ARTI SEBUAH PERTEMANAN
Saat ini waktu telah menunjukkan pukul empat sore. Mereka berenam serempak berkendara saling beriringan satu sama lain. Setiap melintasi lampu merah, Jaya tak lupa untuk melirik spion motornya, memastikan keempat temannya berada di belakang dan tak tertinggal.
Cuaca di Bandung sore hari ini cukup menyejukkan. Bagaimana tidak ketika jalanan raya yang mereka lewati masih tercetak jelas basah, seperti baru saja kota Pasundan diguyur hujan. Terlihat dari beberapa jalanan terdapat bekas genangan air. Beruntungnya, ketika mereka pulang sekolah, hujan sudah tak berbondong-bondong membasahi bumi.
“Anjing!” seru Jaya secara tiba-tiba itu cukup mengejutkan Harri yang tengah disibukkan bermain ponsel di jok belakang.
Harri mengernyit, mematikan ponsel dan memasukkan sembarang ke kantong seragam sekolah. “Kenapa, Jay?” tanya Harri, memiringkan sedikit kepala agar dapat mendengar jelas tiap kalimat yang akan diucapkan laki-laki itu.
Jaya melirik ke arah kanannya sebentar. Setelah merasa bahwa jalanan di sebelah kanan kosong, maka dengan cepat Jaya memencet sein lalu tak lama ia segera menepikan kendaraannya di salah satu bahu jalan yang cukup luas.
Harri yang dibonceng hanya bisa celingak-celinguk. “Kenapa berhenti, ih?! Ada apa ini teh, Jay?” panik Harri, sebab Jaya sedari tadi tak berniat untuk merespons ucapannya sedikit pun.
Bukan hanya Harri yang tampak bingung, keempat temannya yang baru saja menepikan motor pun dibuat kebingungan dengan tindakan Jaya secara tiba-tiba itu.
“Ada apa sih, Hag?” tanya Yolan dibalas gelengan oleh Harri. Bukannya ia tak mau menjawab, pasalnya Harri pun tak mengetahui alasan mengapa Jaya tiba-tiba menghentikan kendaraannya.
Jaya menarik standar motornya, memarkirkan sebelah pihak membuat seseorang di belakang dibuat panik oleh kemiringan yang dirasakannya. “Gantian nyetir, please. Aing lupa belum makan bekel tadi siang, takut dimarahin Mama. Mana bentar lagi sampe rumah aing.” Laki-laki itu turun dari motor, mempersilakan Harri untuk mengambil alih perjalanan selanjutnya.
“MONYET, KIRAIN AING ADA RAZIA ANYING!” ketus Rakha di belakang dengan raut yang sudah pucat. Padahal setelah dipikir-pikir mengapa Rakha harus merasa panik? Sedangkan ia hanya duduk di jok belakang sebagai penumpang, bukan pengendara.
Harri melongo, menatap tak percaya kalimat yang baru saja didengarnya. Lantas, ia pun segera bergerak untuk bersiap-siap menjalankan motor, melanjutkan perjalanan yang sempat terhenti.
“Benteun gitu nu tos dipasihan emam ku seseorang mah euy.” Harri dengan cepat menurunkan kedua kaki ke tanah, menggantikan standar motor dengan kakinya. Kemudian selanjutnya ia hanya berdiam diri, menunggu Jaya yang akan segera menempati jok belakang.
Beda gitu yang udah dikasih makan sama seseorang.
“Bacot!”
Sembari menunggu Harri menyalakan mesin motornya, Jaya segera menarik tas di punggungnya itu untuk meraih kotak bekal yang berada jauh di dalam sana—tertumpuk oleh beberapa buku pelajaran hari ini. Sesudah berhasil meraihnya, Jaya dengan cepat menutup kembali tas itu dan naik ke atas motornya.
Merasa tak ada pergerakan lagi, maka Harri memutuskan untuk menarik pedal gas itu dengan kecepatan pelan, sesuai permintaan Jaya untuk menjalankan motor tidak terlalu ngebut agar tak cepat sampai di kediamannya.
Harri sedikit risih dengan gerakkan tak beraturan yang bisa ia rasakan jelas pada punggungnya. “Bahaya Anying makan waktu ngejalanin motor teh!” teriak Harri setelah melihat Jaya sudah membuka kotak bekal makannya, berancang-ancang akan segera menyantapnya dengan terburu.
“Bitan.”
“Bitan hulu maneh rusak!”
Bitan kepala lo rusak!
Jaya tak menghiraukan ucapan itu, ia lebih memilih untuk segera melahap satu suapan demi suapan bekal makan siangnya yang belum tersentuh sama sekali sejak tadi.
Ketika merasa jalanan di depan padat merayap, maka Jaya cepat-cepat menyendokkan satu suapan bekal makan siangnya lalu ia berikan kepada Harri.
“Buru makan!” paksa Jaya, sebab orang tersebut tak terlihat akan segera membuka mulutnya. “SABAR ANYING, AING TEH LAGI FOKUS NYETIR!” gerutu Harri, merasa sebal melihat tindakan orang di belakang yang tak paham akan situasinya saat ini.
Selepas merasa jalanan di depan aman, lantas Harri dengan cepat memiringkan kepala, membuka mulut dan segera menyantap satu suapan yang diberikan untuknya. Satu detik.. dua detik.. hingga tepat pada detik ketiga Harri merasakan keanehan dengan satu suapan yang sudah hinggap dalam mulutnya.
“Monyet, dagingan atuh! Jangan mentang-mentang itu bekel sia jadi cuman sia yang makan dagingnya, ai sayurna dikasih semua ke aing!”
Tawa Jaya melantun renyah setelah mendengar rentetan frasa yang keluar dari mulut temannya itu.
Sayangnya tawa Jaya harus segera ia telan mentah-mentah sebab kedua matanya tak sengaja melihat sebuah lampu lalu lintas yang sebentar lagi akan berubah warna menjadi merah. “Hag, pelanin Hag. Tunggu sampe lampu merah.”
Harri berani sumpah, ia tak habis pikir dengan jalan pikiran Jaya yang entah mengapa terdengar sangat aneh untuknya. Pasalnya, orang-orang akan berlomba untuk secepat mungkin melewati lampu lalu lintas sebelum berubah warna menjadi merah. Tetapi, kali ini justru ia mendapatkan pengalaman baru yang lebih aneh. Bukan hanya dia, melainkan keempat temannya memberikan sarat wajah kebingungan. Padahal apabila mereka mengendarai motor dengan kecepatan normal, mungkin kini mereka sedang menjalani motor tanpa harus susah payah berdiam diri menunggu lampu itu akan kembali berganti warna.
Baru saja Harri menekan rem motor, namun seseorang di belakang sudah turun dan berjalan ke arah teman-teman lainnya dengan sendok yang masih ia genggam erat-erat.
“A, buru!” paksa Jaya setelah satu suapan bekal makan siang itu sudah berada di depan mulut Yolan. Yolan ingin segera melayangkan kalimat protes, akan tetapi tangan Jaya jauh lebih gesit untuk memasukkan satu suapan itu ke dalam mulutnya.
Berbeda dengan Aksara yang kini sudah membuka mulutnya sukacita, siap menerima suapan dari Jaya.
Setelah itu, ia kembali bergeser pada motor di sebelahnya. Rakha dengan senang hati membuka mulutnya, walau sebelumnya Jaya harus bersabar sebab laki-laki itu tak henti melayangkan kalimat caci maki untuknya.
“Saya nggak mau pake sayur!” Hal itu berbanding terbalik dengan Jagat yang justru tak bisa menerima makanan itu dengan sesuka hati.
“Anying maneh jangan pilih-pilih, sayur bagus buat tubuh maneh!”
“Ya udah, kalau gitu kamu aja yang makan sayurnya!”
“Nggak mau Anying, aing nggak suka sayur ijo kayak gini!”
“Saya juga sama, nggak suka! Saya mending makan nasinya aja daripada harus makan sayur itu.”
Aksara, Harri, Rakha, dan Yolan hanya bisa menundukkan malu kepalanya ketika suara pertikaian itu justru menjadi bahan tontonan para pengendara lain. Rakha yang tak ingin menjadi bahan pembicaraan pun akhirnya mulai membuka paksa mulut Jagat agar Jaya cepat-cepat kembali ke atas motornya.
Jaya yang melihat tanda-tanda bahwa lampu lalu lintas itu akan berubah menjadi lampu hijau, bergegas menyuapi satu sendok makanan itu ke dalam mulut Jagat yang sudah terbuka atas bantuan Rakha.
“Bwengshek khamu Jhaya!” ketus Jagat tak jelas sebab di dalam mulutnya dipenuhi makanan.
Jaya sudah tak peduli berapa banyak pasang mata yang terarah kepadanya, pun seberapa lantang gelak tawa yang disenandungkan para pengendara lain, yang Jaya pedulikan hanyalah bagaimana caranya bekal makannya itu cepat habis sebelum sampai di rumahnya. Hanya itu.
Hingga pada akhirnya, atas kegigihan pun jiwa solidaritas yang diberikan teman-teman untuknya, kotak bekal itu kini sudah habis tak bersisa.
Jaya kini sudah bisa bernapas lega, merasa aman apabila setiba di rumahnya nanti ia akan terbebas dari celotehan Mamanya.
“Terkadang emang harusnya kayak gitu, punya temen emang harus dimanfaatkan.”
Puspas Niskala Universe
by NAAMER1CAN0