FIRST MEET.
Jagat merasakan jantungnya kali ini berkali lipat lebih berdebar dibandingkan dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya. Atas kebodohannya yang dia perbuat, maka, Jagat mau tak mau harus menanggung akibatnya. Seperti saat ini, Jagat telah memberanikan diri untuk mengajak Grace berkencan secara terang-terangan.
Leonard; motor kesayangannya sudah dia mematikan, pun dengan Jagat yang sudah beranjak dari motornya untuk segera memasuki kediaman seseorang yang akan diajaknya berkencan. Jagat perlahan mulai menghirup udara di sekitarnya sebelum akhirnya dia hembuskan secara kasar. Dia kini sudah siap untuk mengetuk pintu di depannya.
Tangan kanannya baru saja akan mengetuk pintu itu, namun, seseorang di balik pintu tersebut sudah lebih dulu membukanya. Lantas, Jagat semakin dibuat kikuk setelah mengetahui seseorang yang telah membuka pintunya tak lain adalah ayah dari perempuan yang akan dia ajak untuk berkencan.
“Selamat pagi, Om.”
Jagat menyapanya dengan suara yang sedikit bergetar. Tangannya sudah terulur untuk mencium pria paruh baya di depannya. Tentu dengan senang hati Benedict; ayah Grace, menerima uluran tersebut.
“Saya Jagat, Om,” ucap Jagat, memperkenalkan diri saat mengetahui seseorang di depannya sedang dibuat bingung akibat kehadirannya secara tiba-tiba.
Benedict mengangguk. “Iya saya tau, kok.” Benedict membalikkan tubuhnya sekilas untuk melirik benda bulat yang terpampang di dinding putih rumahnya. “Bukannya di rundown kalian berangkat pukul setengah sembilan, ya?” Benda bulat itu menunjukkan pukul delapan pagi, yang artinya lelaki di depannya itu datang lebih cepat tiga puluh menit dari runtutan kegiatan yang telah dibuat sang empu. Mata Benedict kembali menatap seseorang yang lebih muda di hadapannya.
“Iya, Om.”
“Kalau gitu, nanti kamu yang harus nunggu, dong, jatuhnya?” Alis kanan Benedict terangkat seiring dengan sebuah pertanyaan yang dilontarkan.
Jagat tersenyum saat pertanyaan itu memenuhi rungunya. “Lebih baik saya yang nunggu, daripada Grace yang harus nunggu saya karena datang terlambat, Om.”
“Ya sudah, masuk dulu. Tunggu di dalam saja,” ucap Benedict, memberikan sedikit luang dan mempersilakan anak muda di depannya untuk menunggu putrinya di dalam rumahnya.
Dengan penuh ketegangan, Jagat mulai memasuki rumah megah itu setelah Benedict mempersilakannya untuk masuk. “Permisi, Om,” ucap Jagat saat melewati Benedict yang masih setia di depan pintu.
Keheningan mulai tercipta. Benedict dan Jagat mulai terlarut dalam pikirannya masing-masing. Mereka enggan untuk memulai percakapan. Jagat hanya bisa meremas kedua tangannya tatkala jantungnya mulai berdebar kembali. Bahkan, bulir-bulir keringat di dahinya sudah mulai tercetak dengan jelas.
“Kamu beneran bisa main golf?” tanya Benedict, setelah selama sepuluh menit mereka saling terdiam.
Jagat mengangguk mengiakan ucapan sang pemilik rumah. “Bisa, Om. Kebetulan saya sama ayah saya memang suka main berdua.”
“Menarik.”
Jagat memiringkan kepalanya, seolah sedang memastikan atas ucapan yang baru didengarnya. “Iya, Om? Maaf?”
Benedict menggeleng pelan, kedua ujung bibirnya terangkat, memberi sinyal bahwa dirinya tidak mengatakan apa pun.
“Nggak, itu silakan diminum.”
Jagat perlahan meraih cangkir yang sudah tersimpan rapi di atas meja di hadapannya. “Saya minum, ya, Om,” ucap Jagat sebelum akhirnya minuman tersebut dia teguk hingga menyisakan setengah, karena terlalu gugup sebab ini pertama kalinya dia berbicara dengan ayah Grace.
“Oh iya, Om, kalau boleh bertanya. Selain yang disebutkan tadi malam, kira-kira masih ada yang Grace tidak sukai atau dihindari nggak, ya, Om?” Jagat cukup antusias menunggu jawaban dari seseorang di hadapannya. Meskipun sebelumnya Jagat sudah mencari tahu, namun, bisa saja apa yang diketahui adiknya akan berbeda dengan apa yang diketahui ayahnya Grace.
Jagat tidak mau acara kencan pertamanya memiliki kesan buruk, sehingga dirinya perlu mengetahui apa yang disukai dan tidak disukai oleh seseorang yang akan berkencan dengannya.
Benedict tidak langsung menjawab, melainkan dia memejamkan kedua matanya sejenak untuk mengingat kebiasaan yang selalu dihindari oleh putrinya.
“Di dalam power point sudah kamu jelaskan perihal apa yang nggak disukai anak saya.”
Maka, sudah bisa Jagat pastikan bahwa apa yang diucapkan Benedict adalah perihal Grace yang tidak menyukai seledri dan daun bawang mentah. Seketika Jagat merasa beruntung karena bisa lebih awal menyebutkan.
“Ah!” seru Benedict. Lantas, Jagat yang sedari tadi memperhatikan pun hanya bisa menyatukan kedua alisnya setelah mendengar seruan tersebut.
“Dia nggak suka acar di makanan nasi goreng atau sate, kalau makan soto biasanya kacang sama bawang gorengnya agak banyak.”
“Kalau pagi sukanya sarapan bubur atau lontong kari, kalau makan malam dia suka makan yang berkuah kayak soto, sop, dan sebagainya.”
Jagat saat ini hanya memfokuskan dirinya pada seseorang yang lebih tua. Telinganya sudah dia buka lebar dan sudah mempersiapkan otaknya untuk mengingat hal yang tidak disukai oleh Grace.
“Oh iya, tambahan, dia kalau makan harus ada air mineral dan air berasa. Makan dia sedikit banyak, jadi, jangan heran kalau nanti kamu lagi makan sama dia, dia bakalan tiba-tiba nambah porsi.”
Tawa Jagat memecah seiring dengan ucapan yang baru didengarnya. Bahkan, Benedict pun ikut tertawa dan menggelengkan kepalanya saat mengingat bahwa putrinya sangat gemar menikmati makanan.
“Nggak masalah, Om, selagi makanannya habis saya suka-suka aja liatnya.”
Benedict tersenyum dan membenarkan posisi duduknya. “Habis, kok. Dia nggak suka sisain makanan kalau makanan itu nggak cocok di lidahnya.”
“Saya percaya, kok, sama kamu.”
Jagat menolehkan wajahnya, kepalanya dia bawa miring seakan meminta penjelasan kembali karena kedua telinganya tidak menangkap dengan begitu jelas ucapan dari pria yang lebih tua.
“Maaf, gimana, Om?” tanyanya.
“Nggak, saya nitip Grace, ya.”
Sorot mata itu … tanpa dijelaskan secara rinci pun Jagat sudah mengerti. Sorot mata itu persisi seperti sorot mata yang selalu diberikan oleh kedua orang tua kepadanya.
“Sesuai rundown dan janji saya, saya bakal antar Grace pulang tidak lebih dari jam delapan malam, dan bisa saya pastikan Grace pulang dengan selamat tanpa lecet sedikit pun, Om.”
Benedict tersenyum menanggapi ucapan yang lebih muda. Benedict pun bisa lihat kegigihan serta tanggung jawab dari lelaki itu.
“Oh iya, Om, sebelumnya saya mau minta maaf kalau misalnya nanti waktu pulang, Grace nggak bisa ikut makan malam sama Om dan Tante, ya.”
Benedict menyipitkan matanya. “Kenapa memang?” tanya Benedict kebingungan.
“Sebelum antar pulang, saya mau ajak dulu Grace makan malam, Om, boleh?”
Tentu Jagat perlu meminta izin terlebih dahulu, terlebih karena makan malam adalah sebuah momen penting yang dilaksanakan oleh sebagian orang, termasuk untuk dirinya dengan keluarga.
Benedict mencondongkan badannya ke depan disertai dengan kekehan kecil, membuat rasa canggung kembali menghampiri keduanya. “Silakan, kamu nggak perlu minta izin. Silakan saja kalau mau ajak dia makan malam.”
Dengan begitu, akhirnya Jagat bisa bernapas lega. Padahal sebelumnya Jagat kira bahwa pria paruh baya di depannya akan menolak permintaan izinnya secara sepihak.
“Jagat, mau pergi sekarang?” ucap Grace secara tiba-tiba. Padahal sebelumnya Benedict akan mengajak anak muda di depannya untuk bicara lebih lanjut. Namun, kedatangan anaknya membuat dirinya mengurungkan niat tersebut.
Jagat refleks berdiri dari kegiatan duduknya yang kemudian tak lama disusul oleh Benedict. “Udah siap?” Grace mengangguk, masih setia berdiri di depan keduanya.
Jagat melirik sekilas ke arah kaki Grace yang masih memakai sandal rumahnya. “Nanti pakai sepatu aja jangan flatshoes takut kaki kamu lecet, pakai yang buat kamu nyaman. Pakai sendal biasa juga nggak masalah, kok.”
Benedict lagi-lagi hanya tersenyum setelah melihat interaksi keduanya dan dirinya bisa mempercayai orang tersebut sepenuhnya.
“Iya, mau pakai sepatu, kok. Kalau pakai sendal takut item sebagian kakinya.”
Mendengar itu, membuat Jagat merasa iba. Perasaan tidak enaknya mulai hadir tatkala mendengar jawaban yang keluar dari mulut Grace.
“Maaf, ya, saya nggak pakai mobil. Soalnya takut perjalanan kita abis kejebak macet, apalagi kalau weekend kayak gini.”
“Nggak apa-apa, Jagat,” sahut Grace, sambil memamerkan senyuman indahnya. Kepalanya kini menoleh dan menatap obsidian hitam sang Ayah. “Ayah, aku berangkat dulu, ya. Nanti bilangin Bunda aku berangkat.”
“Kalau gitu saya juga pamit, ya, Om. Titip salam ntuk Tante, janjinya bakal saya tepati, kok. Saya janji.” Jagat mengangkat telapak tangan kanannya, lalu dibawa sejajar dengan wajahnya seolah sedang bersumpah dengan janjinya yang sudah disepakati secara bersama sebelumnya.
Benedict terkekeh melihat tingkah dari yang lebih muda. “Iya, hati-hati, ya.”
Grace lebih dulu menghampiri dan mencium tangan Benedict, kemudian disusul oleh Jagat sebelum keduanya benar-benar meninggalkan rumah mewah yang memiliki daya tarik tersendiri di matanya. Tentu, sebagai tuan rumah yang baik, Benedict ikut mengantarkan dan memantau anak sulungnya.
“Nak, jangan lupa, ya, nanti!” ucap Benedict dengan nada yang sedikit meninggi. Benedict tidak tahu apakah panggilannya akan terdengar oleh seseorang di depan sana atau tidak.
Jagat yang baru saja menyalakan mesin motornya langsung dia matikan agar bisa menjelas suara dari seseorang yang sedang berdiri di depan pintu terdengar dengan jelas. Dahinya mengkerut karena tidak bisa menangkap ucapan dari pria paruh baya itu.
“Ah!” seru Jagat ketika Benedict memperagakan sebuah gerakan. Jagat mengangkat jempol kanannya sebagai balasan dari usaha yang telah diberikan Benedict. “Siap, Om!” sahut Jagat dengan semangat.
“Tadi bahas janji-janji, emang janji apa?” tanya Grace, setelah memposisikan dirinya di atas motor Jagat dengan nyaman lengkap dengan helm yang sudah melindungi kepalanya.
“Oh, itu, janji sebelum jam delapan malem kamu udah di rumah.” Jagat melirik sekilas ke arah spion motornya.
“Kalau tadi, jangan lupa apa kata ayah?” Grace masih dibuat penasaran ketika ayahnya dengan mudah bisa akrab dengan seseorang yang terbilang sangat asing.
“Ada, deh.”
“Ih!”
Jagat terkekeh saat melihat reaksi dari seseorang di belakangnya yang sedang menahan rasa sebal akibat jawaban darinya.
Mesin motor sudah Jagat hidupkan, bahkan kopling motornya sudah dia injak dan bersiap untuk memulai perjalan bersama dengan seseorang yang sedang berada di belakangnya. Jagat berharap apa yang mereka lakukan hari ini akan berkesan dan membuat perempuan itu bahagia atas usahanya.
“Sarapan bubur dulu, ya? Soalnya kamu belum sarapan.”
Grace memiringkan sedikit kepalanya agar seseorang di depannya itu bisa mendengar jelas ucapan darinya. “Kamu sendiri udah sarapan?”
Jagat menggeleng dan tersenyum. “Belum, makanya ini saya ngajakin kamu sarapan dulu. Nggak apa-apa, kan?”
“Iya gapapa, boleh—”
duk!
“—eh maaf.” Grace mulai menjauhkan kepalanya saat dirasa helmnya beradu dengan helm Jagat. Padahal Grace pastikan bahwa dia mengangguk pelan, tapi entah mengapa helmnya malah mengenai helm seseorang di depannya.
“Hahaha, nggak apa-apa, Mega. Emang gitu, kok, helm bentukan kayak gitu memang suka kejeduk tiba-tiba.”
“Kamu duduk dulu aja, biar saya yang pesenin.”
Kini keduanya telah sampai di tempat bubur yang menjadi tempat favorit Grace untuk sarapan setiap harinya apabila bundanya tidak memasak. Grace mengangguk dan berjalan ke salah satu tempat yang kosong untuk dia dan Jagat tempati.
Tak lama Jagat datang dan mulai mendudukkan dirinya tepat di seberang Grace.
“Nanti mau ke mana aja?” tanya Grace, cukup antusias sekaligus merasa canggung karena ini pertama kalinya dia diajak berkencan secara terang-terangan oleh lelaki di hadapannya.
Jagat terdiam sejenak, sebelum akhirnya bersuara, “museum? Saya mau ajak kamu ke tempat bersejarah di daerah Bandung, nggak apa-apa?” Kini Jagat balik bertanya kepada perempuan di depannya.
Awalnya Jagat mengira bahwa dia akan menolak ajakannya, ternyata setelah melihat senyuman dan anggukkannya cukup bisa membuat dirinya bernapas dengan lega.
“Permisi, buburnya.“
“Terima kasih, Pak,” ucap keduanya dengan serentak, kemudian saling bertatapan dan terkekeh saat menyadari keduanya berucap kalimat yang sama.
“Eh?” Grace cukup terkejut saat melihat satu mangkuk buburnya bersih dari seledri juga daun bawang mentah. Padahal setiap dia makan di sini, pasti seledri dan daun bawangnya akan tetap terbawa.
“Kenapa, Mega?” Jagat dibuat heran melihat Grace yang sedari tadi hanya menatap satu bangkuk buburnya, seperti tidak menujukkan tanda-tanda akan menyantapnya. Sedangkan, Jagat sendiri sudah bersiap untuk memakannya.
“Enggak, cuman heran aja. Nggak ada seledri sama daun bawangnya.”
“Oalah, itu saya yang bilangin biar punya kamu nggak dikasih daun bawang sama seledri,” ucap Jagat dengan santai, justru hal tersebut membuat Grace semakin terheran.
“Kok kamu tau aku nggak suka seledri sama daun bawang?”
“Feeling aja,” sahut Jagat, mengangkat kedua bahunya.
“Aneh, setiap aku nanya kamu pasti jawab feeling terus.”
Sontak ucapan tersebut menghentikan Jagat untuk menyuapi makanan ke dalam mulutnya, padahal sebelumnya Jagat sudah berdoa dan sudah siap untuk menikmati satu mangkuk bubur yang sudah sangat terlihat menggoda di matanya.
“Baca doa dulu, jangan lupa,” ucap Jagat saat kedua matanya tak sengaja melihat Grace akan memasukkan satu suapan bubur ke mulutnya.
Anggukkan dari Grace membuat senyuman Jagat kembali terukir. “Hati-hati, buburnya masih panas.”
“Kamu tim bubur diaduk atau nggak diaduk?” tanya Grace, kedua matanya menatap lekat seseorang di hadapannya.
Alih-alih menjawab, Jagat malah menunjuk satu mangkuk bubur di hadapannya menggunakan dagu.
“Nggak diaduk,” sahut Grace setelah melihat mangkuk Jagat yang tidak mengaduk buburnya.
“Kalau kamu?” tanya Jagat setelah memastikan satu suapan bubur di mulutnya sudah dia telan.
Tawa Jagat memecah saat perempuan itu sedang memperagakan dirinya dalam menjawab pertanyaan yang baru saja dia lontarkan. Menunjuk mangkuk bubur dengan dagunya.
“Hahaha, iya, maaf, ya. Di mulut saya tadi lagi ada makanan, jadi, nggak sopan kalau jawab.”
Keduanya pun mulai menikmati sarapannya dalam diam. Senyuman Jagat semakin merekah saat melihat perempuan di depannya menikmati makanannya dengan lahap. Jagat menyukai pribadi perempuan itu yang tidak memperlihatkan sisi jaimnya. Semua apa yang ada pada diri Grace, Jagat telah menyukainya, dan telah jatuh semakin dalam.
From Jij Bent Mooi Alternate Universe.
By NAAMER1CAN0.