CAN'T TAKE MY EYES OFF YOU


Dalam sejarah hidupnya selama berangkat sekolah, Syifa tak pernah terburu-buru untuk datang lebih awal—kecuali jika terlambat. Ketika langit masih tertutupi oleh awan dan kabut terasa nyata menyentuh kulit, Syifa sudah pergi meninggalkan rumah. Bermodalkan cardigan ungu muda, Syifa dan ojek langganan keluarganya menerjang jalanan yang belum terlalu ramai.

Bapak sang ojek pun sampai berkali-kali memastikan apakah pelanggannya itu benar-benar akan berangkat menuju sekolah sepagi ini? Bukan hanya sang ojek, kedua orang tuanya bahkan sampai mengira ia sedang menggigau. Sebab, biasanya si sulung akan mempersilakan sang adik untuk pergi lebih dulu, tapi yang dilakukan sekarang ini justru sebaliknya.

Alasan utama yang sudah menjadikan Syifa mengikuti isi hatinya, tak lain dan tak bukan karena Jaya. Ia ingin menyaksikan sendiri bagaimana kebiasaan laki-laki itu datang ke kelas. Saat ini, Syifa sedang berusaha menyuapi egonya.

Apakah Jaya sama seperti teman-teman laki-laki di kelasnya yang akan datang ketika bel sekolah hampir dibunyikan? Atau, Jaya tipikal yang senang datang pagi lalu memutarkan musik dan kembali melanjutkan tidur di kelas? Syifa ingin pertanyaan-pertanyaan itu segera terjawab dalam beberapa waktu ke depan.

Kedatangan sang gadis disambut ruang kelas yang masih kosong. Dengan perasaan tak sabar, Syifa cepat-cepat duduk di bangkunya. Tak berselang lama dari kedatangan Syifa, salah satu murid kelas sebelas yang Syifa sendiri tak tahu namanya itu menyusul kedatangannya dan menyapa hangat. Syifa bisa lihat kakak kelas itu kemudian membuka buku, mempelajari beberapa soal untuk ujian nanti.

Rasanya lucu ketika berada di situasi saat ini. Keduanya sama-sama datang lebih awal, namun alasan Syifa untuk datang pagi-pagi buta bertolak belakang dengan alasan kakak kelas itu. Sang kakak kelas datang untuk belajar, sementara Syifa datang untuk menemukan jawaban rasa penasarannya.

Lambat laun, satu per satu murid datang dan mengisi tiap-tiap bangku yang kosong. Syifa melirik jam dan menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Akibat seseorang yang menjadikan alasan utama mengapa ia sudah terduduk rapi di pagi buta belum kunjung datang juga, Syifa memilih untuk menghafal beberapa rumus agar memudahkan ujian nanti.

Merasakan bayangan yang makin mendekat, Syifa segera mendongak. “Gimana kemaren sukses nggak curi pandangnya?” kata seseorang yang baru saja datang dengan wajah berseri-seri, tampak terlihat tengah menggoda. “Seharusnya, kemarin kamu udah bisa mandang leluasa, dong?” lanjut laki-laki itu sembari membuka jaket untuk dilipat dan di simpan ke dalam tas.

Tuhkan. Ternyata apa yang ada di dalam pikirannya kemarin memang benar, Jagat dengan sengaja pulang lebih dulu—mengosongkan bangku agar ia bisa memandang Jaya secara bebas. Seharusnya Syifa senang, namun entah mengapa justru merasa sebal sendiri ketika cuplikan tentang hari kemarin kembali teringat.

“Mau lagi nggak saya bantuin?”

Syifa memutar bola mata malas. “Nggak.”

“Cepet amat jawabnya. Kemarin aja ada kali kamu beberapa kali ngegerutu sendirian gara-gara saya ngalangin kamu lagi curi-curi pandang ke dia,” tunjuk Jagat pada bangku sebelah yang masih kosong.

Syifa menutup buku kasar, tak menghiraukan kalimat dari Jagat. “A Jagat nanti kalau pas ujian udah selesai, jangan keluar duluan, ya, kalau bisa,” pinta Syifa menghadirkan kebingungan pada wajah Jagat.

“Kenapa memang?”

Tanpa raut bersalah, Syifa melanjutkan kalimatnya. “Soalnya, kata Kak Jaya sama A Harri, A Jagat pinter. Jadi, nanti kalau misalnya sewaktu-waktu Syifa kebingungan, dimohon kerjasamanya, ya, A Jagat.” Syifa menyengir, memamerkan deretan gigi bagian atas yang rapi.

Jagat melongo, tak menyangka ucapan itu akan keluar dari mulut sang adik kelas tanpa beban. Setelah mendengar keinginan Syifa, Jagat jadi ingin cepat-cepat melaksanakan ujian dan keluar kelas sesegera mungkin.

“Gat, ke ruangan si Rakha, yuk!” ajak Harri seraya menyimpan tas secara asal. Harri bahkan tak berniat untuk beristirahat sejenak selepas sampai di kelas. “Kali-kali arurang yang nyamperin dia.”

Jagat mengangguk mengiakan. Berhubung ruang mereka terpisah karena nomor urut absensi, sehingga mereka berinisiatif bergantian untuk saling menghampiri.

Harri menatap Syifa. “Nanti kalau Ajay udah sampe dan nyariin, suruh nyusul aja ke ruangan sebelah aja, ya, Cip.”

Mendapat anggukan kepala dari Syifa, Harri kemudian menarik pundak Jagat dan bergegas berjalan keluar ruangan. Harri menyeret Jagat tak sabaran sampai-sampai hampir membuat pinggang laki-laki itu mengenai ujung meja yang lancip.

“Sabar sedikit bisa nggak, Ri,” keluh Jagat di sela-sela langkah.

Bertepatan dengan sepeninggalan kedua laki-laki itu, Syifa kembali melanjutkan menghafal rumus. Sekelebat ide tiba-tiba muncul, namun Syifa sedikit ragu. Sebab, jauh di dalam hatinya tengah berusaha menyangkal. Syifa tidak berniat untuk menyontek, ia hanya ingin menuliskan beberapa rumus pada kertas kecil yang kemudian akan disimpan di dalam tempat pensil.

Ketika baru saja akan meluncurkan aksi tersebut, ia malah dibuat salah fokus oleh kehadiran figur di ambang pintu. Laki-laki itu tengah berbincang dengan salah satu temannya. Jadi, seperti ini penampakan laki-laki itu ketika hendak masuk kelas. Seragam putih abu yang rapi, jaket biru dongker yang sengaja dipakai agar angin tak langsung menyakiti tubuhnya, lalu ransel hitam setia bertengger di punggung. Jangan lupakan wajah yang terlihat segar dengan rambut sedikit basah. Jika diperbolehkan menebak, laki-laki itu pasti tadi tak lupa untuk membasuh rambut sebelum berangkat sekolah.

Alih-alih datang pagi buta dan melanjutkan mimpi di dalam kelas, ternyata laki-laki itu lebih memilih datang siang. Mungkin lebih tepatnya sengaja datang siang sebab ujian dimulai pukul delapan, sementara saat ini waktu masih menunjukkan pukul tujuh lebih dua puluh lima menit.

Saat Jaya sedang berjalan mendekati kursinya, ia dibuat salah fokus oleh kehadiran ransel sengaja dibiarkan tergeletak tanpa sang pemilik. “Jagat sama Harri ke mana?” tanya Jaya sembari menatap Syifa, berharap gadis itu mengetahui jawabannya.

“Tadi bilangnya mau ke ruangan A Rakha. A Harri juga tadi nitip pesen sama Syifa kalau Kak Jaya udah dateng disuruh nyusul ke sana katanya,” terang Syifa sesuai permintaan Harri supaya Jaya menyusul ke ruangan sebelah.

Jaya mengangguk-angguk. Melihat laki-laki itu tampak tak terlihat akan tanda-tanda segera menyusul, Syifa kembali bersuara. “Nggak ke sana, Kak?” tanya Syifa dibalas gelengan oleh Jaya.

Rasanya ingin sekali Syifa mempertanyakan alasan mengapa Jaya tak ikut menyusul, namun usai menyadari pertanyaan terakhir darinya hanya dijawab gelengan, Syifa mengurungkan.

Berbicara perihal laki-laki itu, Syifa dibuat bingung. Pasalnya, tindakan laki-laki itu kemarin sore di ruang obrolan tak selaras dengan tingkah lakunya sekarang ini. Bahkan, laki-laki itu kemarin tak malu mengatakan kalau dia sedang salah tingkah. Anehnya, ketika mereka bertemu hari ini, Syifa sendiri tak bisa menemukan gelagat itu—gelagat sang kakak kelas yang terang-terangan dalam berucap.

Rancangan ide yang tersusun rapi tentang mempersiapkan rumus untuk ujian nanti, sudah tak menarik lagi bagi Syifa. Ia segera menggelengkan kepala cepat guna membuang jauh-jauh pikiran tersebut.

Sebagai gantinya, Syifa makin bersemangat untuk menghafal. Mata yang terpejam, mulut sibuk bergumam—mengucapkan rumus secara berulang, tangan bergerak-gerak mengikuti tiap kata yang diucapkan. Kegiatan itu spontan menarik perhatian laki-laki yang tengah asyik bermain ponsel.

“Rumus itu bukan dihafal, tapi perlu latihan ngerjain soal biar hafal sendiri.”

Ucapan dari Jaya serta-merta menciptakan embusan napas kasar yang keluar dari mulut Syifa. Apa yang sudah diucapkan oleh Jaya tak sepenuhnya salah. Dan ia mengakui itu. Seperti adanya magnet, kepala Syifa otomatis menoleh. Di sana memperlihatkan Jaya tengah menopang dagu di atas jaket, sementara kedua tangan laki-laki itu sibuk bergerak lincah pada layar ponselnya. Tanpa harus bersusah payah melirik pada benda itu pun Syifa sudah tahu kalau Jaya sedang bermain games.

Merasa tengah sedang diperhatikan, Jaya menginterupsi. “Kenapa?” tanya Jaya tanpa menolehkan wajah.

Kakak kelasnya itu memang kelewat peka atau ia sendiri yang berlebihan memperhatikan sampai-sampai membuat Jaya merasa risi ditatap olehnya?

“Jangan ngeliatin Jaya terus, Jaya lagi main games nanti kalah.”

Syifa mengernyit. “Kenapa bisa kalah? Padahal Syifa nggak ngapa-ngapain.” Bahu gadis itu terangkat selaras dengan gerakan kepala menggeleng-geleng kebingungan.

“Kemarin, kan, udah dikasih tau. Jangan sering liatin Jaya diem-diem, nanti Jaya salting.”

Mata Syifa refleks melebar ketika mendengar penuturan itu. “O-oh,” jawab Syifa gelagapan. Matanya kini ia alihkan untuk memandang objek lain, asalkan bukan figur laki-laki itu.

Sial, telinganya baru saja mendengar tawa yang cukup pelan. Apakah kakak kelasnya itu sedang menertawai dirinya yang gelagapan? Ingin sekali rasanya ia menoleh, tapi ketika ucapan tanpa beban itu kembali teringat, Syifa jadi malu sendiri.

“Syifa.”

“Iya, Kak Jaya?” balas Syifa tanpa menolehkan wajah—bersikeras menatap objek yang berada di seberang sang kakak kelas berada.

Tubuh Jaya berubah tegak, entah sejak kapan sang benda pipih sudah menghilang dalam genggaman laki-laki itu. “Jaya ada di sebelah kiri, bukan di sebelah kanan.” Lantas dengan cepat Syifa menuruti untuk menolehkan ke arah yang Jaya mau. Alih-alih menatap balik sang lawan bicara, Syifa malah memejamkan mata.

Jaya mengekeh, kepalanya refleks menggeleng-geleng melihat tingkah dari adik kelasnya. “Nanti jangan lupa, ya.”

Syifa membuka satu mata, sedikit penasaran dengan pemandangan di depannya. “Soal apa, ya, Kak Jaya?” Begitu kalimat itu selesai Syifa tanyakan, matanya kembali terpejam.

Jaya menunjuk kursi sebelah Syifa menggunakan dagu, walaupun sangat disayangkan gerakan itu tak bisa dilihat Syifa. “Jangan lupa nanti tolong bantu diktein jawabannya orang itu.”

Syifa antara percaya dan tidak percaya mendengar jawaban itu, ia kira ucapan perihal dimintai tolong menjadi mata-mata jawaban Jagat sebatas bercandaan saja. Bahkan, tanpa membuka mata pun Syifa sudah tahu siapa yang dimaksud Jaya.

Secara otomatis, kedua mata Syifa terbelalak. “Ih, beneran mau nyontek!”

Melihat Jaya hanya merespons dengan tawa, seketika ingatan momen di mana laki-laki itu mengirimkan sebuah pesan suara yang sedang tertawa kembali teringat. Ucapannya kala itu memang benar, segala yang ada di dalam laki-laki itu memang tampan.

Sedang Jaya yang menyadari perubahan tatapan Syifa pun langsung berdeham guna melepas kecanggungan. Sial, padahal tadi gadis itu masih memperlihatkan bola mata yang terbuka lebar seolah tak percaya dengan ucapannya. Namun, sedetik kemudian tatapan gadis itu berubah, memperlihatkan tatapan penuh binar pada bola mata indahnya.


Puspas Niskala Universe

by NAAMER1CAN0