DIA SIAPA?


Mulanya, pertemuan itu diadakan sebatas membicarakan tentang rencana apa yang sudah Harri buat. Namun, siapa sangka, setelah satu jam berlalu, mereka kini justru sedang asyik saling berbagi cerita. Syifa yang awalnya takut merasa canggung, sekarang gadis itu sudah mulai bisa berbaur dengan keempat kakak kelasnya.

“Terus, ya, dulu Aa sama si Ajay pernah ditonjok si Rakha. Sumpah itu mah Aa langsung shock berat!” ujar Harri dengan dramatis.

Rakha yang baru saja menelan kopi langsung menyanggah ucapan tersebut. “Eh, sumpah aing juga ngelakuin itu gara-gara maraneh duluan yang berantem,” ucap Rakha tak terima disalahkan begitu saja. “Lagian sebelumnya aing udah pake cara baik tapi maraneh masih aja berantem. Jadi, mau nggak mau aing pake cara itu!”

“Emang berantem gara-gara apa gitu kalau Syifa boleh tau?”

“Harri nyedot bensin dari tanki motor Ajay,” sahut Rakha tanpa basa-basi.

Syifa sukses dibuat melongo. Tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya itu.

“Kan, emang aneh si mereka itu, si aku aja suka capek sendiri liat drama dari si mereka.”

Syifa masih ingat betul dengan perkataan, “Apabila ingin mengambil hati seseorang yang kamu suka, kamu perlu mengambil hati dari lingkungan orang tersebut terlebih dahulu. Termasuk keluarga serta teman-temannya.” Syifa sendiri agak lupa telah menemukan kalimat tersebut dari mana. Yang pasti, untuk mengambil hati dari teman-teman Kak Jaya, rupanya Syifa bisa melakukannya.

Tak pernah terbayangkan sebelumnya Syifa bisa satu meja dan saling berbagi cerita dengan kelima orang ini dalam waktu yang bersamaan. Selama ini, ia hanya melihat interaksi Kak Jaya dengan teman-temannya dari jauh, walau ada beberapa orang yang baru pertama kali dilihatnya.

Syifa makin merasa yakin bahwa Kak Jaya memang benar-benar orang baik. Karena, dari bagaimana lingkungan pertemanan Kak Jaya menyambut Syifa pun, ia sendiri sudah bisa merasakan dan mengetahui ketulusan yang diberikan mereka untuknya.

Otomatis, desas-desus yang kerap tak sengaja terdengar olehnya yang mengatakan hal-hal kurang baik tentang mereka, jelas Syifa tepis dengan jauh. Sebab, dalam kacamata pandangannya mereka bukan orang seperti itu.

Seolah tak membiarkan Syifa berlarut dalam pikirannya seorang diri, salah satu dari mereka mulai kembali membuka suara dan menceritakan kejadian yang lucu. Aksara menceritakan kejadian di mana ia beserta kelima temannya pada saat itu sedang menaiki perahu yang berada di danau sekolah. Awalnya kegiatan itu lancar-lancar saja, sebelum akhirnya dua pasang Angsa datang dan ikut berenang seakan tengah mengejar mereka di atas perahu. Karena salah satu dari mereka tak bisa diam, akhirnya dengan sesuai dugaan, mereka semua tercebur ke dalam danau yang bahkan tingginya tak lebih dari satu meter. Kejadian itu akan terus melekat dan menjadi sejarah bagi Aksara dan kelima temannya.

Syifa tak tahu lagi harus merespons apa selain membalas cerita itu dengan tawa renyah. Syifa tak ingat sudah berapa banyak tawa yang ia lantunkan malam ini, yang pasti hal itu telah berhasil membuat perutnya terasa kram.

Kepala Jagat mendongak, menatap persis Syifa di seberang sana. “Syifa ada jam malem nggak pulangnya?” tanya Jagat, tak sengaja melihat jam pada ponsel miliknya setelah membalas pesan dari seseorang.

Syifa yang sedang asyik mengobrol itu seketika menghentikan ucapannya. “Ada, Kak, jam sembilan,” timpal gadis itu dengan raut berseri, seolah cerita lucu dari Aksara masih ingat betul dalam kepalanya.

Jagat kembali menyalakan dan membuka kunci ponsel milik laki-laki itu, lalu memperlihatkan kepada Syifa. “Sebentar lagi udah mau jam sembilan.” Bukan berniat untuk mengusir adik kelas itu, hanya saja Jagat takut apabila gadis itu mendapatkan teguran tak menyenangkan dari kedua orang tuanya ketika mengetahui anaknya pulang larut melebihi jam yang sudah ditentukan.

Syifa otomatis terbelalak. “Ih iya! Syifa harus cepet-cepet pulang takut ayah Syifa marah!” Seakan tak membiarkan cairan hijau itu tersisa sedikitpun, lantas Syifa kembali menyeruputnya hingga habis.

Kondisi perutnya sudah kembung ketika Syifa baru menyadari bahwa ia sudah menghabiskan dua gelas minuman itu dalam waktu yang berdekatan.

“Rumah kamu di mana emang, Syifa?”

“Baleendah, Kak!”

“Ya udah, yuk, pulang. Saya anterin. Kebetulan saya bawa mobil tadi bareng sama Harri.”

Harri mengangguk. “Hayu, Cip, pulang bareng Aa sama Jagat. Jangan naik ojek sendiri takut, udah malem soalnya.”

Syifa menggeleng. “Eh, nggak apa-apa, A. Syifa udah biasa pulang pergi naik ojek sendirian, kok!” nolak Syifa secara halus, lantaran tak enak apabila merepotkan kedua kakak kelasnya untuk mengantarnya pulang terlebih dahulu.

“Syifa biar bareng sama si aku aja, Lang. Kebetulan si aku mau ke daerah sana abis dari sini. Paling si aku nitip Aksa, tadi si aku ke sininya bareng Aksa soalnya,” kata Yolan, sembari melirik ke arah Aksara seolah sedang bertanya melalui tatapannya. “Gapapa, kan, Sa?” tanya Yolan memastikan.

Aksara mengangguk. “Iya gapapa, Mang. Besok maneh berarti jemput aing dulu, ya. Helm aing jangan lupa buat dibawa.”

Yolan mengacungkan jempol kanan. “Siap!”

Harri menolehkan wajah. “Maneh ke sini naik apaan, Kha?”

Aing naik motor, tapi aing kayaknya langsung pulang ke rumah si Jagat.”

“Nginep maneh?”

Rakha mengangguk, mengiakan ucapan Aksara. “Iya, bapak aing lagi ada acara di Bogor. Di rumah kosong jadinya aing mau nginep di si Jagat aja.”

“Ya udah berarti kamu sama aku, ya, Syifa, pulangnya. Nanti kasih tau aja jalan nya, soalnya aku nggak tau jalanan sana.”

Syifa tampak sedang berpikir sejenak. “A Yolan beneran nggak apa-apa nganterin dulu Syifa?” Sebenarnya Syifa ingin sekali menolak ajakan kakak kelas itu, namun setelah mendengar sebuah debatan dari kakak kelasnya tentang siapa saja yang akan ikut pulang dengan ini dan itu membuat Syifa tak berani menolak ajakan tersebut.

“Beneran nggak apa-apa, daripada kamu naik ojek sendiri.”

“Maaf ngerepotin, ya, A.”

Yolan menggelengkan kepala cepat. “Ih, enggak ngerepotin, kok, Syifa, santai aja!”


“Kamu ambil ekstrakurikuler apa, Syifa?”

Yolan menyerahkan sebuah helm berlogokan salah satu tokoh kartun jepang, tak lupa dengan sebuah kalimat tertulis ‘i love anime’ di bawahnya.

Syifa memasukkan ponsel ke dalam tas, lalu meraih helm tersebut dan segera memakainya. “Syifa ambil paduan suara sama palang merah remaja, A,” jawab Syifa, “kalau A Yolan ekstrakurikuler apa?”

Sebelum menjawab pertanyaan dari Syifa, kedua tangan Yolan kini sedang sibuk membuka pijakan motor agar adik kelas itu tak perlu membukanya lagi nanti. “Aku ekskul basket.” Kemudian, Yolan tak lama menyuruh Syifa untuk segera naik sebelum waktu benar-benar telah menunjukkan pukul sembilan.

“Ih, iya! Syifa sampe lupa, kan, A Yolan ketua basket putra, ya.”

Entah terlalu bersemangat atau terkejut atas kesadaran sesuatu hal, hingga gadis itu terlalu bertenaga saat menaiki motor sampai-sampai Yolan dibuat sedikit oleng. Beruntung, laki-laki itu sigap untuk menurunkan kaki satunya untuk dijadikan tumpuan.

Yolan terkekeh sembari sesekali mengangguk. “Iya bener, btw Syifa bisa nyanyi?” Setelah merasa yang di belakang tak melakukan pergerakan apa-apa lagi, lantas Yolan segera menyalakan mesin motor dan perlahan menarik gas—mengendarai motor tersebut untuk membelah jalanan pada malam hari.

“Semua orang juga bisa nyanyi, A Yolan. Tapi, ada yang fals sama enggak. Nah, kalau Syifa sendiri, sih, kebetulan nggak fals.”

“Berarti jago nyanyi, ya, Syifa.”

“Bukan jago, tapi untungnya nggak fals aja, A Yolan!”

Yolan kembali terkekeh. Setelah dipikir-pikir, apa bedanya jago bernyanyi dengan tidak fals?

Kerlap-kerlip dari lampu sepanjang jalanan yang dipadukan lampu dari kendaraan yang berlalu-lalang berhasil memanjakan mata. Syifa yang semula dibuat takut akan merasa canggung sepanjang perjalanan menuju rumahnya ternyata hanya sekedar kekhawatirannya saja. Kakak kelasnya itu tak henti melayangkan beberapa pertanyaan yang membuat Syifa melupakan pikiran negatifnya.

“Berarti yang setiap senin baris di atas deket paskibra itu Syifa sama ekskul Syifa, ya?”

Pertanyaan itu terdengar sedikit samar-samar, lantaran dengan kurang ajarnya ada kendaraan yang melintas dengan knalpot super berisik. Apabila motor itu melintas pada perumahannya mungkin sudah dilempar dengan sandal secara bertubi-tubi. Lagi pula, enaknya memakai kendaraan yang punya knalpot berisik itu apa, sih? Yang ada bisa jadi incaran para polisi yang sedang bertugas. Sungguh mengesalkan!

A Yolan boleh ulangi pertanyaannya nggak? Soalnya Syifa nggak bisa denger jelas tadi ….”

Dengan penuh kesabaran, Yolan mengulangi pertanyaan itu. “Setiap senin Syifa berarti suka upacara deket barisan paskibra itu yang ada di atas?”

Syifa mengangguk, kemudian tak lama menggelengkan kepala. “Kadang Syifa suka jaga di belakang barisan murid gara-gara dapet piket PMR.”

“Oh yang suka baris di belakang pake syal warna biru, tuh, PMR?” tanya Yolan, “eh warna biru atau apa ya aku lupa.”

“Warna kuning, A Yolan. Kalau warna biru itu PMR Madya yang masih SMP.”

Yolan manggut-manggut setelah mencoba kembali mengingat warna syal yang selalu dipakai anggota PMR pada setiap hari senin di belakang barisan para murid. Bisa-bisanya Yolan melupakannya di saat warna tersebut begitu nyentrik apabila dipadukan dengan seragam sekolah putih-abu.

“Kenapa nggak ikut ekstrakurikuler basket?”

Dengan tatapan yang masih terarah ke depan jalanan, lantas Syifa diam-diam mengerutkan dahu. “Nggak, ah, capek harus lari-larian. Jangankan disuruh olahraga basket yang harus ngerebutin bola, Syifa disuruh olahraga lari aja males banget rasanya!” gerutu Syifa terdengar jelas oleh kedua telinga Yolan, sebab situasi jalanan yang mereka lewati pada saat itu kebetulan tak seramai sebelumnya.

Bahu Yolan bergetar—naik dan turun—menandakan sang empu tengah mengudarakan tawanya. Bukan hanya Yolan, namun Syifa yang melihat respons itu ikut tertawa pula, walaupun tak serenyah tawa yang dilantunkan oleh Yolan.

Tiba-tiba saja Yolan mengendarai motornya dengan kecepatan sedang. “Kamu gimana ceritanya bisa suka sama Ajay? Kenal dari mana?”

Mendengar pertanyaan yang baru saja diucapkan kakak kelasnya itu, lantas Syifa terdiam. Bukan karena gadis iu tak ingin menjawab pertanyaan dari Yolan, melainkan Syifa tengah berpikir bagaimana cara menceritakan kepada laki-laki itu.

Syifa membasahi bibir sejenak akibat terpaan angin yang mengenai mukanya dan membuat bibirnya terasa kering. “Jadi, dulu itu Syifa, A Harri, dan Kak Jaya satu SMP. Syifa awalnya cuman kepo sama cowok yang lagi main basket di lapangan, eh lama-kelamaan Syifa malah kepikiran terus sampe akhirnya tau kalau orang itu namanya Kak Jaya.” Syifa tak henti tersenyum saat menceritakan hal tersebut, seakan sekelebat memori tentang hari itu kembali terulang. “Syifa sempet nyesel karena dulu cuman bisa ngagumin Kak Jaya dari jauh, makanya sekarang Syifa nggak mau buang-buang waktu lagi. Soalnya, belum tentu nanti kuliah Syifa masih bisa ketemu Kak Jaya.”

Selama Syifa sibuk bercerita Yolan hanya diam dan memasang kedua telinganya dengan baik. Motor yang dikendarakannya pun kini sudah berada di sebelah kiri, seakan mempersilakan kendaran lain untuk mendahului sebab ada hal yang lebih penting, yaitu mendengarkan orang di belakangnya asyik bercerita.

“Terus, ya, A Yolan, alam tuh kayak ngasih Syifa jalan gitu, tau!”

“Gimana? Gimana? Ngasih jalan gimana? Coba ceritain aku mau tau,” balas Yolan tak kalah antusias dari Syifa yang sedari tadi sibuk merangkai kata-kata menjadi sebuah kalimat untuk menjelaskan mengapa gadis itu tertarik dengan temannya—Jaya.

“Syifa kan dapet seni modern, terus waktu itu ada guru sebelah yang nggak bisa masuk jadi guru Syifa dibagi dua ngajarnya sama guru sebelah, terus nggak tau kenapa kelas Syifa dibantuin ngajarnya sama Kak Jaya dan temennya Kak Jaya!”

Oh, kayaknya yang dimaksud dia Pandu.

Yolan tak merespons kembali, melainkan laki-laki itu Diam-diam menyeringai di balik helm yang dikenakan. Bagaimana cara adik kelas itu menceritakan alasan dibalik ketertarikan dengan salah satu temannya, Yolan cukup sadar kalau gadis itu memang benar-benar menyukai Jaya.

“Kalau gitu, semangat, ya, Syifa! Aku berdoa semoga rencana kita nanti bakalan berhasil!”

Syifa membalas ucapan itu dengan senyuman yang teramat manis, bahkan lesun pipinya sampai terlihat. Tak tahu mengapa, mendapatkan kalimat penyemangat itu benar-benar membuat Syifa makin bersemangat untuk melaksanakan rencana dari Harri walaupun awalnya Syifa sendiri sempat ragu untuk melakukannya.

Mereka tak tahu saja, saking asyik bercengkerama berdua, sampai-sampai mereka sendiri tidak sadar bahwa sedari tadi terdapat pasang mata yang menyaksikan tiap-tiap pergerakan mereka. Pun, mereka tak tahu bahwa itu adalah awal mula dari permasalahan baru yang akan terjadi.

Tersangka—orang yang sedari tadi tengah memperhatikan mereka hanya bisa tersenyum miris. Entah apa yang sedang berada dalam pikiran orang tersebut, sebab tepat bersamaan kendaraan Yolan berbelok ke arah kiri, orang tersebut justru melajukan mobilnya berlawanan dengan kendaraan Yolan berjalan.


Puspas Niskala Universe

by NAAMER1CAN0