BANDUNG DI KALA HUJAN.


https://open.spotify.com/track/6WUqv9T3RPTHHNKw0zVJuM?si=eFO0KbDbSkyCA8Yb0yalnQ


Sudah hampir satu jam lamanya mereka diam di kelas dengan kondisi di luar sana masih hujan sejak bel pulang dibunyikan. Ada sebagian yang telah pulang karena jemputannya sudah datang. Ada sebagian yang menerobos hujan dengan jas hujan. Bahkan, ada pula sebagian yang terpaksa menunggu di dalam kelas sampai hujan tersebut reda. Akan tetapi, setelah melihat kondisi hujan di luar yang tampak tak memperlihatkan tanda-tanda mereka akan berhenti. Membuat salah satu dari mereka menghela napas panjang.

“Ini mah cuman ada dua pilihan,” ucap Yolan menghela napas seraya berjalan kembali menghampiri kelima temannya yang sedang terduduk bosan di atas kursi. “Pertama si kami nunggu di sini sampai gerbang sekolah di kunci, atau… mau nggak mau si kami nerobos hujan.”

Mereka sukses dibuat terdiam dengan raut wajah terlihat menimang-nimang kedua opsi yang sudah disebutkan Yolan.

“Sebenernya saya nggak masalah, sih, kalau mau hujan-hujanan. Tapi, masalahnya besok kita masih harus sekolah,” kata Jagat.

Harri membenarkan duduknya. “Di sini siapa aja yang bawa jas ujan?” Harri menatap satu per satu teman-temannya, menunggu jawaban di antara mereka.

Semuanya serempak menggelengkan kepala, terkecuali satu orang. “Si aku bawa!” balas Yolan, mengacungkan tangan.

“Yolan doang yang bawa?”

Mereka mengangguk mengiakan.

Sebenarnya, mereka tak tahu apabila hujan akan turun hari ini. Lantaran, ketika melihat cuaca tadi pagi bahkan sampai siang tadi, tak ada tanda-tanda sedikit pun yang memperlihatkan akan turunnya hujan. Pun, mereka biasanya selalu menyimpan jas hujan di dalam bagasi motor. Terkecuali Jagat dan Jaya yang kebetulan memakai motor tanpa adanya bagasi.

Tetapi, biasanya mereka berdua selalu membawa jas hujan di dalam tas. Namun, entah mengapa atas keteledorannya Jagat dan Jaya justru melupakan barang penting untuk selalu berada di dalam tasnya selain buku-buku pelajaran.

Rakha memandang ke luar jendela kelas. “Kayaknya ini hujan cuman di daerah sekolah aja, kalau misalnya kita hujan-hujanan juga cuman sebentar.”

“Jadi, kita mau gas aja ke rumah si Yolan sekarang?” Aksara berucap sembari mencabut ponsel yang semula dicas. Kabel casan itu Aksara gulung dengan rapi sebelum memasukkan ke dalam tas.

Harri mengangguk. “Gas! Aing sama si Jagat, ya.” Harri menepuk pundak Jagat. “Aing sama maneh, Ler.” Sementara Jagat hanya menjawab ucapan itu dengan menganggukkan kepala, seolah mengiakan permintaan dari Harri.

“Aing sama Mang Ajay!” ucap Aksara.

Kepala Rakha mengangguk pelan. “Heg, berarti aing sama si Yolan, ya,” timpal Rakha seraya menatap Yolan yang sedang siap-siap memakai kembali jaket yang sempat dibuka oleh laki-laki itu. Dengan cepat, Yolan mengacungkan jempol setelah dirasa jaket tersebut sudah dipakainya dengan rapi. Saking rapinya, Yolan bahkan tak membiarkan kancing-kancing pada jaket itu terbuka dan membuat tubuhnya akan kedinginan nanti.

“Eh, Yolan. Maneh kalau mau pake jas ujan mah nggak apa-apa pake aja.”

Yolan menggeleng, menolak ucapan dari Harri dengan halus. “Nggak ah, si aku nggak enak. Masa si kalian semua ujan-ujanan, tapi cuman si aku yang pake jas ujan. Nggak adil!”

“Ya, nggak apa-apa atuh. Orang yang teledornya juga itu mah kita, kenapa maneh sendiri yang nggak enak sama kita, Jir!” balas Aksara dengan nada ucapan sedikit meninggi.

“Udah nggak apa-apa, anggap aja si aku nggak bawa jas ujan kayak si kalian.” Yolan mulai meraih tas dan memakainya. “Lagian kayaknya bener kata Mang Rakuy, paling hujannya di sekitaran daerah kita aja!”

Ingatkah kalian dengan ucapan dari Rakha yang mengatakan besar kemungkinan hujan deras yang menghambat perjalanan pulang mereka tadi di sekolah hanya turun di daerah sana aja? Nyatanya, setelah mereka benar-benar coba untuk menerobos derasnya hujan di kota Pasundan, mereka bahkan tak melihat tanda-tanda hujan itu akan segera berhenti.

Ironisnya, tubuh mereka kini sudah benar-benar basah kuyup. Mereka bahkan tak mempersiapkan untuk sekadar membungkus buku-buku pelajaran, ponsel, serta barang-barang penting lainnya dengan plastik untuk menghindari tetesan dari air tersebut. Jangankan untuk mempersiapkan, untuk berpikir ke arah sana pun sepertinya tidak ada.

Entahlah bagaimana kondisi semua barang bawaan yang berada di dalam tas mereka saat ini. Mungkin, kerja kerasnya untuk mencoret tinta-tinta hitam di atas kertas bergaris itu perlahan luntur, atau bahkan bisa saja tulisan-tulisan itu sudah sepenuhnya hilang.

Bangsat! Cenah hujanna di daerah sakola hungkul. Ieu mah asa tatadi arurang maju eweuh we tanda-tanda rek raat teh!

“Katanya hujannya cuman di daerah sekolah aja. Ini dari tadi kita maju belum ada tanda-tanda mau reda, tuh!”

Harri sudah tak bisa menahan segala sumpah-serapah yang berada di ujung lidahnya. Laki-laki itu terus-menerus melontarkan kalimat demi kalimat tak senonohnya. Beruntung, derasnya hujan saat ini membuat ucapan laki-laki itu sedikit tersamarkan. Bahkan, Jagat yang sedang mengendarai motor pun tak dapat mendengar jelas kalimat protes dari Harri.

WOY! IEU REK TERUS MAJU NEPI IMAH SI YOLAN ATAWA REK NGIUHAN HEULA?!

“WOY! INI MAU TERUS MAJU SAMPAI RUMAH YOLAN ATAU MAU NEDUH DULU?!”

LANJUT WE, KAGOK! GEUS KAPALANG BASEUH BISI TIRIS MUN NGIUHAN HEULA MAH!” balas Jaya tak kalah keras dari pertanyaan Rakha sebelumnya.

“LANJUT AJA, NANGGUNG! UDAH TERLANJUR BASAH TAKUT DINGIN KALAU NEDUH DULU!”

Mereka sempat dibuat ragu ketika ingin terus melanjutkan perjalanan, tiba-tiba saja salah satu dari mereka khawatir akan datangnya petir. Akan tetapi, sampai sejauh ini, beruntung petir tak ikut menampakkan diri. Hanya ada derasnya hujan dengan disertai angin sesekali datang yang tak begitu besar.

Sudah dingin, malah terjebak di tengah-tengah lampu merah. Aksara, Harri, dan Rakha serempak membungkuk dengan kepala menunduk. Sementara Jagat, Jaya, dan Yolan yang menyetir hanya bisa pasrah ketika tubuh bagian depan mereka menjadi sasaran empuk cipratan air dari para kendaraan di depan.

Sudah tahu sedang menerobos hujan, tetapi keenam pemuda itu tak ada inisiatif untuk mengendarai motor mereka dengan cepat—untuk secepat mungkin sampai tujuan. Melainkan, Jagat, Jaya, dan Yolan mengendarai motor mereka dengan kecepatan maksimal 40 km/jam. Sebenarnya Jaya sudah mengusulkan untuk menggunakan kecepatan 60 km/jam, namun Yolan menolak mentah-mentah ide itu sehingga pada akhirnya Jaya mengikuti usulan dari Yolan. Jaya ingat betul kalimat dari Yolan yang mengatakan. “Keselamatan itu paling penting!” Jadi, mereka pun tak bisa menyanggah ucapan tersebut karena ada benarnya pula.

Anjir, macet naon deui ieu teh!” ucap Harri sembari kepala laki-laki itu celingak-celinguk.

Jagat memiringkan sedikit kepala ke belakang. “Hah?” Jagat tak sengaja mendengar ucapan Harri yang tak begitu jelas, sehingga Jagat secara tidak langsung meminta Harri untuk mengulangi kalimatnya.

“Itu, macet apaan lagi di depan?” ujar Harri mengulangi ucapan sebelumnya.

Jagat menggeleng. “Nggak tau.”

“Mobil mogok!” teriak Aksara seraya lari terbirit-birit kembali menghampiri motor Jaya. Harri tak tahu sejak kapan kepergian Aksara untuk mengetahui situasi di depan sana. “Di depan ada mobil pick up nggak bisa nanjak terus berakhir mogok, kasian cuman ada sopirnya sendirian!”

Setelah mendengar penuturan dari Aksara, Jagat mulai memundurkan motornya, membelokkan motornya ke arah sebelah kiri dan menjalankan motor itu dengan pelan-pelan. Di belakang, Jaya dan Yolan langsung mengikuti hal yang dilakukan Jagat walau beberapa pertanyaan menghantui kepala mereka berdua.

Melihat mobil di depan sana sedang kesusahan untuk menanjak, secara spontan membuat Jagat dan Harri terburu-buru turun dari motor. Saking terburunya, sampai-sampai Jagat lupa untuk menarik standar motor. Alhasil, motor laki-laki itu langsung terjatuh dengan sang pemilik berlari tak mengindahkan sama sekali kondisi motornya—sang pemilik sibuk berlari menghampiri mobil itu.

Berbeda dengan Jagat dan Harri yang terburu-buru, Jaya dan Yolan masih sempat untuk sekadar menarik standar dan mengunci setang motor sebelum keduanya ikut menyusul berlari ke arah mobil. Sementara Rakha dan Aksara yang tak sengaja melewati motor Jagat pun dibuat sibuk menarik motor laki-laki itu yang terjatuh.

Saat Harri, Jagat, Jaya, dan Yolan sibuk berlari menghampiri mobil yang mogok. Aksara dan Rakha justru disibukkan membenarkan motor milik salah satu temannya—Jagat—yang tergeletak begitu saja di pinggir jalan. Untung saja, keadaan di sekitar mereka cukup sepi dari lalu lalang kendaraan.

“Jagat tolol!”

“Tarik yang bener, Sa!”

“Berat, Anying!”

“Ah Babi, tau gini mah kita nggak usah bantu benerin dulu motor si Jagat!”

Selepas mengeluarkan tenaga untuk membenarkan motor Jagat, akhirnya kendaraan itu sudah terparkir dengan benar. Rakha tak lupa mencabut kunci motor itu dan ikut menyusul membantu teman-temannya yang sudah siap mendorong mobil itu.

“Pa! Saya dan teman-teman bantu dorong dari belakang. Bapa jangan rem mobilnya!” ucap Jagat sedikit teriak, lantaran takut sang sopir tak dapat mendengarnya.

“Bensin mobil Bapa habis, Dek!”

“Nggak apa-apa, Pa. Kami bantu dorong sampai depan tanah kosong itu, nanti Bapa tolong belokin ke arah kiri!”

“Makasih, Dek!”

Jagat kembali berlari ke belakang. Ia memberi isyarat kepada teman-temannya untuk segera mengambil posisi mendorong mobil. “Kita dorong sampe tanah kosong itu.” Jagat menunjuk ke tempat yang dimaksud. Kemudian kelima temannya serempak mengangguk kepala, menyetujui perintah dari Jagat.

Dorong, daks, dorong!

Walaupun mereka terasa lelah dan dingin, namun setelah mencoba mendorong mobil pick up yang mogok ini seketika rasa semangat mereka berapi-api. Mereka sudah tak peduli dengan seluruh tubuh yang terus-menerus terkena derasnya tetesan hujan, mereka sudah tak peduli dengan barang bawaan mereka, mereka sudah tak peduli isi sepatu yang sepenuhnya telah berisi air, bahkan mereka tak peduli keadaan kendaraan mereka di belakang sana. Sebab, yang mereka pedulikan hari ini adalah membantu mobil ini sampai di tanah kosong tersebut. Mereka tak ingin membuat kemacetan yang lebih parah. Mereka tak ingin sang sopir menjadi bulan-bulanan caci makian dari pengendara yang terkena akibatnya.

ANGGAP AJA KITA LAGI NGE-GYM, DAKS!

AYO GUYS SI KAMI PASTI BISA DORONG MOBIL INI SAMPE SANA!

SEMANGAT DAKS ABIS INI KITA LANGSUNG MAKAN LIWET SEPUASNYA DARI IBU HENI!

Tak peduli dengan kondisi sepatu yang berkali-kali tergelincir akibat lincinnya jalanan itu, mereka tetap fokus untuk mendorong mobil itu.

Ironisnya, masyarakat yang berada di sekeliling mereka hanya bisa menyaksikan saja.

Tak ada yang bisa melebihi rasa bangga Jagat saat melihat betapa semangatnya kelima orang itu dalam mendorong mobil. Satu hal yang selalu membuat hati Jagat terenyuh, di antara semua orang yang berada di sekeliling mereka—hanya menyaksikan tanpa berniat membantu—hanya mereka berenam yang berani untuk terjun langsung. Seakan, mereka tak peduli apa yang akan terjadi setelah ini.

Mereka tak tahu tetesan air yang terjatuh dari dahinya itu keringat, air hujan, atau bahkan keduanya yang sudah bercampur, mereka tak begitu memedulikannya.

Dengan seluruh tenaga yang sudah dikeluarkan, akhirnya mobil itu sudah terparkir di tempat yang diusulkan Jagat. Keenam tubuh pemuda itu serempak membungkuk dengan napas terengah-engah.

Suara pintu mobil yang dibuka dan beberapa detik setelahnya kembali ditutup oleh sang sopir mulai mengalihkan sebagian perhatian mereka. “Dek, Adek, makasih banyak udah bantu Bapa, ya!” ucap sang sopir dengan senyuman sangat tulus tercetak di wajahnya.

Jagat menelan ludah sekaligus menelan segala rasa lelah yang ada. “Iya, Pa, kembali kasih. Memang sudah salah satu kewajiban kita dalam saling tolong-menolong,” sahut Jagat yang diangguki kelima temannya di belakang. “Mobil Bapa pakai bensin apa?” tanya Jagat.

“Eh, nggak apa-apa, Dek. Nanti saya cari sendiri aja buat bensin. Adek-adek langsung pulang aja, nggak tega Bapa liat Adek-adek pada hujan-hujanan.”

Harri menggeleng. “Nggak, Pa. Kita emang udah ujan-ujanan dari awal. Lagian setau saya teh pom bensin di daerah sini lumayan jauh,” balas Harri, mencoba mengingat-ingat letak secara pasti pom bensin yang terdekat.

“Iya, Pa. Jadi, biar kita bantu Bapa cari pom bensin terdeket aja mumpung kami bawa motor,” timpal Rakha, berusaha membuat sang sopir mengiakan bantuan kedua kalinya dari mereka.

“Saya pakai pertamax, tapi nggak usah, Dek. Nanti saya minta tolong teman Bapa aja.”

“Kalau gitu, sedot dari tangki bensin motor saya aja, Pa. Kebetulan bensin motor saya full dan sama-sama memakai pertamax.” Jagat mulai meraba-raba pada setiap saku yang berada di seragam sekolahnya. Dahinya mengernyit ketika barang yang sedang dicarinya tak kunjung ia temukan juga.

Rakha merogoh saku seragam dan menyerahkan kunci itu pada sang pemilik motor. “Kunci motor maneh, nih, Gat.”

“Nah! Terima kasih, Kha.” Jagat meraih kunci motor tersebut dan bersiap-siap untuk berjalan membawa motornya, namun baru saja satu langkah Jagat kembali menghentikan langkah. “Ada yang bawa selang?” tanya Jagat, menatap satu per satu kelima temannya.

“Si aku ada!”

Maka, setelah itu Jagat, Jaya, dan Yolan melangkah bersama untuk menuju motor dan membawa kendaraan ketiga orang itu untuk ikut terparkir di samping pick up.

Lantaran Jagat tak terlalu mahir dalam memindahkan bensin dari satu kendaraan ke kendaraan lainnya, sehingga Harri menawarkan diri secara sukarela untuk membantu.

“Hati-hati nyedotnya,” kata Jaya sembari mengarahkan selang tersebut pada tangki bensin mobil pick up.

Kegiatan seperti ini bukan menjadi kegiatan pertama kalinya bagi Harri. Sebab, jauh-jauh hari ia sudah melakukannya. Bahkan, Harri sendiri sudah tak ingat seberapa banyak ia melakukan kegiatan memindahkan bensin menggunakan selang. Namun, perlu dicatat hal seperti ini tidak untuk ditiru. Jika Papa Asep tahu, mungkin Harri sudah dihukum. Sebab, itu sangat bahaya ketika dilakukan—takut apabila bensin tersebut tak sengaja terminum.

“Udah, Dek, udah cukup.”

Mendengar itu, Jagat mulai menarik perlahan selang tersebut dari tangki motornya. Ia menggulung selang sebelum diberikan kepada Yolan. “Hati-hati nyimpennya,” ucap Jagat dibalas anggukkan kepala dari Yolan.

Entah terlalu nyaman mengguyur kota Pasundan atau memang hujan tersebut sedang menyombongkan keahlian membuat para penghuni bumi menunduk kepadanya, sebab hujan itu sedari tadi belum berhenti juga. Justru yang ada hujan itu berakhir makin deras.

“Dek, ini ada sedikit uang buat Adek-adek karena udah bantu saya. Terima kasih, ya, Dek. Kalau misalnya nggak ada kalian kayaknya saya nggak tau bakalan kayak gimana nanti.”

Aksara menggeleng cepat. “Eh, nggak perlu, Pa. Kita-kita bantuin Bapa karena emang kebetulan lagi lewat aja, nggak ada maksud lain.” Aksara mendorong halus uang yang akan disodorkan oleh yang lebih tua.

Bukan berniat menolak rezeki, tetapi ucapan Aksara tentang mereka memang ingin niat membantu tanpa ada alasan dibaliknya memang lah benar. Mereka sama sekali tak berpikir untuk diberi imbalan karena sudah membantu. Karena, sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang akan selalu mengulurkan tangan dan menolong yang sedang kesusahan.

“Kalau gitu, kalian terima aja sebagai traktiran dari Bapa buat kalian beli wedang jahe biar kalian nggak kedinginan, ya.”

Se-berusaha apa pun mereka menolak pemberian uang dari yang lebih tua, ternyata pria itu tetap bersikeras untuk memberi dengan dalih rasa terima kasih. Sampai uang tersebut disimpan langsung oleh sang Bapa di salah satu saku seragam di antara mereka berenam. Jaya yang menjadi korban atas keberadaan uang tersebut di seragamnya hanya bisa mengedip-ngedipkan mata tanpa mengatakan satu patah kata apa pun.

“Terima kasih banyak, ya, Pa! Semoga rezeki Bapa lancar terus!” ucap Harri disertai kepala yang membungkuk.

Melihat tingkah Harri, refleks membuat teman-temannya ikut membungkukkan kepala dilengkapi berbagai kalimat ucapan terima kasih. Sedangkan pria tersebut hanya tersenyum dan menepuk pundak keenam pemuda itu secara satu per satu, sembari mengucapkan kalimat perpisahan karena harus melanjutkan perjalanan.

Mereka berenam berbaris rapi seraya melambaikan tangan kepada mobil pick up yang perlahan mulai menjauh. Hanya dalam hitungan beberapa detik, mobil tersebut sudah benar-benar lenyap karena terhalang oleh beberapa kendaraan yang ikut melintas di atas jalanan itu.

“Eh, dikasih berapa itu?” tanya Harri kepada Jaya.

Jaya merogoh saku, mengeluarkan lembaran uang tersebut dan memperlihatkan kepada teman-temannya.

“Banyak bangetlah ngasih seratus lima puluh ribu!”

“Eh, hayu kita nge-wedang jahe! Aing udah nggak kuat kabulusan!”

Dahi Jagat mengernyit. “Kabulusan itu apa?” tanya Jagat kebingungan, lantaran baru mendengar kosa kata baru itu.

“Kedinginan sampe menggigil,” timpal Rakha.

Memang benar, jari-jari tangan mereka sudah mengerut, bibir membiru, dan tubuh yang mengeluarkan reaksi menggigil yang alami. Sampai-sampai, jaket yang mereka pakai sudah tak berarti, sebab bukannya memberi kehangatan, justru dengan memakai jaket itu memberikan rasa dingin yang berkali-kali lipat.


Di sini lah mereka berada, di tempat hangat dengan aroma jahe menguar kuat—mengisi indera penciuman mereka. Mereka terduduk rapi di tepi jalan dengan gelas wedang jahe berada di tangan mereka. Gelas tersebut mengeluarkan asap yang terus-menerus mengepul, tetapi syaraf sensorik mereka seakan sedang terganggu sehingga mereka tak merasakan rasa panas sedikit pun dari gelas itu.

H-haing nggak kuat dingin pisan!” ucap Rakha susah payah, lantaran tubuhnya sudah sedikit menggigil.

Bukan hanya Rakha, melainkan keenam orang itu sedang merasakan hal yang sama. Mereka saling terdiam bukan karena bingung akan membawa topik apa untuk dibicarakan malam itu, namun keadaan lidah mereka seakan kelu untuk sekadar mengucapkan sepatah kata.

Dari seragam sekolah yang basah kuyup, kini seragam mereka sudah kering sempurna. Dari hujan deras, kini telah mereda. Dan, bahkan dari langit masih terang, kini sudah gelap. Tak terhitung sudah berapa lama mereka terjebak di bawah aliran hujan yang deras, yang pasti hujan tersebut meninggalkan rasa dingin yang tak kunjung hilang.

“Saya boleh nambah lagi nggak wedang jahenya… saya nggak kuat dingin banget.”

Mereka mengangguk kompak dengan lemas. “Boleh, mau segerobak juga boleh. Tapi pesen sendiri soalnya aing nggak kuat berdirinya,” balas Harri dengan badan membungkuk—meletakkan dagu di atas lutut.

Jaya menoleh ke arah Aksara. “Gantian bawa motornya,” kata Jaya tanpa basa-basi.

“Nggak mau, nanti aing ngerasain rasa dingin berkali-kali lipat kalau yang nyetir!”

Maneh mau pake kecepatan 10 km/jam juga nggak apa-apa, asal maneh yang nyetir,” sahut Jaya bersikeras menginginkan Aksara yang melanjutkan perjalanan menuju rumah Yolan nanti.

“Rak—”

“Nggak mau! Aing nggak mau nyetir!” tolak Rakha, tahu akan arah pembicaraan laki-laki itu yang sudah menatapnya dengan tatapan wajah memelas.

Malam itu, tak ada lagi obrolan-obrolan hangat yang berbondong-bondong mereka serukan untuk mengangkat euforia di antara mereka. Khusus malam ini, mereka hanya saling berbagi kehangatan melalui satu gelas wedang jahe. Tak ada yang lain.

Bahkan, mereka tak tahu bahwa keesokkan harinya, lagi-lagi mereka memperlihatkan jiwa solidaritas yang tinggi—tak masuk sekolah dengan kompak. Mereka saling tak tahu, sebab, ponsel mereka lagi-lagi memperlihatkan ke-solidaritas-an—mati bersamaan karena terlalu lama berada di bawah aliran air.

Walaupun begitu, di dalam hati mereka sangat senang karena telah membantu. Setiap bantuan yang mereka berikan, terdapat rasa kebanggaan tersendiri setelahnya. Mereka tak akan pernah menyesal karena sudah rela untuk hujan-hujanan bersama, sebab karena itulah mereka dibukakan jalan untuk membantu orang lain.


ib: video anak SMA rela hujan-hujanan demi bantu dorong mobil pick up yang mogok di tengah-tengah tanjakan. [https://vt.tiktok.com/ZSNM6HQty/]


Jagat Lingga Erlangga Universe

by NAAMER1CAN0