CRESCENT MOON


Syifa tak peduli apabila dirinya disebut aneh lantaran sedari tadi gadis itu tak berniat untuk melunturkan senyumannya sedikit pun. Sepoi-sepoi angin dari kipas di atas ruangan seni musik kitu justru memberikan keadaan lebih khusyuk untuk dirinya lebih dalam menyelam pada sebuah lamunan. Bahkan seruan dari teman-temannya tak ia indahkan membuat sang empu yang sudah susah payah mengeluarkan suara diam-diam berdecak sebal.

“Aira maneh nggak bawa gitar?” tanya Arkan sang ketua kelas.

Aira menggeleng. “Nggak, aku nggak punya gitar.” Gadis itu menjawab dengan menyelipkan nada kekehan di akhir, takut apabila ia akan mendapatkan nilai rendah dibandingkan dengan teman-teman satu kelasnya yang sudah berusaha membawa gitar sesuai arahan dari guru seni musiknya.

“Euh, bentar urang coba tanya kelas lain siapa tau ada yang bawa gitar.”

Baru saja Arkan akan beranjak untuk mencoba mencari alat musik yang dibutuhkan untuk mata pelajaran kali ini, akan tetapi sebuah suara secara tiba-tiba datang dan menyerobotnya.

Pandu berjalan ke depan ruangan disertai pandangan yang terarah pada satu per satu anak kelas, memastikan bahwa mereka telah membawa barang yang sudah diminta sebelumnya. “Ada yang nggak bawa gitar?” tanya Pandu demi mengefisienkan waktu yang tercipta.

Aira menengok ke arah kanan dan kiri, melihat dan memastikan apakah ada orang lain yang tak membawa gitar selain dirinya. Namun beberapa detik setelahnya suara helaan napas terdengar lesu, nampaknya hanya dirinya yang tak membawa gitar di antara semua teman kelasnya.

Maka, dengan perasaan penuh campur aduk, gadis itu mengangkat tangan secara ragu-ragu. Takut apabila ia dikeluarkan dari ruangan, pun takut apabila ia akan dipermalukan di depan sebab tak berusaha untuk mendapatkan barang tersebut seperti teman-teman kelas lainnya.

Pandu menoleh. “Kenapa nggak bawa?” tanya Pandu dengan intonasi nada rendah, tak menyelipkan nada penekanan apapun.

“A–aku nggak punya gitar, Kak,” timpal Aira ketakutan. Terdengar jelas ketika bagaimana gadis itu menjawab pertanyaan dari Pandu dipenuhi suara yang bergetar.

Pandu mengangguk lalu melirik sejenak ke arah laki-laki di belakang seakan dengan menyampaikan sebuah informasi lewat tatapan yang hanya tercipta beberapa detik itu.

Jaya melepaskan barang yang semula ia gendong dan membukanya secara perlahan. Setelah berhasil melepaskan gitar dari rangkaian kain hitam itu, kemudian Jaya berjalan ke arah sang adik kelas untuk memberikan gitar miliknya. “Nanti maininnya pelan-pelan, ya, soalnya itu senar Aa agak tajem.” Jaya memberi arahan mengenai kondisi senar gitar miliknya. Pun, ia tak ingin membuat adik kelasnya terluka.

Aira menatap keenam senar yang membentang dengan rapi—tak ada sisa senar yang tergantung seperti gitar biasanya yang ia mainkan di kelas. “Iya, makasih, Kak!” Aira melemparkan sebuah senyuman, selepas itu gitar yang telah diberikan kakak kelasnya ia raih dan disimpan di atas pangkuannya.

“Cipa!” bisik Aira dengan tatapan yang sekali-kali ia curi ke arah pemandangan di depan. “Mau tukeran nggak gitarnya? Ini gitarnya, Kak Jaya!” Aira menunjuk barang dalam pangkuannya.

Syifa menggeleng cepat. “Nggak, ah. Aku takut dia curiga terus nggak ikhlas kalau misalnya aku yang pake. Udah gitarnya Kak Jaya kamu aja yang pake, soalnya Syifa bawa gitar sendiri!” tolak Syifa disertai penjelasan panjang lebar, tak ingin membuat Aira segan kepadanya.

Bertepatan setelah Syifa menyelesaikan kata per katanya, selang beberapa detik Pa Boni mulai memasuki ruangan. Hanya dengan sekejap, kegaduhan itu lekas hilang dan membuat suasana di tengah-tengah mereka tenang dan sunyi. Pa Boni berdeham, seakan tak mempermasalahkan apabila mereka ingin sekadar untuk saling berbincang, pun membuat suasana ruangan seperti sebelumnya.

Pa Boni menyerahkan satu alat tulis kepada laki-laki yang tak jauh dari tempatnya berdiam diri. “Jaya, tolong tulis kunci gitar lagu laskar pelangi, ya. Kunci dasar aja jangan kunci gantung.” Jaya mengangguk, mengiakan. Spidol hitam itu telah berpindah tangan, juga Jaya mulai mengoleskan tinta hitam di atas papan tulis berwarna putih dengan tingkat kefokusan yang tinggi.

Papan tulis yang semula berwarna putih dan bebas dari noda, kemudian dalam sekejap telah terisi penuh oleh polesan cairan tinta hitam secara beraturan.

“Pa, genjrengannya mau kayak gimana biar sekalian Jaya tulis di sampingnya.”

Pa Boni memejamkan mata sebentar. Tangan kanannya bergerak seolah tengah memainkan gitar secara tak kasat mata. “Down down-down-down-down down-up-down,” balas Pa Boni setelah berusaha mengingatnya.

Jaya kembali menuliskan perintah tambahan dari sang guru dengan cepat. Ia tatap sejenak ke arah papan tulis, memastikan ulang tak ada satupun kunci gitar yang terlewatkan. Setelah merasa bahwa semuanya sudah lengkap, Jaya menghampiri Pa Boni dan mempersilakan beliau untuk memulai pelajaran. Selagi Pa Boni menjelaskan, Jaya dan Pandu hanya berdiam diri sembari sesekali mengarahkan pandangan ke beberapa murid untuk berjaga-jaga apabila ada murid yang tidak mendengarkan penjelasan dari Pa Boni.

“Kita coba, ya, Bapa coba mainkan dulu nanti dilanjut sama kalian.” Pa Boni membenarkan cara memegang gitar dengan benar dan nyaman agar memudahkan memainkannya nanti.

Alunan dari suara gitar yang dimainkan seorang pria paruh baya di depan sana serta merta mampu memenuhi indra pendengaran mereka. Tak jarang sebagian murid ada yang ikut terbuai sampai memejamkan mata, menikmati tiap petikan yang dimainkan dengan lihai.

Erangan kecewa dengan serempak sekonyong-konyong mengisi ruangan yang tak begitu luas itu. Bagaimana tak kecewa ketika mereka sedang asyik menikmati alunan musik itu, namun pria tersebut menghentikannya bertepatan akan memasuki inti dari lagu yang dibawakan. Terasa sebal, bukan?

Pa Boni melirik sekilas ke arah papan tulis. “Mulai dari chord C, ya.” Pa Boni bangkit dari kursi, menyimpan gitar itu kembali pada posisinya. “Pandu, Jaya, tolong kalian liatin, ya, takutnya masih ada yang salah posisin jarinya.” Kedua laki-laki itu mengangguk kompak.

Pandu menunjuk jajaran seberang, sebab kenyataannya Pandu sendiri cukup malas untuk melangkahkan kaki ke sana. “Aing di bagian kiri, maneh di bagian kanan, ya, Jay.” Sementara Jaya tak membalas ucapan itu, melainkan laki-laki itu lebih memilih untuk langsung berjalan ke tempat yang telah ditunjukkan Pandu untuknya.

“Coba kalian mainin kunci C terus genjreng, masih ada yang fals nggak?” tanya Pa Boni, memerintah.

Pandu memperhatikan satu per satu cengkeraman mereka pada leher gitar, memastikan bahwa mereka semua sudah benar dalam menekan senar agar tak menimbulkan suara yang tidak keluar.

Hampir sama dengan kegiatan Pandu untuk memastikan bahwa mereka menekan senar gitar dengan benar, hanya saya ada sedikit perbedaan dengan Jaya. Tangan laki-laki itu turut bergerak, mencengkeram jemari sang adik kelas dan membenarkannya apabila salah dalam memposisikan tangan.

Mulainya kegiatan Jaya berjalan lancar dan tak ada hambatan sedikit pun. Akan tetapi ketika ia berpindah pada salah satu adik kelas lainnya, tiba-tiba saya fokus dirinya tertuju pada beberapa silikon warna-warni yang telah membaluti jemari gadis itu. Jaya spontan mendongakkan kepala, melirik sang empu sebab silikon itu begitu familier untuknya.

Benar saja, ketika ia baru saja mendongakkan kepala, dirinya langsung disambut oleh senyuman begitu sumringah. Bulatan kecil pada pipi kiri gadis itu tak pernah luput dalam pandangannya.

“Syifa langsung pake, Kak, hehehe. Makasih, ya!” tutur Syifa dengan riang. Ia tak begitu telaten dalam memalsukan ekspresi wajahnya.

Jaya mengangguk dan menarik kedua ujung bibirnya membentuk sebuah kurva cukup indah apabila dipandang oleh siapapun. Pun, jangan lupakan dengan bola mata laki-laki itu perlahan-perlahan menghilang. Tak hanya itu, kedua mata kakak kelasnya itu pun turut mengekspresikan diri dengan menyerupai bulan sabit yang biasa ia lihat di atas langit malam.

“Teken senarnya pakai ujung jari, ya, jangan pake permukaan nanti sakit.” Jaya meraih jemari gadis itu untuk ia benarkan dalam menekan senar gitar agar lebih nyaman nantinya. “Nggak usah keras-keras, soalnya senar gitarnya bukan nilon takut malah jadi luka,” lanjut Jaya memberikan petuah terakhir sebelum akhirnya laki-laki itu melepaskan cengkeraman pada jemari sang gadis.

Deg-deg.

Seolah terdapat sengatan listrik, Syifa tak bisa berkutik ketika laki-laki itu menarik jemarinya tanpa aba-aba. Untuk pertama kalinya ia dapat merasakan langsung kulit mereka saling bersentuhan. Hangat. Entah mengapa Syifa masih dapat teringat jelas rasa hangat itu, kendati masih terdapat rasa dingin setelahnya.

Jika ia berada di dalam ruangan seorang diri, mungkin saat itu juga ia akan berteriak sekencang mungkin. Bahkan untuk memedulikan kondisi pita suaranya pun, ia tak begitu memikirkannya.

Ia tahu bahwa perlakuan laki-laki itu bukan hanya kepadanya, akan tetapi rasa senangnya seakan-akan hanya ia seorang diri yang merasakan diperlakukan spesial oleh sang kakak kelas itu.

“Sekarang pindah sekarang ke kunci G,” pinta Pa Boni sembari menunjuk papan tulis menggunakan tongkat kayu yang tak terlalu panjang.

Terima kasih kepada Pa Boni yang telah menyerukan perintah terbarunya, sehingga Jaya bisa kembali ke tempat semula dan menyelesaikan segala interaksi dengan gadis itu.

Bangsat kenapa juga aing malah jadi deg-degan.”


Puspas Niskala Universe.

by NAAMER1CAN0