Demam.
“Jagat.”
Jagat terperanjat dari kegiatan duduknya. Dia refleks berdiri tatkala melihat sosok seorang perempuan yang telah hadir dan berdiam diri di depan pintu seolah-olah sedang menunggu dirinya untuk mempersilakan masuk.
“Sini, masuk. Pintunya biarin dibuka aja.”
Jagat kembali mendudukkan dirinya pada sebuah sofa yang beberapa saat lalu menjadi tempat dia untuk menunggu kekasihnya.
“Apa?” tanya Grace, matanya menatap obsidian hitam di depannya dengan sedikit terheran.
Bibir Jagat mengerucut, pandangannya menunduk untuk menatap lantai kamarnya. “Udah maafin aku, kan?” tanya Jagat. Kesepuluh jari-jarinya sibuk memainkan ujung baju yang sudah kusut.
Alih-alih menjawab, Grace menghela napasnya. Dia mulai berjalan mendekati Jagat yang kini sedang mendudukkan dirinya di atas sofa.
“Kenapa belum makan?” tanya Grace, seolah menulikan telinganya untuk pertanyaan yang beberapa lalu dilontarkan oleh kekasihnya.
Grace melepaskan ranselnya lalu disimpan sembarang di lantai. Sedangkan barang yang berada di tangannya dia simpan rapi di atas meja. Lalu menyusul Jagat untuk duduk di sebelahnya.
“Pait, mulut aku pait.”
Untuk kedua kalinya, helaan napas pun mulai memenuhi gendang telinga Jagat. Jagat tak berani untuk sekadar menolehkan wajahnya dan menatap obsidian hitam perempuan di sebelahnya. Sehingga hanya bisa menatap lantai kamarnya dengan setia.
“Bunda sama Ayah kamu, mana?”
“Di jalan.”
“Abis dari mana, emang?” Jagat mengedikkan bahunya. Dia tak mampu menjawab beberapa pertanyaan dari kekasihnya. Kepalanya sangat pening saat sebuah suara memenuhi gendang telinganya.
“Makan dulu ya—”
“Boleh?”
Ucapan Grace terpotong saat lelaki itu secara tiba-tiba menginterupsi ucapannya. Bola mata Grace mengikuti lirikan Jagat. Dia melirik sekilas pahanya lalu kembali menatap Grace dengan tatapan memohon.
“Mau tidur di sini?” Grace memastikan agar dirinya tak salah menangkap sebuah sinyal dari pemilik rambut hitam-kecoklatan.
Jagat mengangguk. Anak rambutnya menaik turun dengan riang. “Iya, boleh?”
“Sini.”
Mendengar persetujuan itu. Sebuah bantal yang telah dipegang dirinya pun langsung diletakkan di atas kaki kekasihnya. Jagat mulai merebahkan kepalanya di sana. Matanya dia bawa memejam untuk menghilangkan rasa pening di kepalanya.
Punggung tangannya dia letakkan di atas dahi lelaki di bawahnya. Rasa panas pun mulai terasa oleh kulit sensitifnya. Sudah Grace pastikan bahwa Jagat sama sekali tidak memakan obat, karena terbukti dari rasa panasnya yang tak kunjung hilang.
“Kamu kemarin nggak neduh dulu, ya?” tanya Grace.
Jagat berdeham dengan suara yang amat pelan, namun masih bisa terdengar jelas oleh kedua telinga milik Grace.
“Nanti abis ini makan, ya. Aku udah beli bubur, takut nanti terlanjur dingin kalau dilamain.”
Jagat mengangguk kecil sebagai respons dari pertanyaan yang baru dilontarkan Grace beberapa detik yang lalu.
“Tadi harusnya pelajaran apa di sekolah?”
“Hm … Jepang, PKN, Kimia, Inggris, kayaknya.”
Dahi Grace mengernyit. “Kok kayaknya?”
“Ay … please. Kepala aku pusing jangan diajak ngomong terus, ya? Aku pengen bobo sebentar aja, boleh?”
Jagat dengan refleks membuka kedua bola matanya. Dia tatap kedua manik yang mulai memenuhi indra penglihatannya. Satu yang Jagat lihat, sorot mata itu bukan hanya menampakkan sorot kekhawatiran. Namun, menampakkan sorot yang begitu meneduhkan untuk siapa pun yang melihatnya.
“Iya, maaf, ya, Agat. Sini bobo lagi, ya?”
Tangan Grace terulur untuk sekadar mengusap kedua bola mata indah milik kekasihnya itu. Menurutnya dengan cara ini bisa ampuh membuat seseorang dengan cepat tertidur. Dulu saat dia kecil, dia selalu suka apabila orang tuanya mengusap lembut matanya atau mengusap punggungnya hingga dia terlelap.
“Mana?”
“Apanya yang mana?” heran Grace. Guratan halus pun sudah mulai tercetak pada dahinya. Matanya menyipit setelah mendengar ucapan itu.
Jagat mengecurutkan bibirnya seperti sedang berlomba dengan hidungnya yang bangir. “Puk-pukin kepala akunya, mana?”
Grace terkekeh kecil. Dia tak habis pikir lelaki yang dulu dikenalnya memiliki sifat manja yang tidak pernah diperlihatkan pada siapa pun. Dia bahkan mafhum bahwa orang yang terlelap dalam pangkuannya memiliki sifat yang manja apabila bertemu dengan bundanya.
Tak mau membuat orang yang dicintainya menunggu lama, telapak kanannya pun ia ulurkan untuk mengelus dan merapikan rambut yang sangat menarik perhatiannya. Dia tidak bisa mendeskripsikan saat rambut-rambut halus itu dengan riang menyentuh telapak tangannya. Dia sangat menyukai tekstur dari rambut yang sedang dielusnya kini. Rambut itu sangat halus dan lembut membuat siapa pun yang melihatnya akan dengan sukarela untuk mengelusnya.
Senyum Grace merekah saat melihat kedua kelopak mata itu mulai terpejam kembali. Dengkuran pelan pun menjadi pengisi sebuah alunan di ruangan yang sedang dia tempati. Sesekali Grace menyentuh alis, kelopak mata, pun dengan hidung dari sang empu yang sedang nyaman menidurkan kepala di atas pangkuannya.
Grace sangat suka semua yang ada pada diri Jagat. Jagat memiliki daya tarik tersendiri di matanya. Bukan hanya di matanya bahkan di mata kedua orang tua serta adiknya, Jagat memiliki ruang tersendiri yang begitu spesial.
“Kok berhenti?” ucap Jagat. Dia membuka matanya, sebab kegiatan yang disukainya harus terhenti begitu saja.
Jagat menarik tangan Grace, lalu disimpan kembali di atas kepalanya. Dia arahkan gerakan mengelus seperti kegiatan sebelumnya yang terhenti.
“Puk-pukin lagi kayak gini, Agat suka dipuk-pukin sama Mega. Puk-pukin lagi Agat sampe bobo, ya?”
Bisa Grace rasakan kini perutnya seperti sedang berterbangan kupu-kupu setelah mendengar ucapan yang amat sangat dia hindari apabila di dengar secara langsung. Jangankan secara langsung, mendengar lewat voice note atau bahkan membaca lewat ketikan saja Grace masih bisa merasakan kegelian itu.
“Mau aku nyanyiin nina bobo?”
“Sayang, please, aku bukan anak kecil ....”
Grace tak bisa lagi menahan tawanya. Gelak tawanya pecah saat melihat raut ketidaksukaan yang Jagat perlihatkan untuknya. Bukannya takut, namun, hal tersebut malah membuat kegemasan di mata Grace.
“Kalau gitu, kamu mau aku nyanyiin lagu apa?” tanya Grace. Telapak tangannya dengan lihai mengusap pipi serta dahi Jagat yang masih menciptakan rasa panas saat menyentuhnya.
“Apa aja, asal jangan lagu anak kecil.”
Alih-alih menjawab, Grace hanya menganggukkan kepalanya seolah paham dengan tuturan yang baru dilontarkan oleh Jagat.
“Bintang kecil di langit yang biru—”
“Ay!”
Mata Grace menghilang saat sebuah tawa mulai mengisi ruangannya itu. Tawanya semakin lebar sebab lelaki yang berada di pangkuannya semakin mengerucutkan bibirnya dengan sebal, bahkan kedua lengannya sudah dia telungkupkan di atas dadanya.
Kamu lucu banget, Agat. batin Grace. Dia pun mulai mengulas senyumannya dengan telapak tangan yang melanjutkan aktivitas sempat terhenti beberapa saat lalu; mengelus rambut kekasihnya.
From Jagat Lingga Erlangga Universe; Jij Bent Mooi.
by NAAMER1CAN0