Bandung, 15 Mei.


Playlist: https://open.spotify.com/playlist/1LasoVETVPZ0O8WJJNbHdP?si=Yz1aCNyzTHWE_f6PT4HJbg


Perasaan bahagia telah sukses Grace rasakan ketika selesai mengajari anak-anak panti asuhan dalam kegiatan membaca, menulis, dan menggambar. Saat ini Grace sedang mengistirahatkan dirinya pada salah satu bangku taman panti asuhan. Sejuk. Itulah yang sedang Grace rasakan, sebab, dirinya sedang duduk di bawah pohon rindang yang diiringi semilir angin sore yang menyejukkan. Langit-langit telah memperlihatkan semburat oranye menandakan waktu sudah semakin larut.

Grace tidak pernah terpikirkan untuk bergerak pada kegiatan sosial seperti saat ini yang sedang dilakukannya. Bagaimana ketika kedua netranya memandangi anak-anak panti asuhan membuat gejolak di dadanya semakin memburu. Masih banyak orang yang tak seberuntung dirinya, masih banyak orang yang memerlukan kasih sayang orang tua diusianya yang masih terbilang sangat kecil. Tidak sadar, air mata di pelupuk matanya seketika terjatuh tatkala ingatan semasa kecilnya mulai datang kembali.

“Kak Grace!”

Panggilan itu sukses membuat Grace kembali membuka matanya. Dia segera menyeka air matanya. Bibirnya terangkat membentuk senyuman manis ketika dapati satu anak kecil yang sedang menghampirinya.

“Halo.” Grace menyapa kedatangan anak itu dengan riang.

“Ini buat Kak Grace!”

Zoe menyerahkan dua tangkai bunga mawar putih kepadanya. Grace dengan raut penuh tanya pun langsung meraihnya. “Makasih, ya, Zoe.” Si kecil mengangguk dengan semangat, memeluknya, lalu setelah itu kembali meninggalkannya seorang diri.

Grace pandangi mawar itu dengan senyuman yang masih terukir di wajahnya dan seakan melupakan kesedihan yang sedang dirasakannya.

“Kak Grace.”

Grace seakan déjà vu dengan panggilan itu. Dia menoleh dan disambut oleh Nia yang sudah berdiri tak jauh dari tempat dia beristirahat. Dahi Grace mulai menukik tatkala anak tersebut menyerahkan tiga tangkai mawar merah. Lantas Grace segera melirik dua tangkai mawar putih yang sebelumnya dia dapatkan, lalu kembali menatap Nia dan mulai meraih bunga itu.

“Ini apa, Nia?” tanya Grace, terheran karena dia sudah diberi sebanyak lima tangkai bunga oleh dua orang yang berbeda.

“Itu untuk Kak Grace.” Si kecil tersenyum dan memerlihatkan sederetan gigi putihnya.

Grace baru saja akan melontarkan kembali pertanyaannya, namun, Nia lebih dulu memutar badannya dan meninggalkan Grace dengan ribuan pertanyaan yang masih berada di dalam pikirannya.

Maka, Grace segera mengeluarkan ponselnya lalu memastikan tanggal untuk mengetahui apakah hari ini menjadi hari penting atau tidak. Dan jawabannya pun tidak. Bahkan, tanggal ulang tahunnya pun masih sekitar tujuh bulan lagi.

Grace sangat terkejut ketika ponselnya sudah dia masukkan ke dalam kantong celananya, namun, secara tiba-tiba seseorang sedang berdiri seraya melemparkan senyuman ke arahnya.

“Astaga, Kiky. Kak Grace kaget.”

“Hehehe, halo Kak! Ini untuk Kak Grace.”

Setelah bunga mawar putih dan bunga mawar merah, kini Grace mendapatkan tiga tangkai bunga mawar pink. Grace pun hanya bisa terdiam dan menerima bunga itu. Dirinya semakin penasaran, pasalnya sedari tadi dia mendapatkan bunga akan tetapi Grace tidak mengetahui maksud dari bunga-bunga tersebut yang diberikan kepadanya.

“Kak Grace.”

“Bunga lagi, ya?” Si kecil tersenyum dan memerlihatkan cengirannya. Tangannya terulur untuk menyerahkan tiga tangkai bunga anggrek dengan tiga jenis warna berbeda; putih, pink, dan ungu.

Grace kembali meletakkan bunga yang telah diterimanya bersamaan dengan bunga-bunga sebelumnya. Sebanyak sebelas tangkai bunga sudah dia dapatkan, namun, jawaban dari pertanyaannya belum satu pun terjawab.

“Kak Mega.”

Bola mata Grace melebar ketika telinganya menangkap sebuah panggilan yang biasanya hanya digunakan oleh satu orang. Kepala Grace menoleh namun pandangannya malah dipenuhi oleh dua tangkai bunga matahari yang persis di depan matanya. Grace segera menerimanya, akan tetapi si kecil langsung berlari tanpa mengatakan sebuah kata pamitannya.

“Aneh banget, kenapa pada ngasih bunga gini. Apa emang hari ini, hari bunga sedunia, ya?” Grace menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan menatap bunga-bunga itu satu per satu.

Grace terlanjur asyik dengan bunga-bunga yang telah diterimanya hingga kedua telinganya tak mendengar suara derap langkah yang menghampirinya. Bangku itu seketika berdecit membuat Grace spontan untuk menolehkan wajahnya.

“Hai.”

Kali ini bukan anak panti yang mendatanginya, melainkan dia; sang empu yang menjadi satu-satunya orang menyebut dirinya dengan panggilan Mega.

“Hai,” balas Grace atas sapaan dari seseorang yang baru saja datang dan duduk di sebelahnya.

“Kenapa? Kok kayak orang bingung?” tanya Jagat, kepalanya dia miringkan untuk bisa menatap obsidian perempuan di sampingnya dengan jelas.

Grace diam sejenak. Dia menatap langit-langit sekilas hingga akhirnya kini pandangannya tertuju pada bunga-bunga yang sedang saling bertumpuk satu sama lain. “Aku bingung kenapa dikasih bunga dalam satu waktu, ya?” Pandangan itu sudah dia alihkan kepada seseorang di sebelahnya. Matanya mulai menatap netra lelaki itu seakan dirinya sedang berusaha mentransfer kebingungan yang dirasakan olehnya.

“Oh, ya?” Alis Jagat mengangkat, merasa tertarik dengan apa yang telah Grace lontarkan.

“Iya.”

Grace memundurkan badannya lalu melirik ke arah kirinya yang menampakkan beberapa tangkai bunga yang telah dia rapikan sebelumnya dan memberinya akses agar seseorang di sampingnya itu bisa melihat bunga-bunga yang sudah tersimpan rapi.

Jagat melirik sekilas lalu kembali memusatkan pandangannya ke depan. “Kalau gitu,” ada jeda sejenak dalam ucapannya, sebelum akhirnya tangan kanannya dia bawa untuk mendekati Grace. “Saya tambahin bunganya. Empat tangkai bunga tulip dengan warna berbeda dalam satu bouqet.”

“Buat kamu.” Jagat kembali menggerakkan bunga tersebut ketika seseorang di depannya tidak memberikan reaksi apa pun.

Grace segera meraihnya ketika kesadarannya sudah kembali. Ditataplah sekilas bunga tersebut dalam genggamannya. Terlebih saat kedua netranya tak sengaja menangkap sebuah bunga yang sangat dia sukai. Pandangan Grace kini teralihkan pada lelaki di sampingnya.

“Kenapa ngasih aku bunga?”

Alih-alih menjawab, Jagat mengangkat kedua bahunya tanpa mengeluarkan satu patah kata. Grace sedikit kesal ketika pertanyaannya tidak direspons.

“Memang kamu udah dikasih bunga apa aja?” tanya Jagat. Matanya kini sudah menatap kedua manik Grace dengan lekat. Membuat Grace yang ditatap sedikit salah tingkah.

“Pertama, dapet dua tangkai mawar putih—”

Ik.

“Iya?”

“Lanjutin aja, jangan gubris ucapan saya.”

“Oh oke.” Meskipun Grace sedikit bingung dengan ucapan Jagat, namun, dia tetap melanjutkan ucapannya. “Kedua, dapet tiga tangkai mawar merah.”

Hou.

“Ketiga, dapet tiga tangkai bunga mawar pink.”

Van.

“Keempat,” Grace nampak memejamkan matanya sejenak untuk mengingat bunga apa yang dia dapatkan setelah bunga mawar pink. Mata Jagat tidak lepas untuk memandang kedua bola mata milik Grace. “Ah, keempat dikasih tiga tangkai bunga anggrek warna putih, pink, ungu.”

Jou.

“Abis itu dikasih dua tangkai bunga matahari.”

Be.

“Terakhir, dikasih empat tangkai bunga tulip warna putih, kuning, merah, ungu.”

Jagat bungkam dan tidak melanjutkan ucapannya. Matanya kembali menatap pemandangan di depan dengan punggung yang telah dia sandarkan pada sebuah bangku yang sedang ditempatinya.

“Dua tangkai mawar putih melambangkan kata ‘ik’ dan memiliki arti kemurnian, tiga tangkai bunga mawar merah melambangkan kata 'hou' dan memiliki arti romantisme, tiga tangkai mawar pink melambangkan kata 'van' dan memiliki arti simbol cinta, tiga tangkai bunga anggrek warna putih, pink, ungu melambangkan kata ‘jou’ dan memiliki arti masing-masing warna keindahan, harmonis, dan kekaguman.” Kedua mata Jagat yang semula menatap pemandangan di depannya, kini beralih untuk kembali menatap manik Grace. “Dua tangkai bunga matahari melambangkan kata ‘be’ dan memiliki arti keabadian. Terakhir, empat tangkai bunga tulip warna putih, kuning, pink, ungu melambangkan kata ‘mine’ dan memiliki arti kedamaian, keceriaan, doa dan harapan, serta kesempurnaan.”

Jagat melirik tangan Grace yang sedang diistirahatkan di atas kakinya, kemudian menatap kembali mata perempuan di depannya. “Maaf.” Jagat mengulas senyumnya, lalu meraih tangan perempuan itu untuk dia genggam.

“Masing-masing bunga itu memiliki jenis tangkai yang berbeda, kan?” Grace mengangguk. Dia saat ini hanya bisa menatap Jagat tanpa beniat mengeluarkan suaranya, sebab, dirinya masih memproses perkataan dari Jagat beberapa saat yang lalu.

“Semua bunga dengan tangkai itu membentuk sebuah kata ‘ik hou van jou, be mine?’ kalau saya artiin ke dalam bahasa inggris, artinya … i love you, be mine?

Kedua bola mata Grace sontak langsung melebar, Jagat yang melihat reaksi tersebut hanya terkekeh. “Nggak usah saya jelasin juga mungkin kamu udah paham, ya? Saya suka kamu Mega, dari lama dan mungkin sadar nggak sadar kamu pun udah tau.” Jagat mengelus pelan punggung tangan perempuan itu menggunakan ibu jarinya, kemudian setelah itu dia kembali meletakkan tangan Grace secara perlahan. “Take your time, nggak dijawab sekarang juga nggak masalah, kok. Mau selama apa pun itu jawaban kamu, saya bakalan tungguin. Dan, apa pun jawaban kamu nanti saya bakalan terima.” Tangan Jagat terulur untuk merapikan rambut-rambut Grace yang tertiup angin dan menyelipkan ke belakang telinga perempuan itu.

Take your time, Mooi.” Jagat kembali mengulas senyumnya dan menepuk puncak kepala perempuan itu dengan pelan, sebelum akhirnya dia berdiri dan meninggalkan Grace seorang diri yang masih membeku dan memproses semua kejadian yang baru dialaminya.

“Mega,” panggil Jagat, membalikkan tubuhnya untuk menatap Grace yang masih menatap dirinya dengan raut penuh tanda tanya. “Ayo pulang, sebelum nanti macet.”


“Pulangnya mau bareng sama saya atau mau sama Jaya?” Jagat menghentikan langkahnya, memutar balik badannya untuk memastikan bahwa perempuan yang sedang mengekori di belakang akan pulang dengan siapa.

“Kenapa harus sama Jaya?” Grace terheran, seakan-akan Jagat tidak akan mengantarkannya pulang.

“Nggak, takutnya kamu canggung pasca kejadian tadi.”

Grace menggeleng dan mendekap bunga-bunga itu semakin dalam. “Pulang sama kamu.”

Jagat mengangguk dan meraih helm milik Grace. Kakinya dia bawa melangkah mendekati perempuan itu yang masih berdiri tiga langkah dari tempatnya berada. “Maaf, ya, saya bantu pasangin.” Helm tersebut secara perlahan sudah Jagat bantu pasangkan dengan rapi di kepala Grace.

Mesin motor sudah Jagat hidupkan, bersiap untuk segera meninggalkan panti asuhan. Hanya ada riang angin yang menemani perjalan mereka berdua. Situasi saat ini berbanding terbalik dengan situasi awal ketika mereka pergi. Kini hanya ada keheningan dan bunyi klakson kendaraan yang menemani sepanjang perjalanan.

Pelukan Grace pada bunga-bunga di dalam rengkuhannya kian mengerat. Dia tatap satu per satu bunga tersebut dengan raut wajah yang sulit diartikan. Perasaannya kini sedang campur aduk. Rasa terkejut, bingung, dan senang menjadi satu.

Terlalu lama larut dalam pikirannya membuat Grace tidak sadar bahwa kini kendaraan roda dua yang sedang dinaikinya telah berhenti tepat di depan gerbang kediamannya. Grace segera turun ketika sebuah tepukkan dia rasakan pada lutut kirinya.

“Terima kasih, ya, untuk hari ini. Terima kasih karena kamu udah mau kenal sama mereka dan terima kasih udah buat mereka bahagia atas bantuan kamu hari ini.” Jagat tersenyum setelah menyelesaikan ucapannya. Dia lirik sekilas bunga-bunga dalam rengkuhan Grace, lalu kembali menatap netra perempuan itu.

“Grace,” panggilnya.

Grace hanya menggerakkan alisnya untuk merespons panggilan tersebut. Rasanya sedikit aneh ketika mendengar lelaki di depannya memanggil dirinya dengan panggilan awal mereka bertemu. Padahal Grace sendiri menyadari bahwa itu namanya, namun, tetap saja. Grace tidak terbiasa tatkala mendengarnya.

Take your time. Selama apa pun jawaban kamu saya tetap bakalan nunggu. Tapi, tolong. Kalau pun jawabannya enggak, tetap kasih tau saya, ya? Jangan kasih saya harapan kalau pada akhirnya kamu nggak mengizinkan saya buat masuk dan nempatin hati kamu.”

Sorot mata itu ... Grace bisa melihatnya. Apa yang sedang dirasakan lelaki itu Grace bisa rasakan, meskipun lewat tatapan yang dipancarkan.

“Kalau gitu, saya pamit. Salam untuk ayah sama ibun, ya, kalau mereka udah pulang.”

Grace mengangguk, melempar senyuman kecil ke arah lelaki itu. Telinga Grace dapat menangkap suara mesin motor yang telah dihidupkan. Bersamaan dengan dia melangkah masuk ke dalam kediamannya, kendaraan roda dua itu mulai menjauh dan ditelan oleh gelapnya malam.

Tugas Jagat kali ini telah selesai. Dia telah mengungkapkan perasaan yang telah lama dirasakannya. Jagat tidak akan pernah menyesal karena telah mengenal dan menyimpan perasaan untuk perempuan itu. Banyak perubahan dari diri Jagat ketika mengenali sosok perempuan itu yang tidak diketahui oleh orang lain. Baru kali ini dia merasakan jatuh cinta sedalam ini. Grace lah yang mampu menarik semua atensinya. Jika ada jutaan bintang di langit, Jagat tidak akan pernah kesusahan untuk mencari Grace. Karena di matanya, Grace adalah bintang yang paling bersinar di langit malam.


Jij Bent Mooi.

By NAAMER1CAN0.