— Fakta terungkap.


Sebuah dentingan suara piring dan sendok pun kini mulai terdengar dan menggema di ruangan tersebut. Mereka- penghuni kontrakan kini sedang terduduk di meja makan dan menyantap hidangan yang telah dibawa oleh pemilik dari kontrakannya. Mereka sih senang-senang saja mendapat makanan gratis seperti saat ini, hanya saja mereka sedikit bingung pasalnya mengapa tiba-tiba Ibu Kontrakannya rela membuat makanan sebanyak ini?

“Jadi, kalian itu sempat diterror habis-habisan, ya?”

Itu Nani, ibu kontrakan adarusa. Seketika mereka semua terdiam tanpa berani untuk menolehkan wajahnya. Bagaimana tidak? mereka sudah menutup rapat-rapat kejadian yang sempat dialaminya, namun masih sampai juga kepada telinga pemilik kontrakannya.

“Ibu dapet informasi itu dari mana?”

Nani tersenyum. Ia meletakkan sendok dan garpu di atas piringnya. Ia raih gelas di atas mejanya, lalu dengan cepat meneguknya dengan perlahan.

“Sudah banyak yang bilang kok itu, soalnya bukan kontrakan ini aja. Kontrakan yang di bawah juga kena.,

“Bapak sama Ibu udah tau kok orangnya siapa, sudah minta maaf juga,”

“Kalo boleh tau, siapa Pak orangnya?” timpal Teguh.

Dani mengetuk jari telunjuk pada dahi kirinya. “Hm, siapa sih sayang? pemilik kosan depan itu ya?” tanya Dani sambil menolehkan wajah ke arah sampingnya.

Nani hanya mengangguk sebagai tanda membenarkan dari pertanyaan itu. “Iya, itu kosan depan.”

“Wah pasti ngiri itu orangnya,”

Donny mengangguk. “Padahal kan beda ya sistem kontrakan dan kosan.”

“Makanya itu,”

“Ada harga ada kualitas sih.” Wira menaikkan kedua alisnya. Ada sedikit nada sombong pada ucapannya.

“Pantesan kosan depan murah, orang sekutu sama temen si ekal.” Jordi menunjuk Haekal dengan kepalanya. Sontak hal tersebut membuat seisi kontrakan tertawa karenanya.

“Sialan Bang Jordi.”

“Oh iya Ibu, Jio penasaran deh,” ucap Jio memecahkan keheningan. Mereka pun mengalihkan perhatian kepada si bungsu.

“Iya, kenapa Jio?”

Jio meremas jarinya dengan pelan. Ia meneguk ludahnya sebelum kembali mengeluarkan suaranya. Ada sedikit rasa gugup untuk menanyakan hal ini, namun jika boleh jujur dirinya pun sedikit penasaran dari awal menginjakkan kakinya hingga sekarang jawaban dari pertanyaan itu masih belum menemukan jawabannya.

“Hm, ini kok nggak ada kamar yang nomor 13 ya Bu?”

“Hm ... maaf kalo lancang, Ibu sama Bapak percaya sama angka sial? Tapi, kalo misalkan percaya kok masih ada nomor 1 dan 3?” tanyanya.

Nani dan Dani yang mendengar itu hanya mengangkat ujung bibirnya dengan kecil. Entah mengapa pertanyaan itu akhirnya terlontar pula. Mereka berdua sudah berargumen bahwa suatu saat pasti ada yang akan menanyakan perihal penomoran kamar yang tidak sesuai.

“Kamu aja yang jawab,” ucap Nani lalu diangguki oleh Dani- suaminya.

“Bukan karena angka sial, tapi Bapak trauma sama tanggal 13. Dulu sempet putus dan mau gagal nikah sama Ibu pas ditanggal 13,” jawab Dani, ia pejamkan matanya sebentar untuk mengingat mengenai kejadian beberapa tahun yang silam itu, “dulu tuh pernah ngira kalau Ibu balikan sama mantannya gara-gara ketemuan, taunya mantan Ibu itu mau minta saran buat bantu lamar calonnya. Untung aja ada teman Ibu yang bantu ngejelasin. Kalo nggak kayaknya Ibu dan Bapak nggak bisa duduk di sini berdua.”

Entah harus sedih apa bahagia. Kedua puluh tiga penghuni kontrakannya kini hanya bisa mengedipkan matanya dengan cepat. Hening. Suasananya tiba-tiba hening setelah Dani menyelesaikan ucapannya.

“Hm ...,” gumam Jordi sambil menegakkan badannya. “Jadi nggak ada sangkut pautnya sama hal mistis ya, Pak?” tanyanya untuk memastikan kembali.

“Iya.” Dani menganggukkan kepalanya, “itu pure karena Bapak nggak suka aja sama angkanya.”

Haekal pun tertawa secara tiba-tiba. Sontak hal tersebut membuat semua yang berada di ruangan itu terkejutnya bukan main.

“Eh, istigfar lu Kal.” Derry menggoyang-goyangkan bahu Haekal. Ia sedikit takut jika temannya itu dimasukki oleh makhluk tak kasat mata.

Haekal menghempaskan goyangan pada kedua bahunya. “Nggak anjir, gua cuman ngakak. Bisa-bisanya kita udah khawatir sama angka sial, kontrakan mistis, taunya ... hahaha.” Haekal memegang perutnya. Ia tak kuasa untuk menahan tawanya. Mario dan Luthfi yang melihat itu hanya bisa ikut tertawa.

Kini tawa itu sudah menyebar. Ruangan yang tadinya hening kini berbalik 180 derajat menjadi ramai oleh suara tawaan. Mestipun mereka tak mengerti letak lucunya di sebelah mana, tapi saat mendengar tawaan itu malah menular.

“Minum nih, Jio.” Jordi menyerahkan satu gelas saat mendengar adik bungsunya terbatuk di tengah-tengah kegiatan tawanya. Bukannya dia ambil, uluran tersebut malah ia diamkan.

“Bang Jevon, Jio mau air. Tolong isiin.” Jio menyerahkan satu gelas ke arah Jevon. Jevon pun langsung membantu mengisikan cairan bening ke dalam gelasnya. Tanpa menolehkan wajah ke arah sampingnya, Jio langsung meneguk minumannya tanpa tak bersisa.

Ada perasaan sakit bagi Jordi sendiri setelah mengalami kejadian yang baru ia alami. Baru pertama kali uluran darinya ditolak mentah-mentah oleh si bungsu. Jordi hanya bisa tersenyum yang dipaksakan. Tio yang melihat kejadian itu hanya bisa bungkam lalu memalingkan wajahnya ke arah mana saja asal bukan ke arah depannya.

Jio sangat sadar betul bahwa dirinya sangat tidak sopan telah menolak bantuan. Namun, ia hanya saja sedang membiasakan dirinya tanpa harus bergantung kepada Abang kontrakannya yang akan segera lulus. Membiasakan dirinya untuk hidup menjadi seseorang yang lebih mandiri dan bisa mengandalkan dirinya sendiri.


Kontrakan Adarusa Universe.

by NAAMER1CAN0