BERBAGI CERITA DAN TAWA


Mata pelajaran kali ini menjadi ujian penutup di minggu pertama. Rasanya lega saat menyadari ia mendapatkan waktu dua hari untuk bersantai, melupakan sejenak apabila senin setelahnya masih harus bertempur dengan soal-soal.

Syifa menarik napas dalam-dalam, tangannya sibuk memasukkan barang ke dalam tas.

“Kalau didenger dari suara napasnya, kayak lagi pikul beban yang berat.”

Syifa mengekeh. Selain karena alasan mata pelajaran fisika yang sudah membuat rasa optimisnya lenyap begitu saja, Syifa pun merasa menyesal karena tak bisa menyelesaikan ujian lebih dulu. Jika sudah seperti ini, pasti di luar gerbang sana sudah dipadati para murid yang sedang mengantre memesan ojek online. Syifa harus merelakan waktu istirahatnya lebih awal.

“Emang Kak Jaya nggak pusing sama ulangan fisika tadi?”

“Pusing, tapi nggak sampe ngehela napas kayak gini,” kata Jaya sembari mencontohkan ulang bagaimana gadis itu tadi menghela napas penuh beban, seperti tengah memikul puluhan karung beras pada pundaknya.

Syifa nyaris mempertontonkan reaksi wajahnya yang memandang laki-laki itu dengan tatapan maut. Kakak kelas itu tampaknya sudah lebih mahir dalam berseloroh.

Padahal aslinya Jaya sedikit kikuk apabila senda gurau tadi sampai pada telinga beberapa orang yang masih tinggal di kelas. Harri dan Jagat untungnya sudah lenyap duluan. Jagat berpamitan untuk langsung pulang, sedang Harri berpamitan untuk ke kantin karena perlu menuntaskan rasa lapar. Sementara beberapa teman dekat Syifa pun tak dapat Jaya temukan di dalam kelas, sehingga ia berspekulasi bahwa mereka sudah ikutan lenyap meninggalkan kelas.

“Langsung pulang nggak, Syifa?” Jaya kembali membuka suara. Intonasi suaranya tak meninggi, juga tak merendah.

“Iya, Kak Jaya. Soalnya besok libur jadi buat apa juga Syifa belajar sekarang, yang ada udah terlanjur lupa duluan.” Kalimat itu diselingi tawa kecil.

Jaya mengeluarkan jaket dari dalam tas, lalu memakainya. Kancing jaket itu dibiarkan terbuka, memperlihatkan sebagian seragam putih. Jaya tak terlalu senang memakai jaket yang dikancingkan. Pengap, dan pergerakannya jadi terbatas.

“Ayo Jaya anter.” Nada suara itu terdengar sangat lembut sampai-sampai jantung Syifa langsung bereaksi tak mengenal situasi—berdegup tak karuan. Syifa sampai tak sadar bahwa dalam kalimat itu terkandung sebuah harapan.

Awalnya Syifa mengira kalau kalimat itu sebuah guyonan belaka, mengingat akhir-akhir ini Jaya sudah mahir melemparkan berbagai lelucon. Namun, selepas melihat Jaya berdiam di ambang pintu dengan tas sudah rapi tersampai di punggungnya, Syifa jadi sangat yakin kalau ajakan itu sungguh-sungguh Jaya tawarkan.

Ketika iris matanya bersinggungan dengan telinga laki-laki itu, Syifa mati-matian mengulum senyuman agar tak merekah. Telinga laki-laki itu memerah, hampir menyerupai warna lipstik yang dipakai pengawas tadi. Jaya sedang tersipu.

“Emang Kak Jaya bawa helm dua?” Syifa hanya memastikan.

Jaya mengangguk penuh keyakinan. “Ada. Jaya pergi duluan, ya, mau bawa motor. Nanti Syifa tunggu aja di gerbang.”

Bahkan, Syifa sama sekali belum mengiakan ataupun membalas ajakan itu. Tetapi, Jaya sudah undur diri duluan dari hadapannya. Bagaimana kalau misalnya sewaktu-waktu ia kabur lewat tembok belakang sekolah? Walaupun ide konyol tersebut tak mungkin pula ia lakukan.

Sepeninggalan Jaya, Syifa masih mencoba meyakinkan apakah ia sedang melakoni karakter dalam tidurnya? Apakah ia sekarang sedang bermimpi di tengah-tengah ujian fisika berlangsung? Atau, parahnya apakah ia masih tertidur di rumah dan telat berangkat sekolah karena terlalu asyik ikut berperan dalam mimpi indah ini?

Dugaan-dugaan itu terus berkeliaran di kepala. Begitu jemarinya menjumput punggung tangan—sepersekian detik setelahnya, asumsi yang bersemayam di kepala praktis menghilang. Syifa mengaduh, menandakan ini bukanlah semata-mata sedang bermimpi.

Meski jutaan pertanyaan belum juga keluar dari isi kepala, Syifa langsung memakai tas dan menyusul Jaya yang mungkin sudah menunggu di gerbang sekolah. Syifa tak boleh membuang-buang waktu secara cuma-cuma, sebab tiap satu detik waktu yang berjalan sangat berharga.


Berbagai jenis pertanyaan perihal helm siapa yang sedang ia pakai ini terus berlari-larian dalam kepala. Bentuk helm ini sangat familier. Baunya cukup maskulin. Jika terlintas jawaban sementara helm itu milik seorang gadis maka sudah dipastikan salah. Apabila helm itu milik Jaya, lalu mengapa ia jarang melihat laki-laki itu memakainya? Ia lebih sering melihat Jaya menggunakan helm full face, dibandingkan dengan helm merek Bogo. Jadi simpulannya, milik siapakah benda bulat tengah membungkus kepalanya sekarang ini?

Gumpalan awan membentang di langit—salah satu dari mereka seolah terngah berseri-seri. Tak tahu karena awan tersebut dengan jahil telah menyamarkan sinar sang matahari, atau seakan sedang mengejek dirinya yang tak pandai mengatur ekspresi juga tingkah laku.

Mulutnya boleh diam, tapi pikirannya berisik.

Sepertinya Syifa harus memperbanyak memperlakukan adiknya dengan baik pada waktu pagi hari. Nyatanya, karma baik justru berhendak membuat ia bisa ditakdirkan duduk di atas motor yang sama dengan Jaya. Seingatnya terakhir kali mereka berbagi kendaraan saat mereka selesai olahraga berenang, itu pun karena dipaksa oleh Harri. Kalau tidak salah.

Entahlah, memang karena waktu masih pagi hari sehingga laki-laki itu tidak berkeringat sama sekali, atau memang benar perihal isu laki-laki dan perempuan memiliki reaksi berbeda ketika menyemprotkan parfum ke tubuh. Sebab, semilir harum parfum dari tubuh laki-laki itu berbondong-bondong menyeruak, memaksa menerobos indra penciumannya. Ketika ia menggunakan parfum, wanginya tak semerbak ini.

Laki-laki itu harum maskulin, tidak membuat pusing ketika ia terus menarik napas—mengisi sebagian udara yang bercampur parfum. Terkadang ada beberapa wangi parfum apabila di tengah cuaca sedang panas, ataupun dihirup secara berulang akan menimbulkan efek samping memusingkan. Lain dengan parfum laki-laki itu. Makin ia mencoba menghirupnya, makin tergila-gila dengan wangi-wangian itu.

Tangan Syifa mengepal. Otaknya dipaksa berpikir untuk sesegera mungkin menyusun kalimat guna menepis keheningan di antara mereka.

“Kak Jaya,” panggil Syifa, berusaha menegakkan tubuh, ingin melihat ke arah spion agar bisa melihat wajah Jaya walau kesusahan sebab punggung laki-laki itu sangat tinggi dan menghalanginya.

“Ya?” Jaya melirik spion, membungkukkan sedikit tubuh—sampai rela memiringkan pundak sebelah kiri demi bisa melihat jelas wajah sang adik kelas dari spion.

Syifa menggigit pipi dalam melihat aksi responsif dari Jaya. Pipinya bersemu. “Kak Jaya tau nggak cerita tentang ada anak kelas sepuluh lagi kerja kelompok sampe sore, terus malah berakhir dijahilin penunggu sekolah?” Syifa mendesah lega saat kalimat itu berhasil ia sampaikan tanpa terbata.

“Masa iya?” Kedua ujung alis Jaya menyatu, iris matanya yang gelap menyorotkan reaksi tidak percaya.

“Iya! Kak Jaya udah pernah denger belum ceritanya?”

Gelengan dari Jaya langsung menjawab pertanyaan yang telah Syifa lontarkan.

Syifa menarik napas dalam-dalam, terus memaksa paru-parunya memasok udara. Sebab setelah ini ia akan sibuk berbicara sepanjang jalan.

“Jadi, katanya anak 10 IPA 1 waktu itu lagi kerja kelompok kerjain prakarya. Nah, karena sekolah bubar jam empat sore, jadi mereka milih buat terusin kerjaannya di sekolah. Tapi, kan, Kak Jaya tau sendiri rata-rata tugas prakarya itu ribet banget. Makanya waktu itu mereka ngerjain sampe sore—bahkan kayaknya melebihi jam enam.” Jaya terdiam, sementara Syifa sibuk berceloteh. “Pas jam setengah enam itu satpam mulai keliling sekolah, kan, buat kunciin semua ruangan. Pak satpam waktu itu udah nyuruh mereka pulang, tapi anak-anak IPA 1 itu keukeuh mau lanjutin karena nanggung. Jadi, ya udah, deh, Pak satpam biarin.”

Jaya melajukan motor dengan kecepatan lebih pelan daripada sebelumnya. Jaya membawa kendaraannya untuk melintas di jalur sebelah kiri, mempersilakan pada kendaraan lain apabila ingin menyusul.

Syifa mencondongkan sedikit badannya ke depan. Menarik napas, dan melanjutkan sesi ceritanya kembali. “Beberapa menit setelah Pak satpamnya pergi, kondisi sekolah makin gelap. Dan, keadaannya bener-bener sepi. Mereka udah ngira kalau misalnya di lingkungan kelas 10 itu cuman tersisa mereka berlima. Sampe ada salah satu dari mereka ngerasa kalau dia mulai risi sendiri setiap nggak sengaja tatapan sama pohon di depan kelas. Nggak berselang lama dari itu, kipas di dalem kelas tiba-tiba nyala terus—”

Jaya mengernyit. “Berisik.” Tecermin sarat yang telah terusik dalam tutur kalimatnya.

Syifa melongo. Bibirnya terkatup. Dari bagaimana intonasi suara Jaya berbicara, Syifa yakin kalau laki-laki itu dongkol mendengar ia berbicara terus-menerus tanpa jeda. “Eh? Maaf, ya, Kak Jaya, Syifa udah berisik. Maaf juga tadi Syifa heboh cerita sendiri, Syifa kira Kak Jaya mau denger ceritanya.”

Lagi pula, Syifa kira kakak kelas itu diam karena sibuk mendengarkan ia berceloteh. Ternyata justru sebaliknya.

Jaya menggeleng cepat, berusaha menangkap permintaan maaf sang adik kelas untuk ia tepis dengan jauh. “Nggak. Itu knalpot motor sebelah berisik, suara Syifa jadinya nggak bisa Jaya denger secara jelas.” Dagu Jaya bergerak menunjuk ke arah di mana motor itu berada.

Ah, ternyata karena motor itu, ia kira karena ia terlalu bersemangat dalam bercerita.

Syifa mengangguk-angguk, kepalanya mendongak mengikuti pergerakan burung yang melintas di atasnya. Syifa menjauhkan helaian rambut menempel pada bibirnya karena ulah angin yang menyerang tiba-tiba.

Suasana mendadak menjadi canggung selepas sadar keheningan kembali melanda mereka.

“Kenapa diem? Ayo lanjutin ceritanya. Jaya suka dengerin Syifa cerita.” Kalimat itu keluar dari mulutnya sangat lancar sampai-sampai Jaya sendiri tak memercayai apa yang telah diucapkannya.

Manik mata Syifa membesar. “Ha, apa, Kak Jaya?” Secercah harapan tiba-tiba muncul, menyebabkan dadanya bergemuruh.

Wajah Jaya nyaris memperlihatkan reaksi yang sama jika ia tak terburu-buru berdeham. “Lanjutin ceritanya.” Jaya memutus pandangan dari spion. “Nanggung.” Pipi Jaya bersemu. Wajah dan tubuhnya mendadak menjadi gerah.

Syifa berseru. “Ah! Jadi sampai mana, ya, tadi—”

“Kipas angin tiba-tiba nyala.” Sadar akan sebuah fakta laki-laki itu mendengarkan ia bercerita, pipi Syifa jadi panas sendiri.

“Kipas di kelas tiba-tiba nyala dan mengeluarin suara yang nyaring hampir mirip kayak kuntilanak lagi ketawa! Mereka saat itu juga langsung ngibrit kabur karena kaget.” Syifa melanjutkan sesi cerita yang sempat terhenti karena kesalahpahaman.

“Bukan suara ketawa dia kali, tapi suara dari suara mesin kipasnya yang rusak,” sanggah Jaya, berusaha berpikir rasional. Walaupun jika ia berada langsung di tempat kejadian belum tentu akan berpikiran sampai sana.

Syifa menjentikkan jari tepat di sebelah kepala Jaya. “Nah, kan, Syifa udah ngira Kak Jaya bakalan jawab itu. Tapi, faktanya adalah mesin kipasnya nggak rusak sama sekali!”

Perdebatan itu terus berlanjut. Jaya yang berusaha logis, sementara Syifa dengan sikap skeptis. Mulai dari lampu merah sebelumnya, sampai pemberhentian di lampu merah yang baru, perdebatan itu belum selesai juga. Meski sedang berdebat, tak sekali pun Jaya terdengar mengeluarkan nada suara yang meninggi. Laki-laki itu berusaha mengemukakan semua dugaan dengan nada suara lembut.

Sebenarnya Jaya sendiri percaya dan tidak percaya kalau suara yang muncul itu memang dari makhluk halus. Namun, Jaya berusaha cenderung tidak memercayainya sebab ia sengaja perpanjang sesi debat hanya untuk melihat reaksi wajah sang gadis yang terus berubah setiap detiknya ketika sedang berdebat. Reaksi wajahnya persis dengan reaksi yang Jaya lihat saat ujian di hari pertama. Lucu, dan gemas sendiri.


Puspas Niskala Universe

by NAAMER1CAN0