BERUSAHA MENGHINDAR


Selasa, 09.30

Bel istirahat belum genap satu menit dibunyikan, akan tetapi seluruh murid di dalam kelas sudah berhamburan—tak sabaran keluar dari ruangan penuh kepenatan itu. Bahkan yang lebih parah adalah guru di depan kelas saja belum sepenuhnya keluar kelas. Jaya hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah laku teman-teman kelasnya, entah apa yang sedang mereka perebutkan. Jaya pun hanya bisa berandai-andai bahwa mereka terburu-buru keluar karena tak ingin kehabisan cilok yang selalu menjadi salah satu jajanan memiliki antrean cukup panjang.

“Mau makan sekarang atau nanti istirahat kedua, Daks?

“Sekarang ajalah, biar istirahat keduanya bisa aing pake buat tidur,” timpal Rakha, seraya membereskan buku-buku berserakan yang telah ia pakai.

Harri beranjak. “Ya udah atuh hayu, takut udah keburu penuh kantinnya.”

Jaya yang terlihat tampak ogah-ogahan itu tak berniat untuk bergegas merapikan barang di atas meja. “Aing nyusul nanti.” Kemudian, laki-laki itu kembali menggoreskan pena di atas buku bergaris—melanjutkan catatan yang belum selesai. Ingin terbebas dari pekerjaan yang belum tuntas. Sebab, ia masih teringat dengan perkataan dari Mama Sumarni yang selalu berpesan untuk selalu menyelesaikan pekerjaan sampai selesai.

Jagat berhenti tepat di samping bangku Jaya, mengangkat bekal makan siangnya seolah berancang-ancang akan ditukarkan dengan bekal makan siang Jaya. “Mau tukeran bekal nggak?” tanya Jagat menawarkan sebelum ia menyusul Harri dan Rakha yang sudah berjalan lebih dulu.

Jaya menggeleng tanpa menolehkan wajah. “Nggak, mama aing sekarang nggak bekelin sayur.”

Jagat manggut-manggut. “Ya udah, kalau gitu saya ke kantin duluan, ya, Jay.”

Anggukkan dari Jaya seakan memberi Jagat lampu hijau untuk bergabung dengan Harri dan Rakha yang mungkin kini sedang berjalan memilih meja mana masih kosong untuk mereka tempati.

Ini semua karena kemalasan Jaya untuk segera memindahkan catatan dari Papan Tulis pada bukunya, hingga saat ini Jaya kewalahan sendiri. Jari-jarinya terasa pegal, namun Jaya sendiri enggan untuk berhenti mengingat waktu terus berjalan. Apabila ia berhenti sebentar, artinya waktu Jaya untuk istirahat pun makin tersisa sedikit.

Untung Jaya sempat memotret tiap-tiap kalimat di depan sana, sehingga Jaya tak perlu susah payah mengartikan tulisan dari teman sebangkunya—Rakha—yang ditulis terburu-buru, asal menulis agar cepat selesai. Bahkan, Jaya sendiri berani menjamin Rakha akan kesusahan sendiri ketika membaca ulang saat di rumah nanti. Itu pun apabila Rakha membaca ulang. Jika tidak, ya, berarti Rakha tak akan begitu memedulikan hasil coretannya.

Jaya bernapas lega ketika menyadari tugasnya telah selesai. Walaupun hasil tulisannya tidak rapi-rapi amat, namun untuk Jaya baca dan artikan sendiri masih mengerti. Apabila orang lain yang baca, Jaya tak akan berpikir orang tersebut mampu membacanya dengan benar.

Buku catatan dengan sampul coklat muda itu Jaya tutup, memasukkan kembali ke dalam tas dan tidak lupa menyimpan satu bolpoin dengan tipp-ex ke tempat pensil. Jaya tidak ingin bolpoinnya kembali hilang ketika laki-laki itu tak sengaja menggeletakkan di atas meja. Terhitung sudah lima bolpoin milik Jaya hilang dalam satu bulan ini. Angka tertinggi dalam sejarah Jaya kehilangan bolpoin. Biasanya sang tersangka utama yang sering menghilangkan bolpoin miliknya adalah Harri, lalu kandidat kedua ditempati oleh Nakula—teman kelasnya. Padahal Jaya sudah sering mewanti-wanti untuk meletakkan kembali ke kolong bangku Jaya, namun sepertinya titahan dari Jaya tak mampu sampai masuk ke dalam indra pendengaran kedua laki-laki itu. Bukan karena Jaya pelit, tetapi Jaya sudah lelah sendiri harus terus-menerus kehilangan barang yang sama.

Jaya bangkit, merenggangkan sedikit otot pinggang sebelum akhirnya meraih bekal makan siang dan segera menyusul mereka di kantin. Sesekali Jaya melirik jam, memastikan masih tersisa waktu untuk Jaya habiskan bekal makan siang ini. Sehingga, untuk istirahat kedua bisa Jaya pakai bermain games dan tidur.

Akan tetapi, langkah Jaya tiba-tiba berhenti. Laki-laki itu menyangkal saraf motorik, pun menyangkal pesan dari otaknya untuk segera bergabung ke meja sana dengan mereka. Hanya butuh waktu sepuluh detik Jaya terdiam di tempat, kini laki-laki itu telah memutar tubuh dan berjalan kembali ke dalam kelas. Sepertinya untuk istirahat kali ini Jaya akan menghabiskan bekal makan siang itu di dalam kelas. Jaya lebih baik menikmati nasi serta suwiran ayam kecap bersama dengan teman-teman kelas, dibandingkan harus bergabung bersama mereka dengan pemandangan yang enggan untuk Jaya saksikan.

Berbicara mengapa pada akhirnya Jaya kembali ke kelas, sebab ketika kedua kaki Jaya hampir mendekati meja mereka, samar-samar dari jauh Jaya melihat kehadiran seorang gadis yang tengah asyik tertawa dengan temannya. Temannya yang entah mengapa untuk sekadar Jaya sebut saja rasanya sangat malas. Laki-laki itu adalah laki-laki yang terang-terangan mendekati seorang gadis yang beberapa hari terakhir tak absen berinteraksi dengannya—Yolan.

Tai, kenapa juga harus ada mereka.

Jaya tersenyum miris, menyuapkan satu sendok nasi ke dalam mulut dengan ogah-ogahan. Selera makannya mendadak hilang. Padahal cacing-cacing di perutnya saat Jaya menulis sudah bernyanyi dengan lantang. Kini, ke mana keberadaan cacing-cacing tersebut?


Selasa, 12.15


Puspas Niskala Universe

by NAAMER1CAN0