BERBAGI CERITA DAN TAWA #2
Ketika gadis itu menawarkan apakah ia akan masuk ke dalam rumah sekadar untuk menghilangkan dahaga, ia seharusnya menolak. Padahal saat pertanyaan itu selesai diucapkan sang pemilik rumah, Jaya telah berusaha sekuat tenaga memerintah otaknya mempersiapkan kalimat halus untuk menolak. Namun, kakinya dengan tak tahu diri malah bertolak belakang—bergerak melangkah mendekati rumah dengan nuansa warna ungu.
Selama ini Jaya hanya berani untuk memarkirkan motornya di depan pagar putih itu, tetapi hari ini tanpa diduga-duga, motor hitamnya berhasil melintasi pagar tersebut. Sudah ada kemajuan, bukan?
Rumah minimalis berwarna ungu. Di halamannya terdapat pohon rambutan yang tak terlalu besar, ajaibnya pohon itu sudah berbuah walau masih kecil-kecil. Di dekat pintu masuk, daun-daun hijau merambat di sekitaran jendela. Jaya sudah pastikan meski terik sinar matahari di atas sana sedang merajalela, rumah ini tetap memberikan suasana sejuk. Meskipun ketika sore menjelang petang tiba, besar kemungkinan akan menjadi ladang para nyamuk-nyamuk untuk berkumpul.
Mendengar pintu dibuka, seorang laki-laki yang lebih muda lantas membulatkan mata saat melihat si sulung tak pulang sendiri—melainkan bersama seseorang yang tak disangka-sangka menyambangi kediamannya.
Kedua ujung bibir Ary—adik Syifa—terangkat dengan lebar, senang sekali melihat pemandangannya saat ini. “Ih, ka—”
Di belakang Syifa, Jaya terburu-buru menyimpan jari telunjuk di depan bibir seraya menggelengkan kepala. Melalui gestur itu, Jaya berharap laki-laki di seberang sana akan mengerti perintahnya untuk tak membeberkan rahasia mereka.
Seolah paham, Ary lantas bungkam.
“Ary, ini aku bawa tamu. Namanya Kak Jaya, dia kakak kelas aku di sekolah. Kak Jaya tadi nganterin aku pulang terus aku suruh masuk dulu buat minum soalnya pasti panas dan haus.” Syifa beralih menatap Jaya. “Kak Jaya itu Ary adik Syifa. Kak Jaya duduk dulu aja, ya, Syifa mau ambilin minum dulu.”
Melihat kepergian Syifa menuju dapur, Ary terburu-buru bangkit, kepalanya mengangguk bersamaan dengan telapak tangan bergerak-gerak seakan memanggil yang lebih tua untuk menghampiri dan ikut duduk di sebelahnya. Meskipun tak bersuara, tetapi Jaya masih bisa mengerti akan pergerakan bibir Ary.
Ary tak henti mengumbarkan senyuman lebar saat Jaya mengikuti perintahnya untuk duduk. “Kenalin aku Ary, adik Teteh Syifa. Aku kelas 2 SMP, senang bisa kenalan sama kamu,” kata Ary mengulurkan tangan disertai mata memancarkan tatapan penuh binar.
Jaya hampir saja menutup telinga ketika mendengar suara melengking dari sang pemilik rumah. Selama bermain games dengan Ary, mereka tak pernah main bersama sembari bertelepon. Sehingga, saat mendengar suara Ary secara langsung, Jaya dibuat kaget sendiri.
Jaya tersenyum dan menjabat balik tangan yang lebih muda. “Jaya.”
Ary menggigit bibir, berupaya mati-matian menahan agar senyumannya tak kembali lebar. “Aku udah kenal kamu. Aku seneng banget, deh, kita akhirnya bisa ketemu langsung gini. Artinya kita bisa main games,” bisik Ary mendatangkan tawa kecil dari yang lebih tua.
Kali ini suara Ary lebih rendah, mungkin perkenalan tadi sengaja Ary ucapkan dengan kencang agar kalimat itu bisa sampai ke telinga Syifa yang berada di dapur.
“Main games, yuk, sayang banget kita udah ketemu tapi nggak main games bareng.”
Jaya sempat melirik terlebih dahulu ke arah dapur sebelum mengangguk mengiakan ajakan Ary. “Boleh.” Jaya merogoh ponsel dari kantong celananya, sedang Ary sudah tak sabar menginginkan permainan itu segera dimulai.
Jaya tak tahu apabila niat berkunjung sejenak untuk meneguk cairan segar malah berakhir menundukkan kepala dan menatap lekat layar ponselnya. Padahal Jaya sudah membuat skenario, jika telah selesai menghabiskan air minumnya ia harus buru-buru pergi dari sini. Tapi, keinginan itu tampaknya tak bisa segera terlaksana mengingat di sebelahnya ini adalah seseorang yang gila dalam bermain games.
“Kak Jaya maaf, ya, Syifa lama soalnya tadi susah buat ngeluarin es batunya.” Syifa datang bersama satu gelas es teh manis, dan diletakkan di atas meja.
Jaya melirik sekilas. “Nggak apa-apa. Makasih, ya, Syifa, maaf jadi ngerepotin.” Selepas kalimat itu selesai diucapkan, fokus Jaya kembali tertuju pada ponselnya.
Syifa terdiam sejenak, memandang kedua orang itu penuh tanda tanya. Ada rasa penasaran yang tergambar jelas. Setahunya, Syifa tak sampai meninggalkan mereka berpuluh-puluh menit lamanya, namun mengapa setelah kedatangannya kembali Syifa justru disuguhkan oleh pemandangan kedua orang itu terlihat sangat akrab seakan teman lama yang baru bertemu kembali?
Bahkan, Syifa sendiri tak melihat sedikit pun gelagat canggung dari Ary dalam berkomunikasi dengan Jaya. Justru telinga Syifa dipenuhi gelak tawa saling bersahutan.
Aneh.
“Heh, Anak Kecil, kamu jangan langsung ngajak Kak Jaya main games. Dia capek tau abis ujian tadi.” Jaya menggelengkan kepala, menentang kalimat dari Syifa.
Syifa mendengkus kala mendapati juluran lidah dari adiknya.
Syifa melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sebelas siang lebih dua belas menit. “Kamu udah makan siang belum? Nanti, kan, jam setengah dua kamu harus les.”
“Kata Ibu kalau kamu udah pulang, kamu disuruh beli lauk-pauk ke warung nasi depan buat beliin aku makan. Soalnya Ibu tadi kesiangan jadi nggak sempet masak.” Dagu Ary menunjuk meja televisi. “Uangnya Ibu taro di bawah figura.”
Syifa menghela napas. Bukan tak senang dengan perintah sang ibu, melainkan Syifa malas kalau harus berjalan kaki sampai ujung komplek. Panas, dan malu karena pasti banyak anak-anak sekolah yang diam di warung sebelahnya.
“Kak Jaya, Syifa tinggalin sebentar, nggak apa-apa?” Jaya menatap Syifa, laki-laki itu memberi jawaban melalui senyumannya. Jaya tak keberatan jika ditinggal. “Syifa nitip rumah sebentar, ya. Nggak akan lama, janji!”
Jaya terkikik geli. Lewat kalimat itu seakan-akan ada seseorang yang berniat ingin mengangkut rumahnya. “Iya Syifa, Jaya nggak akan ke mana-mana. Syifa santai aja, nggak usah buru-buru.”
Hal pertama yang dilakukan Syifa saat kembali pulang, tatapannya langsung meluncur ke arah ruang tamu. Terlintas pertanyaan mengapa keberadaan laki-laki itu tak dapat ditemukan, sementara motornya masih terparkir rapi di pelataran.
“Ary, Kak Jaya ke mana?”
“Lagi ke toilet—tuh.” Ary menunjuk Jaya yang baru saja keluar toilet dengan keadaan pakaian basah di beberapa bagian, seperti di dalam sana ada tragedi yang membuat laki-laki itu terpeleset.
“Ih, baju kamu kenapa basah gitu?” Ary memelotot.
“Kak Jaya jatoh? Ada yang kebentur nggak?”
Jaya menggeleng seraya mengusap-ngusap pakaiannya yang basah sembari sesekali meremat. “Nggak jatoh. Tadi kayaknya jet shower-nya rusak, tapi udah Jaya benerin, kok,” timpal Jaya, berjalan menuju sofa. Selama berjalan, kepala Jaya menekuri langkahnya agar tak meninggalkan bekas jejak air dari pakaiannya.
“Jet shower itu apa?” tanya kakak beradik itu kompak. Mereka saling bertatapan, kemudian dibalas gelengan juga bahu yang terangkat.
“Semprotan WC.”
Syifa menepuk jidat, suara yang dihasilkan cukup nyaring sampai-sampai membuat Ary dan Jaya menoleh cepat ke arahnya.
“Aduh, Syifa lupa bilang kalau semprotannya emang lagi rusak! Ngomong-ngomong makasih banyak, ya, Kak, udah bantu benerin. Kak Jaya butuh handuk nggak?”
Seharusnya Syifa sudah berlari menuju kamarnya untuk meraih handuk bersih dan menyerahkan kepada laki-laki itu, tetapi kedua kakinya tak dapat diajak kerjasama sehingga yang Syifa lakukan hanyalah memberikan tawaran.
Jaya melihat kondisi pakaiannya yang terkena air ketika mencoba membenarkan kerusakan semprotan toilet. “Nggak usah, nggak apa-apa. Nggak terlalu basah juga.” Jaya tak tahu apakah semprotan toilet itu sudah benar-benar berhasil ia perbaiki, atau akan kembali longgar dalam beberapa jam ke depan. Akan tetapi, setidaknya jika Syifa dan Ary akan memakainya dalam waktu dekat, ia pastikan semprotan itu tak akan serewel yang ia gunakan tadi.
“Ayo kita main games lagi, tadi lagi seru-serunya tapi kamunya malah ke toilet.”
Jaya terlihat ragu akan mengiakan, sebab beberapa detik setelahnya, Syifa kembali membawa piring. Tanpa bertanya dan mendapatkan jawaban pun Jaya sudah tahu apabila makan siang itu untuk Ary—ritual wajib sebelum berangkat les.
“Aku disuapin Teh Jihan, kok, kamu jangan khawatir aku nanti nggak bisa main,” ucap Ary seolah paham dengan kebingungan yang tercetak pada wajahnya.
Syifa merengut. “Emang siapa yang bilang kalau aku mau suapin kamu, Anak Kecil?”
“Aku bilangin Ibu Ratna kamu nggak mau suapin, lho. Kalau kamu nggak usapin aku, aku nggak akan makan. Terus, kalau aku nggak makan siang nanti waktu les perut aku keroncongan, dan jadinya nggak bisa fokus belajar. Kamu mau lihat aku nanti nggak bisa ngisi soal ujian?”
Jaya tersenyum. Kalau Mama nggak suapin Dede, Dede nggak mau makan. Biarin aja, paling nanti pas upacara Dede pingsan karena nggak sarapan dulu. Ancaman itu, persis selayaknya ancaman yang selalu ia berikan kepada Mama Sumarni. Apakah semua bungsu di bumi memiliki kebiasaan mengancam yang sama?
“Yaudah, iya, aku suapin. Tapi, kamu makannya harus yang cepet jangan cuman didiemin di dalem mulut.”
Teteh nggak mau nyuapin Dede, soalnya Dede kalau makan suka lama. Dede suka sengaja diemin makanan di dalam mulut.
Ah, jadi begini, ya, kebiasaan si bungsu. Yang manja, maunya diperhatikan, dan harus selalu dituruti kemauannya.
Jaya bisa lihat dirinya pada diri Ary.
Dan, usai berdebat, Syifa pun tak memiliki pilihan lain selain mengiakan permintaan si bungsu untuk disuapi. Ketika tangannya sibuk memasukkan suapan demi suapan ke dalam mulut, Syifa hanya bisa sabar menunggu Ary mengosongkan mulut.
“Kak Jaya mau makan nggak?” Pandangan Jaya pada layar ponselnya terputus. Mata laki-laki itu bergerak menelusuri tangan Syifa yang sudah berancang-ancang siap untuk menyuapkan. Badan Jaya mendadak kaku.
Mengerti ke arah mana tatapan Jaya tertuju, Syifa langsung menggeleng cepat. “E-eh, bukan, Kak! Kalau misalnya Kak Jaya mau makan Syifa nanti bawain!”
Bodoh. Bisa-bisanya ia telah membimbing jalan pikirannya mengira kalau Syifa akan menyuapinya.
Jaya lantas berdeham guna menghilangkan rasa malunya. “Nggak usah, Syifa. Jaya nggak laper, kok.”
Syifa manggut-manggut. Sendok besi itu kemudian memasuki mulut Ary saat adiknya menolehkan wajah dengan mulut terbuka.
“Ih, kamu kenapa mainnya jadi nggak fokus. Itu hati-hati di depan ada musuh, tadi dia mau nembakin kamu, tau!” Lengkingan suara itu refleks membuat Jaya memejamkan mata sebelah kiri.
“Aku bilangin Ayah, lho, kamu nggak sopan manggil yang lebih tua. Kak Jaya itu lebih tua dari kamu,” ketus Syifa. Syifa tak masalah apabila Ary memanggil dirinya seperti itu, namun untuk dilakukan ke orang lain, jelas-jelas Syifa harus menegurnya. Syifa tak ingin apabila sang adik melakukan kebiasaan itu nantinya.
“Nanti mainnya lebih fokus lagi, ya, Aa,” ralat Ary setelah mendapat teguran dari si sulung.
“Maaf. Tadi Aa kayak denger suara kecoa mau dateng ke sini, makanya jadi nggak fokus.” Di antara banyaknya alasan yang mungkin Jaya berikan, entah mengapa Jaya harus mengucapkan kalimat yang secara logika sukar untuk dipercaya.
“Kamu—Aa takut kecoa?” Jaya mengangguk. “Tuh, kan, kalau orang normal pasti bakalan takut sama kecoa. Masa, ya, Teteh aku suka banget ambilin kecoa yang lewat terus dimasukkin ke wadah dan dimainin. Mana Teteh aku nggak henti bilang ‘ih kamu lucu banget gini masa ditakutin seluruh orang di bumi’?!” Ary menirukan gaya bicara Syifa seolah-olah sedang bertukar cerita dengan makhluk tersebut.
“Nggak, ya! Aku bilangnya nggak se-alay kayak gitu!” protes Syifa setelah menyadari gaya bicara Ary terlalu dilebih-lebihkan.
Jaya menanggapi dengan tawa kecil.
“Aa ilfeel nggak sama cewek yang suka main sama makhluk patut dimusuhi nomor satu di dunia?” Salah satu Alis Ary terangkat, tak sabar menanti jawaban.
Jaya melirik Syifa yang tengah menundukkan kepala. Entah sedang menatap apa di bawah sana. “Nggak.”
Meski pertanyaan Ary hanya dijawab dengan satu kata, pipi Syifa terasa memanas.
Ary berani sumpah kalau kedua matanya tak salah lihat kakak sulungnya tengah salah tingkah. Pipi memerah, bibir menyunggingkan senyuman, lalu tak lupa dengan gelagat aneh—seperti sedang duduk di atas aspal panas, tak mau diam.
“Teteh aku kayaknya suka sama kamu, deh.”
“Ha?”
“Teteh aku kayaknya naksir sama kamu.” Ary mengulangi dengan suara lebih tinggi dari sebelumnya.
Bukan. Jaya bukan tak dapat mendengar ucapan Ary, melainkan Jaya sedang kebingungan mengapa Ary membawa topik bahasan itu secara tiba-tiba.
Tadi, bertepatan Jaya akan berpamitan untuk pulang, Ary sudah siap dengan tas biru tuanya menunggu jemputan untuk pergi ke tempat les. Jaya berpikir tak ada salahnya jika ia menawarkan Ary untuk pergi bersamanya, mengingat tempat les Ary masih satu arah dengan jalannya pulang. Awalnya Syifa menolak keras, tak mau merepotkan, Jaya tak mengerti di mana letak merepotkan sementara ide itu tercetus oleh dirinya sendiri. Jaya yang menawarkan lebih dulu.
Setelah berdebat cukup panjang, akhirnya Syifa mengiakan. Jaya tak merasa keberatan karena telah menawarkan untuk mengantarkan Ary. Walaupun Ary cukup cerewet, tapi laki-laki itu begitu penurut. Jadi, Jaya senang-senang aja.
“Ary kenapa bisa tiba-tiba ngomong kayak gitu?”
Tahu kalau Jaya sedang menatapnya dari spion, Ary membalas. “Soalnya tadi Teteh aku malu-malu. Aku nggak pernah lihat Teteh aku kayak gitu, apalagi dia bawa cowok ke rumah. Kamu yang pertama kali.”
Ary terperanjat, tubuhnya hampir oleng. Untung saja Ary cepat-cepat mencengkeram erat tas yang lebih tua. “Ih, aku kaget! Kamu pencet klakson kenapa nggak bilang-bilang dulu, sih, Aa?! Kalau aku tadi nggak pegangan sama tas kamu, pasti aku udah jatoh sekarang!” Ary tak henti mengomel. Alisnya menyatu menahan amarah.
“Maaf, maaf. Tadi tangan Aa kepeleset.”
Sial, mengapa bisa ia melakukan tindakan berbahaya seperti itu setelah mendengar kalimat terakhir dari Ary? Mengapa jari-jarinya harus terpeleset menekan tombol klakson di tengah-tengah lampu merah sedang menyala?
Habis sudah. Selepas mencoba menoleh, ia langsung disuguhkan oleh pemandangan berbagai ekspresi dari pengendara sekelilingnya. Ada yang menatapnya penuh tanya, ada yang menatapnya penuh kebencian, ada pula yang tak mengacuhkan kejadian memalukan tadi.
Walau saat ini Jaya sedang menjalankan motor, namun pikirannya malah melayang pada perkataan Ary.
“Kamu sendiri gimana? Suka nggak sama Teteh aku—”
“Itu di depan tempat les aku!” kata Ary, melupakan pertanyaan sebelumnya seraya menepuk-nepuk pundak Jaya untuk segera memberhentikan motornya.
Jaya menarik rem. Tak terhitung berapa kali Jaya menghela napas, lantaran bertepatan dengan Ary melayangkan pertanyaan, motor Jaya berhasil menyambangi tempat les sehingga menggagalkan niat Ary untuk mengungkit pertanyaan itu lagi.
Ary celingak-celinguk, memastikan kondisi jalanan dari orang-orang yang melintas. Lalu Ary terburu-buru turun, dan menyerahkan helm. “Makasih, ya, udah antar aku les. Kamu baik banget sama aku dan Teteh. Aku jadi pengen punya Aa sebaik kamu, deh.” Ary tersenyum lebar. “Aku les dulu, ya. Kamu nanti hati-hati pulangnya jangan ngebut-ngebut, soalnya kamu masih sekolah bukan pembalap kayak di televisi-televisi.”
Jaya mematung dengan kondisi mesin motor masih menyala ketika Ary tiba-tiba meraih tangannya, lalu menempelkan dahi laki-laki itu pada punggung tangan miliknya. Jaya mengedip-ngedipkan mata berulang.
Jaya spontan tertawa geli setelah menyadari kalau Ary baru saja menyalaminya.
Jaya tak menyesal karena telah berinisiatif untuk mengantarkan Syifa pulang. Justru, jika Jaya tak pernah menawarkannya, sudah dipastikan ia akan sangat menyesal.
Setelah ini, Jaya tak perlu bersembunyi-sembunyi untuk bertukar pesan dengan Ary, sebab misinya dalam merahasiakan kedekatan mereka dari Syifa tak ketahuan. Entahlah Syifa akan curiga atau tidak, yang pasti Jaya sudah berusaha sekuat tenaga berlagak baru pertama kali bertemu dengan Ary.
Dan ada yang lebih mengejutkan dari sekadar Syifa mengenalkan ia dengan Ary. Sepertinya, ide cemerlang ia untuk mencuri hati adiknya sudah berhasil.
Jaya tersenyum bangga. Tak percaya kalau ia bisa juga berada sampai di titik ini tanpa bantuan teman-temannya.
Puspas Niskala Universe
by NAAMER1CAN0