BERSUA
“Parah, bukannya belajar malah bolos.”
Gadis pemilik lesun pipi kecil dengan senyuman indah itu hampir saja melemparkan ponsel tengah dipegangnya saat sebuah suara tiba-tiba menginterupsinya tanpa permisi. Ia refleks memejamkan mata guna menarik napas lalu mengembuskannya dengan kasar. Kejadian singkat itu telah berhasil membuat jantungnya berdetak cepat.
Tangan yang mengepal dengan kedua mata masih terpejam, ia sudah sangat siap untuk memaki sang tersangka. Ia bahkan tak mengkhawatirkan apabila orang itu lebih tua darinya, lagi pula dari pita suaranya saja ia cukup yakin apabila orang tersebut bukan salah satu guru di sekolah.
Ketika ia baru saja membuka mata, dalam hitungan detik matanya langsung membulat setelah menyadari siapa pemilik suara bas itu. Bahkan, kalimat semula sudah berada di ujung lidah yang siap ia lontarkan dengan terpaksa kembali ditelan mentah-mentah.
“Kak Jaya?” panggil Syifa dengan nada suara rendah, seperti tak menyangka akan kehadiran laki-laki itu di hadapannya secara tiba-tiba.
Sementara yang dipanggil merespons panggilan Syifa dengan mengangkat kedua alis sembari bersekedap. Jaya memandang sang adik kelas dari atas sampai bawah, lalu mengalihkan pandangan pada jalanan di sekitar mereka. “Kalau jalan jangan nunduk, nanti kesandung,” kata laki-laki itu sebelum memutar tubuh, berjalan meninggalkan Syifa yang masih terdiam di tempat.
Walaupun kalimat itu diucapkan terkesan dingin dan tanpa ekspresi apa pun, anehnya malah membuat kedua pipi gadis itu bersemu. Syifa menggigit pipi dalam—berusaha menahan senyumannya agar tak kelepasan dalam memberikan ekspresi. Ekspresi wajah itu berbanding terbalik dengan ekspresi sebelumnya yang terlihat akan melemparkan ponselnya dengan serangkaian kata tak bersahabat.
“Kak Jaya mau ke mana?” tanya Syifa.
Tanpa menghentikan langkah yang sedang menaiki anak tangga, laki-laki itu mengangkat kedua bahu. Gestur itu entah mengatakan bahwa laki-laki itu pun tak tahu akan melangkahkan kaki ke mana atau sengaja tak ingin memberikan jawaban padanya.
Syifa celingak-celinguk memperhatikan sekitar, sampai akhirnya gadis itu bergegas menyusul Jaya yang sudah memimpin beberapa langkah di depan.
“Syifa nggak bolos, Kak. Tadi Syifa diminta ke UKS buat bantu rapiin peralatan yang baru dibeli sama pembina PMR,” jelas Syifa. “Kebetulan kelas Syifa lagi free, jadi Syifa yang inisiatif bantuin, deh.”
Padahal, laki-laki di sebelahnya pun tak mempertanyakan jawaban yang baru saja Syifa jelaskan. Namun, Jaya membalas jawaban sang adik kelas dengan anggukkan kepala seolah memahami—atau lebih tepatnya menghargai usaha sang adik kelas dalam menjelaskan meski tak diminta.
“Kak Jaya mau ke mana? Kenapa keluar kelas? Emang Kak Jaya nggak belajar? Atau jangan-jangan Kak Jaya yang bolos, ya?!” Rentetan pertanyaan itu Syifa ucapkan salam satu waktu sampai-sampai membuat napas gadis itu sedikit terengah-engah. Selain karena pertanyaan baru saja ia ucapkan, Syifa juga sedari tadi cukup merasa kelelahan karena harus menyelaraskan langkahnya dengan langkah milik sang kakak kelas—langkah kaki jenjang laki-laki itu tak mampu Syifa padu padankan.
Jaya mencuri pandang pada langkah kaki Syifa terlihat tak beraturan. Ia membuang muka seraya berdeham lalu mulai memelankan langkahnya. “Mau ke koperasi beli pulpen,” sahutnya.
Syifa manggut-manggut. Kali ini gadis itu tak kembali bersuara seperti sebelumnya. Syifa sedang asyik menghirup oksigen untuk menghilangkan ngos-ngosannya.
“Mau beli pulpen juga?”
Dahi Syifa mengerut. “Siapa, Kak?” tanya Syifa seraya celingak-celinguk, mencari seseorang yang sedang sang kakak kelas ajak bicara.
Jaya menoleh, menunjuk gadis di sampingnya menggunakan dagu. “Syifa.”
Syifa menggeleng. “Oh, nggak, Kak Jaya. Syifa nggak mau beli pulpen soalnya masih banyak di tempat pensil.”
Alis Jaya terangkat. “Terus kenapa ngikutin Jaya kalau nggak mau beli pulpen?” tanya Jaya. Dalam kalimat itu, tak ada sedikit pun niat Jaya untuk mengusir sang adik kelas. Ia benar-benar sedang bertanya dan membutuhkan jawaban.
“Syifa mau nganterin Kak Jaya aja ke koperasi,” jawab Syifa dengan cengiran lebar. Hebatnya, jawaban itu terucap sangat santai dari mulut Syifa.
Jaya kembali mengeluarkan tangan dari dalam saku celana. Ia mendadak teringat dengan ucapan Mama Sumarni untuk tak melakukan memasukkan tangan ke dalam kantong ketika berbincang dengan seseorang agar tak dianggap angkuh.
“Nggak usah, Syifa balik aja ke kelas.”
“Nggak apa-apa, Kak. Syifa cuman takut Kak Jaya kesasar nanti di jalannya.”
Jaya mengurai tawa, tak menyangka jawaban asal itu akan keluar dari mulut gadis di sampingnya sepagi ini. Kadang terbesit rasa iri lantaran gadis itu tak terlihat kesusahan dalam mengucapkan segala kalimat dalam isi kepalanya.
Suara derap kaki yang memantul saling bersahutan karena salah satu dari mereka tak pandai menyeimbangkan langkah itu pun mendadak tak terdengar seberisik tadi. Syifa menoleh dengan raut kebingungan menyadari Jaya tiba-tiba menghentikan langkahnya. “Loh, kenapa berhenti, Kak? Nggak jadi ke koperasinya?” tanya Syifa lengkap dengan wajah kebingungan.
Jaya terdiam untuk beberapa saat. Laki-laki itu kemudian melirik jalanan di depan secara bergantian. “Katanya tadi mau nganterin biar nggak kesasar? Yaudah kalau gitu sekarang tunjukin jalannya biar nggak kesasar. Jaya harus belok apa lurus?”
Syifa terkikik kegelian, tangannya ikut bergerak menepuk punggung sang kakak kelas. “Akhir-akhir ini selera humor Kak Jaya lagi anjlok, ya.” Sedangkan laki-laki yang ditepuk hanya bisa melirik tangan Syifa menggunakan ekor mata tanpa berniat menghindar. “Soalnya jokes-nya Kak Jaya jadi lucu banget!”
Niat Jaya yang ingin pura-pura memasang raut sebal pun harus sirna selepas melihat gadis itu tergelak. Tanpa sadar Jaya ikut tertawa sembari tak lepas memandangi tangan Syifa yang masih di punggungnya secara diam-diam.
Jaya berdecak kecil. “Emang niatnya mau ngintilin aja itu namanya, bukan karena mau nunjukin jalan.” Jaya menggeleng-menggeleng, melanjutkan jalan tanpa menunggu Syifa selesai dari kegiatan tertawanya.
Syifa yang ditinggalkan tak terlihat akan segera menyusul laki-laki itu, melainkan masih diam di tempat dengan tawanya yang melantun renyah. Setelah merasa puas tertawa, ia langsung terburu-buru berlari mengejar Jaya yang hampir kehilangan jejak dalam jangkauan pandangannya.
Jaya menghela napas usai menyadari Syifa benar-benar mengikutinya sampai koperasi. Gadis itu berdiri di depan pintu dengan senyuman yang tak terlihat akan melunturkannya dalam beberapa detik ke depan. Dari ia mulai memasuki koperasi, memilih bolpoin, sampai bersiap-siap membayar pun, gadis itu masih setia tersenyum.
Jaya mengagihkan senyuman sekilas kepada penjaga koperasi saat meraih uang kembalian. Uang tersebut Jaya masukkan ke dalam saku, lalu berjalan keluar dari koperasi.
“Iya-iya Jaya juga tau Syifa punya lesun pipi, tapi nggak usah dipamerin terus juga. Emangnya nggak pegel?”
Syifa menggeleng, menegakkan tubuh untuk bersiap-siap berjalan dan mengikuti langkah Jaya selanjutnya. “Nggak. Soalnya kata ibu, Syifa harus sering-sering senyumin orang biar orang yang Syifa senyumin juga ikut senyum.”
Usai mendengar jawaban itu, salah satu ujung bibir Jaya menaik.
“Tuh, buktinya Kak Jaya juga itu tadi ikut senyum!” Syifa menunjuk laki-laki di sampingnya yang tertangkap basah ikut tersenyum. “Berarti kalau gitu, omongan ibu Syifa bener.”
Jaya terkekeh, ia mengaku kalah telak. Sebab, Jaya sendiri tak sadar telah memberikan ekspresi itu tadi. Sehingga, ia memilih diam daripada harus susah payah mencari alasan untuk menyangkal ucapan dari Syifa.
Sadar akan kehadiran barang yang ia bawa sedari tadi, Jaya menyerahkan satu botol air minum itu untuk gadis di sampingnya.
Syifa menoleh. “Kenapa, Kak?” tanyanya, bergantian menatap Jaya serta minuman yang telah ditawarkan.
“Buat Syifa.” Melihat gadis itu berancang-ancang akan membalas ucapannya, lantas dengan cepat Jaya kembali bersuara. “Itung-itung upah udah jadi tour guide Jaya ke koperasi. Walaupun kenyatannya tadi yang cari jalan Jaya sendiri bukan tour guide-nya.”
Kalimat sarkasme itu dibalas kekehan oleh Syifa. Meskipun ia bisa merasakan kekesalan Jaya dari bagaimana nada suara laki-laki itu ketika mengucapkan kalimat tersebut, tak ada sedikit pun perasaan ia tersinggung oleh kalimat itu. Malah, ia dibuat gagal fokus dengan raut ekspresi dari Jaya yang terlihat lucu di matanya. Bibir sedikit mengerucut dengan mata yang memutar malas, makin berhasil membuat tawanya melantun keras.
Syifa terpaksa menyudahi tawa saat tak sengaja melirik ke samping, laki-laki itu tengah memelotinya. “Boleh Syifa ambil minumannya, Kak?” tanya Syifa mengalihkan topik. Yang ditanya membalas dengan anggukan. “Makasih, Kak Jaya!”
Sebenarnya, ia sangat ingin meneguk cairan itu saat juga. Tapi setelah sadar laki-laki itu tak terlihat akan segera meminum airnya sendiri, ia pun menepis keinginan itu. Ibunya pernah bilang bahwa ketika diberi makanan maupun minuman oleh seseorang, ia harus menunggu sampai orang yang memberikan makanan atau minuman tersebut menikmatinya duluan—atau sampai orang tersebut mempersilakan untuk ia nikmati.
Di sisi lain, Jaya dibuat bertanya-tanya, mengapa gadis itu sedari tadi hanya menatap botol air minum tersebut tanpa berniat meminumnya? Ia sampai berpikir apabila gadis itu tak menyukai minuman yang telah ia berikan.
Percakapan-percakapan yang semula terisa kini hanya menyisakan keheningan. Baik Jaya maupun Syifa lebih memilih berjalan dengan diam daripada saling melontarkan pertanyaan.
Saat belokan yang memisahkan antara koridor kelas sebelas dan kelas sepuluh terlihat dalam beberapa langkah lagi, Syifa pun diam-diam mengembuskan napas. Artinya, kesempatan ia bersama laki-laki di sebelahnya itu hanya tinggal menghitung detik.
Syifa sudah siap berancang-ancang akan melepas kepergian sang kakak kelas—sekadar melambaikan tangan dan menyaksikan sendiri punggung laki-laki itu menghilang dalam pandangannya, tetapi tanpa disangka-sangka Jaya malah ikut berbelok ke tempat yang sedang ia injak saat ini.
Dahi Syifa mengerut kebingungan merasakan bahu laki-laki itu tak sengaja menyenggol punggungnya. “Eh, Kak Jaya nggak balik ke kelas? Koridor ke kelas sebelas, kan, ke sana?” Syifa menunjuk tempat yang dimaksud.
“Jaya anterin, takut Syifa tiba-tiba kesasar.” Mata Syifa memelotot. Ia tak menyangka bahwa laki-laki itu akan mengikuti alasan yang dibuat-buatnya. Namun di sisi lain juga ia tak bisa menolak, lantaran ada secuil harapan kalau ia masih ingin menikmati waktu berduaan dengan lama.
Kendati waktu yang mereka habiskan hanya saling berdiam diri, Syifa tak begitu mempermasalahkannya. Hanya dengan berjalan berdua ditemani keheningan pun Syifa sudah cukup senang. Ia sendiri tak bisa terlalu banyak melontarkan pertanyaan mengingat laki-laki itu lebih sedang diam dan merespons berbagai pertanyaan dengan senyuman. Ia mencoba menghargai dan memberikan rasa nyaman pada kakak kelasnya ketika sedang bersama.
“Kak Jaya, Syifa boleh nanya sesuatu nggak?” Jaya menoleh, mengangguk singkat sebagai balasan atas pertanyaan yang diberikan oleh Syifa.
“Helm yang pernah Kak Jaya titipin ke Syifa itu punya pacarnya Kak Jagat, ya?”
Akui Jaya dibuat terkejut diberikan pertanyaan seperti itu, namun laki-laki itu cukup berusaha untuk tak memperlihatkan raut terkejutnya. “Iya.” Jaya mengangguk mengiakan.
“Oh.” Syifa manggut-manggut.
Jaya menghentikan langkah. Matanya menatap tiap kelas yang rata-rata pintunya tertutup rapat. “Udah sampe.” Tatapan semula yang tertuju ke depan beralih menatap wajah gadis di sebelahnya yang ikut menghentikan langkahnya pula. “Gih ke kelas.”
Syifa tersenyum sampai-sampai kedua matanya menyipit. “Makasih udah jadi tour guide jalan yang baik dan nggak buat kita kesasar, ya, Kak Jaya!”
Jaya terkekeh, membalas bentuk mata gadis itu tak kalah menyipit ketika tersenyum. Bahkan, situasi saat ini sudah seperti perlombaan siapa yang paling pandai menyerupai bentuk bulan tadi malam.
“Yaudah kalau gitu Kak Jaya juga gih pulang ke kelas. Takutnya nanti gurunya Kak Jaya sadar, kok, beli pulpen lama banget?”
Jaya menggeleng, menolak kalimat Syifa mentah-mentah tanpa berniat mempertimbangkannya. “Syifa duluan, gih. Jaya tungguin dulu takutnya nanti tiba-tiba kesasar di tengah jalan.”
Lantas, jika sudah begini mau tak mau Syifa yang harus mengalah. Padahal ia sangat ingin memperhatikan punggung laki-laki itu yang perlahan menjauh dan menghilang. Namun, ia pun tak bisa mengusir Jaya yang sudah berbaik hati memberinya minum sampai mengantarkannya sampai ke kelas—walau mengantarnya hanya sebatas sampai koridor bawah.
Dengan berat hati Syifa mulai melangkah meninggalkan Jaya. Sesekali gadis itu berbalik badan untuk memastikan laki-laki itu apakah masih diam di tempat atau sudah pergi. Ketika berbalik badan, ia justru diberikan senyuman hangat oleh laki-laki itu, sehingga dengan kesadaran penuh ia membalas senyuman tersebut disertai lambaian tangan.
Jika rumput di sekitar Jaya ahli dalam membaca pikiran, mungkin rumput itu akan terburu-buru menyusul gadis yang tengah berjalan sembari membisikan sesuatu bahwa saat memperhatikan gadis itu pergi, laki-laki di belakang sana tak henti memuji betapa indahnya senyuman yang diberikan Syifa untuknya. Bahkan, sampai gadis itu sudah benar-benar hilang, laki-laki itu tak henti menyerukan pujian yang sama di dalam hati.
Puspas Niskala Universe
by NAAMER1CAN0