BISING KENDARAAN, LANGIT SENJA, DAN PENUMPANG DI JOK BELAKANG


Apabila suara bising knalpot bisa menjerit, mungkin benda itu tak henti mengungkapkan betapa bosannya karena sedari tadi ia terus berusaha membuat keadaan jauh lebih ramai. Sementara, kedua orang yang berada di atas motor tak memiliki inisiatif untuk menghangatkan suasana. Tak ada obrolan yang terucap semenjak motor itu bergerak meninggalkan kawasan sekolah. Sesekali hanya ada suara si gadis, itu pun karena harus menunjukkan jalan menuju rumahnya.

Jaya bukan tipikal orang yang pandai mengawali pembicaraan, sehingga laki-laki itu tampak biasa-biasa saja menyadari keadaan yang hening. Toh, hari-hari biasanya pun Jaya selalu bertemu dengan suasana seperti ini, mempersilakan bising klakson dan knalpot kendaraan lain yang mengisi penuh pendengarannya, dan mempersilakan berisik itu menemaninya sampai rumah.

Hal itu justru berbanding terbalik dengan seorang gadis di belakang yang tampak kebingungan untuk menghilangkan kecanggungan di antara mereka. Namun, setelah mencuri pandang ke arah laki-laki itu berada, yang di sana tampak tidak keberatan sekali dengan keheningan tersebut.

Syifa mengabsen satu per satu kendaraan yang melintas di depannya. Ia tak tahu seberapa banyak kendaraan di belakang, lantaran posisi duduknya yang miring. Terlampau bosan dan tak ada yang bisa ia lakukan selama di atas motor itu selain diam, pada akhirnya Syifa lebih memilih untuk menghitung kendaraan yang melintas. Baru satu menit berlalu, tetapi ia sudah banyak mengantongi jumlah kendaraan yang dapat dilihatnya.

Syifa memiringkan wajahnya sedikit ke arah Jaya. “Masih lurus, ya, Kak Jaya, jangan belok.”

Jaya membalas ucapan itu dengan berdeham seraya menganggukkan kepala.

Syifa diam-diam mengembuskan napas, sangat pelan sampai-sampai kakak kelasnya itu tak menyadarinya sama sekali.

Sejak duduk di jok motor ini, ia sama sekali tak mendengar satu patah kata yang laki-laki itu ucapkan. Sebanyak apa pun ia berbicara untuk menunjukkan jalan, laki-laki itu hanya membalasnya dengan dehaman atau bahkan anggukkan kepala saja.

Jika tahu akan berakhir seperti ini, mungkin ketika laki-laki itu mengajaknya pulang bersama—ralat, menitipkan helm dengan ia memakainya di atas jok motor ini—maka, dengan lantang ia akan menolaknya. Pulang dengan Abang Ojek saja ia selalu bertukar cerita, lalu mengapa saat ini dengan laki-laki itu mereka saling membungkam mulut seolah tengah bertengkar hebat?

“Kenapa?”

Syifa menoleh. “Hah? Kenapa apanya, Kak?” Badan ia menegak, berusaha menyamakan tinggi tububuhnya lantaran terhalang lebarnya bahu laki-laki itu. Kepalanya masih sibuk memproses, sekaligus tak percaya bahwa akhirnya laki-laki itu angkat bicara juga.

Jaya melirik spion sekilas. “Dari muka Syifa kayak ada yang diomongin.” Setelah kata itu berhasil diucapkan, laki-laki itu kembali menatap jalanan di depan.

Ah, ternyata laki-laki itu benar-benar bersuara, ia kira sedang berhalusinasi. Bahkan hebatnya, ucapannya itu lebih panjang dari perkataan sebelumnya. Ia sempat berpikir bahwa yang sedang bersamanya ini bukanlah kakak kelasnya sungguhan karena tak menunjukkan respons yang ia inginkan.

“Kenapa?” Jaya kembali bertanya, sebab Syifa tak ada tanda-tanda akan segera menjawab.

Mulut gadis itu kembali menutup ketika tiba-tiba matanya menangkap satu gerobak es tebu yang sedang berjualan di pinggir jalan. Tangan Syifa menepuk pundak Jaya dengan ribut. “Kak Jaya! Kak Jaya! Berhenti di depan!” titah Syifa, mengabaikan pertanyaan Jaya seakan kalimat itu hanyalah sebuah angin lewat yang tak perlu susah payah diberikan atensi.

Dahi Jaya mengerut selaras dengan kedua mata turut mengikuti ke mana gadis itu menunjuk. “Di sana?” tanya Jaya memastikan. Pasalnya, tempat yang telah ditunjuk Syifa bukanlah sebuah perumahan. Jadi, jika permintaan gadis itu minta diberhentikan di sana dengan alasan sudah sampai, cukup mustahil.

Syifa mengangguk. “Iya, Kak Jaya mau beli juga nggak?”

“Beli apa?” tanya Jaya lengkap dengan gurat-gurat halus tercipta di dahi laki-laki itu.

“Es tebu. Syifa mau beli es tebu dulu soalnya haus. Kak Jaya mau beli juga nggak?”

Sein kiri sudah Jaya nyalakan, laki-laki itu pun beberapa kali terlihat memantau kendaraan di belakang melalui spion sebelum benar-benar membawa motornya untuk berlaju di sisi kiri. “Nggak.” Jaya menggeleng serta mengamati kondisi motornya. “Susah bawahnya, nggak ada dashboard.”

“Syifa nanti bantu pegangin, Kak!”

Setelah ucapan itu keluar dari bibir manis sang adik kelas, entah mengapa pikiran Jaya mendadak melayang pada adegan gadis itu sepanjang jalan bantu memegangi satu cup es tebu demi ia bisa menikmati cairan manis itu. Tangan yang setengah memeluk perut Jaya—karena masuk di sela-sela tangan untuk menghindari dari bahayanya pengendara di sekitar.

Hanya sekadar membayangkan saja Jaya tersipu sendiri. Lantas ia segera menggelengkan kepala guna menepis pikiran tersebut. “Nggak usah, Syifa sendiri aja yang beli,” tolaknya sehalus mungkin agar gadis itu tak merasa sakit hati.

Dan, entah bagaimana ceritanya, ia justru berakhir ikut duduk di pinggir jalan menghabiskan satu cup es tebu sembari menikmati suasana sore hari dan disuguhkan pemandangan langit jingga juga kendaraan padat merayap.

Bibir Jaya menaik usai tak sengaja melihat kedua kaki gadis itu yang sengaja diluruskan bergerak-gerak kecil. Jaya menyeruput es tebu, lalu menelannya—memberikan hadiah pada kerongkongan yang tanpa disadari sudah mengering.

Selama mereka berdua duduk dan menikmati minuman itu, Jaya sama sekali tak berani menatap wajah Syifa walau sebentar. Padahal gadis itu sempat mengajaknya dalam konversasi kecil, namun Jaya lebih senang mendengarkan gadis itu berbicara dengan tatapan terjatuh pada tiap-tiap kendaraan yang melintas.

Satu tas yang dibiarkan tergeletak di samping kaki Jaya, tak memedulikan apabila barang itu akan kotor. Dan satu tas lainnya tak absen meninggalkan punggung Syifa—masih digendong seolah sama sekali tak terganggu dengan keberadaan barang itu.

“POV jadi Panda,” ucap Jaya dengan tiba-tiba.

Syifa menoleh dengan dahi mengerut, hendak menyeruput es tebu namun ia urungkan usai mendengar ucapan itu. “Maksudnya, Kak?” tanya Syifa kebingungan, bahkan posisi kepala gadis itu sampai miring.

Jaya membalas tatapan bingung Syifa seraya menggoyangkan gelas berisikan cairan manis alami dari tebu. Ia bisa lihat garis-garis tercetak di dahi gadis itu. “Kita lagi ngerasain jadi Panda, soalnya lagi nikmatin tebu,” jawab Jaya di akhiri tawa kecil dan memutuskan pandangan.

Melihat kakak kelasnya itu mulai tersenyum, tak tahu mengapa ujung bibirnya seakan ditarik paksa untuk memberikan reaksi yang sama. Apalagi setelah melihat bola mata laki-laki itu yang perlahan tenggelam oleh kelopak matanya. Bukan hanya langit semburat senja yang terlihat indah, melainkan senyuman dari laki-laki di sebelahnya tak kalah jauh indah dari kondisi langit sore hari ini.

“Tapi, Panda bukannya makan bambu, ya, Kak?”

Jaya mengangguk dan tersenyum. “Iya. Anggep aja kayak gitu.”

“Oh, iya, iya! Kita beneran kayak Panda sekarang!” Syifa cengar-cengir.

Mendengar suara intonasi ucapan gadis itu berubah riang, menghadiahkan gelengan kepala dari Jaya.

Menikmati indahnya sore hari dengan laki-laki di sebelahnya, berhasil buat jantung Syifa berkali-kali lipat berdetak kencang. Bibirnya mendadak kelu, sulit untuk mengucapkan segala kalimat berada di dalam kepala, padahal rasanya ada banyak hal ingin ia bicarakan dengan laki-laki itu. Entah sekadar menghabiskan waktu berdua, ingin melihat senyumannya kembali, atau bahkan saling berdiam diri sembari menikmati kepergian senja.

“Wangi baju Kak Jaya sekilas mirip wangi Ayah Syifa,” ucap Syifa, usai meyakinkan diri untuk berbicara.

Jaya mengangkat sedikit bahu kanannya—sengaja mendekatkan pada hidung. “Itu harum pewangi baju. Jaya jarang semprot parfum di jaket,” timpal Jaya selesai menghirup wangi pada jaketnya.

Lalu, hening kembali. Baik Jaya maupun Syifa saling berlarut dengan pikiran masing-masing.

Syifa memejamkan mata. Rasanya bodoh sekali karena ia memilih untuk diam dibandingkan menyahuti jawaban itu. Ini semua karena semua kalimat berada di dalam kepalanya seketika hilang begitu saja. Padahal, ia sudah berusaha untuk menciptakan obrolan hangat. Kesalnya, laki-laki itu sama sekali tak memiliki inisiatif untuk memperpanjang obrolan tersebut.

Seketika sedotan es tebu miliknya berhenti tepat di depan bibir sebelum Jaya sempat menyeruputnya. Tubuh Jaya mendadak membeku usai menyadari bahwa gadis itu mengetahui aroma pewangi dari tubuhnya. Lantas jika begitu, secara tidak langsung ketika di atas motor tadi, gadis itu telah diam-diam mencium aroma wangi tubuhnya?

Kepala Jaya menggeleng cepat. Es tebu itu ia teguk tak sabaran dengan harapan tegukan demi tegukan itu mampu membuat isi kepalanya kembali jernih.

Sebuah suara serta-merta membuyarkan lamunan Jaya. Jaya menengok ke arah sampingnya. Laki-laki itu terlihat menahan gelak tawanya agar tak pecah saat itu juga. Bagaimana tidak, ketika telinganya saat ini dipenuhi suara gadis itu tengah menyeruput cairan es tebu yang sudah habis.

“Mau beli lagi nggak es tebunya, Syifa?”

Syifa terperanjat, cup es tebu itu hampir saja Syifa lemparkan. “Nggak, Kak! Syifa cukup minum satu aja soalnya tadi di sekolah udah banyak minum manis-manis takutnya nanti batuk.”

Kayak anak kecil. Jaya menggeleng-gelengkan kepala.

Syifa ingin kembali menyeruput minuman itu, namun digagalkan oleh bunyi notifikasi ponselnya di dalam rok. Maka, dengan cepat Syifa mengeluarkan benda itu. Satu cup es tebu yang semula mati-matian Syifa isap melalui sedotan sudah ia simpan di sampingnya bersamaan dengan satu per satu pesan mulai ia baca melalui layar ponsel yang masih terkunci.

Sontak gerak-gerik tersebut memunculkan rasa penasaran dari Jaya. Dahi Jaya mengerut saat matanya tak sengaja menangkap jelas tiap-tiap kalimat yang tertera di layar ponsel gadis itu. Akui Jaya tak sopan, atau lebih tepatnya gadis itu yang teledor membiarkan ia bisa melihat isi pesan tersebut. Akan tetapi, salah satu pesan tersebut mampu membuat Jaya merutuk dalam hati.

Jaya membuang muka begitu menyadari Syifa berancang-ancang menyudahi membalas pesan itu.

Syifa mengunci kembali ponselnya dan dimasukkan ke tempat semula. “Kak Jaya.” Jaya menoleh dengan alis terangkat selagi menunggu yang lebih muda akan melanjutkan kalimatnya. “Kak Jaya beneran mau nganterin Syifa pulang?”

Jaya mengangguk.

Syifa melirik motor yang tengah terparkir beberapa langkah di depannya. “Nanti kalau bensin Kak Jaya berkurang banyak gara-gara nganterin Syifa dulu, kabarin, ya, Kak!”

Jaya tersenyum kecil disertai gelengan kepala. “Masih banyak, kok. Baru diisi pagi tadi.”


Sial, sejak mimpi itu datang, ia selalu terbayang-bayang tiap adegan maupun dialog dalam bunga tidur itu. Acap kali melihat raut wajah Syifa, lagi-lagi ingatan Jaya terjatuh pada bagaimana gadis itu tak mengacuhkan kehadirannya. Sampai detik ini, ia masih tak menyangka bahwa dirinya akan dihantui oleh kejadian itu. Oleh karena itu, alasan mengapa ia banyak memandang arah lain, selain muka gadis itu salah satunya karena alasan tersebut.

“Makasih banyak udah mau nganterin Syifa pulang, ya, Kak Jaya!”

Terlampau sibuk dengan pemikiran sendiri, Jaya bahkan sampai tidak sadar bahwa gadis itu telah turun dari motornya. Pun, Jaya tidak sadar sudah menghentikan motor tepat di depan gerbang rumah si pemiliknya.

Jaya berdeham kecil dan memalingkan wajah. “Nitip helm, bukan nganterin,” ucap Jaya, dengan nada suara terkesan sedikit ketus.

Cih, laki-laki itu pandai sekali dalam menjatuhkan ekspetasi yang susah payah ia bangun sendirian.

Syifa mendengkus. “Iya, iya, itu maksudnya!” Syifa melipat tangan. Kalau saja bukan karena laki-laki itu telah mengantarnya pulang, ia pastikan sudah meninggalkannya sedari tadi. “Makasih, ya, udah nitipin helm sama Syifa. Berkat Kak Jaya, Syifa jadi nggak perlu ngeluarin ongkos buat bayar ojek,” kata Syifa, memberi nada penekanan pada kata-kata tertentu.

“Sama-sama.”

Dan, yang lebih membingungkan adalah, mereka berdua masih setia diam di tempat tanpa ada yang berniat menarik diri lebih dulu. Para pengendara motor yang tak sengaja melewati mereka pun beberapa kali terlihat memberikan wajah kebingungan pada mereka. Pasalnya, Jaya setia duduk di atas motor dengan kondisi mesin sudah dimatikan. Sementara, di sampingnya ada Syifa yang berdiri dengan kaki sengaja digerakkan di aspal—menggambar bentuk sembarang menggunakan ujung sepatunya.

“Syifa.”

Syifa mendongak cepat. “Iya, Kak Jaya?”

Jaya menunjuk kepala Syifa. “Helmnya belum dibuka, BTW.”

Syifa memegang kepala. Ah, jadi alasan mengapa laki-laki itu sedari tadi diam karena sedang menunggu barang itu? Ia pikir ada hal yang ingin dibahas namun sulit untuk mengungkapkan. “Oh, iya!” Maka, dengan buru-buru ia langsung membuka benda bulat tersebut lalu diserahkan pada kakak kelasnya.

Jaya meraih helm itu, mengaitkannya sebelum ia simpan di depan tangki. “Yaudah, kalau gitu Jaya pulang dulu.”

Syifa mengangguk cepat. “Iya, Kak Jaya. Hati-hati, ya!”

Jaya menyalakan mesin motor. Laki-laki itu menoleh ke arah Syifa, memberikan senyuman sekilas sebelum meninggalkan sang pemilik rumah yang masih terdiam di tempat sembari memperhatikan punggung laki-laki itu yang perlahan menjauh.

Syifa mengulum senyum, dalam hati menjerit riang karena ia telah menghabiskan waktu dengan laki-laki itu. Daun-daun hijau sepanjang jalan yang dilalui gadis itu menjadi saksi bahwa saat ini sang pemilik rumah tak memberikan perhatian kepada mereka seperti biasanya. Mereka tak diacuhkan, tak disapa, bahkan tak dianggap keberadaannya ada. Padahal setiap sore gadis itu pasti akan memberikan asupan air demi menjaga kesehatan mereka dalam menyejukkan rumah ini.

“Ih, kamu abis dianterin siapa, tuh? Cieeee.”

Syifa terkejut bukan main. Badannya berjengit, hampir terjatuh jika ia tak langsung berpegangan pada pondasi rumah. “Ih, kamu kenapa tiba-tiba ada di sini?!”

Ary menunjuk tong sampah dengan wajah cemberut. “Aku abis buangin sampah kamu yang ada di kulkas! Nanti pulang dari supermarket ibu pasti marahin kamu!”

Biasanya, jika ia mendapatkan ancaman tersebut pasti akan ketakutan sendiri. Akan tetapi, untuk kali ini tidak. Bahkan, wajah ia terlihat tersenyum riang—tak memiliki beban bahwa mungkin saja beberapa waktu setelah ini ia benar-benar mendapatkan kalimat petuah dari ibunya seperti yang dikatakan si bungsu.


Puspas Niskala Universe

by NAAMER1CAN0