BS dan Adis.


“Ih kok udah di sini lagi? Pasti lama banget ya nunggunya?” sambut Adis sambil berlari kecil untuk membuka gerbang rumahnya.

“Jangan lari-lari takut jatoh,” respon Bagas setelah melihat pacarnya berlari untuk segera menemuinya.

“Bunda sama Ayah ada?”

“Nggak ada, mereka keluar dari pagi. Kenapa emang?” tanya Adis. Alis kanannya ia angkat sebagai tanda bahwa ia penasaran dengan pertanyaan yang telah dilontarkan pacarnya.

“Enggak, kalo ada aku mau izin. Nggak enak masa jemput kamu di luar, terus main nggak pamitan sama orang rumah.” Adis tersenyum setelah mendengar jawaban itu. Tangannya ia bawa untuk mengikat rambutnya sebelum memakai helm.

“Maaf ya pake motor, belum diizinin Ayah buat bawa mobil.” Bagas menyerahkan sebuah helm berwarna putih dengan corak bunga tulip di pinggiran helmnya.

Adis menggeleng. “Nggak apa-apa, lagian pake motor seru kok! apalagi kalo sore-sore kena angin, hehe.” Ada sedikit tawaan di akhir kalimatnya. Mau tak mau Bagas tersenyum mendengar itu. Untung saja Adis tipekal orang yang tidak menuntut ini itu.

“Sini, biar aku aja yang pasangin.” Bagas menyingkirkan tangan Adis yang sedang kesusahan untuk mengunci helmnya.

Klik.

“Hehe makasih.” Senyum Adis melebar setelah helmnya sudah terkunci dengan aman. Bagas hanya mengusap punggung Adis dengan pelan.

“Mau makan dulu atau?”

“Makan dulu aja, laper!” potong Adis.

“Lagi mau makan apa?”

“Kamu suka makanan apa?”

“Apa aja aku makan,” jawab Bagas.

“Mie ayam?”

“Boleh?” lanjut Adis.

Bagas pun hanya bisa tersenyum menampilkan kedua matanya bak bulan sabit, “boleh. Yaudah sini naik, kita berangkat sekarang.” Tepuk Bagas pada jok motornya.

Bagai remaja yang baru pertama kali dimabuk cinta. Kini Bagas melajukan motornya tak lebih dari 60 km/jam yang menandakan bahwa ia sedikit lebih lambat dari hari-hari biasanya saat mengendarai motor. Berbeda jika ia berpergian sendirian mungkin kecepatan itu akan mencapai sekitar 80 km/jam.

Entah apa yang telah merasuki dirinya. Kini kedua tangannya telah melingkar sempurnya pada pinggang Bagas; kekasihnya. Bagas yang dipeluk hanya bisa tersenyum. Kekasihnya itu sangat ekspresif, jika suka akan tersenyum dan jika tidak akan berbanding terbalik.


“Panas nggak?” tanya Bagas saat keduanya telah sampai di warung mie ayam kesukaannya.

“Sedikit,” jawabnya.

“Diiket aja rambutnya,”

“Mau gini aja ah, nggak pede kalo diiket.”

Fyuh. Fyuh.

“Ih apa kok ditiup-tiup? Emang aku balon apa?” protes Adis setelah merasakan tiupan percis di depan wajahnya. Tiupan itu berasal dari pria yang memiliki mata seperti bulan sabit saat tersenyum.

“Biar nggak kepanasan lagi, cantik.” Tangan Bagas terulur untuk mengusak rambut kekasihnya dengan pelan.

“Awh- kok dipukul?” Bagas mengelus bahunya. Pukulannya bukan main.

“Jangan bilang itu!”

Bagas menyatukan kedua alisnya, tercetak jelas pada dahinya yang telah memamerkan beberapa guratan kecil. “Bilang apa?”

“Itu!”

“Itu?”

“C word!”

“Apa sih, aku nggak ngerti?”

“Jangan panggil aku cantik!”

“Loh kenapa? Kamu emang cantik kok, semua orang juga bahkan setuju sama pendapatku.”

Saat akan

First date

elus dengkul di lampu merah, iketin rambut cewek grgr rambutnya kena eskrim, gulungin bajunya krn mau masuk kuah bakso, hujan hujanan sambil berteduh si cowok ngaish jaketnya,


Green Light Universe.

by NAAMER1CAN0