MANCING
Jagat Lingga Erlangga Universe
by NAAMER1CAN0
Jagat Lingga Erlangga Universe
by NAAMER1CAN0
Puspas Niskala Universe
by NAAMER1CAN0
Puspas Niskala Universe
by NAAMER1CAN0
Selasa, 09.30
Bel istirahat belum genap satu menit dibunyikan, akan tetapi seluruh murid di dalam kelas sudah berhamburan—tak sabaran keluar dari ruangan penuh kepenatan itu. Bahkan yang lebih parah adalah guru di depan kelas saja belum sepenuhnya keluar kelas. Jaya hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah laku teman-teman kelasnya, entah apa yang sedang mereka perebutkan. Jaya pun hanya bisa berandai-andai bahwa mereka terburu-buru keluar karena tak ingin kehabisan cilok yang selalu menjadi salah satu jajanan memiliki antrean cukup panjang.
“Mau makan sekarang atau nanti istirahat kedua, Daks?”
“Sekarang ajalah, biar istirahat keduanya bisa aing pake buat tidur,” timpal Rakha, seraya membereskan buku-buku berserakan yang telah ia pakai.
Harri beranjak. “Ya udah atuh hayu, takut udah keburu penuh kantinnya.”
Jaya yang terlihat tampak ogah-ogahan itu tak berniat untuk bergegas merapikan barang di atas meja. “Aing nyusul nanti.” Kemudian, laki-laki itu kembali menggoreskan pena di atas buku bergaris—melanjutkan catatan yang belum selesai. Ingin terbebas dari pekerjaan yang belum tuntas. Sebab, ia masih teringat dengan perkataan dari Mama Sumarni yang selalu berpesan untuk selalu menyelesaikan pekerjaan sampai selesai.
Jagat berhenti tepat di samping bangku Jaya, mengangkat bekal makan siangnya seolah berancang-ancang akan ditukarkan dengan bekal makan siang Jaya. “Mau tukeran bekal nggak?” tanya Jagat menawarkan sebelum ia menyusul Harri dan Rakha yang sudah berjalan lebih dulu.
Jaya menggeleng tanpa menolehkan wajah. “Nggak, mama aing sekarang nggak bekelin sayur.”
Jagat manggut-manggut. “Ya udah, kalau gitu saya ke kantin duluan, ya, Jay.”
Anggukkan dari Jaya seakan memberi Jagat lampu hijau untuk bergabung dengan Harri dan Rakha yang mungkin kini sedang berjalan memilih meja mana masih kosong untuk mereka tempati.
Ini semua karena kemalasan Jaya untuk segera memindahkan catatan dari Papan Tulis pada bukunya, hingga saat ini Jaya kewalahan sendiri. Jari-jarinya terasa pegal, namun Jaya sendiri enggan untuk berhenti mengingat waktu terus berjalan. Apabila ia berhenti sebentar, artinya waktu Jaya untuk istirahat pun makin tersisa sedikit.
Untung Jaya sempat memotret tiap-tiap kalimat di depan sana, sehingga Jaya tak perlu susah payah mengartikan tulisan dari teman sebangkunya—Rakha—yang ditulis terburu-buru, asal menulis agar cepat selesai. Bahkan, Jaya sendiri berani menjamin Rakha akan kesusahan sendiri ketika membaca ulang saat di rumah nanti. Itu pun apabila Rakha membaca ulang. Jika tidak, ya, berarti Rakha tak akan begitu memedulikan hasil coretannya.
Jaya bernapas lega ketika menyadari tugasnya telah selesai. Walaupun hasil tulisannya tidak rapi-rapi amat, namun untuk Jaya baca dan artikan sendiri masih mengerti. Apabila orang lain yang baca, Jaya tak akan berpikir orang tersebut mampu membacanya dengan benar.
Buku catatan dengan sampul coklat muda itu Jaya tutup, memasukkan kembali ke dalam tas dan tidak lupa menyimpan satu bolpoin dengan tipp-ex ke tempat pensil. Jaya tidak ingin bolpoinnya kembali hilang ketika laki-laki itu tak sengaja menggeletakkan di atas meja. Terhitung sudah lima bolpoin milik Jaya hilang dalam satu bulan ini. Angka tertinggi dalam sejarah Jaya kehilangan bolpoin. Biasanya sang tersangka utama yang sering menghilangkan bolpoin miliknya adalah Harri, lalu kandidat kedua ditempati oleh Nakula—teman kelasnya. Padahal Jaya sudah sering mewanti-wanti untuk meletakkan kembali ke kolong bangku Jaya, namun sepertinya titahan dari Jaya tak mampu sampai masuk ke dalam indra pendengaran kedua laki-laki itu. Bukan karena Jaya pelit, tetapi Jaya sudah lelah sendiri harus terus-menerus kehilangan barang yang sama.
Jaya bangkit, merenggangkan sedikit otot pinggang sebelum akhirnya meraih bekal makan siang dan segera menyusul mereka di kantin. Sesekali Jaya melirik jam, memastikan masih tersisa waktu untuk Jaya habiskan bekal makan siang ini. Sehingga, untuk istirahat kedua bisa Jaya pakai bermain games dan tidur.
Akan tetapi, langkah Jaya tiba-tiba berhenti. Laki-laki itu menyangkal saraf motorik, pun menyangkal pesan dari otaknya untuk segera bergabung ke meja sana dengan mereka. Hanya butuh waktu sepuluh detik Jaya terdiam di tempat, kini laki-laki itu telah memutar tubuh dan berjalan kembali ke dalam kelas. Sepertinya untuk istirahat kali ini Jaya akan menghabiskan bekal makan siang itu di dalam kelas. Jaya lebih baik menikmati nasi serta suwiran ayam kecap bersama dengan teman-teman kelas, dibandingkan harus bergabung bersama mereka dengan pemandangan yang enggan untuk Jaya saksikan.
Berbicara mengapa pada akhirnya Jaya kembali ke kelas, sebab ketika kedua kaki Jaya hampir mendekati meja mereka, samar-samar dari jauh Jaya melihat kehadiran seorang gadis yang tengah asyik tertawa dengan temannya. Temannya yang entah mengapa untuk sekadar Jaya sebut saja rasanya sangat malas. Laki-laki itu adalah laki-laki yang terang-terangan mendekati seorang gadis yang beberapa hari terakhir tak absen berinteraksi dengannya—Yolan.
“Tai, kenapa juga harus ada mereka.”
Jaya tersenyum miris, menyuapkan satu sendok nasi ke dalam mulut dengan ogah-ogahan. Selera makannya mendadak hilang. Padahal cacing-cacing di perutnya saat Jaya menulis sudah bernyanyi dengan lantang. Kini, ke mana keberadaan cacing-cacing tersebut?
Selasa, 12.15
Puspas Niskala Universe
by NAAMER1CAN0
https://open.spotify.com/track/1RyqmamAZTAB9WSZpX4S3f?si=2ff6ac23fdde40aa
Rasanya sangat asing ketika ia membawa langkahnya menyusuri tiap jalanan dengan langit masih berwarna hitam pekat. Dinginnya pagi itu benar-benar terasa sampai menembus kulit. Ketika angin datang, laki-laki itu merapatkan ritsleting jaketnya—tak membiarkan sedikit pun angin pagi itu akan membuat tubuhnya tumbang.
Harri sangat was-was lantaran jalanan yang sedang ia lewati ini hanya diberikan oleh lampu-lampu di beberapa titik saja, itu pun keadaan lampunya sudah sangat remang. Beruntung, Harri masih diberikan cahaya lainnya oleh bulan di atas sana yang setia menemani Harri melewati jalanan cukup sepi ini.
Langkah Harri tergontai dengan kedua tangan sengaja disembunyikan di saku jaket—tengah membungkus tubuhnya. Helaan napas lagi-lagi keluar dari bibir Harri. Harri hanya bisa tersenyum simpul saat perkataan dari orang yang selalu Harri anggap segalanya sudah menyayat hatinya. Sekalipun perkataan itu terlontar dengan kesadaran di batas ambang. Namun, rasa sakit yang menghantam dadanya, pun bagaimana perkataan itu terlontar justru masih tertinggal di kepala dan hati Harri.
“Sia teu baleg pisan jadi lanceuk, téh! Cenah rék ngabantuan urang ngajagaan adi-adi sia, tapi sia sorangan anu ingkar kana janji!”
“Lo nggak becus banget jadi kakak, tuh! Katanya mau bantuin Bapa ngejagain adek-adek lo, tapi lo sendiri yang ingkar sama janji!”
Sia.
Sia.
Sia.
Untuk pertama kalinya, kata yang biasa ia ucapkan kepada teman-teman sebayanya kini terlontar dari bibir sang kepala keluarga. Kata tersebut adalah kata yang selama ini ia takuti akan keluar dari bibir Papa Asep. Kata tersebut adalah kata yang selama ini ia hindari untuk mendengar langsung dari bibir orang paling diseganinya.
Namun, hari ini, segala ketakutan itu justru mendatanginya tanpa permisi.
Bagai disambar petir, ketika kalimat itu terucap begitu saja, tubuh Harri langsung membeku. Ia masih ingat betul dengan tiap-tiap kejadian yang berada di dalam rumahnya. Bahkan, hal-hal yang tak disangka-sangka pun ikut hadir. Orang yang selama ini Harri hormati, hampir melemparkan remote televisi yang ikut tergeletak di bawah lantai bersama kepingan kaca televisi yang telah hancur melebur kepadanya. Beruntung, malam itu Tuhan langsung mengirimkan perempuan amat disayanginya yang datang dan membantu menepis barang sialan tersebut dari tangan Papa Asep. Harri tak tahu, apabila satu detik saja Tuhan telat mengirimkan malaikat tak bersayap, mungkin barang itu akan menjadi salah satu barang paling ia benci setelah laptop.
Untuk pertama kalinya, air yang selama ini selalu berhenti di pelupuk mata, mengalir begitu saja melewati kedua pipi sehingga membuat Harri tak bisa menatap jelas objek apa yang berada di hadapannya.
Untuk pertama kalinya, malam itu, ia menangis di depan mata sang kepala keluarga.
Untuk pertama kalinya, malam itu, ia selalu berpikir apa yang kurang dari dirinya sampai setiap hal masih terlihat salah di mata sang kepala keluarga?
Pun, untuk pertama kalinya, pagi itu, Harri meninggalkan sejuta kenangan di dalam rumah dengan pergi tanpa arah. Pergi tanpa satu patah kata yang terucap. Pergi tanpa menatap dan mencium kening ketiga adiknya.
Pagi itu, rasa emosi menyelimuti dirinya sampai-sampai Harri tak diperkenankan untuk berpikir jernih. Harri tak diperkenankan untuk menghalau segala permasalahan yang selama ia anggap akan berakhir baik-baik saja.
Setiap orang pasti memiliki titik terendahnya masing-masing. Baginya, mendapatkan sesuatu kata bahkan kalimat yang tak seharusnya ia dengar dari mulut orang tua adalah salah satu kesedihan yang sulit untuk dilupakan.
Papa Asep yang selalu berucap lemah lembut, yang selalu mengajarkan dirinya untuk bertutur kata yang baik dan sopan kepada siapa pun, yang tak segan akan memarahi dan memberikan berbagai kalimat nasihat, seketika hilang dan tergantikan oleh Papa Asep yang kasar.
Bahkan, Harri tak pernah sekali pun mendengar Papa Asep berucap kalimat serupa pada teman-teman sebayanya. Papa Asep adalah salah satu wujud laki-laki yang selalu menjadi panutan untuknya.
Dan, untuk pertama kalinya pula, malam itu, segala rasa hormat kepada sang kepala keluarga seketika hilang—mengalir bersamaan dengan tetesan air mata yang telah terjatuh dari kedua matanya.
Merasa kedua kakinya terasa pegal, akhirnya Harri lebih memilih untuk duduk pada salah satu batu besar dengan kondisi jalanan dilalui oleh beberapa kendaraan. Harri tak berani untuk sekadar beristirahat dalam keadaan sepi, sebab perkataan Papa Asep untuk selalu waspada di mana pun berada terus terngiang-ngiang di dalam kepala.
Tenggorokannya telah mengering. Peluh keringat sudah menghiasi dahi Harri. Kemudian, tak lama keberadaan keringat itu seketika hilang lantaran angin tiba-tiba datang dan membawa keringat tersebut dengan sukarela.
Namun sayang, angin tak bisa membawa pula segala hal buruk dalam kepala Harri.
Harri merogoh ponsel, mencari sebuah kontak untuk ia kirimkan beberapa pesan atas perasaan sedang dirasakannya saat ini. Selama jari-jari itu bergerak liar di atas layar ponsel, Harri hanya bisa memasang wajah tersenyum memaksakan. Bagaimana sekuat-kuatnya ia berusaha tersenyum, hal itu selaras dengan tusukan-tusukan mengenai hatinya.
Harri tak benci Papanya. Tidak. Harri hanya benci mengapa tadi malam ia tak bisa melarang kedua adiknya dalam bermain bola di dalam rumah. Harri hanya benci mengapa tadi malam ia sebaiknya tak mengungkapkan apa yang sedang dibutuhkannya. Harri hanya benci mengapa ia tak bisa mencegah Mama Iis dalam mempercayai satu hal yang sama sekali belum terbukti benar atau tidaknya.
Ironisnya, hal yang tak sepatutnya Harri sesali justru membuat laki-laki itu terus-menerus menyalahkan dirinya sendiri. Terus-menerus dihantui oleh kesalahan ini, dan kesalahan itu.
Lagipula, tak semua hal bisa ia cegah.
Tak selamanya hidup dapat berjalan sesuai rencana. Harri cukup sadar berapa pun tawa yang telah ia lantunkan, pasti akan ada kesedihan dan tangisan di kemudian hari. Sebab, hidup itu akan selalu seimbang antara kesenangan dan kesedihan. Makin banyak rasa senang yang ia dapatkan, maka makin banyak pula rasa sedih kemungkinan datang mendatangi hidupnya. Dan kini, Harri percaya akan hal itu.
Selepas pesan-pesan itu ia kirimkan pada salah satu temannya. Harri kemudian mematikan data seluler yang dapat diakses oleh aplikasi tersebut. Harri ingin tenang mencari angin sampai semuanya kembali seperti semula.
Harri menyugar rambut, terdiam beberapa saat untuk ia pikirkan tempat akan didatanginya. Bodoh rasanya ketika sedang berada salam situasi ini, Harri sampai melupakan membawa buku-buku pelajaran, baju ganti, bahkan kendaraan yang biasa ia pakai. Sebab, Harri berpikir dengan membawa segala barang tersebut justru akan menyadarkan mereka bahwa ia benar-benar pergi untuk sementara waktu. Meskipun ia sendiri meninggalkan beberapa kata untuk Mama dan Papanya.
Berbicara tentang mengapa Harri bahkan tak membawa kendaraannya, ia berpikir untuk sekadar membuka garasi lalu menyalakan mesin—membuka gerbang lebar-lebar, takut membuat orang-orang di rumah terbangun dengan kebisingan yang dibuatnya. Sehingga, pada akhirnya Harri memilih untuk keluar tak membawa apa pun kecuali barang-barang berharga. Sebab, Harri masih bisa berpikir jernih untuk hidup di luar sana nanti.
Harri berdiri di depan gerbang murah sangat familier sebab ia sering kali bertemu gerbang tersebut hampir setiap hari. Bahkan, diibaratkan gerbang itu bisa berbicara, mungkin ia akan mengucapkan betapa bosan terus bertemu dengannya tak henti. Dan, saat itu pula mungkin Harri akan menjawabnya dengan tawa renyah.
Senyum Harri mengembang setelah kedua matanya menangkap sebuah postur dari gadis yang dicintainya sedang mengeluarkan motor dari garasi rumah. Harri tak beranjak sedikit pun dari tempatnya walau gadis itu perlahan berjalan mendekati gerbang rumah, kemudian sesaat kemudian Harri bisa lihat raut keterkejutan yang tercetak gelas pada wajah gadis itu.
“Isel.”
Fara terdiam di tempat dengan mulut menganga. “Harri?! Kan jadwal hari ini bukan jadwal kamu jemput aku?!” Fara mendorong gerbang rumah, membuka lebar-lebar sekaligus mempersilakan Harri untuk masuk.
“Kenapa kamu pake baju kayak ginian?” Kepala Fara kemudian celingak-celinguk seakan sedang mencari sesuatu barang yang hilang. “Motor kamu mana?”
“Grisel....”
Ketika mendengar panggilan kedua kalinya dari laki-laki itu disertai sorot mata terlihat kosong, Fara hanya bisa menepis segala hal buruk yang sempat mengisi pikirannya.
“Kenap—”
Kalimat Fara belum sepenuhnya terucap, namun sebuah rangkulan tiba-tiba saja hinggap pada tubuhnya. Apabila Fara tak segera menyeimbangkan tubuhnya, mungkin detik itu juga mereka berdua terjatuh secara bersamaan.
Pikiran Fara kalut. Berbagai pertanyaan terus-menerus datang tanpa mendapatkan jawaban yang diinginkan. Melalui rangkulan itu, Fara sadar bahwa laki-laki dalam pelukannya saat ini sedang tak baik-baik saja.
Fara tersenyum. Gadis itu meneduhkan tatapannya dengan elusan tangan tak henti diberikan pada punggung Harri. Pada detik berikutnya, elusan tersebut Fara ganti dengan tepukkan pelan. Tepukkan yang biasa Ayah Yudhis berikan ketika Fara sedang rindu dengan mendiang Ibunya.
“Soal rumah, ya?” tebak Fara kemudian dibalas anggukkan oleh Harri.
Fara tak tahu sebesar apa permasalahan itu, yang pasti ini adalah pertama kalinya Harri langsung mengeluarkan air mata ketika pelukan tersebut Fara dapatkan. Fara hanya bisa menerka-nerka apa yang telah terjadi. Fara berpikir bahwa permasalahan kali ini lebih besar dari permasalahan-permasalahan sebelumnya. Sebab, bahu Harri terus bergetar sampai kedua telinga Fara dapat mendengar jelas isakkan tersebut. Isakkan tangis memilukan yang tanpa sadar telah membuat dadanya ikut sesak pula.
Sekuat apa dia selama ini sampai-sampai tangisan itu terdengar memilukan? Sekuat apa dia selama ini sampai-sampai tubuhnya merosok dengan kepala menunduk seakan tak berani untuk sekadar berbagi pilu lewat tatapan mata untuknya. Sekuat apa dia selama ini sampai-sampai hari ini terlihat hari yang dia nantikan untuk datang.
Mau tak mau Fara pun ikut berjongkok, menyejajarkan tubuh miliknya dengan tubuh laki-laki itu. “Jangan duduk di sini, Yang, kotor!” Fara berusaha menarik kedua lengan Harri, walaupun usaha itu berakhir sia-sia karena Harri menginginkan hal sebaliknya. “Ayo masuk, Yang, nggak ada Ayah, kok di dalem! Cuman ada Bibi aja!”
Tanpa harus diberitahu keberadaan sang kepala keluarga pun Harri telah menyadarinya lebih dulu ketika ia menginjakkan kaki di depan gerbang dan tak melihat tanda-tanda keberadaan mobil Ayah Yudhis berada. Maka dari itu, Harri menyimpulkan bahwa beliau memang benar-benar tak berada di rumah.
“Nggak mau, malu muka aku lagi nangis.”
“Ya, nggak apa-apa. Emang kalau aku liat muka kamu lagi nangis kenapa? Nggak semua hal wajar yang sering kita lakuin itu jadi sumber rasa malu buat kamu!”
“Jangan liat mata aku dulu.”
Fara kembali berusaha meraih kedua lengan Harri dengan tatapan terarah pada objek di sampingnya sesuai dengan permintaan laki-laki itu untuk tak menatap wajah—terutama matanya.
“Iya! Aku nggak akan liat mata kamu, ini aku lagi liat pohon di rumah aku!”
Harri mendongakkan kepala. Seulas senyuman terbit di bibir manis laki-laki itu ketika melihat Fara tengah memandang asal pada tiap-tiap sumber hijauan di halaman rumah itu.
Harri berdiri, menopang beban tubuh menggunakan kedua kaki yang masih terasa lemas. Terima kasih kepada kekasihnya yang sigap membantu tubuh Harri untuk masuk ke dalam kediaman Fara.
“Bi! Maaf mau tolong ambilin air minum, ya!” teriak Fara saat kedua kaki miliknya telah melewati batas pintu rumah. Keduanya kini sedang berjalan menuju sofa, lalu mendudukkan Harri di sana dengan kedua mata memejam—masih menepati janji untuk tak menatap mata laki-laki itu.
“Udah, buka aja mata kamu.”
Fara membuka mata persis di hadapan wajah Harri. “Ya, nggak di depan muka aku banget! Aku kaget sendiri!” amuk Harri dikejutkan dengan kedua bola mata yang telah membulat menatap dirinya tanpa aba-aba.
Fara menarik kepalanya dari sana, kemudian gadis itu terkekeh sembari mendudukkan diri di sebelah Harri.
“Aku abis dimarahin Papa.”
Fara yang semula tengah tertawa sontak membungkam mulut saat Harri mulai menceritakan alasan di balik tangisan memilukan tadi. Fara membiarkan Harri bercerita tanpa berniat untuk ia interupsi barang sejenak. Mempersilakan Harri mengambil pusat perhatiannya kali ini. Mempersilakan suara bariton laki-laki itu memenuhi indra pendengarannya. Fara selalu siap untuk mendengarkan tanpa pernah akan merasa bosan.
“Mereka berdua berantem gara-gara aku abis minta barang yang dari awal seharusnya nggak aku minta.”
“Mama Iis baru kena tipu sampe buat tabungan Papa Asep sisa dikit.”
Mata Fara melotot. Gadis itu tampak akan mengeluarkan suaranya, namun segera diurungkan setelah melihat Harri akan kembali melanjutkan ucapannya.
Kepala Harri menunduk. “Aku di-sia-sia-in sama Papa gara-gara suatu hal yang nggak bisa aku jelasin ke kamu.” Salah satu ujung bibir Harri ditarik seolah sedang tersenyum secara terpaksa. “Maaf.”
Fara manggut-manggut. Telapak tangannya kembali meraih punggung Harri untuk ia berikan usapan-usapan kecil.
Aku nggak mau cerita soal beratnya jadi seorang sulung ke kamu, ketika kamu sebentar lagi ada kemungkinan bakalan jadi seorang kakak, Sel. Aku nggak mau buat kamu takut jadi seorang kakak. Aku yang terlalu lebay aja belum bisa jadi kakak yang baik, makanya lagi-lagi masalah kayak gini terus terjadi sama aku.
Menyadari Harri telah kembali bungkam membuat Fara memberanikan diri untuk bertanya. “Jadi, itu alesan kamu kabur dari rumah, Yang?” tanya Fara hati-hati, takut menyinggung perasaan Harri.
Harri menggeleng cepat. “Aku nggak kabur! Aku cuman keluar cari angin aja!” sanggah Harri bersungut-sungut. “Aku sakit hati banget dikasarin sama Papa, Sel. Aku belum pernah sama sekali Papa ngomong sekasar itu. Ya, walaupun aku tau diri kalau aku kasar. Tapi, kalau dikasarin orang tua itu rasanya aneh banget. Aku nggak suka....”
Fara menepuk punggung Harri, menggenggam telapak tangan laki-laki itu yang sibuk memainkan jari jemarinya.
“Aku kadang suka mikir aku terlalu lebay apa gimana baru dikasih masalah kayak gini aja sampe nangis, aku malu sama dunia. Aku seharusnya liatin sisi ceria aku ke dunia, bukan sisi lemahnya aku, Yang.”
“Hush, nggak boleh ngomong kayak gitu. Setiap orang yang hidup di muka bumi ini berhak memvalidasi perasaan mereka sendiri, berhak buat nangis sekenceng-kencengnya. Bukan cuman orang, bahkan makhluk hidup kayak hewan aja mereka bisa nangis. Tangisan—air mata yang keluar itu bukan tolak ukur seseorang lemah atau enggaknya. Itu adalah salah satu bentuk cara mengekspresikan diri, karena dengan kalimat mungkin rasa emosional di hatinya itu belum tentu bisa tersampaikan dengan baik. Kamu nggak boleh berpikiran kayak gitu lagi!”
Harri mencermati tiap-tiap untaian kata yang disusun menjadi tiap kalimat mampu menusuk sekaligus menenangkan dirinya. Sorot mata dipenuhi rasa sedih itu kemudian menatap balik kedua mata Fara.
“Aku nggak suka kalau kamu selalu berpikir, kalau kamu nangis itu salah. Itu enggak sama sekali salah Harri! Sekuat-kuatnya orang pun pasti pernah nangis.” Fara menghela napasnya sejenak. “Aku nggak suka kamu keluar rumah kayak gini…, aku tau pasti susah banget kalau kamu terus ada di rumah waktu semuanya lagi nggak baik-baik aja. Tapi, apa dengan kamu keluar gini semua masalah di rumah bakalan selesai?” Fara menatap kedua bola mata Harri sembari meraih salah satu tangan laki-laki itu. “Jawabannya enggak, Harri. Yang ada, tanpa kamu sadari, dengan kamu keluar gini malah nambah permasalahan yang nggak kamu tau.”
“Tapi, Sel—”
Genggaman Fara pada tangan Harri menguat. Gadis itu tak lupa memberi elusan kecil untuk menenangkan Harri.
“Aku tau kamu butuh waktu sendiri, tapi nggak harus dengan cara kabur, Harri. Kamu bisa diem di kamar dan kunci pintu. Kamu bisa pergi dan nginep di rumah temen kamu. Asal jangan keluar. Papa, Mama, Adik-adik kamu pasti khawatir banget, Harri. Gimana kalau misalnya dengan kamu keluar waktu ada masalah gini malah dicontoh adik-adik kamu nanti?” tanya Fara lembut, meneduhkan sorot matanya.
Harri menggeleng pelan. “Nggak mau….”
“Kadang adik-adik tuh nyontoh sikap dan sifat kakaknya. Aku cuman takut secara nggak sadar, kamu buat mereka ngelakuin hal sama persis yang kamu lakuin sekarang.”
Bersamaan dengan Fara tak sengaja melihat jam di dinding, Bibi pun datang dengan satu gelas air di atas nampan. “Kamu minum dulu.” Fara meraih gelas tersebut dan segera menyerahkan pada Harri. Setelah menangis, kadang membuat tenggorokannya pasti mengering. Pun, Fara tau laki-laki itu pasti sudah kelelahan terlihat dari cara berdiri dan berjalan pun sedikit berbeda dari biasanya. “Kamu mau sekolah nggak?”
Harri menggeleng di tengah-tengah kegiatan meneguk air minum.
“Udah bikin surat?”
Harri menjawab pertanyaan itu dengan menganggukan kepala, mengiakan.
Fara tak bertanya lagi, melainkan gadis itu berlari ke luar rumah membuat Harri yang masih asyik menikmati satu gelas air berakhir bertanya-tanya. Namun, baru saja Harri ingin bangkit untuk menyusul Fara, tiba-tiba Fara kembali dengan satu kotak makan berada di tangannya.
“Harri!” teriak Fara, berlari kecil menghampiri Harri yang terduduk di sofa dengan wajah keheranan. “Aku tadi masak nasi goreng buat bekel makan siang kita—aku sengaja bawain buat kamu. Tapi, karena kamu nggak akan sekolah, jadi kamu makan aja sekarang, ya!” Fara menyerahkan satu kotak makan itu.
Harri menatap bekal kotak makan siang itu sekilas, sebelum kembali menatap kedua bola mata Fara. “Terus bekel kamu?”
Fara menepuk pundak Harri sebanyak dua kali dengan penuh kasih sayang. “Kamu tenang! Bekel aku ada di motor!” tunjuk Fara menuju pintu—menujuk kendaraan yang terparkir di luar sana.
Harri mengulas sebuah senyuman seraya meraih kotak makan itu. “Makasih, Sel. Kamu hati-hati, ya, berangkat sekolahnya. Jangan ngebut, liat spion kalau mau belok. Jaketnya disleting yang rapet. Terus nanti kalau temen-temen aku nanya, kamu jawab nggak tau, ya.” Harri mengusap rambut Fara, kemudian diakhiri dengan menepuk pelan pada puncak kepala gadis itu.
“Iya siap!” jawab Fara sembari memberikan gestur hormat dengan senyuman lebar, sampai-sampai Harri bisa melihat jelas deretan gigi kekasihnya.
Harri menengok ke arah jam, lalu berdiri. “Ya udah cepet berangkat, Sel, takut nanti kesiangan.”
Mata Fara menyipit, dengan garis-garis halus telah memenuhi dahinya. “Kamu mau ke mana?” tanya Fara heran sebab Harri tiba-tiba berdiri, seolah akan segera keluar dari kediamannya.
“Ke...luar?” jawab Harri ragu-ragu.
Fara menggeleng cepat, mendorong tubuh Harri sampai laki-laki itu kembali terduduk di sofa. “Nggak boleh! Kamu diem aja di sini sampe aku pulang sekolah! Kamu nanti tidur di kamar tamu, nanti aku bilang Bibi buat bersihin! Jangan ke mana-mana sampe aku pulang! Nanti aku beliin kamu mi ayam pulangnya!”
Rentetan kalimat yang terus-menerus keluar dari bibir Fara membuat tawa Harri melantun.
“Harri kamu denger nggak tadi aku bilang apa!” Fara kembali bertanya sembari menghadang tubuh Harri.
“Iyaaaa, Grisel, aku denger.”
“Nanti kalau mau mandi, mandi aja, ya. Nanti aku suruh Bibi kasih kaos Ayah yang udah kecil buat kamu.”
Harri lagi-lagi mengangguk seraya memberikan senyuman terbaiknya. “Iya. Ya udah, gih, kamu berangkat.”
Harri bukan bermaksud mengusir kehadiran Fara, hanya saja waktu telah menunjukkan hampir pukul enam pagi. Harri hanya takut apabila Fara akan terlambat datang ke sekolah. Mengingat hari ini adalah hari Jum'at.
“Aku berangkat, ya. Setelah pulang sekolah aku bakalan langsung pulang cepet!”
Namun sayangnya, harapan Fara untuk bertemu Harri selepas pulang sekolah hanya sebatas angan-angan. Setelah bergulat dengan segudang mata pelajaran dan tugas-tugas di sekolah, Fara pulang disambut oleh keheningan. Tak ada Harri di sana sesuai dengan pesannya tadi pagi. Bahkan, sandal yang dipakai laki-laki itu pun telah lenyap di depan teras rumah. Awalnya Fara berpikir bahwa sandal Harri akan disimpan di dalam rumah. Akan tetapi, ternyata lenyapnya sandal itu bersamaan dengan lenyapnya Harri di dalam rumah.
Sia-sia Fara yang sudah terburu pulang dan membelikan satu bungkus mi ayam. Sebab, kehadiran Harri sudah tak di sana lagi.
“Neng... tadi Harri nitipin surat ini ke Bibi,” ucap Bibi dari arah belakang kemudian berjalan menghampiri Fara yang terduduk lemas di sofa. Bibi menyerahkan satu lembar surat.
Dengan penuh perasaan campur aduk, Fara mulai membuka surat itu dan membacanya dalam diam.
“Harri....”
Kolase Asmara Universe
by NAAMER1CAN0
https://open.spotify.com/track/6xeqCawPZngDVqw2W2aGaR?si=4a424a26e1324658
Bentakan-bentakan kecil tak bisa lepas begitu saja dengan cepat dalam isi kepala Harri. Bentakan sekecil apa pun memungkinkan menjadi salah satu penghuni terlama di hati, meninggalkan bekas yang sulit untuk ia halau sendiri.
Tetapi, bentakan kecil yang diberikan oleh orang paling disegani di dalam rumah apakah sama dengan bentakan yang mungkin tak sengaja ia berikan untuk mereka? Apakah mereka dapat merasakan rasa sakit yang sama? Rasa sakit yang berakhir membuat kedua kakinya melangkah tak tahu arah. Melangkah dan terus melangkah sampai-sampai tak tahu di mana ia saat ini berada. Melangkah mengikuti setiap angin berembus. Melangkah mengikuti air mengalir. Dan melangkah mengikuti burung-burung beterbangan riang tanpa arah yang pasti.
Terkadang Harri merasa iri dengan keberadaan sang burung di atas sana yang selalu riang beterbangan tanpa perlu khawatir akan tersesat. Ketika sedang merasa gundah, mereka akan beterbang. Mengepakkan sayap, membiarkan tubuh mereka diterjang kerasnya embusan angin.
Bagaimanapun, tindakan dirinya saat ini tetap salah. Tak seharusnya ia berlari dan meninggalkan rumah tanpa satu patah kata yang terucap. Benar kata kekasihnya, dengan ia memilih jalan seperti ini justru secara tidak sadar bahwa ia telah memberi contoh hal yang salah kepada tiga adiknya di rumah. Bodoh. Harri sangat bodoh. Susah payah ia menjadi sosok kakak yang berusaha untuk selalu melindungi para adiknya—menjadi garda terdepan di setiap masalah, namun hari ini ia justru telah mengacaukan dengan dalih emosi sesaat yang tumbuh—dan membiarkan emosi tersebut mengontrol dirinya.
Tak seharusnya ia mengedepankan rasa egois ketika di belakang sana banyak orang-orang yang bergantung padanya. Apabila bisa memutar kembali waktu, mungkin Harri dengan lantang menginginkan sejak dini hari itu ia lebih memilih tidur di kamar dengan segala perasaan gundah dibandingkan pergi berkelana tanpa arah dan menciptakan permasalahan baru.
Apalagi yang perlu ia cari kala berawal dari kaki itu melangkah sampai berhenti, potongan-potongan kejadian tersebut masih melekat jelas di dalam kepala. Jika angin tak bisa ikut membawa segala ingatan perihal kejadian telah membuatnya kecewa, lalu apalagi yang harus ia jadikan opsi lain? Apakah opsi tersebut tidak jauh lebih baik dengan ia membawa kedua kakinya untuk kembali pulang pada rumah yang selalu ia elu-elukan pada semua orang?
Sebab, Harri selalu berpikir bahwa permasalahan yang datang berawal dari rumah, akan terselesaikan di rumah pula. Sehitam-hitamnya keadaan rumah dalam pandangannya sendiri, akan terdapat ruang tersendiri untuk dirinya memandang bangunan itu seperti dilapisi emas pada setiap sisinya. Satu permasalahan yang datang menghampirinya tidak akan membuat seluruh pandangan Harri terhadap keluarga sepenuhnya tertutup. Bagaimanapun, keluarganya adalah rumah terbaik sepanjang masa yang Harri punya.
Pun, Harri selalu berpikir selelah-lelahnya ia mendapatkan title sebagai kakak tertua, akan jauh lebih lelah kedua orang tua yang sudah merawat ia beserta ketiga adiknya sedari kecil. Untuk menjaga dan menjadi garda terdepan bagi ketiga adiknya seharusnya tidak semelelahkan itu.
Harri menarik napas panjang. Jemari laki-laki itu mencengkeram erat tas berwarna abu yang telah ia pinjam dari kekasihnya. Harri tatap sejenak bangunan yang tak terlalu megah di depan, sebelum akhirnya Harri memutuskan untuk melangkah melewati gerbang yang menjadi saksi utama atas kepergian dirinya sejak pagi hari itu.
Satu hal yang Harri rasakan ketika kedua kakinya sudah berada persis di depan pintu, ia tak bisa mendengar keributan yang biasa selalu bantu menghangatkan rumah mereka. Entah keributan dari kedua adik kembar yang saling merengek karena menolak untuk disuruh tidur, keributan dari Papa Asep dengan si kembar saling berebut saluran televisi, atau keributan teriakan dari Kaila karena diganggu si kembar ketika sedang belajar. Harri tertawa kecil, bahkan kenangan-kenangan seperti itu yang akan selalu ia rindukan. Bagaimana ia mampu meninggalkan rumahnya ini dengan semudah itu?
Ah, berbicara perihal televisi, mungkin benda itu masih rusak sehingga ia tak dapat mendengar sedikit pun siaran televisi seperti biasanya. Pun, ketika Harri tak sengaja menangkap jam pada pergelangan tangan, Harri sendiri disadarkan oleh waktu yag telah menunjukkan malam hari. Pantas saja kediamannya sunyi, sebab mungkin mereka telah berlarut dalam tidurnya masing-masing.
Agar tak membangunkan seisi rumah atas kedatangannya yang tak tahu malu ini—datang dan pergi sesuka hati—Harri mendorong pelan-pelan pintu di hadapannya. Setelah pintu terbuka, Harri tak langsung masuk, melainkan laki-laki itu membuka sepatunya terlebih dahulu dan menjinjing untuk disimpan di atas rak sepatu.
Betapa terkejutnya Harri ketika pintu itu sudah sepenuhnya ia buka, sebuah teriakan pun kedatangan seseorang langsung menyergap kedatangannya.
“Aa!”
Dan, ya, teriakan tersebut berasal dari ketiga adiknya beserta Mama Iis. Mereka berempat berbondong-bondong memeluk tubuh Harri. Bahkan, mereka tak mengizinkan Harri untuk menyapa barang sejenak.
Harri tak begitu memikirkan sepatunya yang terjatuh. Bila lantai rumahnya kotor, ia sendiri akan membersihkannya.
Mendengar isakan tangis begitu memilukan dan saling bersahutan, secara tak sadar membuat air mata Harri mengalir tanpa diduga-duga. Harri merengkuh erat tubuh Mama Iis yang berkali-kali mengatakan permohonan maaf dan mengatakan betapa rindunya perempuan tersebut kepadanya.
Meskipun pandangan Harri mengabur, tetapi ia masih bisa lihat jelas sosok Papa Asep yang berdiri di depan sana tanpa berniat menghampirinya. Walau dengan pandangan tak begitu jelas, Harri menyadari tatapan dari Papa Asep menyorotkan kekhawatiran begitu mendalam.
Mau tahu rasa sakit yang menusuk relung hati dan tak bisa disembuhkan oleh semua hal yang ada di muka bumi ini? Yaitu jawabannya ketika Papa Asep berniat mendekati Harri namun laki-laki itu justru menundukkan wajah dan bersembunyi di ceruk leher Mama Iis dengan tangan berusaha melindungi kepalanya. Jangan tanyakan seberapa hancur perasaan Papa Asep malam itu. Papa Asep sangat jarang memperlihatkan tangisan kepada anak-anaknya. Namun malam itu, air mata Papa Asep mengalir bersamaan dengan rasa penyesalan yang sudah tak bisa ia hindari.
Apa yang sudah Papa Asep perbuat sampai-sampai memberikan rasa trauma dan ketakutan dari putra kesayangannya. Rasanya Papa Asep ingin sekali mengembalikan waktu untuk memperbaiki sedari awal. Sebab Papa Asep tahu, jika sudah begini, untuk mendapatkan kepercayaan dari putra sulungnya mungkin akan sulit atau bahkan tak bisa mengembalikan seperti sedia kala.
Tubuh Papa Asep merosot, berlutut di lantai dengan kepala menunduk—menutupi wajahnya sedang menangis.
Mama Iis mengendurkan pelukan, meraih wajah Harri dan mengusap air mata yang mengalir pada pipi putra sulungnya. “Aa ke mana aja kasep? Mama kangen Aa, Aa makan nggak? Aa tidur di mana?” Tak peduli dengan air mata yang terus mengalir bahkan sudah terjatuh membasahi bagian depan baju tidurnya, Mama Iis hanya ingin melepaskan segala rindu dengan Harri yang sudah pergi tanpa memberi kabar.
Pertanyaan-pertanyaan itu terus diucapkan Mama Iis tanpa berniat untuk Harri jawab. Sebab apabila boleh jujur, ia sendiri tak kuasa untuk menjawab rentetan pertanyaan itu. Harri ingin kejadian kemarin dianggap menjadi kejadian selewat yang tak perlu dipikirkan. Harri pun malu sendiri ketika harus mengingatnya.
Di depan sana, Harri bisa lihat Papa Asep yang masih setia berlutut di lantai. Tak berniat bangkit lantaran masih menyesal dengan perbuatan yang sudah membuat putra sulungnya pergi tak tahu arah.
“Maafin Mama, ya, Aa….”
Apabila sebelumnya Harri berpikir bahwa kejadian ini seratus persen karena ulahnya yang terlalu egois untuk mencari kesenangan sendiri. Maka, lain dengan Mama Iis yang beranggapan bahwa permasalahan ini memang murni atas keteledorannya. Mama Iis terlalu mudah menyimpan rasa percaya pada orang lain sampai-sampai dirinya berakhir tertipu.
Harri menggelengkan kepala. “Udah, Ma, udah. Ini bukan salah Mama, emang Aa juga salah nggak liat situasi.” Harri mengelus punggung Mama Iis dengan beraturan. “Lain kali kalau ada apa-apa jangan lupa langsung bilang Aa atau Papa, ya, Ma. Mama jangan nutup-nutupin sendiri kayak kemaren. Aa sedih liatnya.”
Mama Iis tersenyum seraya mengangguk. Tangan Mama Iis bergerak menyugar rambut Harri yang sedikit basah karena keringat.
“Aa, Aa jangan pergi-pergi lagi… Kaila sedih banget kalau nggak ada Aa di rumah. Maafin Kaila kalau selama ini Kaila bandel, tapi jangan pergi tinggalin Kaila sendiri lagi, ya.”
Tangis Harri kembali pecah ketika mendengar ucapan yang sukses menyayat hatinya. Ingatan Harri kembali pada saat hari di mana kedua orang tuanya bertengkar hebat dan Kaila mengucapkan sebuah kalimat yang tak diduga-duga akan dikatakan oleh seorang anak SD.
“Aa, kalau misalnya nanti Papa sama Mama beneran pisah. Kaila mau ikut sama Aa, ya. Kaila nggak mau ikut Papa atau Mama. Kaila pengen ikut Aa aja. Kaila nggak mau kepisah sama Aa.”
Tubuh Harri merosot, berlutut menggunakan kedua kaki yang ditekuk dan segera memeluk tubuh Kaila erat-erat. “Aa nggak akan pergi lagi, Aa ada di sini, ya, geulis, ya, bageur. Maafin Aa kemarin udah ninggalin Ila sendirian.” Harri mencium puncak kepala Kaila, menenangkan si kecil dari tangisan yang belum terlihat tanda-tanda akan segera berhenti.
Pandangan Harri kemudian tertuju pada si kembar—sibuk memeluk dari belakang punggung Harri. Tak berselang dari situ Harri dibuat tertawa kecil lantaran Aariz yang jarang sekali menangis di hadapan Harri, kini si bungsu tak malu untuk memperlihatkan tangisannya.
Hidung yang memerah dengan bibir mengerucut. Seharusnya Harri merasa iba. Namun anehnya Harri justru menangkap pemandangan itu sangat lucu.
“Kenapa si kembar belum pada tidur, Ma?”
Mama Iis menghapus jejak air mata di kedua pipi Aarash dan Aariz yang telah mengering. “Tadi Papa bilang katanya Aa mau pulang, jadinya si kembar bangun lagi terus mau nungguin Aa barengan di ruang tengah,” sahut Mama Iis sembari tersenyum, seakan masih tak percaya dengan kehadiran Harri di depannya.
Harri hampir saja lupa akan keberadaan sang kepala keluarga di depan sana.
Harri memutuskan pandangan dari Papa Asep, memandang si kembar dengan senyuman begitu manis dari sebelumnya. “Hayu tidur lagi, kasep, besok sekolah, kan?”
Mereka berdua menggelengkan kepala kompak. “Nggak mau, takut kalau Aarash tidur nanti Aa keluar lagi dari rumah,” kata Aarash lengkap dengan raut cemberut, masih teringat jelas keberadaan si sulung yang tiba-tiba menghilang.
Bagai sedang dilempar ribuan batu-batuan, hati Harri mencelus. Laki-laki itu merasakan nyeri di bagian dada bersamaan dengan kalimat yang selesai diucapkan Aarash.
Harri tersenyum kecil dan menggeleng pelan. Kedua tangannya terbuka untuk merangkul Aarash dan Aariz. “Nggak, bageur. Aa bakalan ada di rumah terus, nggak akan keluar cari angin lagi!” timpal Harri berusaha meyakinkan.
Ketika Harri bergerak ke kanan dan ke kiri—memeluk si kembar penuh kasih sayang, tiba-tiba saja telinga Harri mendengar suara yang berasal dari dalam tas. Sontak Harri langsung melepaskan rangkulan.
“Ma!” panggil Harri dengan sedikit nada seperti berteriak. “Aa tadi nggak sengaja ketemu tukang parabot serba lima ribu terus beli ini!” Harri melepaskan tas, menariknya ke pangkuan dan mulai membuka ritsleting perlahan. “Aa beli tempat makan buat Kaila, Aarash, Aariz, beli baskom kecil, sama beli gelas kecil buat Papa minum!” Barang-barang tersebut Harri keluarkan secara satu per satu sembari menyusunnya di atas lantai, mempersilakan Mama Iis untuk melihat langsung dengan barang telah dibelinya.
Lagi-lagi tetesan air dari mata Mama Iis terjatuh. Mama Iis terburu menghapus sebelum Harri akan melihatnya. Mama Iis dibuat tersentuh akan perlakuan si sulung yang masih sempat-sempatnya memikirkan penghuni rumah di saat dia sendiri berada dalam keadaan yang tidak sedang baik-baik saja.
“Semuanya berapa Aa? Nanti Mama ganti, ya, uangnya.”
Kepala Harri menggeleng cepat. “Nggak usah, Ma! Aa emang mau beliin aja buat kalian!” balas Harri, menolak akan kalimat dari Mama Iis yang mengatakan akan mengganti uangnya.
Harri tak berbohong, ia membeli barang-barang itu memang atas kemauannya sendiri. Harri masih ingat dengan keluhan si kecil yang mengatakan tempat makannya sudah tak bisa menutup sempurna. Pun, dari keluhan Papa Asep mengenai perlu mengganti gelas kaca dengan gelas plastik agar si kembar tak akan memecahkan kembali ketika membawanya.
“Makasih, ya, Aa kasep.”
Harri mengangguk riang, membuat sedikit rambut-rambutnya ikut bergerak naik dan turun.
“Aa udah makan? Aa lagi mau makan apa kasep? Mama masakin bentar, ya?”
“Nggak usah, Ma. Kalau Aa boleh minta, Aa mau mi kuah pake telur aja boleh nggak?”
“Boleh, Aa. Mama buatin, ya, Aa jangan ke mana-mana.”
Jangan ke mana-mana. Baru kali ini Harri benci mendengarkan kalimat tersebut.
“Aarash mau ikut bantuin masakin mi buat Aa Harri!”
“Aariz juga!”
Kaila menyeka air mata yang tersisa di pelupuk mata. “Aa, Ila juga mau ikut ke dapur, ya.” Harri mengangguk mempersilakan Kaila untuk ikut bergabung bersama mereka yang sudah lebih dulu memasuki dapur.
Harri menghela napas panjang. Matanya menatap Papa Asep masih berlutut di atas lantai yang terasa sangat dingin lantaran waktu sudah hampir menunjukkan pukul sebelas malam.
Harri berjalan pelan-pelan menuju Papa Asep berada. “Pa,” panggil Harri tak kunjung mendapatkan balasan dari sang kepala keluarga.
Papa Asep sebenarnya mendengar jelas panggilan itu, namun ia terlalu enggan untuk sekadar mendongakkan kepala dan menjawab panggilan tersebut.
“Papa.”
Akhirnya, pada panggilan kedua pun Papa Asep berhasil menatap balik kedua bola mata Harri setelah semua keberanian sudah Papa Asep kumpulkan.
“Pa—”
Sayangnya, belum sempat Harri mengucapkan maksud kalimat tersebut sampai akhir, akan tetapi Papa Asep lebih dulu memotongnya dan membuat Harri mau tak mau memilih untuk kembali bungkam.
“Aa,” panggil Papa Asep dengan tatapan kembali mengabur. “Papa minta maaf, ya, Aa. Papa nggak bermaksud buat Aa sakit hati sama perkataan dan tingkah laku Papa.” Papa Asep menjeda sedikit kalimatnya untuk mengais udara dalam-dalam. “Maaf kalau selama ini Papa masih belum bisa jadi Papa yang baik buat Aa dan adik-adik Aa.”
Tangis Papa Asep kembali pecah. Untuk pertama kali Harri melihat Papa Asep menangis sambil berlutut. Memohon-mohon untuk dimaafkan segala kesalahan yang telah diperbuat dan telah memberikan goresan luka di hati Harri.
Harri menggeleng cepat, ikut berlutut dan mendekap tubuh Papa Asep. “Nggak! Papa udah jadi Papa terbaik buat Aa dan adik-adik Aa! Aa emang masih sakit hati sama omongan Papa, tapi jangan khawatir nanti juga Aa bakalan lupa sendiri!”
“Tapi, Aa—”
“Pa, Aa emang kecewa sama Papa. Tapi bukan berarti Papa gagal. Papa justru berhasil ngedidik Aa dan adik-adik Aa buat jadi orang yang bertanggungjawab. Tapi, maaf, Pa, buat kali ini Aa ngelanggar dan malah lari dari masalah. Aa terlalu egois buat diri sendiri, maafin Aa, ya, Pa.”
“Aa nggak salah, Papa yang salah. Papa salah nggak bisa ngontrol emosi Papa sampe akhirnya tanpa sadar Papa ngebentak dan ngucapin kata-kata yang nggak seharusnya Papa ucapin ke Aa.”
Harri mengangguk selaras dengan tangan masih sibuk mengeratkan pelukan pada tubuh Papa Asep. Rasanya sangat jarang ia dapat memberikan atau merasakan pelukan hangat dari Papa Asep. Dirinya terlalu gengsi untuk sekadar memeluk tubuh Papa Asep.
Papa Asep melepaskan pelukan, mencengkeram erat bahu Harri dan memberikan senyuman.
“Aa kasep, atos rengse bageur milarian anginna?”
“Aa ganteng, udah selesai nyari anginnya?”
Harri tersenyum dan mengangguk.
“Kumaha? Atos puas teu acan milarian anginna ayeuna? Atanapi masih hoyong milarian deui angin anu sanes?”
“Gimana? Udah puas belum nyari anginnya sekarang? Atau masih mau nyari lagi angin yang lain?”
Masih dengan senyuman terpancar pada wajah laki-laki itu, Harri kembali mengangguk. “Atos, Papa. Aa atos puas milarian anginna.”
“Udah, Papa. Harri udah puas nyari anginnya.”
Papa Asep mengulas sebuah senyuman selaras dengan tangan yang memgusap bahu Harri.
“Janteun, angin mana anu paling Aa resep? Angin di Bandung atanapi angin di Sumedang?”
“Jadi, angin mana yang paling Aa suka? Angin di Bandung atau angin di Sumedang?”
Harri menggerakkan sedikit kaki yang terlipat ke belakang, sekadar menggoyangkan kecil agar tak merasa pegal.
“Ternyata kesimpulan yang udah Aa dapet dari hasil berkelana, yaitu sebaik-baiknya angin yang udah Aa cari, masih nyamanan angin di kamar Aa,” sahut Harri. “Angin dari kipas angin Aa di kamar lebih nyegerin dan lebih bisa bantu hal berisik di kepala Aa ilang gitu aja,” tambah Harri dengan senyuman masih tercipta jelas pada wajah tampan laki-laki berkelahiran bulan Juni itu.
Harri menggaruk belakang kepala. “Oh iya, Pa—” Harri sedikit memberikan jeda pada ucapannya buat Papa Asep yang mendengar kalimat itu terheran. “Aa bawa oleh-oleh dari kegiatan beberapa hari ini Aa berkelana nyari angin dari Bandung sampe Sumedang.”
Tatapan Papa Asep masih setia menyelami bola mata Harri. Diam-diam Papa Asep tersenyum sebab ketika melihat wajah tampan putra sulungnya, Papa Asep teringat seperti kembali pada zaman saat muda dulu. Seperti sedang berkaca lantaran saking miripnya wajah Harri dengan wajah miliknya yang sudah sedikit tercipta keriputan. Rambut hitam lurus, bola mata berwarna hitam, hidung bangir, dan tata cara bagaimana laki-laki itu berucap persis seperti dirinya dahulu. Hanya saja, Harri memiliki jiwa sosialisasi dan keberanian lebih besar dari Papa Asep dulu ketika berada di bangku yang sama.
“Hadiah dari kegiatan berkelana kemaren yaitu.. Aa bawa angin-angin itu di sini.” Tangan Harri bergerak untuk menepuk pundak. Kemudian diakhiri dengan tawa renyah.
Papa Asep ikut terkekeh mendengar guyonan tersebut. “Nanti Papa kerokin Aa, Papa bakalan bantu usir oleh-oleh yang nggak sengaja Aa bawa waktu Aa sibuk nyari angin di luar.”
Harri mengangguk cepat. “Ok!” jawab Harri lantang dengan memberikan gestur hormat.
Baik Harri maupun Papa Asep masih setia pada posisinya—berlutut di atas lantai tanpa beralaskan apa pun. Dingin yang bermula hanya terasa pada kaki mereka, secara tiba-tiba justru membuat suasana di tengah-tengah mereka ikut dingin pula. Tak ada obrolan lagi. Hanya ada keheningan dan kecanggungan. Harri dan Papa Asep seolah enggan untuk beranjak—takut hal tersebut akan meciptakan perhatian dari salah satu mereka.
“Anjir suku aing singsiremeun kieu?! Ieu si Babe iraha rek nantungna, nya.”
“Kaki gue kesemutan gini?! Ini Babe kapan mau berdirinya, ya.”
Harri berkali-kali menelan ludah, jakun laki-laki itu bergerak turun dan naik. Ada sedikit keraguan dalam dirinya untuk mengajak Papa Asep berbincang. Harri menyesal, kejadian paling membodohkan itu justru berakhir membuat Papa Asep sedikit menjaga jarak dengannya.
“Papa,” panggil Harri lagi.
Papa Asep menoleh, memperlihatkan raut penuh tanya atas panggilan yang baru saja diucapkan Harri. Papa Asep hanya bisa setia menunggu sampai Harri akan kembali melanjutkan kalimatnya.
“Boleh nggak nanti kalau Mama selesai buatin mi, Aa mau minta Papa buat suapin Aa?”
Kerutan di dahi Papa Asep berangsur hilang dengan penjelasan dari Harri yang mengatakan permintaan akan laki-laki itu minta untuk dimanjakan malam hari ini. Papa Asep lantas bersemangat mengiakan, Papa Asep berharap dengan perlakuan itu bisa membuat hubungannya bersama Harri akan kembali seperti dulu.
“Aa! Mi nya udah selesai Mama masak! Aa mau makan di mana?!”
Harri terkekeh mendengar teriakan yang melengking dari dapur. Harri beranjak sembari menjawab pertanyaan dari Mama Iis yang ikut teriak pula. “Aa makan di ruang tengah, Ma! Nanti disuapin Papa!”
Harri melirik Papa Asep. “Iya, kan, Pa?” tanya Harri memastikan, takut apabila Papa Asep sewaktu-waktu akan menarik janji tersebut.
Papa Asep mengangguk mengiakan.
Satu yang bisa Harri jadikan pembelajaran yaitu untuk tidak melakukan segala sesuatu ketika emosi dirinya sedang tidak stabil. Nalarnya seakan buntu, tak bisa memikirkan hal-hal buruk yang akan terjadi saat ia sudah memilih jalan sesuai keinginannya saat itu.
Sekecewa apa pun ia terhadap Papa Asep, namun Papa Asep adalah Papa terbaik sepanjang masa baginya.
Satu kesalahan yang telah diperbuat Papa Asep, tak mampu melenyapkan segala kebaikan yang sudah dilakukan sang kepala keluarga tersebut.
Sebaik-baiknya manusia, pasti pernah melakukan kesalahan. Yang membedakannya, apakah dari kesalahan itu bisa diambil pelajaran atau justru mengulang untuk kesekian kali.
Hari ini, hari Minggu pukul setengah dua belas malam, Harri menutup rasa kecewa dan membuang seluruh jiwa ego yang sempat mengontrol dirinya. Malam ini, perihal rasa sedih, rasa sakit, dan rasa kecewa sudah Harri kubur dalam-dalam. Harri tak perlu susah payah memikirkan hal buruk ketika kenyatannya ia justru tengah dikelilingi hal-hal baik dan kebahagiaan yang tak bisa diukur oleh apa pun.
Harri kembali menangis. Kali ini bukan karena sepenggal memori saat itu, melainkan menangis penuh haru saat dirinya tersadar berada di situasi sedang disuapi mi kuah oleh Papa Asep dan ditemani Mama Iis beserta ketiga adiknya di ruang tengah.
Ketika Harri sibuk membuka mulut dan mengunyah, ketiga adiknya sibuk bercerita. Bahkan, televisi yang sempat dinyalakan Kaila kini sama sekali tak diindahkan keberadaannya. Jika televisi bisa berbicara mungkin barang itu akan merajuk, merajuk karena di antara keenam orang di sana tak ada satu pun yang melirik ke arahnya.
Omong-omong perihal televisi Harri tak tahu sejak kapan barang tersebut sudah terpasang rapi di tempat semula. Padahal sebelumnya televisi itu tergeletak di lantai dengan serpihan kaca di sekelilingnya. Dan, apabila Harri lihat lebih rinci, televisi itu tampak baru. Ah! setelah mencoba mengingatnya ternyata televisi itu memang sudah diganti sesuai dengan apa yang Papa sebutkan di dalam pesan tadi.
Manis, pahit adalah sebuah bentuk dari penjabaran mengenai keluarga kecilnya. Tak ada keluarga yang sempurna. Termasuk keluarga Harri sendiri. Maka dari itu, mulai hari ini Harri bertekad untuk membuat keluarga kecil itu terasa sempurna. Sempurna karena hanya ada gelak tawa yang mengudara dibandingkan tangisan suara.
Kolase Asmara Universe
by NAAMER1CAN0
https://open.spotify.com/track/6WUqv9T3RPTHHNKw0zVJuM?si=eFO0KbDbSkyCA8Yb0yalnQ
Sudah hampir satu jam lamanya mereka diam di kelas dengan kondisi di luar sana masih hujan sejak bel pulang dibunyikan. Ada sebagian yang telah pulang karena jemputannya sudah datang. Ada sebagian yang menerobos hujan dengan jas hujan. Bahkan, ada pula sebagian yang terpaksa menunggu di dalam kelas sampai hujan tersebut reda. Akan tetapi, setelah melihat kondisi hujan di luar yang tampak tak memperlihatkan tanda-tanda mereka akan berhenti. Membuat salah satu dari mereka menghela napas panjang.
“Ini mah cuman ada dua pilihan,” ucap Yolan menghela napas seraya berjalan kembali menghampiri kelima temannya yang sedang terduduk bosan di atas kursi. “Pertama si kami nunggu di sini sampai gerbang sekolah di kunci, atau… mau nggak mau si kami nerobos hujan.”
Mereka sukses dibuat terdiam dengan raut wajah terlihat menimang-nimang kedua opsi yang sudah disebutkan Yolan.
“Sebenernya saya nggak masalah, sih, kalau mau hujan-hujanan. Tapi, masalahnya besok kita masih harus sekolah,” kata Jagat.
Harri membenarkan duduknya. “Di sini siapa aja yang bawa jas ujan?” Harri menatap satu per satu teman-temannya, menunggu jawaban di antara mereka.
Semuanya serempak menggelengkan kepala, terkecuali satu orang. “Si aku bawa!” balas Yolan, mengacungkan tangan.
“Yolan doang yang bawa?”
Mereka mengangguk mengiakan.
Sebenarnya, mereka tak tahu apabila hujan akan turun hari ini. Lantaran, ketika melihat cuaca tadi pagi bahkan sampai siang tadi, tak ada tanda-tanda sedikit pun yang memperlihatkan akan turunnya hujan. Pun, mereka biasanya selalu menyimpan jas hujan di dalam bagasi motor. Terkecuali Jagat dan Jaya yang kebetulan memakai motor tanpa adanya bagasi.
Tetapi, biasanya mereka berdua selalu membawa jas hujan di dalam tas. Namun, entah mengapa atas keteledorannya Jagat dan Jaya justru melupakan barang penting untuk selalu berada di dalam tasnya selain buku-buku pelajaran.
Rakha memandang ke luar jendela kelas. “Kayaknya ini hujan cuman di daerah sekolah aja, kalau misalnya kita hujan-hujanan juga cuman sebentar.”
“Jadi, kita mau gas aja ke rumah si Yolan sekarang?” Aksara berucap sembari mencabut ponsel yang semula dicas. Kabel casan itu Aksara gulung dengan rapi sebelum memasukkan ke dalam tas.
Harri mengangguk. “Gas! Aing sama si Jagat, ya.” Harri menepuk pundak Jagat. “Aing sama maneh, Ler.” Sementara Jagat hanya menjawab ucapan itu dengan menganggukkan kepala, seolah mengiakan permintaan dari Harri.
“Aing sama Mang Ajay!” ucap Aksara.
Kepala Rakha mengangguk pelan. “Heg, berarti aing sama si Yolan, ya,” timpal Rakha seraya menatap Yolan yang sedang siap-siap memakai kembali jaket yang sempat dibuka oleh laki-laki itu. Dengan cepat, Yolan mengacungkan jempol setelah dirasa jaket tersebut sudah dipakainya dengan rapi. Saking rapinya, Yolan bahkan tak membiarkan kancing-kancing pada jaket itu terbuka dan membuat tubuhnya akan kedinginan nanti.
“Eh, Yolan. Maneh kalau mau pake jas ujan mah nggak apa-apa pake aja.”
Yolan menggeleng, menolak ucapan dari Harri dengan halus. “Nggak ah, si aku nggak enak. Masa si kalian semua ujan-ujanan, tapi cuman si aku yang pake jas ujan. Nggak adil!”
“Ya, nggak apa-apa atuh. Orang yang teledornya juga itu mah kita, kenapa maneh sendiri yang nggak enak sama kita, Jir!” balas Aksara dengan nada ucapan sedikit meninggi.
“Udah nggak apa-apa, anggap aja si aku nggak bawa jas ujan kayak si kalian.” Yolan mulai meraih tas dan memakainya. “Lagian kayaknya bener kata Mang Rakuy, paling hujannya di sekitaran daerah kita aja!”
Ingatkah kalian dengan ucapan dari Rakha yang mengatakan besar kemungkinan hujan deras yang menghambat perjalanan pulang mereka tadi di sekolah hanya turun di daerah sana aja? Nyatanya, setelah mereka benar-benar coba untuk menerobos derasnya hujan di kota Pasundan, mereka bahkan tak melihat tanda-tanda hujan itu akan segera berhenti.
Ironisnya, tubuh mereka kini sudah benar-benar basah kuyup. Mereka bahkan tak mempersiapkan untuk sekadar membungkus buku-buku pelajaran, ponsel, serta barang-barang penting lainnya dengan plastik untuk menghindari tetesan dari air tersebut. Jangankan untuk mempersiapkan, untuk berpikir ke arah sana pun sepertinya tidak ada.
Entahlah bagaimana kondisi semua barang bawaan yang berada di dalam tas mereka saat ini. Mungkin, kerja kerasnya untuk mencoret tinta-tinta hitam di atas kertas bergaris itu perlahan luntur, atau bahkan bisa saja tulisan-tulisan itu sudah sepenuhnya hilang.
“Bangsat! Cenah hujanna di daerah sakola hungkul. Ieu mah asa tatadi arurang maju eweuh we tanda-tanda rek raat teh!”
“Katanya hujannya cuman di daerah sekolah aja. Ini dari tadi kita maju belum ada tanda-tanda mau reda, tuh!”
Harri sudah tak bisa menahan segala sumpah-serapah yang berada di ujung lidahnya. Laki-laki itu terus-menerus melontarkan kalimat demi kalimat tak senonohnya. Beruntung, derasnya hujan saat ini membuat ucapan laki-laki itu sedikit tersamarkan. Bahkan, Jagat yang sedang mengendarai motor pun tak dapat mendengar jelas kalimat protes dari Harri.
“WOY! IEU REK TERUS MAJU NEPI IMAH SI YOLAN ATAWA REK NGIUHAN HEULA?!”
“WOY! INI MAU TERUS MAJU SAMPAI RUMAH YOLAN ATAU MAU NEDUH DULU?!”
“LANJUT WE, KAGOK! GEUS KAPALANG BASEUH BISI TIRIS MUN NGIUHAN HEULA MAH!” balas Jaya tak kalah keras dari pertanyaan Rakha sebelumnya.
“LANJUT AJA, NANGGUNG! UDAH TERLANJUR BASAH TAKUT DINGIN KALAU NEDUH DULU!”
Mereka sempat dibuat ragu ketika ingin terus melanjutkan perjalanan, tiba-tiba saja salah satu dari mereka khawatir akan datangnya petir. Akan tetapi, sampai sejauh ini, beruntung petir tak ikut menampakkan diri. Hanya ada derasnya hujan dengan disertai angin sesekali datang yang tak begitu besar.
Sudah dingin, malah terjebak di tengah-tengah lampu merah. Aksara, Harri, dan Rakha serempak membungkuk dengan kepala menunduk. Sementara Jagat, Jaya, dan Yolan yang menyetir hanya bisa pasrah ketika tubuh bagian depan mereka menjadi sasaran empuk cipratan air dari para kendaraan di depan.
Sudah tahu sedang menerobos hujan, tetapi keenam pemuda itu tak ada inisiatif untuk mengendarai motor mereka dengan cepat—untuk secepat mungkin sampai tujuan. Melainkan, Jagat, Jaya, dan Yolan mengendarai motor mereka dengan kecepatan maksimal 40 km/jam. Sebenarnya Jaya sudah mengusulkan untuk menggunakan kecepatan 60 km/jam, namun Yolan menolak mentah-mentah ide itu sehingga pada akhirnya Jaya mengikuti usulan dari Yolan. Jaya ingat betul kalimat dari Yolan yang mengatakan. “Keselamatan itu paling penting!” Jadi, mereka pun tak bisa menyanggah ucapan tersebut karena ada benarnya pula.
“Anjir, macet naon deui ieu teh!” ucap Harri sembari kepala laki-laki itu celingak-celinguk.
Jagat memiringkan sedikit kepala ke belakang. “Hah?” Jagat tak sengaja mendengar ucapan Harri yang tak begitu jelas, sehingga Jagat secara tidak langsung meminta Harri untuk mengulangi kalimatnya.
“Itu, macet apaan lagi di depan?” ujar Harri mengulangi ucapan sebelumnya.
Jagat menggeleng. “Nggak tau.”
“Mobil mogok!” teriak Aksara seraya lari terbirit-birit kembali menghampiri motor Jaya. Harri tak tahu sejak kapan kepergian Aksara untuk mengetahui situasi di depan sana. “Di depan ada mobil pick up nggak bisa nanjak terus berakhir mogok, kasian cuman ada sopirnya sendirian!”
Setelah mendengar penuturan dari Aksara, Jagat mulai memundurkan motornya, membelokkan motornya ke arah sebelah kiri dan menjalankan motor itu dengan pelan-pelan. Di belakang, Jaya dan Yolan langsung mengikuti hal yang dilakukan Jagat walau beberapa pertanyaan menghantui kepala mereka berdua.
Melihat mobil di depan sana sedang kesusahan untuk menanjak, secara spontan membuat Jagat dan Harri terburu-buru turun dari motor. Saking terburunya, sampai-sampai Jagat lupa untuk menarik standar motor. Alhasil, motor laki-laki itu langsung terjatuh dengan sang pemilik berlari tak mengindahkan sama sekali kondisi motornya—sang pemilik sibuk berlari menghampiri mobil itu.
Berbeda dengan Jagat dan Harri yang terburu-buru, Jaya dan Yolan masih sempat untuk sekadar menarik standar dan mengunci setang motor sebelum keduanya ikut menyusul berlari ke arah mobil. Sementara Rakha dan Aksara yang tak sengaja melewati motor Jagat pun dibuat sibuk menarik motor laki-laki itu yang terjatuh.
Saat Harri, Jagat, Jaya, dan Yolan sibuk berlari menghampiri mobil yang mogok. Aksara dan Rakha justru disibukkan membenarkan motor milik salah satu temannya—Jagat—yang tergeletak begitu saja di pinggir jalan. Untung saja, keadaan di sekitar mereka cukup sepi dari lalu lalang kendaraan.
“Jagat tolol!”
“Tarik yang bener, Sa!”
“Berat, Anying!”
“Ah Babi, tau gini mah kita nggak usah bantu benerin dulu motor si Jagat!”
Selepas mengeluarkan tenaga untuk membenarkan motor Jagat, akhirnya kendaraan itu sudah terparkir dengan benar. Rakha tak lupa mencabut kunci motor itu dan ikut menyusul membantu teman-temannya yang sudah siap mendorong mobil itu.
“Pa! Saya dan teman-teman bantu dorong dari belakang. Bapa jangan rem mobilnya!” ucap Jagat sedikit teriak, lantaran takut sang sopir tak dapat mendengarnya.
“Bensin mobil Bapa habis, Dek!”
“Nggak apa-apa, Pa. Kami bantu dorong sampai depan tanah kosong itu, nanti Bapa tolong belokin ke arah kiri!”
“Makasih, Dek!”
Jagat kembali berlari ke belakang. Ia memberi isyarat kepada teman-temannya untuk segera mengambil posisi mendorong mobil. “Kita dorong sampe tanah kosong itu.” Jagat menunjuk ke tempat yang dimaksud. Kemudian kelima temannya serempak mengangguk kepala, menyetujui perintah dari Jagat.
“Dorong, daks, dorong!”
Walaupun mereka terasa lelah dan dingin, namun setelah mencoba mendorong mobil pick up yang mogok ini seketika rasa semangat mereka berapi-api. Mereka sudah tak peduli dengan seluruh tubuh yang terus-menerus terkena derasnya tetesan hujan, mereka sudah tak peduli dengan barang bawaan mereka, mereka sudah tak peduli isi sepatu yang sepenuhnya telah berisi air, bahkan mereka tak peduli keadaan kendaraan mereka di belakang sana. Sebab, yang mereka pedulikan hari ini adalah membantu mobil ini sampai di tanah kosong tersebut. Mereka tak ingin membuat kemacetan yang lebih parah. Mereka tak ingin sang sopir menjadi bulan-bulanan caci makian dari pengendara yang terkena akibatnya.
“ANGGAP AJA KITA LAGI NGE-GYM, DAKS!”
“AYO GUYS SI KAMI PASTI BISA DORONG MOBIL INI SAMPE SANA!”
“SEMANGAT DAKS ABIS INI KITA LANGSUNG MAKAN LIWET SEPUASNYA DARI IBU HENI!”
Tak peduli dengan kondisi sepatu yang berkali-kali tergelincir akibat lincinnya jalanan itu, mereka tetap fokus untuk mendorong mobil itu.
Ironisnya, masyarakat yang berada di sekeliling mereka hanya bisa menyaksikan saja.
Tak ada yang bisa melebihi rasa bangga Jagat saat melihat betapa semangatnya kelima orang itu dalam mendorong mobil. Satu hal yang selalu membuat hati Jagat terenyuh, di antara semua orang yang berada di sekeliling mereka—hanya menyaksikan tanpa berniat membantu—hanya mereka berenam yang berani untuk terjun langsung. Seakan, mereka tak peduli apa yang akan terjadi setelah ini.
Mereka tak tahu tetesan air yang terjatuh dari dahinya itu keringat, air hujan, atau bahkan keduanya yang sudah bercampur, mereka tak begitu memedulikannya.
Dengan seluruh tenaga yang sudah dikeluarkan, akhirnya mobil itu sudah terparkir di tempat yang diusulkan Jagat. Keenam tubuh pemuda itu serempak membungkuk dengan napas terengah-engah.
Suara pintu mobil yang dibuka dan beberapa detik setelahnya kembali ditutup oleh sang sopir mulai mengalihkan sebagian perhatian mereka. “Dek, Adek, makasih banyak udah bantu Bapa, ya!” ucap sang sopir dengan senyuman sangat tulus tercetak di wajahnya.
Jagat menelan ludah sekaligus menelan segala rasa lelah yang ada. “Iya, Pa, kembali kasih. Memang sudah salah satu kewajiban kita dalam saling tolong-menolong,” sahut Jagat yang diangguki kelima temannya di belakang. “Mobil Bapa pakai bensin apa?” tanya Jagat.
“Eh, nggak apa-apa, Dek. Nanti saya cari sendiri aja buat bensin. Adek-adek langsung pulang aja, nggak tega Bapa liat Adek-adek pada hujan-hujanan.”
Harri menggeleng. “Nggak, Pa. Kita emang udah ujan-ujanan dari awal. Lagian setau saya teh pom bensin di daerah sini lumayan jauh,” balas Harri, mencoba mengingat-ingat letak secara pasti pom bensin yang terdekat.
“Iya, Pa. Jadi, biar kita bantu Bapa cari pom bensin terdeket aja mumpung kami bawa motor,” timpal Rakha, berusaha membuat sang sopir mengiakan bantuan kedua kalinya dari mereka.
“Saya pakai pertamax, tapi nggak usah, Dek. Nanti saya minta tolong teman Bapa aja.”
“Kalau gitu, sedot dari tangki bensin motor saya aja, Pa. Kebetulan bensin motor saya full dan sama-sama memakai pertamax.” Jagat mulai meraba-raba pada setiap saku yang berada di seragam sekolahnya. Dahinya mengernyit ketika barang yang sedang dicarinya tak kunjung ia temukan juga.
Rakha merogoh saku seragam dan menyerahkan kunci itu pada sang pemilik motor. “Kunci motor maneh, nih, Gat.”
“Nah! Terima kasih, Kha.” Jagat meraih kunci motor tersebut dan bersiap-siap untuk berjalan membawa motornya, namun baru saja satu langkah Jagat kembali menghentikan langkah. “Ada yang bawa selang?” tanya Jagat, menatap satu per satu kelima temannya.
“Si aku ada!”
Maka, setelah itu Jagat, Jaya, dan Yolan melangkah bersama untuk menuju motor dan membawa kendaraan ketiga orang itu untuk ikut terparkir di samping pick up.
Lantaran Jagat tak terlalu mahir dalam memindahkan bensin dari satu kendaraan ke kendaraan lainnya, sehingga Harri menawarkan diri secara sukarela untuk membantu.
“Hati-hati nyedotnya,” kata Jaya sembari mengarahkan selang tersebut pada tangki bensin mobil pick up.
Kegiatan seperti ini bukan menjadi kegiatan pertama kalinya bagi Harri. Sebab, jauh-jauh hari ia sudah melakukannya. Bahkan, Harri sendiri sudah tak ingat seberapa banyak ia melakukan kegiatan memindahkan bensin menggunakan selang. Namun, perlu dicatat hal seperti ini tidak untuk ditiru. Jika Papa Asep tahu, mungkin Harri sudah dihukum. Sebab, itu sangat bahaya ketika dilakukan—takut apabila bensin tersebut tak sengaja terminum.
“Udah, Dek, udah cukup.”
Mendengar itu, Jagat mulai menarik perlahan selang tersebut dari tangki motornya. Ia menggulung selang sebelum diberikan kepada Yolan. “Hati-hati nyimpennya,” ucap Jagat dibalas anggukkan kepala dari Yolan.
Entah terlalu nyaman mengguyur kota Pasundan atau memang hujan tersebut sedang menyombongkan keahlian membuat para penghuni bumi menunduk kepadanya, sebab hujan itu sedari tadi belum berhenti juga. Justru yang ada hujan itu berakhir makin deras.
“Dek, ini ada sedikit uang buat Adek-adek karena udah bantu saya. Terima kasih, ya, Dek. Kalau misalnya nggak ada kalian kayaknya saya nggak tau bakalan kayak gimana nanti.”
Aksara menggeleng cepat. “Eh, nggak perlu, Pa. Kita-kita bantuin Bapa karena emang kebetulan lagi lewat aja, nggak ada maksud lain.” Aksara mendorong halus uang yang akan disodorkan oleh yang lebih tua.
Bukan berniat menolak rezeki, tetapi ucapan Aksara tentang mereka memang ingin niat membantu tanpa ada alasan dibaliknya memang lah benar. Mereka sama sekali tak berpikir untuk diberi imbalan karena sudah membantu. Karena, sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang akan selalu mengulurkan tangan dan menolong yang sedang kesusahan.
“Kalau gitu, kalian terima aja sebagai traktiran dari Bapa buat kalian beli wedang jahe biar kalian nggak kedinginan, ya.”
Se-berusaha apa pun mereka menolak pemberian uang dari yang lebih tua, ternyata pria itu tetap bersikeras untuk memberi dengan dalih rasa terima kasih. Sampai uang tersebut disimpan langsung oleh sang Bapa di salah satu saku seragam di antara mereka berenam. Jaya yang menjadi korban atas keberadaan uang tersebut di seragamnya hanya bisa mengedip-ngedipkan mata tanpa mengatakan satu patah kata apa pun.
“Terima kasih banyak, ya, Pa! Semoga rezeki Bapa lancar terus!” ucap Harri disertai kepala yang membungkuk.
Melihat tingkah Harri, refleks membuat teman-temannya ikut membungkukkan kepala dilengkapi berbagai kalimat ucapan terima kasih. Sedangkan pria tersebut hanya tersenyum dan menepuk pundak keenam pemuda itu secara satu per satu, sembari mengucapkan kalimat perpisahan karena harus melanjutkan perjalanan.
Mereka berenam berbaris rapi seraya melambaikan tangan kepada mobil pick up yang perlahan mulai menjauh. Hanya dalam hitungan beberapa detik, mobil tersebut sudah benar-benar lenyap karena terhalang oleh beberapa kendaraan yang ikut melintas di atas jalanan itu.
“Eh, dikasih berapa itu?” tanya Harri kepada Jaya.
Jaya merogoh saku, mengeluarkan lembaran uang tersebut dan memperlihatkan kepada teman-temannya.
“Banyak bangetlah ngasih seratus lima puluh ribu!”
“Eh, hayu kita nge-wedang jahe! Aing udah nggak kuat kabulusan!”
Dahi Jagat mengernyit. “Kabulusan itu apa?” tanya Jagat kebingungan, lantaran baru mendengar kosa kata baru itu.
“Kedinginan sampe menggigil,” timpal Rakha.
Memang benar, jari-jari tangan mereka sudah mengerut, bibir membiru, dan tubuh yang mengeluarkan reaksi menggigil yang alami. Sampai-sampai, jaket yang mereka pakai sudah tak berarti, sebab bukannya memberi kehangatan, justru dengan memakai jaket itu memberikan rasa dingin yang berkali-kali lipat.
Di sini lah mereka berada, di tempat hangat dengan aroma jahe menguar kuat—mengisi indera penciuman mereka. Mereka terduduk rapi di tepi jalan dengan gelas wedang jahe berada di tangan mereka. Gelas tersebut mengeluarkan asap yang terus-menerus mengepul, tetapi syaraf sensorik mereka seakan sedang terganggu sehingga mereka tak merasakan rasa panas sedikit pun dari gelas itu.
“H-haing nggak kuat dingin pisan!” ucap Rakha susah payah, lantaran tubuhnya sudah sedikit menggigil.
Bukan hanya Rakha, melainkan keenam orang itu sedang merasakan hal yang sama. Mereka saling terdiam bukan karena bingung akan membawa topik apa untuk dibicarakan malam itu, namun keadaan lidah mereka seakan kelu untuk sekadar mengucapkan sepatah kata.
Dari seragam sekolah yang basah kuyup, kini seragam mereka sudah kering sempurna. Dari hujan deras, kini telah mereda. Dan, bahkan dari langit masih terang, kini sudah gelap. Tak terhitung sudah berapa lama mereka terjebak di bawah aliran hujan yang deras, yang pasti hujan tersebut meninggalkan rasa dingin yang tak kunjung hilang.
“Saya boleh nambah lagi nggak wedang jahenya… saya nggak kuat dingin banget.”
Mereka mengangguk kompak dengan lemas. “Boleh, mau segerobak juga boleh. Tapi pesen sendiri soalnya aing nggak kuat berdirinya,” balas Harri dengan badan membungkuk—meletakkan dagu di atas lutut.
Jaya menoleh ke arah Aksara. “Gantian bawa motornya,” kata Jaya tanpa basa-basi.
“Nggak mau, nanti aing ngerasain rasa dingin berkali-kali lipat kalau yang nyetir!”
“Maneh mau pake kecepatan 10 km/jam juga nggak apa-apa, asal maneh yang nyetir,” sahut Jaya bersikeras menginginkan Aksara yang melanjutkan perjalanan menuju rumah Yolan nanti.
“Rak—”
“Nggak mau! Aing nggak mau nyetir!” tolak Rakha, tahu akan arah pembicaraan laki-laki itu yang sudah menatapnya dengan tatapan wajah memelas.
Malam itu, tak ada lagi obrolan-obrolan hangat yang berbondong-bondong mereka serukan untuk mengangkat euforia di antara mereka. Khusus malam ini, mereka hanya saling berbagi kehangatan melalui satu gelas wedang jahe. Tak ada yang lain.
Bahkan, mereka tak tahu bahwa keesokkan harinya, lagi-lagi mereka memperlihatkan jiwa solidaritas yang tinggi—tak masuk sekolah dengan kompak. Mereka saling tak tahu, sebab, ponsel mereka lagi-lagi memperlihatkan ke-solidaritas-an—mati bersamaan karena terlalu lama berada di bawah aliran air.
Walaupun begitu, di dalam hati mereka sangat senang karena telah membantu. Setiap bantuan yang mereka berikan, terdapat rasa kebanggaan tersendiri setelahnya. Mereka tak akan pernah menyesal karena sudah rela untuk hujan-hujanan bersama, sebab karena itulah mereka dibukakan jalan untuk membantu orang lain.
ib: video anak SMA rela hujan-hujanan demi bantu dorong mobil pick up yang mogok di tengah-tengah tanjakan. [https://vt.tiktok.com/ZSNM6HQty/]
Jagat Lingga Erlangga Universe
by NAAMER1CAN0
Jagat Lingga Erlangga Universe
by NAAMER1CAN0
“Mama paling suka kalau misalnya ada temen dari Jaya atau Teh Iva dateng ke rumah, soalnya Mama bisa masakin buat mereka.”
“Nanti kalau Hartigan mau main ke Bandung lagi, jangan lupa sering-sering main ke sini, ya. Mama nanti masakin lebih banyak lagi makanan yang enak-enak.”
Jaya memutar mata. “Nggak mau katanya, dia trauma main ke sini soalnya cuman dikasih menu sayur doang nggak ada dagingnya,” timpal Jaya.
Hartigan melotot. “NGGAK, BU! NGGAK GITU!” Kepala Hartigan masih setia menggeleng.
“Maneh waktu itu bilang katanya enek makan di sini soalnya isinya sayur semua.”
Emang Jaya bangsat!
Hartigan cengengesan. “Jangan dipikirin ucapan Jaya, ya, Bu, dia asal ngomong aja. Hartigan suka-suka aja, kok, sama menu makannya,” jelas Hartigan tak mau membuat Mama Sumarni merasa tersinggung dengan ucapan asal dari Jaya.
“Nanti kapan-kapan ajak juga Kakak Hartigan ke sini, sekalian ajak temen-temen yang di Jakarta. Soalnya Mama kayaknya jarang liat atau bahkan belum pernah ketemu sama mereka kecuali Jagat aja.”
Semua orang yang berada di meja makan sontak menghentikan aktivitas menyuapkan makanan yang berada di atas piring itu ke dalam mulut. Pun, Mama Jaya semula asyik berbicara spontan terdiam. Mereka saat ini sedang berlomba-lomba saling memberikan raut kekhawatiran ketika salah satu di antara mereka tak sengaja tersedak.
Jika kalian berpikir kalau itu adalah suara batuk dari Teh Ivanka, maka jawabannya salah. Sebab, suara batuk itu justru berasal dari Hartigan yang sebelumnya asyik menyanggah semua ucapan omong kosong Jaya.
“Uhukk … uhukk!”
Tanpa memakan waktu lama, Mama Sumarni langsung memberikan satu gelas air kepada laki-laki yang masih terus-menerus memukul dada—berusaha menghilangkan batuk tersebut.
“Minum dulu minum, Hartigan.”
Tentu, sebagai etika kepada sang pemilik rumah, Hartigan meraih uluran gelas dari Mama Sumarni dengan sukarela. Diteguklah cairan bening itu tak sabaran. Namun, setelah beberapa tegukan, Hartigan masih merasakan keganjalan berada pada kerongkongannya.
“Ibu … kayak ada yang nyangkut di tenggorokan Hartigan ….”
Gelas kosong tersebut masih Hartigan pegang erat, lengkap dengan tatapan takut sekaligus khawatir yang terpancar pada kedua bola mata laki-laki itu.
Jaya yang sedari tadi masih menikmati makan malamnya, langsung menelan cepat-cepat kunyahan itu. “Ma, kayaknya duri ikannya nyangkut di tenggorokan Hartigan!” panik Jaya, kelimpungan sendiri mencari keberadaan sendok nasi.
“Ma, ini Ma kasih nasi!”
Ternyata, sendok nasi itu masih berada di tangan Papa Jajang—yang baru saja menyendokkan nasi dalam Bakul untuk dipindahkan ke atas piring. Kemudian, Papa Jajang kembali menyendokkan sedikit nasi untuk diserahkan kepada Mama Sumarni.
Mama Sumarni meraih nasi yang diberikan Papa Jajang. Dicomot nasi tersebut sebelum mulai dikepal-kepal, membuat bulatan kecil agar mempermudahkan Hartigan untuk menelannya nanti.
Konon katanya, ketika sedang tersedak duri ikan, cara yang paling ampuh adalah menelan kepalan nasi tanpa harus dikunyah terlebih dahulu. Namun, perlu menjadi catatan, bahwa kepalan nasi tidak boleh besar. Hanya perlu diambil secukupnya sampai duri tersebut sudah tak menghalangi tenggorokan lagi.
“A,” titah Mama Sumarni. Hartigan hanya mengikuti untuk membuka mulut walau tak tahu akan terjadi apa setelahnya. “Nasinya langsung Hartigan telen, jangan dikunyah dulu. Pelan-pelan telennya.” Kemudian, kepalan nasi yang sangat kecil itu Mama Sumarni masukkan ke dalam mulut Hartigan.
Jaya, Teh Ivanka, dan Papa Jajang hanya bisa menyaksikan dalam keadaan bungkam. Denting alat makan yang semula ribut dan sesekali melantunkan nada konstan, sekarang suah menghilang.
Teh Ivanka sudah siaga dengan satu gelas air. Mama Sumarni sudah siap dengan kepalan nasi lainnya ketika nanti duri tersebut belum sepenuhnya hilang. Sementara Jaya dan Papa Jajang, hanya diam dan membantu doa saja.
“Langsung ditelen udah?”
Hartigan mengangguk.
“Coba, sekarang masih kayak ada duri yang nyangkut nggak?” tanya Teh Ivanka.
Hartigan menyipitkan mata, lalu tak lama membawa kedua mata itu memejam seraya berkali-kali menelan air liur untuk memastikan apakah masih ada benda asing yang tersangkut pada tenggorokannya.
Gelengan dari Hartigan akhirnya berhasil meloloskan napas lega dari keempat orang itu. Teh Ivanka menyerahkan kembali satu gelas air minum untuk membuat nasi tersebut lebih cepat terjatuh ke dalam alat pencernaan.
“Ikan pindang bandeng emang banyak durinya, makanya kadang Jaya kalau makan ikan pindang bandeng pasti disuapin Mamanya,” ucap Papa Jajang secara tiba-tiba.
Sementara, Jaya yang menjadi topik pembicaraan tak beniat untuk merespons ucapan Papa Jajang. Seakan, apa yang baru saja diutarakan Papanya bukan hal harus ditutup-tutupi. Toh, memang faktanya begitu.
Jaya menunjuk isi piringnya. “Makanya aing nggak makan ikan bandeng, soalnya trauma kalau makan sendiri.” Jaya mengaduk isi piring sebelum akhirnya kembali menyuapkan makanan itu pada mulutnya.
Di atas piring Jaya hanya ada menu makan cah brokoli, pakcoy bawang putih, dan beberapa sayur lainnya yang sulit untuk Hartigan lihat secara pasti.
Kalau sudah begini, tidak hanya Jaya yang merasa trauma. Melainkan, setelah ini mungkin Hartigan akan menjauhi jenis ikan tersebut. Pasalnya, Hartigan tak terlalu pandai dalam memilah dan menyingkirkan ikan dari durinya. Sebenarnya inilah menjadi salah satu alasan mengapa Hartigan sangat jarang mengonsumsi ikan dibandingkan dengan menu protein hewani lainnya.
Hartigan menatap nanar pada makanan di atas piringnya. Padahal tinggal menyisakan beberapa suap lagi makanan itu, namun seketika selera makan Hartigan sudah hilang setelah terjadi hal yang tak diinginkan.
“Mama beresin dulu makan Mama tinggal sedikit lagi, abis itu nanti Mama bantu suapin Hartigan, ya.”
Kepala Hartigan yang tertunduk otomatis mendongak. Kedua matanya membulat sempurna dengan mulut menganga. Hartigan tak akan pernah menyangka bahwa ucapan itu akan keluar dari mulut Mama temannya.
Apa? Ia akan disuapi, katanya?
Hartigan rasanya ingin menolak, namun sebesar keinginannya itu, tak bohong dalam hatinya Hartigan mengangguk senang. Hartigan ingin merasakan rasanya disuapi makan oleh seorang ibu—walaupun bukan dari ibu kandungnya.
Hartigan menggeleng cepat, menepis semua keinginan konyol yang sempat terlintas. Eh, Ibu nggak usah … Hartigan nanti lanjutin sendiri aja makannya.”
“Nggak apa-apa jangan sungkan, semua teman Jaya udah Mama anggep seperti anak sendiri. Mama suapin biar nanti Hartigan nggak trauma buat makan ikan bandeng lagi, nanti Mama sekalian kasih tau caranya buat misahin duri sama ikannya. Sayang banget soalnya ikan bandeng sebenernya enak banget! Liat aja sampe Papa Jaya abis satu ekor ikan bandeng,” ucap Mama Surmani seraya menoleh ke arah Papa Jaya yang tengah menikmati ikan bandeng tersebut tanpa mengucapkan sepatah kata.
Namun, benar saja. Tanpa disangka-sangka, beberapa menit setelahnya, Mama Sumarni benar-benar menarik kursi di sebelah Hartigan dan mulai menyuapi laki-laki itu dengan telaten—memperlakukan Hartigan seperti anak kandungnya.
Bukannya cemburu melihat pemandangan itu, akan tetapi justru Jaya tersenyum di tengah-tengah kegiatan menyantap makanan yang belum habis juga sedari tadi. Pun, reaksi dari Jaya sama persis dengan reaksi Teh Ivanka yang memandang ke arah Hartigan dengan tatapan sulit untuk dijelaskan.
Papi … jadi gini, ya, rasanya disuapin seorang ibu. Jian akhirnya ngerasain, Pi. Sekarang Jian nggak terlalu cemburu sama Bang Kaleel yang lebih dulu sering disuapin Mami dulu ….
Mulanya, Hartigan merasa canggung ketika harus menyantap makanan itu dengan tatapan lekat dari ketiga orang yang berada di atas meja. Namun, hal itu berangsur mereda setelah Mama Sumarni kembali bercerita dengan sesekali ditimpali Papa Jajang dan Teh Ivanka. Sementara Jaya sedari tadi hanya membungkam mulutnya dan merespons percakapaan dengan senyuman.
Lel … gua tiba-tiba ngerasa insecure sama keluarga dari cewek yang lu suka. Keluarga mereka bener-bener beda sama keluarga kita, Lel. Semoga lu nanti nggak ikut insecure kayak gua yang lagi di tengah-tengah keluarga ini.
Kaleel Ivanka Stori
by NAAMER1CAN0
“Mama paling suka kalau misalnya ada temen dari Jaya atau Teh Iva dateng ke rumah, soalnya Mama bisa masakin buat mereka.”
“Nanti kalau Hartigan mau main ke Bandung lagi, jangan lupa sering-sering main ke sini, ya. Mama nanti masakin lebih banyak lagi makanan yang enak-enak.”
Jaya memutar mata. “Nggak mau katanya, dia trauma main ke sini soalnya cuman dikasih menu sayur doang nggak ada dagingnya,” timpal Jaya.
Hartigan menggelengkan kepala cepat. “NGGAK, BU! NGGAK GITU!”
“Maneh waktu itu bilang katanya enek makan di sini soalnya isinya sayur semua.”
Emang Jaya bangsat!
Hartigan cengengesan. “Jangan dipikirin ucapan Jaya, ya, Bu, dia asal ngomong aja. Hartigan suka-suka aja, kok, sama menu makannya,” jelas Hartigan tak mau membuat Mama Sumarni merasa tersinggung dengan ucapan asal dari Jaya.
“Nanti kapan-kapan ajak juga Kakak Hartigan ke sini, sekalian ajak temen-temen yang di Jakarta. Soalnya Mama kayaknya jarang liat atau bahkan belum pernah ketemu sama mereka kecuali Jagat aja.”
Semua orang yang berada di meja makan sontak menghentikan aktivitas menyuapkan makanan yang berada di atas piring itu ke dalam mulut. Pun, Mama Jaga semula asyik berbicara spontan terdiam. Mereka saat ini sedang berlomba-lomba saling memberikan raut kekhawatiran ketika salah satu di antara mereka tak sengaja tersedak.
Jika kalian berpikir kalau itu adalah suara batuk dari Teh Ivanka, maka jawabannya salah. Sebab, suara batuk itu justru berasal dari Hartigan yang sebelumnya asyik menyanggah semua ucapan omong kosong Jaya.
“Uhukk … uhukk!”
Tanpa memakan waktu lama, Mama Sumarni langsung memberikan satu gelas air kepada laki-laki yang masih terus-menerus memukul dada—berusaha menghilangkan batuk tersebut.
“Minum dulu minum, Hartigan.”
Tentu, sebagai etika kepada sang pemilik rumah, Hartigan meraih uluran gelas dari Mama Sumarni dengan sukarela. Diteguklah cairan bening itu tak sabaran. Namun, setelah beberapa tegukan, Hartigan masih merasakan keganjalan berada pada kerongkongannya.
“Ibu … kayak ada yang nyangkut di tenggorokan Hartigan ….”
Gelas kosong tersebut masih Hartigan pegang erat, lengkap dengan tatapan takut sekaligus khawatir yang terpancar pada kedua bola laki-laki itu.
Jaya yang sedari tadi masih menikmati makan malamnya, langsung menelan cepat-cepat kunyahan itu. “Ma, kayaknya duri ikannya nyangkut di tenggorokan Hartigan!” panik Jaya, kelimpungan sendiri mencari keberadaan sendok nasi.
“Ma, ini Ma kasih nasi!”
Ternyata, sendok nasi itu masih berada di tangan Papa Jajang—yang baru saja menyendokkan nasi dalam Bakul untuk dipindahkan ke atas piring. Kemudian, Papa Jajang kembali menyendokkan sedikit nasi untuk diserahkan kepada Mama Sumarni.
Mama Sumarni meraih nasi yang diberikan Papa Jajang. Dicomot nasi tersebut sebelum mulai dikepal-kepal, membuat bulatan kecil agar mempermudahkan Hartigan untuk menelannya nanti.
Konon katanya, ketika sedang tersedak duri ikan, cara yang paling ampuh adalah menelan kepalan nasi tanpa harus dikunyah terlebih dahulu. Namun, perlu menjadi catatan, bahwa kepalan nasi tidak boleh besar. Hanya perlu diambil secukupnya sampai duri tersebut sudah tak menghalangi tenggorokan lagi.
“A,” titah Mama Sumarni. Hartigan hanya mengikuti untuk membuka mulut walau tak tahu akan terjadi apa setelahnya. “Nasinya langsung Hartigan telen, jangan dikunyah dulu. Pelan-pelan telennya.” Kemudian, kepalan nasi yang sangat kecil itu Mama Sumarni masukkan ke dalam mulut Hartigan.
Jaya, Teh Ivanka, dan Papa Jajang hanya bisa menyaksikan dalam keadaan bungkam. Denting alat makan yang semula ribut dan sesekali melantunkan nada konstan, sekarang suah menghilang.
Teh Ivanka sudah siaga dengan satu gelas air. Mama Sumarni sudah siap dengan kepalan nasi lainnya ketika nanti duri tersebut belum sepenuhnya hilang. Sementara Jaya dan Papa Jajang, hanya diam dan membantu doa saja.
“Langsung ditelen udah?”
Hartigan mengangguk.
“Coba, sekarang masih kayak ada duri yang nyangkut nggak?” tanya Teh Ivanka.
Hartigan menyipitkan mata, lalu tak lama membawa kedua mata itu memejam seraya berkali-kali menelan air liur untuk memastikan apakah masih ada benda asing yang tersangkut pada tenggorokannya.
Gelengan dari Hartigan akhirnya berhasil meloloskan napas lega dari keempat orang itu. Teh Ivanka menyerahkan kembali satu gelas air minum untuk membuat nasi tersebut lebih cepat terjatuh ke dalam alat pencernaan.
“Ikan pindang bandeng emang banyak durinya, makanya kadang Jaya kalau makan ikan pindang bandeng pasti disuapin Mamanya,” ucap Papa Jajang secara tiba-tiba.
Sementara, Jaya yang menjadi topik pembicaraan tak beniat untuk merespons ucapan Papa Jajang.
“Makanya aing nggak makan ikan bandeng, soalnya trauma kalau makan sendiri.”
Kalau sudah begini, tidak hanya Jaya yang merasa trauma. Melainkan, setelah ini mungkin Hartigan akan menjauhi jenis ikan tersebut. Pasalnya, Hartigan tak terlalu pandai dalam memilah dan menyingkirkan daging ikan dari durinya.
Hartigan menatap nanar pada makanan di atas piringnya. Padahal tinggal beberapa suap lagi makanan itu, namun seketika selera makannya hilang setelah terjadi hal yang tak diinginkannya.
“Mama beresin dulu makan Mama sedikit lagi, abis itu nanti Mama bantu suapin Hartigan, ya.”
Kepala Hartigan yang tertunduk otomatis mendongak. Kedua matanya membulat sempurna dengan mulut menganga. Hartigan tak akan pernah menyangka bahwa ucapan itu akan keluar dari mulut Mama temannya.
Apa? Ia akan disuapi, katanya?
Hartigan rasanya ingin menolak, namun sebesar keinginannya itu, tak bohong dalam hatinya Hartigan mengangguk senang. Hartigan ingin merasakan rasanya disuapi makan oleh seorang ibu—walaupun bukan dari ibu kandungnya.
Hartigan menggeleng cepat, menepis semua keinginan konyol yang sempat terlintas. Eh, Ibu nggak usah … Hartigan nanti lanjutin sendiri aja makannya.”
“Nggak apa-apa jangan sungkan, semua teman Jaya udah Mama anggep seperti anak sendiri. Mama suapin biar nanti Hartigan nggak trauma buat makan ikan bandeng lagi, nanti Mama sekalian kasih tau caranya buat misahin duri sama ikannya. Sayang banget soalnya ikan bandeng sebenernya enak banget! Liat aja sampe Papa Jaya abis satu ekor ikan bandeng,” ucap Mama Surmani seraya menoleh ke arah Papa Jaya yang tengah menikmati ikan bandeng tersebut tanpa mengucapkan sepatah kata.
Namun, benar saja. Tanpa disangka-sangka, beberapa menit setelahnya, Mama Sumarni benar-benar menarik kursi di sebelah Hartigan dan mulai menyuapi laki-laki itu dengan telaten—memperlakukan Hartigan seperti anak kandungnya.
Bukannya cemburu melihat pemandangan itu, akan tetapi justru Jaya tersenyum di tengah-tengah kegiatan menyantap makanan yang belum habis juga sedari tadi. Pun, reaksi dari Jaya sama persis dengan reaksi Teh Ivanka yang memandang ke arah Hartigan dengan tatapan sulit untuk dijelaskan.
Papi … jadi gini, ya, rasanya disuapin seorang ibu. Jian akhirnya ngerasain, Pi. Sekarang Jian nggak terlalu cemburu sama Bang Kaleel yang lebih dulu sering disuapin Mami dulu ….
Kaleel Ivanka Stori
by NAAMER1CAN0