AMARAH TAK TERBENDUNG


Adegan yang terdapat di dalam cerita ini bukanlah tindakan yang baik. Maka dari itu, dimohon untuk tidak ditiru dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Terima kasih.


tw // violence , blood


Terkadang ada keadaan di mana ia tak ingin mengetahui semua hal ada di sekelilingnya. Bukan karena ia menjadi pribadi yang tak acuh, melainkan ia tak ingin memasuki kehidupan orang lain. Bahkan, ketika ia mencoba melangkahkan kaki, ia selalu berusaha menutup telinganya rapat-rapat, sengaja agar tak ada obrolan orang lain yang ia dengar.

Sebab, jika situasinya dibalik, ia pun tak ingin orang-orang yang berlalu-lalang dapat mendengar obrolan dirinya dengan lawan bicara.

Laki-laki yang kini seragam putihnya sudah tak serapi sejak awal datang ke sekolah, tak henti menggerutu. Bibir laki-laki itu terus bergerak selaras dengan rentetan makian yang sengaja ia ucapkan pelan.

Walaupun sepanjang perjalanan ia menggerutu, anehnya laki-laki itu masih saja melangkahkan kakinya. Bisa saja ia menghentikan langkah dan kembali ke kelas lalu menyuruh temannya yang lain untuk mencetak makalah, tapi Jaya tak melakukan itu mengingat ia harus bisa menjadi seseorang yang bertanggungjawab dengan tugasnya.

Alasan mengapa sedari tadi raut wajah Jaya terlihat masam karena ia telah ditunjuk pergi ke fotokopian—mencetak makalah untuk presentasi pelajaran sejarah setelah istirahat selesai nanti.

Jaya mengembuskan napas, menatap objek sekitar dengan harapan bisa mempercepat langkahnya. Namun, saat ia mencoba mengedarkan pandangan, kedua matanya justru tak sengaja menangkap sebuah postur yang amat dikenalinya.

Seorang gadis pemilik rambut sebahu itu tengah bersama seorang laki-laki yang menenteng minuman plastik di tangan kiri.

Entahlah, hatinya tiba-tiba berdenyit. Pemandangan itu menjadi salah satu objek paling benci untuk Jaya lihat. Ke mana ia dulu yang selalu bersikeras menyangkal perihal perasannya untuk gadis itu? Mengapa sekarang ia lebih mudah mengekspresikan hal-hal yang berhubungan dengan gadis itu?

Jaya kembali melanjutkan perjalanan, namun matanya tetap bergerak menuju objek semula walau otaknya sudah beberapa kali menyangkal untuk tak melakukan hal tersebut.

Jaya berdecak, memelototi laki-laki itu dengan tatapan tak suka. “Tai, aing juga nggak pernah ngelakuin gituan.”

Kalimat gerutu semula untuk teman satu kelompoknya, berganti menjadi kalimat gerutuan untuk laki-laki itu. Batu-batu kecil yang berada di jalan pun menjadi korban kebengisan Jaya—menendang-nendang tak berperasaan sampai terpental jauh.

Hawa panas yang ia rasakan berkali-kali lipat terasa, sampai-sampai tumbuhan di sekitar yang ia lewati mungkin saja bisa lihat kepulan asap keluar dari kepalanya.

Bagaimana tidak, Jaya kesal sendiri melihat laki-laki itu menepuk puncak kepala sang adik kelas disertai senyuman lebar. Ia kira, senyuman manis lengkap dengan lesun pipi gadis itu hanya diperuntukan untuknya. Ternyata ia salah. Ia terlalu percaya diri dan berharap berlebihan.


Jaya sama sekali tak masalah apabila harus disuruh untuk mencetak makalah, hanya saja ia benar-benar sangat menghindari waktu istirahat. Pertama, waktu istirahat ia untuk jajan jadi terganggu. Kedua, jarak kelas menuju tempat fotokopian itu cukup jauh. Ketiga, harus menyebrangi jalan dengan cuaca terik. Terakhir, antrean yang paling malas ia rasakan. Ketika waktu istirahat berlangsung, fotokopian dekat sekolah mendadak membludak pelanggan, sehingga antreannya benar-benar di luar nalar. Bayangkan saja, sejak ia pergi untuk mencetak makalah sampai sekarang balik ke sekolah hampir memakan lebih dari tiga puluh menit. Setelah ini, ia akan selalu menghindari untuk datang ke tempat fotokopi saat waktu istirahat.

“Untung aing udah makan bekel di istirahat pertama.” Makalah dengan jilid berwarna biru itu Jaya bolak-balik di depan wajah. “Gara-gara maneh, nih, anying. Aing jadi nggak bisa mabar.”

Jaya terus memarahi sekumpulan kertas yang tak berdosa. Ia memarahi makalah itu seperti makhluk hidup yang bisa mengerti dan menyahuti dengan permintaan maaf.

Apabila ada orang yang ikut berjalan di sisi laki-laki itu, mungkin mereka akan menatap Jaya dengan wajah ketakutan. Bagaimana bisa seseorang mengajak bicara benda mati? Tidak masuk akal. Mungkin mereka akan berkata demikian.

Satu yang masih Jaya bingungkan, mengapa di dalam sekolahnya tak terdapat tempat fotokopi yang sekaligus bisa menjilid makalah? Mengapa untuk menjilid saja ia harus menempuh jarak beratusan langkah—atau mungkin lebih jika seseorang melangkah dengan jarak pendek.

Setelah ini, Jaya akan selalu mengingat untuk membawa kertas jilid, lakban hitam, dan staples untuk menjilid sendiri di kelas. Dalam kehidupan yang sudah sangat canggih ini, ia harus bisa bertahan hidup dengan cara kinerja yang cerdas.

Ketika sibuk melangkah untuk menuju kelas, Jaya sesekali menatap tempat semula ditempati Syifa dan Yolan yang saling sibuk berbagi tawa—sekadar ingin tahu apakah mereka masih di sana atau tidak. Ternyata, di sana tak memperlihatkan ada seorang pun yang sedang berdiam diri, artinya kedua orang itu telah pergi. Jaya tak tahu pastinya kapan mereka sudah pergi meninggalkan tempat itu. Yang pasti Jaya merasa lega, setidaknya ia tak perlu lagi diam-diam menyumpahi laki-laki itu.

Namun, baru saja Jaya akan mengalihkan pandangan, kedua matanya justru terjatuh pada laki-laki itu dengan seorang gadis yang bahkan ia sendiri tak tahu siapa namanya. Postur orang itu sama sekali tak Jaya kenali. Gadis itu bukanlah gadis yang ia temukan sebelum pergi ke tempat fotokopi, melainkan gadis yang berbeda.

Jaya menghentikan langkah, memandangi interaksi kedua itu dengan mata menyipit. Pertanyaan demi pertanyaan mulai muncul. Siapa gadis itu? Mengapa temannya itu terlihat memiliki interaksi cukup intim dengan gadis asing tersebut? Lalu, bagaimana dengan gadis sebelumnya?

Tangan Jaya sontak mengepal, menahan amarah lantaran ia baru saja melihat laki-laki itu membantu merapikan rambut sang gadis disertai tepukan yang diberikan pada puncak kepala gadis itu—persis seperti dilakukan kepada Syifa sebelumnya.

Ia cukup bersabar ketika melihat laki-laki itu tadi saling berbagi tawa dengan seorang gadis yang beberapa terakhir ini selalu mengisi pikirannya. Namun, tidak dengan sekarang ini, ia tampak sulit menyembunyikan raut amarah. Urat-urat di sekitar leher mulai tercetak. Tangan yang masih mengepal. Serta gigi sengaja digesekkan satu sama lain di dalam mulut.

Bersamaan dengan gadis asing itu yang mulai melangkah pergi meninggalkan laki-laki itu, spontan kedua kaki Jaya bergerak mendekati tempat laki-laki itu berada.

Sepanjang perjalanan, Jaya menggelengkan kepala ribut. Sibuk memikirkan apa yang harus ia lakukan selepas berada di hadapan laki-laki itu. Bahunya yang terangkat kembali dijatuhkan—terlihat bersikeras tengah menahan amarah. Ia sempat terlintas pemikiran untuk memutar balik langkah. Sayangnya, ia gagal untuk mengikuti kata hatinya. Kedua kaki ia tak selaras dengan keinginan untuk pergi meninggalkan tempat itu.

“Yolan,” panggil Jaya membuat sang pemilik nama refleks membalikkan badan.

Baru saja laki-laki itu membalikkan badan—bahkan belum sepenuhnya berbalik—sekonyong-konyong satu pukulan mendarat pada pipi kanan Yolan membuat laki-laki itu yang tak memberikan kekuatan pada kedua kakinya lantas terjatuh cukup keras. Tubuh laki-laki itu ambruk beserta wajah terkejut menerima pukulan sangat menyakitkan tanpa aba-aba.

Sudah terkejut mendapat pukulan secara tiba-tiba, minuman plastik semula ia genggam pun ikut terlepas dan membasahi sebagian tubuhnya.

Awww! Si aku kenapa dipukul?!” Yolan tak henti memegangi pipi kanannya. Salah satu bagian tubuhnya itu terasa panas lalu disusul oleh rasa amis serta-merta terasa di dalam mulutnya. Yolan sangat yakin bahwa apa yang ia rasakan tadi tak lain adalah darah segar.

Demi Tuhan, dalam keadaan ia masih tergeletak—sibuk mencerna kejadian barusan—Yolan bisa lihat raut wajah Jaya sudah merah madam. Yolan tak mengerti apa yang telah menjadikan laki-laki itu terlihat begitu marah.

Anjir, minuman si aku tumpah!” gerutu Yolan usai merasakan tubuhnya tiba-tiba terasa dingin yang bercampur panas karena punggungnya menyentuh lapangan bawah yang terjemur sinar matahari.

Yolan menopang tubuh dengan satu tangan, sementara tangan lainnya berusaha mencengkeram tubuh Jaya dengan maksud menjadi tumpuan untuk ia berdiri. “Si kamu kenapa haja—”

Belum sempat kalimat itu terlontar, Jaya kembali memukul Yolan dibagian wajah yang sama untuk kedua kalinya. Yolan yang lagi-lagi tak memiliki persiapan pun sontak mengerang karena rasa amis kembali terasa di dalam mulut.

Anjing! Sakit! Pipi si aku ke gigit!” Tubuh Yolan meringkuk, tak peduli dengan keadaan seragamnya sudah kotor. Yolan bergerak bak cacing kepanasan lantaran tak dapat melupakan rasa sakit yang ia rasakan.

Napas Jaya memburu. “Eta teu karasa nanaon dibandingkeun jeung sia enggeus nganyenyeri hate awewe.

Itu nggak ada apa-apanya dibandingin sama lo udah nyakitin hati perempuan.

Yolan mengenyit dalam posisi tubuh masih meringkuk. “Hah? Maksud si kamu apa?” tanya Yolan. Sampai pukulan kedua, ia masih dihantui oleh pertanyaan mengapa laki-laki itu tiba-tiba saja memukulnya? Dan anehnya, mengapa di tempat ini tak ada satu orang pun yang melintas dan mencegah laki-laki itu untuk memukulinya? Untuk sekadar bangkit pun Yolan kesusahan sendiri akibat kepalanya terasa pusing.

Dengan sorot mata yang memancarkan ketidaksukaan Jaya menjawab. “Aing nggak suka kalau maneh mainin cewek. Aing nggak pernah mau temenan sama orang yang gampang mainin perasaan cewek.”

Alis Yolan menyatu. “Hah? Si aku mainin perasaan cewek apa maksudnya?” Pertanyaan itu terdengar sedikit tak jelas, lantaran Yolan berucap sembari membekap mulut—menahan diri untuk ia tak meludah dan mengeluarkan rasa amis dari sana.

Jaya mencengkeram kerah seragam Yolan. “Maneh nggak usah pura-pura nggak tau, Monyet.”

Saat hendak melayangkan kembali pukulan, tiba-tiba seseorang berteriak cukup kencang dari arah belakang.

“Woi!”

Cengkeraman pada seragam Yolan spontan mengendur, lalu terlepas.

Maraneh ngapain di sini?” tanya Aksara menatap Jaya dengan Yolan bergantian. “Kenapa maneh goleran di situ?” Aksara menatap Yolan berharap laki-laki itu akan menjawab, namun nihil. “Kenapa seragam si Yolan kotor?” Kali ini pandangan Aksara tertuju pada Jaya. Sebab hanya keadaan seragam Jaya yang masih terlihat bersih.

Jaya melirik makalah yang berada di bawah sepatunya. Ia ambil makalah itu, lalu digenggam erat-erat. “Bilangin sama temen maneh jangan suka mainin perasaan cewek. Nggak sudi aing temenan sama orang yang mainin perasaan cewek,” kata Jaya sebelum menarik diri dari sana.

Aksara melongo, tak mengerti dengan kalimat terakhir diucapkan Jaya. Siapa yang memainkan perasaan perempuan? Jika kalimat itu untuk Yolan, memang Yolan telah memainkan perasaan perempuan siapa?

“Sa, tolongin si aku, Sa.” Yolan menyerahkan satu tangan. “Anterin si aku ke UKS.”

Lamunan Aksara seketika buyar. Begitu ruangan kesehatan itu Yolan sebutkan, Aksara mulai mengerti alasan mengapa bisa laki-laki itu tergeletak. “Maneh gapapa, Lan?” Aksara meraih tangan Yolan, membawanya berdiri.

Yolan menggeleng, tak kuasa menjawab dengan kalimat karena setiap mulut ia bergerak, giginya leluasa menggesek pipi dalam. Dan, hal itu membuat ia meringis sekaligus bisa merasakan rasa amis yang kembali mengalir.

Yolan tak tahu jika rencana yang sudah dipersiapkan dengan matang akan berakhir seperti sekarang ini.


Puspas Niskala Universe

by NAAMER1CAN0