Dunianya sudah hilang.

cw // mention of death , mention of cigarettes tw // death , angst


Rasa kantuknya sudah hilang setelah mendapatkan sebuah pesan yang baru saja masuk ke dalam ponselnya. Tanpa berpikir panjang ia pun langsung meraih jaket serta kunci mobilnya. Kakinya ia langkahkan untuk ke luar dari kontrakan, ia melangkah sepelan mungkin untuk meminimalisir kegaduhan yang ditimbulkannya.

Perasaannya kini sangat kalut, ia seperti sedang kesetanan saat membelah jalanan yang terlihat kosong karena waktu menujukkan dini hari. Di dalam perjalanan ia tak lepas untuk memberikan doa untuk Oma-nya. Bagaimana bisa, beberapa minggu yang lalu Oma-nya sudah terlihat sehat, namun kali ini harus masuk rumah sakit kembali terlebih kini kondisinya semakin memburuk.

Dunianya serasa hancur setelah mendapatkan sebuah telfon. Suara itu bukan suara Oma-nya, melainkan suara pengasuh Oma-nya. Belum sempat sampai, namun ia mendapatkan kabar buruk. Mendapatkan kabar bahwa Oma-nya pergi untuk selamanya. Padahal sedikit lagi ia bisa melihat Oma-nya.

Bahu yang selama ini ia selalu ia tegakkan pun seketika runtuh. Lagi-lagi ia ditinggalkan oleh orang yang disayanginya, pandangannya seketika kabur. Ia tidak bisa memandang jalanan dengan benar, sehingga ia segera menepikan mobilnya kembali.

“Oma ...,” ucap Alen yang terhenti oleh isakkan tangisnya. “Sekarang tujuan hidup Alen apa kalau bukan buat bahagiakan, Oma?”

Dadanya bak dihantam oleh bebatuan yang besar. Rasa sesak mulai menyeruak di dadanya. Tepat pada hari ini para Abangnya melaksakan wisuda, namun dirinya dengan tidak tahu dirinya meninggalkan tanpa memberikan satu atau bahkan dua patah kata.

Jangankan untuk memberitahu penghuni kontrakannya, untuk melanjutkan nyetir saja dirinya tidak kuat. Badannya begitu lemas, ia berharap bahwa kejadian ini adalah mimpi. Mimpi terburuk yang ia alami, namun nyatanya tidak.


Di sinilah ia berada, dirinya sudah di hadapan orang yang dia sayangi. Orang tersebut sudah terbujur kaku lengkap dengan sebuah kain putih yang menutup tubuhnya. Tangisnya kembali pecah, kakinya kini tidak bisa menopang tubuhnya. Ia ambruk di hadapan jenazah Oma-nya.

“Alen ... Oma udah nggak sakit lagi, ikhlas, ya anak ganteng?”

Hanya itu yang bisa diucapkan oleh pengasuhnya. Namun bagai sebuah angin, perkataan itu tak ia dengarkan.

“Alen boleh liat dan meluk Oma buat terakhir kalinya?”

“Boleh?” lanjutnya dengan penuh harap. Kedua matanya tak lepas dari Omanya yang sedang terbujur kaku.

Perawat itu pun menganggukkan kepalanya dan mempersilakannya untuk menghampiri orang yang telah terbaring kaku di atas ranjang.

“Boleh tinggalin Alen sama Oma berdua?”

“Alen mohon ... lima menit aja, tolong?” mohonnya. Sorot mata itu memancarkan keputus asaan dirinya. Sebenarnya Mariam- pengasuh Omanya- sedikit khawatir untuk meninggalkan Nalendra berdua dengan Oma-nya. Setelah mengingat bahwa dirinya akan benar-benar hancur, tapi setelah melihat tatapan permohonannya ia pun tak mau menyanggahnya.

“Oma, masih banyak yang harus Alen lakuin. Masih banyak keinginan Alen yang perlu Alen wujudin, bahkan Alen pun belum buat Oma bangga. Tapi kenapa, Oma ninggalin Alen sendirian?”

“Oma ... kalau Oma pergi, Alen sama siapa? Alen sekarang nggak punya siapa-siapa. Alen nggak punya rumah lagi buat Alen singgahi, rumah Alen kini udah hilang,”

“Oma, kenapa bukan Alen aja yang gantiin Oma? Kenapa harus Oma? Oma banyak yang sayang. Bahkan harusnya Alen yang terbaring kaku di sana, harusnya Alen Oma—

—Oma ... Alen sekarang nggak punya tujuan lagi. Apa boleh Alen nyerah? Alen nyerah sama semuanya. Alen ngerasa kalau kehadiran Alen ada dan tidak adanya nggak akan mempengaruhi apapun, karena pada dasarnya Alen ada pun nggak ada yang mengharapkannya,”

“Oma, tapi kalau Alen nyerah kita nggak akan pernah ketemu. Alen nggak mau itu, Alen mau ketemu sama Oma. Oma, please Alen mohon, Oma bangun ya? Alen nggak kuat buat berdiri sendirian, dunia terlalu kejam untuk Alen. Waktu kecil Alen punya cita-cita jadi superman biar bisa jagain Oma, tapi sekarang Alen udah nggak bisa jadi superman-nya Oma lagi,”

“Oma, jadi minggu lalu itu minggu terakhir kita ketemu, ya? Alen nyesel, harusnya hari itu Alen lebih banyak habisin waktu sama Oma. Kalau bukan Oma, nanti siapa lagi yang marahin Alen kalo Alen bandel minum kopi dan ngerokok setiap hari? Siapa yang buatin makanan kesukaan Alen? Siapa yang bisa Alen ajak cerita? Siapa yang nemenin Alen wisuda nanti? Bahkan janji kita buat mengukir kenangan juga harus sirna, Oma.”

Diam-diam Mariam mendengar percakapan itu semua. Hatinya sangat sedih, kali pertamanya ia melihat Nalen yang menangis dengan pilu selain saat ia balita. Ia pun langsung masuk ke dalam ruang jenazah lalu memeluk Majikannya.

“Alen masih punya Bibi, Bibi bakalan selalu ada buat Alen, Bibi yang bakal buatin Alen masakan kesukaannya, Bibi yang bakal siap untuk mendengarkan cerita Alen. Alen punya Bibi, Alen jangan nyerah. Oma bakalan marah kalau cucunya gampang nyerah, Oma selalu bilang kalau Alen cucu yang hebat, cucu yang kuat. Jadi tolong, Alen kuat, ya? Kita kuat secara sama-sama.”

Sudah hampir 25 tahun Mariam kerja dengan Oma, tandanya Mariam pun menjadi saksi bisu mulai dari dirinya bayi hingga beranjak dewasa. Bahkan untuknya Mariam pun sudah ia anggap seperti keluarganya sendiri, begitu pun kebalikannya bahwa Mariam pun sudah menganggap Nalen sebagai keponakannya.

“Alen udah makan? Makan dulu, yuk? Bibi temenin. Oma-nya sekarang mau dimandiin dulu,”

Nalen menggelengkan kepalanya. Jangankan untuk makan, untuk minum pun ia tak berselera. Siapa sih yang masih bisa merasakan kenikmatan itu di atas penderitaan yang sedang dialaminya?


“Tidur yang nyenyak ya, Oma? Oma sekarang udah nggak perlu bolak-balik check up darah, nggak perlu minum obat. Oma udah bisa istirahat dengan tenang. Alen ngiri sama Oma, ternyata Tuhan pun sebegitu sayangnya, ya sama Oma?”

Nalen menaburkan bunga terakhirnya seiring dengan ucapannya yang terhenti. Ia siram rumah baru untuk Omanya sebelum ia harus kembali ke rumahnya. Keadaannya kali ini sudah lusuh, baju yang berantakan, rambut yang sudah tak karuan, kantong mata yang membesar dan terdapat warna hitam, serta rasa pening yang kini dirasakannya.

Saat prosesi pemakaman dilakukan ia merasakan beberapa notifikasi di handphonenya, hingga pada akhirnya kini sudah tak berbunyi kembali. Entah karena sudah tak ada yang menghubungi atau handphonenya yang sudah mati total.

“Sabar, ya? Bibi ada di sini dan selalu akan selalu ada di sini.”

Mariam mengelus punggung kecil majikannya. Ia peluk punggung itu, yang dipeluk pun tak memperlihatkan gerakan untuk menolak.

“Kita pulang, yuk? Kita persiapan buat tahlilan. Alen mau kan ngajiin yasin buat Oma?”

Nalen mengangguk untuk menjawab pertanyaannya tanpa memutuskan pandangan kepada sebuah kayu yang memperlihatkan identitas Omanya.

“Yaudah yuk, kita pulang sekarang. Kita kasih waktu buat Oma istirahat.” Mariam menuntun Nalen untuk berdiri bersamanya. Namun setelah melihat majikannya akan mengeluarkan suaranya, ia pun memberi sedikit waktunya kembali.

“Istirahat, ya Oma. Nanti Alen bakalan sering buat ngunjungi Oma, jadi Oma jangan bosen-bosen kalo Alen kunjungi, ya?”

Ia bawa kedua bibirnya untuk tersenyum. Ia kembali mengelus nisan itu untuk terakhir kalinya sebelum pada akhirnya ia berdiri dari kegiatan jongkoknya dan kembali ke rumahnya, kembali menjalankan realitanya, dan menjalankan hari-harinya tanpa kehadiran orang yang ia sayangi.


Story of Nalen Universe.

by NAAMER1CAN0