat bahu Harri dan memberikan senyuman.

Aa kasep, atos rengse bageur milarian anginna?

“Aa ganteng, udah selesai nyari anginnya?”

Harri tersenyum dan mengangguk.

Kumaha? Atos puas teu acan milarian anginna ayeuna? Atanapi masih hoyong milarian deui angin anu sanes?

“Gimana? Udah puas belum nyari anginnya sekarang? Atau masih mau nyari lagi angin yang lain?”

Masih dengan senyuman terpancar pada wajah laki-laki itu, Harri kembali mengangguk. “Atos, Papa. Aa atos puas milarian anginna.

“Udah, Papa. Harri udah puas nyari anginnya.”

Papa Asep mengulas sebuah senyuman selaras dengan tangan yang memgusap bahu Harri.

Janteun, angin mana anu paling Aa resep? Angin di Bandung atanapi angin di Sumedang?

“Jadi, angin mana yang paling Aa suka? Angin di Bandung atau angin di Sumedang?”

Harri menggerakkan sedikit kaki yang terlipat ke belakang, sekadar menggoyangkan kecil agar tak merasa pegal.

“Ternyata kesimpulan yang udah Aa dapet dari hasil berkelana, yaitu sebaik-baiknya angin yang udah Aa cari, masih nyamanan angin di kamar Aa,” sahut Harri. “Angin dari kipas angin Aa di kamar lebih nyegerin dan lebih bisa bantu hal berisik di kepala Aa ilang gitu aja,” tambah Harri dengan senyuman masih tercipta jelas pada wajah tampan laki-laki berkelahiran bulan Juni itu.

Harri menggaruk belakang kepala. “Oh iya, Pa—” Harri sedikit memberikan jeda pada ucapannya buat Papa Asep yang mendengar kalimat itu terheran. “Aa bawa oleh-oleh dari kegiatan beberapa hari ini Aa berkelana nyari angin dari Bandung sampe Sumedang.”

Tatapan Papa Asep masih setia menyelami bola mata Harri. Diam-diam Papa Asep tersenyum sebab ketika melihat wajah tampan putra sulungnya, Papa Asep teringat seperti kembali pada zaman saat muda dulu. Seperti sedang berkaca lantaran saking miripnya wajah Harri dengan wajah miliknya yang sudah sedikit tercipta keriputan. Rambut hitam lurus, bola mata berwarna hitam, hidung bangir, dan tata cara bagaimana laki-laki itu berucap persis seperti dirinya dahulu. Hanya saja, Harri memiliki jiwa sosialisasi dan keberanian lebih besar dari Papa Asep dulu ketika berada di bangku yang sama.

“Hadiah dari kegiatan berkelana kemaren yaitu.. Aa bawa angin-angin itu di sini.” Tangan Harri bergerak untuk menepuk pundak. Kemudian diakhiri dengan tawa renyah.

Papa Asep ikut terkekeh mendengar guyonan tersebut. “Nanti Papa kerokin Aa, Papa bakalan bantu usir oleh-oleh yang nggak sengaja Aa bawa waktu Aa sibuk nyari angin di luar.”

Harri mengangguk cepat. “Ok!” jawab Harri lantang dengan memberikan gestur hormat.

Baik Harri maupun Papa Asep masih setia pada posisinya—berlutut di atas lantai tanpa beralaskan apa pun. Dingin yang bermula hanya terasa pada kaki mereka, secara tiba-tiba justru membuat suasana di tengah-tengah mereka ikut dingin pula. Tak ada obrolan lagi. Hanya ada keheningan dan kecanggungan. Harri dan Papa Asep seolah enggan untuk beranjak—takut hal tersebut akan meciptakan perhatian dari salah satu mereka.

Anjir suku aing singsiremeun kieu?! Ieu si Babe iraha rek nantungna, nya.

“Kaki gue kesemutan gini?! Ini Babe kapan mau berdirinya, ya.”

Harri berkali-kali menelan ludah, jakun laki-laki itu bergerak turun dan naik. Ada sedikit keraguan dalam dirinya untuk mengajak Papa Asep berbincang. Harri menyesal, kejadian paling membodohkan itu justru berakhir membuat Papa Asep sedikit menjaga jarak dengannya.

“Papa,” panggil Harri lagi.

Papa Asep menoleh, memperlihatkan raut penuh tanya atas panggilan yang baru saja diucapkan Harri. Papa Asep hanya bisa setia menunggu sampai Harri akan kembali melanjutkan kalimatnya.

“Boleh nggak nanti kalau Mama selesai buatin mi, Aa mau minta Papa buat suapin Aa?”

Kerutan di dahi Papa Asep berangsur hilang dengan penjelasan dari Harri yang mengatakan permintaan akan laki-laki itu minta untuk dimanjakan malam hari ini. Papa Asep lantas bersemangat mengiakan, Papa Asep berharap dengan perlakuan itu bisa membuat hubungannya bersama Harri akan kembali seperti dulu.

Aa! Mi nya udah selesai Mama masak! Aa mau makan di mana?!

Harri terkekeh mendengar teriakan yang melengking dari dapur. Harri beranjak sembari menjawab pertanyaan dari Mama Iis yang ikut teriak pula. “Aa makan di ruang tengah, Ma! Nanti disuapin Papa!”

Harri melirik Papa Asep. “Iya, kan, Pa?” tanya Harri memastikan, takut apabila Papa Asep sewaktu-waktu akan menarik janji tersebut.

Papa Asep mengangguk mengiakan.

Satu yang bisa Harri jadikan pembelajaran yaitu untuk tidak melakukan segala sesuatu ketika emosi dirinya sedang tidak stabil. Nalarnya seakan buntu, tak bisa memikirkan hal-hal buruk yang akan terjadi saat ia sudah memilih jalan sesuai keinginannya saat itu.

Sekecewa apa pun ia terhadap Papa Asep, namun Papa Asep adalah Papa terbaik sepanjang masa baginya.

Satu kesalahan yang telah diperbuat Papa Asep, tak mampu melenyapkan segala kebaikan yang sudah dilakukan sang kepala keluarga tersebut.

Sebaik-baiknya manusia, pasti pernah melakukan kesalahan. Yang membedakannya, apakah dari kesalahan itu bisa diambil pelajaran atau justru mengulang untuk kesekian kali.

Hari ini, hari Minggu pukul setengah dua belas malam, Harri menutup rasa kecewa dan membuang seluruh jiwa ego yang sempat mengontrol dirinya. Malam ini, perihal rasa sedih, rasa sakit, dan rasa kecewa sudah Harri kubur dalam-dalam. Harri tak perlu susah payah memikirkan hal buruk ketika kenyatannya ia justru tengah dikelilingi hal-hal baik dan kebahagiaan yang tak bisa diukur oleh apa pun.

Harri kembali menangis. Kali ini bukan karena sepenggal memori saat itu, melainkan menangis penuh haru saat dirinya tersadar berada di situasi sedang disuapi mi kuah oleh Papa Asep dan ditemani Mama Iis beserta ketiga adiknya di ruang tengah.

Ketika Harri sibuk membuka mulut dan mengunyah, ketiga adiknya sibuk bercerita. Bahkan, televisi yang sempat dinyalakan Kaila kini sama sekali tak diindahkan keberadaannya. Jika televisi bisa berbicara mungkin barang itu akan merajuk, merajuk karena di antara keenam orang di sana tak ada satu pun yang melirik ke arahnya.

Omong-omong perihal televisi Harri tak tahu sejak kapan barang tersebut sudah terpasang rapi di tempat semula. Padahal sebelumnya televisi itu tergeletak di lantai dengan serpihan kaca di sekelilingnya. Dan, apabila Harri lihat lebih rinci, televisi itu tampak baru. Ah! setelah mencoba mengingatnya ternyata televisi itu memang sudah diganti sesuai dengan apa yang Papa sebutkan di dalam pesan tadi.

Manis, pahit adalah sebuah bentuk dari penjabaran mengenai keluarga kecilnya. Tak ada keluarga yang sempurna. Termasuk keluarga Harri sendiri. Maka dari itu, mulai hari ini Harri bertekad untuk membuat keluarga kecil itu terasa sempurna. Sempurna karena hanya ada gelak tawa yang mengudara dibandingkan tangisan suara.


Kolase Asmara Universe

by NAAMER1CAN0