INSIDEN DI HARI SENIN


Jaya berulang kali mencoba merapikan seragam putih abu sebelum ia benar-benar memasuki lapangan sekolah untuk melaksanakan kegiatan rutin di senin pagi—upacara.

Ketika kedua kakinya yang baru memasuki barisan kelas, entah mengapa tiba-tiba saja kepalanya seakan tengah dilempari oleh puluhan batu. Sontak hal itu berhasil membuat Jaya meringis pelan, lalu tak lama ia menggeleng untuk mencoba menghalau rasa sakit yang tengah dirasakannya.

Sia kenapa, Jay?”

Rakha menjadi orang pertama yang menyadari raut wajah Jaya cukup berbanding terbalik dengan hari-hari biasanya. Muka yang cenderung pucat, pun tak ada lagi raut cerah yang berseri.

Alih-alih menjawab pertanyaan Rakha, Jaya justru tak mengindahkan dan meminta kepada salah satu teman untuk bertukar tempat dengannya. “Aing mau baris di belakang dong, nggak mau di depan.” Maka, selepas Jaya menyelesaikan ucapannya, Jagat segera berjalan untuk menukar posisinya dengan posisi lelaki itu tanpa bersusah payah untuk melayangkan kalimat protes.

Merasa posisi di sebelahnya mulai terisi kembali, Harri dengan cepat merogoh saku celana dan menyerahkan salah satu makanan itu kepada orang tersebut. “Permen moal?” tawar Harri dibalas gelengan oleh Jaya.

Permen nggak?

Mun lieur bejaan aing.

Kalau pusing kasih tau gue.

Jaya membalas ucapan Harri dengan anggukkan kepala singkat. Sebab, Harri cukup peka dengan gelagat dari Jaya yang kontradiktif daripada upacara sebelum-sebelumnya. Lelaki itu memang kerap mengatakan tentang kemalasannya mengikuti kegiatan rutin baris berbaris di senin pagi hari, namun semalas-malasnya lelaki itu Harri masih bisa melihat bahwa Jaya bersungguh-sungguh untuk berbaris rapi dan menikmati berjalannya acara dengan baik.

“Yo, tukeran sama aing dong. Maneh di sini, aing di situ.”

Harri bergegas menarik diri ketika melihat pergerakan Rio yang akan berjalan ke arahnya.

“Jay, sia kalau pingsan kasih kode dulu, ya, anying. Ini aing udah ancang-ancang baris di belakang maneh! Jangan tiba-tiba, tolong sia sadar diri kalau awak sia itu gede!”

Badan lo.

Jaya sukses dibuat tertawa mendengar kalimat yang baru saja dilontarkan oleh Harri kepadanya. Pingsan? Dalam sejarah hidupnya, ia bahkan belum pernah sama sekali merasakan pingsan.

Upacara telah dimulai. Sorak sorai yang sebelumnya saling berlomba paling vokal kini telah lenyap dan menyisakan keheningan. Hanya ada suara dari Master Ceremony yang sesekali melantun untuk memberi intruksi pada petugas upacara.

Dingin. Hanya itu yang Jaya rasakan ketika bulir-bulir keringat secara tidak langsung sudah menghiasi dahinya sukacita. Jaya membawa tatapannya menuju ujung sepatu, menundukkan kepala dengan sesekali memejamkan kedua mata. Namun, ketika matanya kembali dibuka ia langsung disambut oleh kegelapan. Badan Jaya hampir saja oleng dan terhuyung jika seseorang di belakang tak segera menahan beban tubuhnya.

“Jay, mending sia ke UKS deh! Aing anterin hayu.

Jaya yang memiliki sifat keras kepala lagi-lagi hanya menggeleng, menolak ajakan lelaki itu membuat sang empu yang mengajak hanya bisa mengembuskan napas kasar.

Aing mau jongkok aja bentar.”

Jaya memutar badan lalu berjongkok, menjadikan salah satu lututnya untuk membantu menopang beban tubuh. Sementara kedua tangannya sibuk melepas tali sepatu dengan sengaja lalu kembali membenarkannya agar tak menimbulkan kecurigaan dari guru yang bertugas di belakang barisan kelas.

Saat hendak bangkit, entah mengapa keseimbangannya hilang begitu saja. Tubuh Jaya sukses terhuyung ke depan, menabrak Harri berada di depannya yang masih setia berdiri sembari mengikuti upacara dalam diam.

“Kan kata aing juga apa ke UKS aja, sia mah batu, anying!”

Harri membalikkan tubuh, melambai kepada seseorang yang berjaga di belakang dengan syal warna kuning melilit di lehernya. “Lah? Anak PMR, Cip?” Harri dibuat terkejut ketika dapati seseorang yang dikenalnya sudah berdiri persis di sampingnya. “Ini punten dong, temen Aa sakit minta dibawa aja ke ruang UKS.”

Syifa seketika membeku saat menyadari bahwa orang yang disebut oleh Harri tak ayal adalah seseorang yang kerap mengisi pikirannya beberapa terakhir ini. Maka, dengan cepat Syifa ikut berjongkok dan mensejajarkan tubuhnya dengan lelaki itu.

“Mau ke ruang UKS nggak, Kak?” Jaya menjawab pertanyaan Syifa dengan gelengan. “Bawa aja langsung, nggak usah ditanya. Anaknya emang batu.”

Jaya akan kembali menolak ucapan Harri secara mentah-mentah, namun ia harus mengurungkannya ketika seorang guru datang dan menyuruh ia untuk bergegas menuju ruang kesehatan. Lantas, Jaya pun pada akhirnya hanya bisa mengikuti ucapan itu tanpa bantahan.

Syifa dibuat ragu ketika akan mengulurkan sebuah tangan untuk membantu kakak kelasnya. Pasalnya ia takut bahwa tindakan darinya akan menimbulkan ketidaknyamanan untuk Jaya. Akan tetapi kala melihat kakak kelasnya berjalan kesulitan, Syifa segera menepis jauh-jauh pikiran tersebut dan dengan cepat melingkarkan salah satu tangan miliknya pada tangan lelaki itu.

Jangan tanyakan keadaannya saat ini seperti apa, yang pasti sejak mengetahui bahwa lelaki itu adalah Kak Jaya Syifa sedari tadi tak dapat mengatur detak jantungnya. Pun, Syifa berharap bahwa detak jantungnya yang tengah berisik tak dapat terdengar oleh laki-laki di sebelahnya.

Merasa ditatap, Jaya menolehkan wajah. Alisnya terangkat seolah tengah meminta penjelasan pada sang sempu yang telah menatapnya sedari tadi. Namun, alih-alih mendapatkan jawaban atas pertanyaannya ia justru mendapatkan gelengan dari perempuan itu.


Lengang, sepi, dan tak berpenghuni menjadi sebuah impresi awal sejak ia sukses memasuki ruangan yang sebelumnya tak pernah ia jamah. Jaya mengarahkan pandangan pada tiap-tiap ranjang kosong, lalu setelah itu ia sibuk mengitari isi ruangan dengan sekilas.

“Makasih, Syifa.”

Syifa terbelalak, sarat wajah terkejutnya tak mampu ia sembunyikan kala lelaki itu dengan lantang menyerukan namanya.

Syifa. Syifa. Syifa.

Syifa berulang menyebutkan namanya dalam hati, namun entah mengapa rasanya tak sama dengan lelaki itu ketika menyebutkan namanya.

Syifa mengangguk cepat. “Kak Jaya tunggu di sini bentar, ya.“ Belum sempat membalas ucapannya, perempuan itu justru berlari pada suatu tempat lalu tak lama datang kembali dengan sebuah gelas berada pada genggamannya. “Kak Jaya minum dulu, ya, ini air teh manisnya. Katanya kalau lagi pusing bisa dibantu sama minum atau konsumsi yang manis-manis!”

Jaya meraih uluran gelas itu dan meneguknya dengan perlahan, sebab entah mengapa tiba-tiba saja rasanya kepala ia kembali berputar, sehingga mau tak mau ia harus menyelesaikan urusan dengan perempuan itu agar dapat sesegera mungkin merebahkan tubuhnya.

“Kak Jaya istirahat dulu aja, ya. Syifa mau keluar dulu, tiduran aja nggak apa-apa nanti Syifa tutup tirainya biar nggak ada yang bisa ganggu.”

Jaya mengulas sebuah senyuman sebelum akhirnya ia mengangguk, mempersilakan sang empu untuk menarik diri dari hadapannya. Selepas sepeninggalan perempuan itu, Jaya bergegas melepaskan sepatunya terlebih dahulu sebelum ia akan merebahkan tubuhnya.

Bosan rasanya ketika ia harus berada di tengah-tengah tempat yang teramat asing baginya. Jaya bukan tipikal orang yang mudah beradaptasi dengan suasana tempat baru, sehingga ia perlu memakan cukup waktu untuk merasa nyaman berdiam di dalam ruang UKS.

Hingga tiba-tiba saja rasa kantuknya mulai tiba, terlebih saat ini ia ditemani oleh suasana sunyi dan sejuk berhasil membuat kedua matanya perlahan menutup. Dalam hitungan detik, lelaki berhidung bangir yang memiliki tahi lalat di salah satu bagian mata bawah sudah memasuki alam mimpinya. Dengkuran halus mulai mengalun di tengah-tengah keadaan sepi.

Namun sayangnya lelaki itu harus terbangun saat suara derap langkah pun tirai yang sengaja dibuka sukses menyadarkannya dari alam bawah sadar.

“Eh maaf, ya, Kak kayaknya Syifa jalannya terlalu kenceng,” ucap Syifa merasa tak enak sebab telah membangunkan salah satu penghuni di ruangan UKS. “Syifa cuman mau nganter bubur, kayaknya Kak Jaya pusing gara-gara belum sarapan deh. Tapi, maaf, ya, Syifa nggak tau Kak Jaya suka kacang atau enggak. Kalau nggak suka nanti dipinggirin aja, ya.” Syifa mengangkat mangkuk tersebut untuk memperlihatkan kepada Jaya yang tengah menatap intens ke arahnya. Kemudian, Syifa menyimpan satu mangkuk bubur itu di atas meja sebelah ranjang lelaki itu berbaring.

“Suka, kok.”

Sebuah senyuman terukir ketika kecemasannya ditepis begitu saja oleh lelaki itu.

Melihat kakak kelasnya berancang-ancang akan bangun, maka Syifa kembali meraih mangkuk bubur itu agar dapat menyerahkan secara langsung kepada lelaki itu.

“Kak Jaya bisa makannya?” Jaya membalas pertanyaan itu dengan anggukkan kepala. “Nanti kalau udah selesai makan, obat ini langsung diminum, ya, Kak. Kemungkinan abis minum obat Kak Jaya bakalan ngantuk, jadi buat pelajaran pertama kayaknya Kak Jaya nggak bisa dulu ikut, istirahat dulu aja.”

Guratan halus pada dahi Syifa kian tercetak kala menyadari lelaki itu tak memberikan respons atas ucapan yang baru saja dilontarkan olehnya.

“Kak Jaya didengerin nggak tadi Syifa ngomong?”

“Iya, Syifa, Jaya dengerin.”

Jika ingin mengulang kembali waktu, mungkin Syifa ingin mengulang pada kejadian di mana lelaki itu dengan lantang menyebut nama dirinya sendiri. Ia ingin merekam ucapan itu dengan ponselnya, sebab apabila ia sewaktu-waktu ingin mendengarkannya, ia bisa memutarnya kembali kapan saja.

“Suapin atuh, Cip. Masa ngebiarin orang sakit makan sendiri? Meuni tega pisan.”

Tega banget.

Jaya dan Syifa menolehkan wajah dengan kompak pada sumber suara. Sementara sang pelaku hanya terkekeh melihat reaksi keduanya teramat terkejut akibat kedatangannya secara tiba-tiba.

“Ngapain sia di sini?”

Harri melepas topi dan berjalan mendekat. “Oh, ini maksudnya maneh teh ngode mau berduaan sama dia bukan, Jay?” tanya Harri penuh nada ledekan di dalamnya.

Jaya berdecak sembari menajamkan pandangannya. “Anjing.” Jika saja lelaki itu berada di dekatnya, mungkin Jaya tak segan untuk melemparkan sebuah pukulan agar dapat membungkam mulut temannya.

Harri menghindari tatapan yang diberikan Jaya kepadanya. “Ih, kasar! Nggak boleh kasar depan adik kelas! Emang maneh teh kakak kelas yang mencerminkan hal tidak benar!” Harri merampas sendok yang tengah di genggam Jaya, lalu tanpa permisi menyuapkan satu sendok bubur itu ke dalam mulutnya. “Atau mau aing aja suapin, De?”

Jaya menatap Syifa yang tengah menatap ke arah keduanya. “Syifa, tolong dong usir dia. Orang sehat nggak boleh masuk ruang UKS.”

Syifa menelan ludah susah payah dengan ucapan dari lelaki itu masih memutar di otaknya. Haruskah ia mengusir kakak kelas itu sesuai yang dipinta Kak Jaya?

Harri berdecak, mendudukkan diri persis di samping temannya. “Aing ke sini cuman mau bilang sia nggak usah masuk pelajaran pertama, ntar aing yang diizinin kalau maneh sakit.” Harri mengulas senyuman sekilas ke arah Syifa yang masih bergeming di tempatnya. “Atau mau aing buatin surat ke TU aja sekalian biar sia bisa pulang?” tanya Harri, menatap Jaya yang sedari tadi hanya mengaduk-aduk bubur tanpa berniat untuk memakannya.

Jaya menggeleng. “Nggak usah, ntar aing masuk pelajaran kedua kalau udah enakan.” Jaya menghentikan ucapannya begitu saja, sontak hal itu buat Harri melemparkan tatapan tanda tanya kepadanya. “Tapi, tolong bawain hp aing dong, Hag. Hp aing dicas di kelas.”

Heg, ntar aing bawain.”

Di antara kedua orang itu yang sedang asyik bercengkerama, terdapat satu orang lainnya yang bergerak gelisah. Suasanya cukup canggung sebab ia harus berada di tengah-tengah obrolan kedua lelaki itu. Ingin menginterupsinya namun lagi-lagi ia tak dapat menemukan waktu yang pas.

“Kak….” Kedua lelaki itu menoleh bersamaan pada sumber suara, menunggu sang empu melanjutkan ucapannya. “Syifa izin pamit dulu, ya. Mau siap-siap ke kelas, itu nanti obatnya jangan lupa diminum, ya, Kak Jaya. Terus abis itu tidur aja di sini. Cepet sembuh, ya, Kak. Lain kali kalau mau upacara jangan lupa sarapan dulu. Kalau gitu Syifa duluan Kak Jaya, A Harri.” Syifa menunduk dan lemparkan senyuman kecil sebelum akhirnya perempuan itu benar-benar menarik diri dari hadapan mereka.

Kedua lelaki itu hanya meresponsnya dengan anggukkan.

“Jay.”

Jaya menoleh ketika namanya diserukan seseorang. Alisnya menaik lengkap dengan mulut bergerak tak beraturan, pertanda bahwa lelaki itu tengah menikmati satu mangkuk bubur yang telah dibelikan oleh sang adik kelas.

“Kalau misalnya, ya, ini mah misalnya. Ada orang yang mau deketin maneh gimana?”

Jaya mengernyit. “Kenapa nanya gituan?” heran Jaya sebab tak biasanya lelaki itu membicarakan suatu hal yang mengarah ke sana.

Harri menggeleng cepat, tak mau membuat kecurigaan temannya. “Nggak, aing nanya aja. Siapa tau ntar kita bisa double date, atau triple date sekalian sama si Jagat,” dalihnya.

Jaya memutuskan pandangan untuk kembali menyantap bubur, sebab dibandingkan dengan topik pembicaraan itu hanya eksistensi makanan sedang ia genggam yang mampu menarik perhatiannya.

“Nggak tau, gimana orangnya. Kalau aing suka sama orang itu, ya, aing welcome-welcome aja.”

“Tapi maneh emang nggak keberatan kalau dideketin cewek duluan? Risih gitu misalnya?”

“Nggak.”

Senyum Harri mengembang ketika jawaban dari temannya sukses menjawab segala pertanyaan yang terus-menerus menghantui isi pikirannya.

“Bisa euy ini mah kayaknya.”

“Bisa apaan?”

“Nggak! Ada lah itu mah urusan aing.

Cip, semangat, Cip. Maneh ada peluang!


Puspas Niskala.

by NAAMER1CAN0