BERUSAHA MENGHINDAR


Bel istirahat belum genap satu menit dibunyikan, akan tetapi seluruh murid di dalam kelas sudah berhamburan—tak sabaran keluar dari ruangan penuh kepenatan itu. Bahkan yang lebih parah adalah guru di depan saja belum sepenuhnya keluar kelas. Jaya hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah laku teman-teman kelasnya, entah apa yang sedang mereka perebutkan—grasah-grusuh itu seakan-seakan mereka sedang terburu-buru menuju tukang cilok yang selalu ramai dan habis dalam sekejap.

“Mau makan sekarang atau nanti wae istirahat kedua, euy?

“Sekarang ajalah, biar istirahat keduanya bisa aing pake buat tidur,” timpal Rakha, seraya membereskan buku-buku berserakan yang telah selesai dipakai.

Harri beranjak. “Yaudah atuh hayu, takut udah keburu penuh kantinnya.”

Jaya yang terlihat tampak ogah-ogahan itu tak berniat untuk bergegas merapikan barang di atas meja. “Aing nyusul nanti.” Kemudian, laki-laki itu kembali menggoreskan pena di atas buku bergaris—melanjutkan catatan yang belum selesai. Ingin terbebas dari pekerjaan yang belum tuntas. Sebab, ia masih teringat dengan perkataan dari Mama Sumarni yang selalu berpesan untuk selalu menyelesaikan pekerjaan sampai selesai—tidak boleh ditunda-tunda dan dilakukan setengah-setengah.

Jagat berhenti tepat di samping bangku Jaya, mengangkat bekal makan siangnya seolah meminta penjelasan. Jaya yang merasa sebagian bukunya tiba-tiba gelap, lantas menoleh. “Apaan?” tanya Jaya, melirik pada kotak bekal Jagat.

“Mau tukeran bekal nggak?”

Jaya memutuskan pandangan seraya menggeleng. “Nggak, mama aing sekarang lagi nggak bekelin sayur.”

Jagat manggut-manggut. “Yaudah, kalau gitu saya ke kantin duluan, ya, Jay.”

Anggukkan dari Jaya seakan memberi Jagat lampu hijau untuk bergabung dengan Harri dan Rakha yang mungkin kini sudah berjalan lebih dulu sembari memikirkan apakah masih ada meja kosong untuk mereka tempati.

Ini semua karena kemalasan Jaya untuk segera memindahkan catatan dari papan tulis pada bukunya, hingga saat ini Jaya kewalahan sendiri. Jari-jarinya terasa pegal, namun Jaya sendiri enggan untuk berhenti mengingat waktu terus berjalan. Apabila ia berhenti sebentar, artinya waktu Jaya untuk istirahat pun makin tersisa sedikit.

Sebenarnya ia bisa-bisa saja menikmati bekal makan siang itu ketika istirahat kedua nanti, namun konsekuensinya ia akan melakukan aktivitas menyuapkan nasi tersebut sendirian. Dan, kebiasaan buruk dirinya adalah selalu memindahkan makanan berada di kotak bekal miliknya pada kotak bekal milik teman-temannya—meminta tolong untuk bantu habiskan karena kapasitas perut yang sudah penuh. Lalu, alasan utama lainnya adalah karena jam istirahat kedua nanti akan ia pakai untuk bermain bola bersama teman-teman kelas IPA lain yang sudah direncanakan.

Beruntung Jaya sempat memotret tiap-tiap kalimat di papan tulis sebelum dihapus, sehingga Jaya tak perlu susah payah mengartikan tulisan dari teman sebangkunya—Rakha—yang ditulis terburu-buru, asal menulis agar cepat selesai. Bahkan, Jaya sendiri berani menjamin Rakha akan kesusahan sendiri ketika membaca ulang saat di rumah nanti. Itu pun apabila Rakha membaca ulang. Jika tidak, ya, berarti Rakha tak akan begitu memedulikan hasil coretannya.

Waktu terus berjalan. Kepala Jaya sesekali mendongak untuk melihat kehadiran jam di dinding depan kelas, ketika jarum panjang itu menunjukkan pukul sembilan empat puluh, kedua mata Jaya spontan terbelalak. Jari-jemarinya makin tak beraturan dalam menulis, untung saja itu menjadi kalimat terakhir yang perlu ia keluarkan sisa-sisa tenaganya. Bersamaan dengan titik terakhir yang baru Jaya tuliskan, helaan napas lega mulai terdengar menandakan pekerjaan laki-laki itu telah sepenuhnya selesai. Walaupun hasil tulisannya akhirnya tak jauh berbeda dengan hasil tulisan Rakha—tidak rapi-rapi amat, namun untuk sekadar ia baca dan artikan sendiri masih mengerti. Apabila orang lain yang baca, Jaya tak akan berpikir orang tersebut mampu membacanya dengan benar.

Buku catatan dengan sampul coklat muda itu ia tutup, dimasukkan kembali ke dalam tas dan tidak lupa menyimpan satu bolpoin dengan tip-x ke tempat pensil. Jaya tidak ingin bolpoinnya kembali hilang ketika laki-laki itu tak sengaja menggeletakkan di atas meja. Terhitung sudah lima bolpoin milik Jaya hilang dalam satu bulan ini. Angka tertinggi dalam sejarah Jaya kehilangan bolpoin. Biasanya sang tersangka utama yang sering menghilangkan bolpoin miliknya adalah Harri, lalu kandidat kedua ditempati oleh Nakula—teman kelasnya. Padahal Jaya sudah sering mewanti-wanti untuk meletakkan kembali ke kolong bangku Jaya, namun sepertinya titahan dari Jaya tak mampu menembus ke dalam indra pendengaran kedua laki-laki itu. Bukan karena Jaya pelit, tetapi Jaya sudah lelah sendiri harus terus-menerus kehilangan barang yang sama, dan mengorbankan uang jajannya untuk membeli barang tersebut kesekia kalinya.

Jaya bangkit, merenggangkan sedikit otot pinggang sebelum akhirnya meraih bekal makan siang dan segera menyusul teman-temannya di kantin. Sesekali Jaya melirik jam, memastikan masih tersisa waktu untuk Jaya habiskan bekal makan siang ini. Sehingga, untuk istirahat kedua nanti bisa Jaya pakai bermain bola.

Akan tetapi, ketika hendak melangkah mendekati meja di ujung sana, kedua kaki Jaya tiba-tiba berhenti. Laki-laki itu menyangkal saraf motorik, pun menyangkal pesan dari otaknya untuk segera bergabung ke meja sana dengan mereka. Sepuluh detik Jaya terdiam di tempat, dan hanya dalam kurun waktu tersebut kini laki-laki itu telah memutar badan dan berjalan kembali menuju kelas. Sepertinya untuk istirahat kali ini Jaya akan menghabiskan bekal makan siang itu di dalam kelas saja. Jaya lebih baik menikmati nasi serta suwiran ayam kecap bersama dengan teman-teman kelas, dibandingkan harus bergabung bersama mereka dengan pemandangan yang enggan untuk Jaya saksikan.

Berbicara mengapa pada akhirnya Jaya kembali ke kelas, sebab ketika kedua kaki Jaya hampir mendekati meja mereka, dari jauh samar-samar Jaya melihat kehadiran seorang gadis yang tengah asyik tertawa dengan salah satu temannya—entahlah untuk sekadar Jaya sebut namanya saja rasanya sangat malas. Laki-laki itu adalah laki-laki dengan terang-terangan mendekati seorang gadis yang beberapa hari terakhir absen berinteraksi dengannya—Yolan.

“Tai, kenapa juga harus ada dia,” gerutu Jaya di sela-sela perjalanan menuju kelas.

Sesampainya di kelas, Jaya bersyukur karena masih menemukan keberadaan beberapa rekan kelasnya masih duduk melingkar di depan kelas. Kotak bekal mereka belum sepenuhnya habis, artinya Jaya masih memiliki kesempatan untuk bergabung dengan mereka.

Jaya meletakkan kotak makan, lalu disusul olehnya yang ikut duduk di lantai yang cukup dingin. Jaya membuka makan siangnya, meraih satu tisu untuk membersihkan sendok sebelum benda tersebut menyendokkan sesuap nasi yang akan ia masukkan ke dalam mulut.

“Tumben maneh nggak makan di kantin, Jay,” kata Rio—sang ketua kelas sebelas IPA empat.

Heeh, lagi males aing di sana rame pisan.” Jaya tersenyum miris, menyuapkan satu sendok nasi ke dalam mulut dengan ogah-ogahan. Selera makannya mendadak hilang. Padahal cacing-cacing di perutnya saat Jaya menulis tadi sudah bernyanyi dengan lantang. Kini, ke mana keberadaan cacing-cacing tersebut? Apakah cacing-cacing bak berdemo itu hilang bersamaan dengan hatinya yang mendadak terasa bergejolak?

Jaya terlalu bodoh untuk menyadari perasaannya. Apa yang ia rasakan tidak sama dengan apa yang ia ucapkan. Entah benar-benar bodoh atau berusaha menyangkal semua perasaan itu.

“Yo, maneh tau nggak, sih, si Abi sama Deni?” kata Ilyas memulai perbincangan, sekaligus menemani kegiatan makan siang mereka agar tak terlalu hening.

Heeh, tau. Kenapa emang, Yas?”

“Itu, anying. Mereka, kan, sekarang musuhan.”

Rio membulatkan mulut. “Sumpah? Tau dari mana maneh, Yas? Musuhan gara-gara apa ceunah?

Aing denger dari barudak badminton, katanya gara-gara cewek.”

Obrolan itu menjadi salah satu obrolan paling menarik di telinga Jaya. Diam-diam ia membuka lebar-lebar kedua telinganya, ingin ikut mendengar namun tak ingin memperlihatkan dirinya yang terang-terangan sedang penasaran. Ia sampai-sampai berusaha menyamarkan obrolan lain yang tak begitu penting. Tak tahu karena sumber obrolan itu dekat dengan posisinya berada atau karena topik yang sedang mereka angkat telah mengalihkan sepenuhnya perhatian Jaya. Bahkan, sampai-sampai ia mengabaikan notifikasi ponselnya yang sedari tadi terus bergetar dari dalam saku celana.

“Eh, urang juga denger desas-desus itu. Padahal Abi sama Deni sohib pisan, tapi gara-gara cewek mereka kayak udah nggak saling kenal,” kata Hasan tiba-tiba ikut menimbrung obrolan Rio dan Ilyas.

“Kenapa bisa? Main belakang apa gimana?” tanya Rio penasaran.

“Nggak, Yo. Gosipnya mah Abi lagi deket sama si cewek itu, eh Deni diem-diem deket juga sama cewek yang Abi taksir,” jelas Ilyas. “Terus ketauanlah dan akhirnya mereka adu omong, dan udah nggak pernah keliatan nongkrong bareng lagi.”

Dari ujung mata Jaya bisa lihat Rio tengah mengerutkan dahinya. “Tapi, mereka nggak saling tau, kan?”

Ilyas mengangguk. “Heeh, dari gosipnya, sih, si Abi-nya nggak terus terang kalau suka sama itu cewek.”

Nakula mengembuskan napas. “Yaudah, kalau gitu mah salah dua-duanya kata aing. Coba aja mereka jujur, nggak akan berakhir deketin cewek yang sama,” kata Nakula ikut bersuara setelah mencoba berdiam diri untuk menikmati sisa-sisa suapan terakhir bekal makan siangnya. “Menurut aing jujur soal perasaan ke temen deket mah nggak masalah, sih, malah bagus. Biar wanti-wanti hal gituan bakalan terulang, soalnya sayang kalau sampe buat pertemanan hancur mah.”

Mereka yang berada di sana serempak menganggukkan kepala, menyetujui dengan kalimat dari Nakula.

Merasa ada yang memperhatikan, lantas Ilyas menoleh. “Maneh kenal nggak, Jay, sama si Abi Deni?” tanya Ilyas dibalas gelengan cepat oleh Jaya.

Bertepatan dengan itu, mereka melanjutkan obrolan dengan berbagai topik yang herannya terus-menerus mengalir tanpa henti. Sementara Jaya sudah tak menyimpan perhatian pada obrolan mereka. Ia sibuk bergelut dengan pikirannya sendiri. Bahkan, Jaya sempat mengabaikan keberadaan nasi yang tinggal menyisakan beberapa suapan terakhir.

Kalimat terakhir dari Nakula itu sukses telah menusuk hatinya.

Dan, anehnya, mengapa ketika melihat adegan di kantin tadi ia justru merasa kepanasan sendiri? Padahal ia sendiri kerap menyangkal semua pernyataan yang mengatakan bahwa ia mulai menaruh hati untuk gadis itu. Lalu, mengapa rasanya saat gadis itu mulai tak mengirimkan pesan—atau walau hanya sebatas membalas stori Instagram—rasanya, seperti ia merasa kehilangan?


Puspas Niskala Universe

by NAAMER1CAN0