DURI IKAN PINDANG BANDENG


Mama paling suka kalau misalnya ada temen dari Jaya atau Teh Iva dateng ke rumah, soalnya Mama bisa masakin buat mereka.

Nanti kalau Hartigan mau main ke Bandung lagi, jangan lupa sering-sering main ke sini, ya. Mama nanti masakin lebih banyak lagi makanan yang enak-enak.

Jaya memutar mata. “Nggak mau katanya, dia trauma main ke sini soalnya cuman dikasih menu sayur doang nggak ada dagingnya,” timpal Jaya.

Hartigan melotot. “NGGAK, BU! NGGAK GITU!” Kepala Hartigan masih setia menggeleng.

Maneh waktu itu bilang katanya enek makan di sini soalnya isinya sayur semua.”

Emang Jaya bangsat!

Hartigan cengengesan. “Jangan dipikirin ucapan Jaya, ya, Bu, dia asal ngomong aja. Hartigan suka-suka aja, kok, sama menu makannya,” jelas Hartigan tak mau membuat Mama Sumarni merasa tersinggung dengan ucapan asal dari Jaya.

“Nanti kapan-kapan ajak juga Kakak Hartigan ke sini, sekalian ajak temen-temen yang di Jakarta. Soalnya Mama kayaknya jarang liat atau bahkan belum pernah ketemu sama mereka kecuali Jagat aja.”

Semua orang yang berada di meja makan sontak menghentikan aktivitas menyuapkan makanan yang berada di atas piring itu ke dalam mulut. Pun, Mama Jaya semula asyik berbicara spontan terdiam. Mereka saat ini sedang berlomba-lomba saling memberikan raut kekhawatiran ketika salah satu di antara mereka tak sengaja tersedak.

Jika kalian berpikir kalau itu adalah suara batuk dari Teh Ivanka, maka jawabannya salah. Sebab, suara batuk itu justru berasal dari Hartigan yang sebelumnya asyik menyanggah semua ucapan omong kosong Jaya.

“Uhukk … uhukk!”

Tanpa memakan waktu lama, Mama Sumarni langsung memberikan satu gelas air kepada laki-laki yang masih terus-menerus memukul dada—berusaha menghilangkan batuk tersebut.

“Minum dulu minum, Hartigan.”

Tentu, sebagai etika kepada sang pemilik rumah, Hartigan meraih uluran gelas dari Mama Sumarni dengan sukarela. Diteguklah cairan bening itu tak sabaran. Namun, setelah beberapa tegukan, Hartigan masih merasakan keganjalan berada pada kerongkongannya.

“Ibu … kayak ada yang nyangkut di tenggorokan Hartigan ….”

Gelas kosong tersebut masih Hartigan pegang erat, lengkap dengan tatapan takut sekaligus khawatir yang terpancar pada kedua bola mata laki-laki itu.

Jaya yang sedari tadi masih menikmati makan malamnya, langsung menelan cepat-cepat kunyahan itu. “Ma, kayaknya duri ikannya nyangkut di tenggorokan Hartigan!” panik Jaya, kelimpungan sendiri mencari keberadaan sendok nasi.

“Ma, ini Ma kasih nasi!”

Ternyata, sendok nasi itu masih berada di tangan Papa Jajang—yang baru saja menyendokkan nasi dalam Bakul untuk dipindahkan ke atas piring. Kemudian, Papa Jajang kembali menyendokkan sedikit nasi untuk diserahkan kepada Mama Sumarni.

Mama Sumarni meraih nasi yang diberikan Papa Jajang. Dicomot nasi tersebut sebelum mulai dikepal-kepal, membuat bulatan kecil agar mempermudahkan Hartigan untuk menelannya nanti.

Konon katanya, ketika sedang tersedak duri ikan, cara yang paling ampuh adalah menelan kepalan nasi tanpa harus dikunyah terlebih dahulu. Namun, perlu menjadi catatan, bahwa kepalan nasi tidak boleh besar. Hanya perlu diambil secukupnya sampai duri tersebut sudah tak menghalangi tenggorokan lagi.

“A,” titah Mama Sumarni. Hartigan hanya mengikuti untuk membuka mulut walau tak tahu akan terjadi apa setelahnya. “Nasinya langsung Hartigan telen, jangan dikunyah dulu. Pelan-pelan telennya.” Kemudian, kepalan nasi yang sangat kecil itu Mama Sumarni masukkan ke dalam mulut Hartigan.

Jaya, Teh Ivanka, dan Papa Jajang hanya bisa menyaksikan dalam keadaan bungkam. Denting alat makan yang semula ribut dan sesekali melantunkan nada konstan, sekarang suah menghilang.

Teh Ivanka sudah siaga dengan satu gelas air. Mama Sumarni sudah siap dengan kepalan nasi lainnya ketika nanti duri tersebut belum sepenuhnya hilang. Sementara Jaya dan Papa Jajang, hanya diam dan membantu doa saja.

“Langsung ditelen udah?”

Hartigan mengangguk.

“Coba, sekarang masih kayak ada duri yang nyangkut nggak?” tanya Teh Ivanka.

Hartigan menyipitkan mata, lalu tak lama membawa kedua mata itu memejam seraya berkali-kali menelan air liur untuk memastikan apakah masih ada benda asing yang tersangkut pada tenggorokannya.

Gelengan dari Hartigan akhirnya berhasil meloloskan napas lega dari keempat orang itu. Teh Ivanka menyerahkan kembali satu gelas air minum untuk membuat nasi tersebut lebih cepat terjatuh ke dalam alat pencernaan.

“Ikan pindang bandeng emang banyak durinya, makanya kadang Jaya kalau makan ikan pindang bandeng pasti disuapin Mamanya,” ucap Papa Jajang secara tiba-tiba.

Sementara, Jaya yang menjadi topik pembicaraan tak beniat untuk merespons ucapan Papa Jajang. Seakan, apa yang baru saja diutarakan Papanya bukan hal harus ditutup-tutupi. Toh, memang faktanya begitu.

Jaya menunjuk isi piringnya. “Makanya aing nggak makan ikan bandeng, soalnya trauma kalau makan sendiri.” Jaya mengaduk isi piring sebelum akhirnya kembali menyuapkan makanan itu pada mulutnya.

Di atas piring Jaya hanya ada menu makan cah brokoli, pakcoy bawang putih, dan beberapa sayur lainnya yang sulit untuk Hartigan lihat secara pasti.

Kalau sudah begini, tidak hanya Jaya yang merasa trauma. Melainkan, setelah ini mungkin Hartigan akan menjauhi jenis ikan tersebut. Pasalnya, Hartigan tak terlalu pandai dalam memilah dan menyingkirkan ikan dari durinya. Sebenarnya inilah menjadi salah satu alasan mengapa Hartigan sangat jarang mengonsumsi ikan dibandingkan dengan menu protein hewani lainnya.

Hartigan menatap nanar pada makanan di atas piringnya. Padahal tinggal menyisakan beberapa suap lagi makanan itu, namun seketika selera makan Hartigan sudah hilang setelah terjadi hal yang tak diinginkan.

“Mama beresin dulu makan Mama tinggal sedikit lagi, abis itu nanti Mama bantu suapin Hartigan, ya.”

Kepala Hartigan yang tertunduk otomatis mendongak. Kedua matanya membulat sempurna dengan mulut menganga. Hartigan tak akan pernah menyangka bahwa ucapan itu akan keluar dari mulut Mama temannya.

Apa? Ia akan disuapi, katanya?

Hartigan rasanya ingin menolak, namun sebesar keinginannya itu, tak bohong dalam hatinya Hartigan mengangguk senang. Hartigan ingin merasakan rasanya disuapi makan oleh seorang ibu—walaupun bukan dari ibu kandungnya.

Hartigan menggeleng cepat, menepis semua keinginan konyol yang sempat terlintas. Eh, Ibu nggak usah … Hartigan nanti lanjutin sendiri aja makannya.”

“Nggak apa-apa jangan sungkan, semua teman Jaya udah Mama anggep seperti anak sendiri. Mama suapin biar nanti Hartigan nggak trauma buat makan ikan bandeng lagi, nanti Mama sekalian kasih tau caranya buat misahin duri sama ikannya. Sayang banget soalnya ikan bandeng sebenernya enak banget! Liat aja sampe Papa Jaya abis satu ekor ikan bandeng,” ucap Mama Surmani seraya menoleh ke arah Papa Jaya yang tengah menikmati ikan bandeng tersebut tanpa mengucapkan sepatah kata.

Namun, benar saja. Tanpa disangka-sangka, beberapa menit setelahnya, Mama Sumarni benar-benar menarik kursi di sebelah Hartigan dan mulai menyuapi laki-laki itu dengan telaten—memperlakukan Hartigan seperti anak kandungnya.

Bukannya cemburu melihat pemandangan itu, akan tetapi justru Jaya tersenyum di tengah-tengah kegiatan menyantap makanan yang belum habis juga sedari tadi. Pun, reaksi dari Jaya sama persis dengan reaksi Teh Ivanka yang memandang ke arah Hartigan dengan tatapan sulit untuk dijelaskan.

Papi … jadi gini, ya, rasanya disuapin seorang ibu. Jian akhirnya ngerasain, Pi. Sekarang Jian nggak terlalu cemburu sama Bang Kaleel yang lebih dulu sering disuapin Mami dulu ….

Mulanya, Hartigan merasa canggung ketika harus menyantap makanan itu dengan tatapan lekat dari ketiga orang yang berada di atas meja. Namun, hal itu berangsur mereda setelah Mama Sumarni kembali bercerita dengan sesekali ditimpali Papa Jajang dan Teh Ivanka. Sementara Jaya sedari tadi hanya membungkam mulutnya dan merespons percakapaan dengan senyuman.

Lel … gua tiba-tiba ngerasa insecure sama keluarga dari cewek yang lu suka. Keluarga mereka bener-bener beda sama keluarga kita, Lel. Semoga lu nanti nggak ikut insecure kayak gua yang lagi di tengah-tengah keluarga ini.


Kaleel Ivanka Stori

by NAAMER1CAN0