BONUS CHAPTER
cw // kiss
Semerbak aroma daging tengah dibakar di atas bara api menguar, terbawa oleh angin malam dan berkelana hingga tanpa permisi memasuki indra penciumannya. Bukan hanya hidungnya saja yang sedang dimanjakan, kedua telinganya pun ikut dimanjakan dengan alunan musik yang sedari tadi dilantunkan oleh segerombol orang di bawah pohon sana.
Memasuki liburan panjang memang sangat menyenangkan, terlebih ketika ia berkumpul bersama dengan orang-orang yang selalu menyalurkan rasa hangat untuknya. Kesepian yang acap kali ia rasakan saat ini sudah mulai tergantikan oleh rasa suam yang jarang sekali ia dapatkan sebelumnya. Ia tak akan pernah bosan selalu mengucapkan bahwa ia benar-benar beruntung mendapatkan seorang kekasih yang mampu menjadi teman pun obat untuknya di kala kesunyian menghantuinya.
Harri datang membawa setitik api pada kehidupannya yang kelam, lalu atas inisiatifnya sendiri ia membantu mengobarkan hingga rasa kelam itu tergantikan dengan terang benderang. Kehidupannya yang semua monokrom kini lebih berwarna berkat lelaki itu, lelaki amat dicintainya dan selalu ia agung-agungkan kepada ayah pun kakek dan neneknya.
“Bengong wae, heh!” Harri datang secara tiba-tiba dan sahaja menyenggol pundak Fara menggunakan pundaknya sendiri. Alih-alih mendapatkan makian, ia berhasil dibuat bingung kala perempuan itu justru tersenyum ke arahnya sembari mengucapkan sebuah kata yang membuat dirinya makin dipenuhi tanda tanya.
“Api.”
Harri menukikkan kedua alisnya. “Api apaan ai kamu?” tanya Harri heran seraya mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, berusaha menemukan objek yang dimaksud perempuan itu. “Api apa? Api yang lagi dipake ngebakar sama Jagat?”
Fara menggeleng dan menghalau isi pikirannya jauh-jauh agar ia dapat menikmati acara liburan kali ini dengan indah tanpa harus susah payah memusingkan beban berada di dalam kepalanya.
“Nggak, ini udah beres aku potongin buahnya.” Fara merapikan potongan buah terakhir ke dalam piring untuk segera ia serahkan pada Harri agar membawakan ke meja sana.
“Udah aja ini teh cuman ini aja?”
“Iya udah, cuman itu aja.”
“Okenk.”
Harri meraih piring berisikan puluhan potong buah yang nampak menggiurkan itu untuk ia bawa ke tempat yang maksud Fara. Dalam perjalanannya ia sesekali melahap buah tersebut akibat tak dapat menahan hasratnya sendiri. Bukan murni salahnya mengapa ia sampai berani menyantap buah-buahan itu dan curi start dari teman-teman lainnya, salahkan pada eksistensi buah-buahan itu sendiri yang amat terlihat menggiurkan di matanya.
Kobaran api perlahan melahap riang bara kayu saling bertumpuk satu sama lain. Sesekali api itu bergejolak lebih besar dua kali lipat akibat tetesan-tetesan lemak yang terjatuh dari daging sedang di panggangnya. Lelaki bertubuh tinggi berkali-kali memindahkan daging mulai dari arah jarum dua belas hingga arah jarum jam enam, mencari kobaran api yang sempurna agar mendapatkan tingkat kematangan daging yang pas.
“Kamu kepanasan nggak, Agat?”
Pertanyaan dari Grace terdengar cukup retoris ketika ia yakini perempuan itu sudah melihat objek apa yang berada di depannya. “Gimana ceritanya depan api malah ngerasain dingin, Ay. Aneh-aneh aja pertanyaan dari kamu.” Jagat mengerlingkan mata tatkala pertanyaan itu memasuki indra pendengarannya.
Grace tertawa mendengar jawaban ketus yang dilayangkan Jagat untuknya. “Ada yang perlu aku bantuin nggak?” tawar Grace, berharap ia bisa membantu tugas lelaki itu daripada dirinya harus berdiam diri tanpa melakukan apa-apa.
“Hm….” Jagat nampak berpikir sejenak, kemudian matanya menatap ke arah daging-daging yang sedang ia bakar di atas alat panggangan di depannya. “Bantuin potong dagingnya aja, deh, slice kecil-kecil tapi jangan terlalu tipis.” Grace mengangguk semangat, ia berlari untuk mengambil satu buah piring dan menunggu lelaki itu akan menyerahkan daging yang matang agar ia bisa mulai melaksanakan tugasnya.
“Hati-hati panas, ya, cantik.”
Tanpa harus diwanti-wanti pun Grace sudah dapat melihatnya sendiri sepanas apa daging berada di tangannya, mengingat kepulan asap itu tak henti memenuhi indra penglihatannya. Jagat terkekeh seraya menggelengkan kepalanya saatm melihat perilaku Grace yang begitu menggemaskan di matanya.
“U-uhm, sorry…,” cicit Charlotte membuat Fara menghentikan kegiatannya untuk sekadar menolehkan wajahnya dan menatap ke arah perempuan itu. “Iya kenapa, Char?” tanya Fara sembari menyimpan kembali ponsel miliknya untuk ia pusatkan secara penuh perhatiannya kepada Charlotte.
“Ini makanan yang lagi gue makan apa, ya, namanya, Far?” Charlotte mengangkat satu makanan asing agar orang tersebut dapat melihatnya.
“Itu combro, oncom dijero!” Fara turut mengambil satu makanan itu dan segera melahapnya, menemani Charlotte tengah menikmati combro sendirian. “Oncom di dalem, ini itu terbuat dari singkong. Hm…kalau bahasa inggrisnya itu apa, ya, sebentar aku lupa, Char!” Fara menepuk jidatnya seraya mengingat bahasa asing dari singkong.
“Gue tau, kok, apa itu singkong! Gue nggak segitunya sampe dikira nggak tau, ya!” ketus Charlotte memperlihatkan wajah sebalnya. Sontak hal itu membuat Fara berhasil meloloskan sebuah tawanya. “Ya, aku cuman jaga-jaga aja takut kamu nggak tau karena udah kelamaan di Amerika!”
“Enak banget makanan ini, sayang banget di tempat gue di sana nggak ada yang jual.”
“Ya kali di Amerika ada yang jual combro, aneh-aneh pisan!” Kini giliran Charlotte melayangkan kekehan mendengar celotehan dari teman baru yang baru dikenalnya pagi tadi.
“I’m sorry for bothering you guys,” timpal Horace secara tiba-tiba dengan sarat wajah kebingungan tercetak pada wajahnya. “Bae, did you see my wallet?” tanya Horace kepada Charlotte—kekasihnya—sembari terus-menerus meraba setiap kantong berada di tubuhnya. Tak terhitung sudah berapa lama Horace mencari dompetnya yang tak kunjung ia temui.
“Ada, in my bag. Lo ceroboh banget kebiasaan!” sungut Charlotte yang sudah lelah melihat drama barang yang sering kali dilupakan kekasihnya dengan mudahnya. “Sorry, bae, tadi beneran nggak sengaja soalnya gue lagi ribet turunin semua belanjaan, kan.” Horace berusaha membela dirinya sendiri dengan sebuah fakta yang tak diketahui Charlotte agar dirinya tak dilayangkan celotehan secara terus-menerus.
“Ya udah kalau gitu, gue izin balik ke sana lagi, ya. Enjoy your meals guys,” pamit Horace sembari menunjuk ke arah teman-temannya berada. “Aku ke sana, ya, pretty.” Horace mengusap puncak kepala Charlotte sebelum akhirnya ia meninggalkan kembali Charlotte dan Fara yang tengah menikmati camilan ringan sempat terhenti beberapa menit lalu.
Charlotte menatap kepergian punggung Horace yang sudah terpaut jarak beberapa langkah dari tempatnya berada. “Lo suka kesel nggak, sih, kalau pacar lo teledor naro barang?” ucap Charlotte mengawali pembicaraan, sebab selepas sepeninggalan Horace keduanya kembali saling bungkam.
Fara menggeleng. “Nggak, soalnya yang teledor itu aing bukan pacar aing jadi yang kesel pasti Harri,” timpal Fara dengan cengengesan.
Charlotte memutar bola matanya saat mendengar jawaban yang tak diharapkan keluar dari belah birai teman perepuan di depannya. “Ih ceroboh banget, jangan kayak gitu lagi nanti lo jadi kebiasaan hilangin barang tau!” seru Charlotte, berusaha mengingatkan perihal kebiasaan jelek dari teman barunya.
“Ih maneh mirip sama Grace, bawel terus galak!”
“Mana ada galak!”
“Ya, itu tadi buktinya marahin aing!”
“Oh my gosh… itu gue lagi ngasih petuah sama lo biar nggak ceroboh lagi! Bukan galak or whatever, i don’t even care!”
Sayup-sayup perdebatan tak sengaja sampai pada telinga lelaki yang semula asyik bernyanyi riang dengan beberapa kawanannya. Harri sontak mengedarkan pandangan, membidik mencari keberadaan Fara yang nampaknya perempuan itu sedang tersulut emosi.
“Bagus, Char, marahin aja tah si Fara soalnya teledor pisan anaknya, teh!” teriak Harri yang dihadiahi tatapan sengit oleh seseorang di sana. Namun, ia sendiri tak memedulikan tatapan itu. Justru Harri menjulurkan lidahnya sebagai tanda bahwa ia tengah mengejek kekasihnya.
“Harri onyet, sebel lah banget aku sama dia!”
Malam makin larut, terlihat dari bulan kian temaram akibat tertutupi oleh awan abu yang mengelilinginya. Pawana yang datang pun tak sesejuk sebelumnya dan terkesan berkali-kali lipat lebih dingin. Bulu-bulu halus pada kedua tangannya mungkin dengan sukarela berdiri saat terpaan angin datang dan menyergap raganya. Beruntungnya kobaran api di depannya justru memberikan hal kontradiktif sebab kini tubuhnya terasa hangat.
“Gue awalnya gitu, Far, nggak mau punya sister. Tapi pas my sister born into the world, gue excited banget.” Hartigan mengangguk, menyetujui ucapan Farzan. “Bener, bahkan saking bahagianya itu anak selalu ngajak adiknya kalau kita lagi nongkrong. Katanya biar orang-orang tau dia punya adik yang cakep.” Farzan hanya membalas ucapan Hartigan dengan sebuah tawa kecil dan secara tidak langsung ia telah mengiakan ucapan dari temannya.
“Kalau anak satu itu beda, dia suka rungsing kalau adiknya mau ikut nongkrong sama kita.” Jaya menunjuk ke arah lelaki yang sedang asyik menikmati makanan sedari tadi seperti tak tertarik dengan obrolan mereka.
“Rungsing apaan?” tanya Samuel heran.
“Uring-uringan,” timpal Rakha cepat dibalas anggukkan paham dari sang empu.
Harri meraih gelas dan segera meneguk air minumnya untuk meloloskan makanan yang masih hinggap di dalam mulutnya dengan mudah. “Anying, aing tau saria semua buaya makanya aing nggak pernah mau ngajak adik aing si Kaila kalau kita lagi nongkrong, biar nggak termakan rayuan saria semua!” hardik Harri tak terima ketika makanan dalam mulutnya sudah sepenuhnya lenyap. “Apalagi sama saria berdua!” tunjuk Harri kepada Jaya dan Yolan secara bergantian.
Yolan yang tengah menikmati secangkir sop buah pun membelalakkan matanya ketika namanya diserukan oleh sang empu. Ia telan cepat-cepat minuman berada di dalam mulutnya. “KENAPA SI AKU?! SI AKU NGGAK NGAPA-NGAPAIN ADIK SI KAMU KAILA!”
“Sia buaya banget! Harus jauh-jauh dari adik aing pokoknya!” Harri menggeleng-geleng, menepis jauh-jauh hal yang tidak-tidak berada dalam isi kepalanya. “MASA, YA, MARANEH SEMUA HARUS TAU! SI YOLAN PERNAH NGAJAKIN SI KAILA NONTON KE BIOSKOP BERDUA!” murka Harri, wajahnya telah dipenuhi oleh guratan amarah tak suka. “BERDUA!” Harri mengulang kata-katanya sembari mengacungkan dua jari pada tangan kanan dan kirinya.
Runtutan untaian frasa yang diserukan Harri dengan emosi yang meluap-luap sukses membuat seluruh orang yang berada di meja itu meloloskan sebuah tawa secara bersamaan. Terkecuali tersangka yang menjadi bahan perbincangan sebab ia tengah berkacak pinggang dan melayangkan tatapan tak kalah emosi kepada sang empu.
“Horace juga gitu posesif sama kembarannya,” ucap Charlotte secara tiba-tiba, membuat seseorang yang diserukan namanya membalas ucapan itu melemparkan tatapan tajam ke arahnya.
“Banget!” balas Hartigan lagi-lagi menyetujui ucapan Charlotte.
“Chelsea kenapa nggak diajak, Ras?” tanya Jagat, mengalihkan tatapannya ke arah lelaki itu.
Horace memasukkan satu suapan salad ke dalam mulut, lalu mengunyahnya dengan tempo teratur membuat Jagat yang baru saja melayangkan pertanyaan itu membutuhkan waktu untuk mengetahui jawabannya. “Chelsea nggak pulang, dia liburan di sana.”
“Keren nama kembaran maneh namanya kayak club bola kesukaan babeh aing.”
“Sialan lo!”
Fara menghela napasnya, merasa malu dengan kelakar yang acap kali Harri serukan secara asal. Sekian detik kemudian ia menolehkan wajahnya tatkala sebuah tepukan dirasakan pada bahu kirinya. Alisnya mengangkat, seolah tengah bertanya kepada lelaki di sampingnya yang memperlihatkan raut penuh tanya.
“Mau air minum nggak?” tawar Harri melihat gelas kosong di hadapan kekasihnya. “Aku mau ambil ambil air minum.”
Fara menggeleng, menolak tawaran dari Harri mengenai apakahnya dirinya membutuhkan satu gelas air minum kembali atau tidak. “Okenk.” Selepas itu ia dapat merasakan bangkunya bergerak menandakan seseorang telah beranjak, tanpa harus bersusah payah menolehkan wajahnya pun ia sudah tahu bahwa sosok itu tak ayal adalah kekasihnya sendiri.
“Lo selama ini suka sendirian di rumah, Far?” tanya Samuel retoris dijawab sebuah anggukkan oleh perempuan itu.
“Iya, tapi kadang suka tinggal di rumah kakek nenek di Setiabudi.”
“Nggak kesepian?” tanya Farzan.
“Kesepian, tapi kadang Harri suka dateng nemenin atau aing yang main ke rumah Harri. Berkat dia aing nggak terlalu kesepian banget kayak dulu.” Fara menjawab pertanyaan Samuel sembari menatap pergerakan seorang lelaki di sana tengah menuangkan air ke dalam gelas miliknya. “Berkat dia juga aing bisa duduk di sini sama kalian. Makasih, ya, udah mau main ke rumah aing.” Tatapannya beralih dan menatap netra orang-orang berada di sekelilingnya satu per satu dan menarik kedua ujung bibirnya.
Senyum Fara makin merekah tatkala merasakan sebuah usapan halus yang berduyun-duyun diberikan dua orang sekaligus padanya. Grace mengelus punggung tangannya; Charlotte mengelus pundaknya; jua orang-orang di sana membalas ucapannya dengan senyuman tak salah riang dari senyuman yang ia berikan sebelumnya.
“Tapi, gue akui emang Harri anaknya totalitas banget, sih. Dulu aja waktu awal Jale pindah ke Bandung, dia ngelakuin segala hal biar temen gue itu nyaman tinggal di sini,” sahut Hartigan, menunjuk Harri yang berada di sana serta Jagat secara bergantian.
Fara membenarkan semua ucapan yang dilontarkan Hartigan di dalam hatinya. Ia bisa merasakan sendiri acap kali Harri datang dan membawa sejuta ide konyol yang selalu membuat dirinya bahagia atas perlakuan sekecil apapun darinya. Rasanya ia ingin mendeklarasikan secara rinci semua tindakan dari lelaki itu untuknya, namun apabila harus menceritakan dalam satu malam rasanya sangat tidak cukup. Mungkin ia membutuhkan waktu sekurangnya satu minggu atau bisa jadi lebih dari itu. Sudah terbayang, kan, sebanyak apa perlakuan lelaki itu untuknya?
Fara selalu merasa dispesialkan walaupun ia tak pernah memintanya. Bahkan ia masih ingat sebuah kalimat yang selalu Harri ucapkan untuknya. Aing nggak akan pernah ngizinin siapapun buat maneh sedih, Sel. Karena aing di sini berjuang susah payah buat maneh bahagia. Semua ucapan Harri tak pernah diingkari. Nyatanya lelaki itu memang selalu berhasil membuat dirinya selalu bahagia, pun makin jatuh kepadanya.
“Aing apaan?” tanya Harri penasaran setelah kembali menyambangi dan duduk di tempat semula. “Sia, Suharti, ngomongin aing apaan?!”
“Kepo lo, Asep!”
“Anying sia, Daniel!” Harri melemparkan gelas plastik miliknya yang sudah ia remas sebelumnya ke arah tepat lelaki itu berada.
Hartigan menggebrak meja, tak terima lemparan gelas plastik itu mengenai makanan yang tengah ia santap dengan lahap. “Anjing lo, Asep! Gue lagi makan, bego!” hardik Hartigan, melemparkan kembali gelas plastik tersebut kepada sang empu dan menatap sengit ke arah sang lawan.
Entah sudah berapa kali mereka semua menatap lelah ke arah Harri dan Hartigan yang sedari tadi tak lelah saling menyumpahi disertai runtutan kalimat umpatan yang tak lupa mereka lontarkan. Fara hampir melupakan sebuah fakta bahwa dibalik Harri Agung yang selalu totalitas dan penuh ambisi, emosi lelaki itu bersumbu pendek.
“Kertas, gunting, batu!”
“Rock, paper, scissors!”
Fara terkekeh saat mendengar perbedaan bahasa yang mereka gunakan, namun beberapa kemudian kekehan itu tergantikan oleh celotehan tak terima. “IH KENAPA AING YANG HARUS BERSIHIN!” ketus Fara, tangan kanannya masih setia mengepal seperti enggan untuk menurunkannya.
“Lo kalah, Fara, jadi lo yang harus bersihin semuanya,” timpal Charlotte seraya menjulurkan lidah, mengejek sebab dirinya terbebas dari hukuman yang telah disepakati sebelumnya secara bersaa.
“TEMENIN ATUH SAMA SATU ORANG LAGI MASA AING HARUS BERSIHIN SEMUA INI SENDIRIAN?!”
“Hag yang nemenin,” ucap Jaya secara tiba-tiba, sembari meninggalkan meja agar Fara dapat membersihkan sampah-sampah berserakan dengan leluasa.
Harri yang tengah asyik menikmati potongan demi potongan buah segar pun sontak menghentikan kunyahannya dan segera menoleh pada sumber suara. “APAAN KENAPA MALAH AING?!”
Hartigan sudah berancang-ancang berdiri dan siap meninggalkan meja untuk segera menyusul kepergian Jaya, namun mendengar selepas Harri menyerukan sebuah kalimat membuat dirinya mengurungkan niat. “Lo pacarnya, harusnya lo temenin dia, lah!” timpal Hartigan dibalas gelengan cepat dari Harri yang ia yakini bahwa itu adalah jawaban penolakan. “WAH PARAH BANGET, FAR, MASA COWOK LO NGGAK MAU BANTUIN LO!” Hartigan sahaja memprovokasi sebab ia menyukai melihat lelaki itu yang mudah tersulut emosi.
Harri dibuat gelapan, ia melirik wajah kekasihnya untuk memastikan apakah perempuan itu sudah terprovokasi dengan ucapan dari Hartigan atau bahkan sebaliknya. Ketika melihat sarat wajah Fara yang menampilkan raut tenang, ia dapat bernapas lega. Namun tak selang lama, ia membelalakan matanya saat menyadari raut perubahan yang terpancar pada wajah kekasihnya. Maka, dengan cekatan ia segera berjalan mendekati Fara sebab takut dirinya akan mendapatkan amarah dari kekasihnya.
Harri meraih kantong plastik dan memasukkan satu per satu sampah berserakan di atas meja ke dalamnya dengan telaten. Sesekali ia mendapatkan runtutan celoteh sebab dirinya turut andil membuat kegaduhan sehingga banyaknya sampah yang terbuang tak beraturan.
“Kamu, sih, lempar-lemparin ini-itu, jadi, kita sekarang harus pungutin satu per satu!”
Harri membuka lebar-lebar telinganya untuk ia serahkan secara penuh akan kalimat protes yang sahaja dilayangkan untuknya tanpa membantahnya. “Iya, maaf, ya, geulis.” Di antara semua kalimat yang bisa ia ucapkan, hanya itu yang mampu Harri balas agar dirinya tak mendapatkan celotehan yang entah sampai kapan perempuan itu akan terus-menerus mengungkitnya.
“Nanti yang cuci piring biar sama aku, aja. Kamu nanti buangin sampah nya aja yang udah aku kumpulin.”
“Kenapa gitu?” jawab Fara heran.
“Nggak apa-apa, kasian maneh kalau harus nyuci banyak. Lagian aing udah biasa, kok, cuci piring sebanyak itu di rumah. Sudah terlatih sejak dini,” sahut Harri dengan berguyon ria.
Fara mengangguk memahami. “Ya udah, tapi nanti yang bagian ngelap piring yang udah kamu cuci sama aku, ya.”
“Iya boleh, Isel.”
Bekerja secara bersama memang cukup meringankan, terlebih ketika ia menyadari betapa cekatannya Harri untuk mengumpulkan sampah yang bersebaran di mana-mana. Namun tentunya pekerjaan mereka berdua tak sampai di situ, mengingat masih ada hal yang harus cepat diselesaikan agar mereka berdua dapat segera bergabung dengan teman-temannya yang lebih dulu sudah berdiam di ruang keluarga dan menyaksikan serial film bersama-sama.
“Yang, makasih, ya. Kamu udah bawa mereka ke rumah aku, apalagi ditambah bawa temen-temennya Jagat dari Jakarta. Ternyata mereka nggak semenyebalkan itu, ya.”
Harri tersenyum selaras dengan kedua tangannya yang masih disibukkan untuk mengelap meja bekas mereka pakai. “Sama-sama, Isel. Kan, aku udah bilang kalau temen aku itu temen kamu juga.” Kemudian, bekas selampai yang sudah ia gunakan untuk membersihkan meja dari noda-noda yang tercecer diserakkan kepada perempuan di sebelahnya.
“BTW, ayah pulangnya kapan, katanya?”
Fara menggeleng. Tangannya sibuk melipat-lipat asal selampai yang sudah berada dalam genggamanya. “Nggak tau, kayaknya lusa atau tiga harian lagi mungkin,” jawabnya sembari mengedikkan bahu, lalu selampai itu ia bawa untuk membersihkan bagian meja yang tak terjangkau kekasihnya.
Harri mengangguk-angguk seolah memahami tuturan dari kekasihnya. Matanya yang semula memandang meja di bawahnya, kini beralih untuk memperhatikan keadaan sekitar dengan sekilas. Harri menggeser tubuhnya, menghapus jarak yang memisahkan antara dirinya dengan sang kekasih.
“Sel!” seru Harri sembari menepuk pundak perempuan itu sebanyak dua kali dengan teramat pelan dan terkesan tak bertenaga, sebab tak mau apabila ia menepuk terlalu kencang akan meninggalkan bekas di sana.
Fara menolehkan wajahnya seakan-akan tengah memperlihatkan raut bertanya mengapa lelaki itu telah memanggilnya. Alih-alih menjawab, Harri justru berdiam sembari memperlihatkan sebuah senyuman yang sukses membuat dirinya makin dibuat bingung.
“Ih, nggak jelas!” ketus Fara sebab tak kunjung mendapatkan penjelasan dari Harri yang sudah mengusik dirinya ari pekerjaan tengah dilakukannya.
Harri terkekeh melihat raut kesal yang tercipta di wajah sang kekasih. Namun kemudian sebuah ide konyol mendatangi pikirannya setelah sekelebat memori perihal tempo hari tak sengaja ia ingat kembali. Maka, dengan harap-harap ia dapat membalas perbuatan perempuan itu yang telah berhasil membuat dirinya tak karuan sampai beberapa hari pasca kejadian.
“Sel, Sel!”
Fara yang baru saja akan menolehkan wajahnya dibuat terkesiap kala lelaki itu mengecup singkat pipinya sekilas. “AP—” Bahkan terlampau terkejut, ia sampai tak bisa menyelesaikan ucapannya. Sementara sang tersangka hanya membalasnya dengan sebuah senyuman jahil yang memang secara khusus diperuntukan bagi dirinya.
“BUSET, MALEM-MALEM DINGIN GINI EMANG ENAK BAT DAH, YE, DIKASIH KECUPAN SAMA PACAR. DIA KIRA INI TEMPAT CUMAN MILIK BERDUA KALI, YE, RAS!” sindir Hartigan penuh luapan emosi. Ia serta Horace tak sengaja melihat adegan itu dengan mata kepalanya sendiri.
Harri otomatis melunturkan senyumannya yang semula ia terbitkan dengan sahaja pada wajahnya. Tetapi sesaat kemudian ia dibuat salah tingkah ketika menyadari kehadiran orang lain selain mereka berdua. Ia refleks menggeser tubuhnya, memberikan ruang kosong di tengah-tengah antara mereka berdua. Jika seandainya ia mengetahui ada pasang mata yang lain, tentu saja ia tak akan seberani itu melakukan hal tersebut.
Ironisnya, ia tak bisa membalikkan tubuh dan menyanggah ucapan yang dilayangkan lelaki itu kepadanya. Harri justru dibuat bergeming di tempat sebab ia tengah bersikeras menyembunyikan rasa malu akibat telah tertangkap basah melayangkan sebuah ciuman kepada sang puan. Pun, seseorang di sampingnya yang ikut terdiam dan enggan mengeluarkan sepatah kata kepada orang yang telah mengecup pipinya secara tiba-tiba.
Mendengar sayup-sayup langkah yang menjauhi mereka, lantas Fara segera menolehkan wajahnya dan mendaratkan sebuah pukulan secara bertubi-tubi kepada kekasihnya.
“ONYET IH KENAPA MALAH CIUM AKU!”
“AING SENGAJA MAU BALAS DENDAM YANG WAKTU ITU, IH! SI MONYET SUHARTI MALAH LIAT ADEGAN ITU AING SANGAT AMAT MALU ANYING GIMANA INI KALAU DIA CEPLOSIN KE ANAK-ANAK DI DALEM, YANG?!” Panik Harri tak bisa disembunyikan terlihat dari kedua netranya tengah memancarkan tatapan penuh kekhawatiran.
Alih-alih membantu menghilangkan kekhawatiran yang tidak-tidak dalam pikirannya, justru Fara meninggalkannya seorang diri dan memilih untuk berjalan menyambangi kediamannya.
“YANG, IH! AING MALAH DITINGGAL LAH PARAH PISAN!”
Baru saja Harri melangkahkan kakinya, namun dengan cepat ia kembali mengurungkan niatnya sebab Harri tahu betul apabila mengikuti jejak sang puan ia akan diolok-olok habis-habisan oleh teman-temannya di dalam.
“HARTIGAN CEPU JIANTARA!”
Amarah Harri bergejolak saat mendengar namanya diserukan dengan lantang oleh para insan di dalam ruangan itu lalu diiringi sebuah tawa menggelegar yang ia pastikan bahwa Hartigan memang sudah memberitahu perihal kejadian yang telah dilihatnya. Lagi-lagi atas kebodohannya sendiri Harri harus mampu menahan rasa malunya. Padahal sebelumnya Harri sudah memastikan bahwa keadaan sekelilingnya benar-benar sunyi dan tak menampilkan seorang pun berada di sekitarnya. Kendatinya, memang semesta senang menjahilinya.
— Kolase Asmara resmi selesai, 15/12/2022.
Kolase Asmara Universe.
by NAAMER1CAN0