INSIDEN PELIK.


cw // harsh word

Be wise ok! Thank you<333


Gemercik rintik air hujan yang jatuh ke bumi cukup membuat sebagian insan turut terbuai, bak alunan penenang untuknya segera terlelap. Genangan air akibat jalanan berlubang membuat percikan tersebut mulai memenuhi lantai kantin sekolahnya. Ada orang yang langsung memasuki kantin tanpa membersihkan tapak kakinya terlebih dahulu, jua ada yang membersihkannya dahulu dengan kardus coklat sengaja dikoyak beberapa bagian oleh seseorang yang ia sendiri tak tahu siapa dalangnya. Sekolahnya ini tampak kesulitan untuk sekadar membeli lap kaki agar para siswa pun orang-orang yang berlalu-lalang tak terjatuh akibat licinnya lantai kantin oleh lebatnya air hujan di luar sana.

Bulu-bulu halus pada kedua tangannya mulai meremang tatkala sebuah pawana tiba-tiba datang di tengah-tengah cuaca hujan yang masih setia mengguyur bumi Pasundan. Fara serta-merta mengusap kedua lengannya untuk menghantarkan rasa panas pun menghilangkan rasa dingin yang tengah dirasakannya.

Sekonyong-konyong Fara menoleh ketika seseorang tanpa aba-aba menyodorkan kain berwarna abu kepadanya begitu saja. Dahinya mengernyit, meminta jawaban atas perlakuan sang empu yang secara tiba-tiba menyerahkan jaket tersebut untuknya. “Apa?” tanya Fara pada seorang lelaki yang baru saja mendudukan diri persis di sebelahnya.

“Kata si Hag pake ceunah,” timpal Aksara sembari menggoyangkan kecil jaket yang berada di genggamannya tersebut agar sang puan segera meraihnya.

Fara membawa netranya untuk menatap sekilas seseorang yang masih berada di salah satu gerobak jajanan di sana. Sedang dirinya sudah terduduk rapi di atas meja beserta beberapa teman lainnya. Fara langsung meraih uluran jaket dari Aksara untuk segera ia pakai.

Selang beberapa menit, lelaki itu sudah terduduk di seberangnya. Rasa canggung menyelimuti dirinya. Fara terus-menerus menelan ludahnya, berharap kecanggungan itu akan hilang. Ironisnya, lelaki di hadapannya tak menunjukkan gerak-gerik seperti dirinya.

Merasa dirinya tengah ditatap seseorang, Harri pun mendongakkan kepalanya. Alisnya terangkat kala maniknya bertabrakan dengan manik indah seseorang di depannya. Mulutnya tak bisa mengeluarkan sebuah frasa sebab di dalamnya sudah dihuni oleh kuah sotonya lebih dulu.

Masa cuman aing doang yang ngerasa canggung?! Soalnya pacar aing dari tadi malah nyuap terus kayak nggak ada beban?! batin Fara. Fara menggeleng untuk menjawab pertanyaan itu. Dirinya langsung meraih teh panas untuk segera ia teguk.

“Si kalian kenapa malah diem-dieman aja?”

Harri menelan paksa makanan dalam mulutnya selepas mendengar ucapan yang terlontar dari bibir Yolan. “Hai, Fa,” sapa Harri kepada perempuan di depannya diiringi lambaian tangan di udara.

“Kaku banget anying! Biasanya juga maraneh berdua suka berantem!”

Aing malu bangsat!” sahut Harri cepat sontak mengundang gelak tawa dari orang-orang di sekelilingnya, jua mengundang tawa dari perempuan di depannya.

Mulanya tawa yang mengalun indah dari birainya hanya sebuah tawa biasa dan cenderung pelan, namun setelah melihat kedua telinga lelaki tersebut yang sukses memerah buat dirinya secara tak sadar melepaskan sebuah tawa yang mengalun kencang. Badannya bergetar. Bahunya naik dan turun dengan cepat. Pun, kedua matanya yang terpejam sebab tak tahan melihat tingkah laku menggemaskan dari kekasihnya itu.

“Pantes aja sia dari tadi diem, anying.”

Seakan sedang menulikan telinganya, Harri tak mendengar semua ucapan pun sumpah-serapah yang dilontarkan untuknya. Ia saat ini tengah menyibukan dirinya dengan makan siangnya. Bahkan, untuk sekadar menatap kekasih di hadapannya pun tak ia lakukan mengingat acap kali melihatnya membuat desiran jantungnya berpacu cepat.

Harri menahan surai Fara yang terjuntai dan akan mengenai makanan di bawahnya jika saja ia tak segera menyelamatkannya. Tanpa ada sebuah ucapan verbal, Harri terburu menyerahkan lengan kirinya dengan kedua mata yang masih terfokus pada menu makan siang sotonya.

Fara melirik sekilas lengan sang kekasih, kemudian tersenyum dan menarik sebuah ikat rambut yang bertengger nyaman di pergelangan kekasihnya.

Aneh rasanya ketika biasanya meja yang mereka tempati dipenuhi dengan pertikaian tiada ujung yang selalu mereka lontarkan satu sama lain. Akan tetapi kini hanya ada kecanggungan di antara keduanya. Baik Harri maupun Fara enggan untuk memulai percakapannya setelah hubungan mereka diketahui oleh teman-temannya. Sandiwara yang selalu mereka perlihatkan pun kini harus mereka kubur dengan sukacita. Tak akan adalagi sandiwara-sandiwara untuk hubungan keduanya.

“Abisin ya … tolong ….”

Harri menggeleng, menolak mentah-mentah makanan yang telah disodorkan kepadanya. “Atulah aku nggak mau, kenyang! Tau gitu tadi aku nggak usah beli soto. Kamu abisin sendiri ah, Sel.” Pasalnya Harri tak sanggup akan menghabiskan makanan itu ketika melihat isi piring kekasihnya yang bisa terbilang masih utuh.

Please … aku udah kenyang.”

Harri menghela napasnya. Ia berdecak kesal setelah menyadari selera makan kekasihnya yang acap kali tak beraturan. Maka dengan terpaksa ia pun mau tak mau harus menghabiskannya meskipun kapasitas perutnya perlahan terisi penuh.

“Abisin dong, Yang, aku udah kenyang banget.”

“Nggak mau ah kenyang.”

“Kalau kamu nggak abisin berarti kamu nggak sayang sama aku.”

“Ya, udah iya aku abisin. Aku kan sayang banget sama kamu.”

Yolan dengan sahaja bermonolog seolah tengah menyindir kedua insan yang terlihat malu-malu. Entah mereka sadar atau tak sadar dengan ucapannya. Yolan tanpa adanya rasa bersalah pun tertawa setelah menyelesaikan kalimat terakhirnya. Tak hanya dirinya yang tertawa, namun ia berhasil mengundang beberapa orang di meja tersebut untuk bergabung tertawa dengan dirinya.

“Bangsat!” Harri menghentikan kedua lengannya yang sedari tadi asyik menyuapi makanan ke dalam mulutnya. “F-ck you besar untuk sia, Hewani!” Harri mengacungkan jari tengahnya ke arah Yolan.

Yolan yang diperlakukan seperti itu bukannya takut, ia justru makin mengeraskan tawanya. Bahkan, suara deras hujan di luar sana masih kalah dengan tawa menggelegar darinya.


Derap suara langkah atas hentakan sepatu dengan keramik yang sedang mereka pijak saling bersahutan bersama gegak para individu di sekelilingnya. Harri berusaha menyeimbangkan langkahnya dengan perempuan di sebelahnya. Maniknya melirik ke arah depannya yang memperlihatkan sepasang kekasih saling menautkan lengannya satu sama lain.

Tak lama maniknya tertuju pada lengan seseorang di sampingnya yang terjuntai dan bergerak seirama dengan langkahnya. Ada rasa gejolak pada dirinya yang menggebu-gebu untuk mengikuti jejak seseorang di depannya, terlebih ketika lengan miliknya tak sengaja bersentuhan dengan kulit lengan kekasihnya. Namun ketika rasa canggung itu kembali menghantuinya buat dirinya segera menepis jauh-jauh keinginannya.

Fara berdeham untuk menghilangkan rasa canggung antar keduanya. Ia sahaja merapatkan tubuhnya dengan lelaki di sebelahnya. Pundak mereka saling bersentuhan membuat lengan miliknya berkali-kali mengenai lengan kekasihnya. Fara melirik singkat lengan kekasihnya yang mengayun mengikuti ritme langkahnya.

Tangan kokoh nan besar dilengkapi dengan urat-urat yang menghiasi tangan kekasihnya seakan sedang memanggil keberanian dalam dirinya untuk segera menautkan tangan mereka berdua. Apalagi ketika mata miliknya tak sengaja melihat seseorang di depan sana yang saling berpegangan tangan sukses membuat rasa iri kerap dirasakannya.

Harri merasa aneh dengan gerak-gerik perempuan di sampingnya, lantas ia mulai mengambil dua langkah ke samping kiri untuk menggeser tubuhnya. Sebab ia merasa takut apabila jalanan yang dilalui kekasihnya tak seluas jalanan miliknya.

“Kenapa deket-deket ih?!” ketus Harri ketika perempuan itu terus-menerus mendekati tubuhnya. Membuat pundak keduanya saling bertabrakan satu sama lain. Padahal Harri sendiri sudah memberi jarak agar perempuan itu lebih leluasa ketika berjalan.

Fara refleks menautkan kedua alisnya mendengar Harri menyerukan sebuah kalimat tak suka sebab dirinya terus-menerus mendekati lelaki itu. “Ya, emang kenapa?! Ada larangannya kah?!” timpal Fara, tak terima ia ditolak mentah-mentah oleh seseorang di sampingnya. Pipinya menggembung, masih terasa kesal atas tuturan tersebut.

Perdebatan itu sukses membuat Jagat dan Grace membalikkan tubuh dan mengundang tanda tanya ke arah mereka berdua. “Lucu banget, ya, mereka,” ucap Grace secara asal.

Jagat hanya menimpali ucapan kekasihnya dengan sebuah tawa canggung tanpa berniatan untuk membalasnya. Wah, dia belum aja liat mereka berdua kalau berduaan kayak gimana. Aneh banget pokoknya, batin Jagat. Ujung bibirnya terangkat, memperlihatkan senyuman tulus kepada sang kekasih.

Hareudang ih tong deket-deket teuing!”

Gerah ih jangan deket-deket banget!

Harri bohong. Fara tahu bahwa lelaki itu tengah berusaha berbohong, terlihat dari kedua netranya yang berkedip secara berulang. Jua, Fara sendiri dapat merasakan lengan dingin dari kekasihnya. Sehingga lelaki itu tak mungkin sedang merasakan kegerahan, manalagi cuaca saat ini sedang dingin sebab sekolah mereka tengah diguyur hujan lebat.

“Apa?” tanya Harri, melihat perempuan di sebelahnya menyerahkan lengan kiri kepadanya begitu saja.

“Mau pegangan tangan biar kayak mereka!” tunjuk Fara kepada Jagat dan Grace di depan sana. Tak sepenuhnya berbohong, Fara memang menantikannya. Namun lelaki tersebut tak kunjung melakukannya sehingga ia harus rela menurunkan rasa egonya untuk meminta lebih dulu.

Harri menghentikan langkahnya. Ia memandang ke arah sampingnya untuk melihat situasi di sekitarnya. Aing malu ih, Yang, seriusan ini mah bukannya nggak mau pegangan sama maneh, batin Harri. “Agresif gini maneh.” Bebanding terbalik dengan ucapan batinnya, Harri lantas segera menyatukan tautan mereka. Rasa hangat pertama kali ia rasakan ketika kulit telapak tangannya bersentuhan langsung dengan kulit tangan kekasihnya.

Walaupun dalam hatinya Harri berniat menolak keinginan kekasihnya, namun pada akhirnya ia menuruti permintaan itu sebab takut membuat kekasihnya merajuk apabila ia tak melakukannya.

Wajahnya berseri tatkala menyadari tangan mereka berdua sudah saling bertaut. Mata Fara menghilang seraya sebuah kekehan ia lantunkan. Dipikir-pikir ucapan Harri ada benarnya saat lelaki itu mengucapkan bahwa dirinya terkesan lebih agresif untuk memperlihatkan hubungan mereka berdua pada seluruh siswa berada di koridor yang mereka tempati.

“Kamu kenapa diem aja?”

Aing malu!” sahut Harri sembari membuang muka agar seseorang di sampingnya tak bisa melihat raut wajahnya yang sudah memerah. Harri tak pernah merasakan salah tingkah separah ini. Ini menjadi pengalaman salah tingkah terhebat setelah kekasihnya secara terang-terangan mengucapkan sebuah kalimat yang selalu ia damba-dambakan.

“Kamu kenapa jadi pe—”

Pegang tanganku, hentikan tawamu sejenak~

Alunan suara sekonyong-konyong terdengar oleh rungunya berhasil mengejutkan Fara dan Harri yang tengah menggenggam satu sama lain. Harri menjadi orang pertama yang melepaskan tautan tersebut. Sementara Fara masih tak percaya akan kehadiran kedua temannya dan mengganggu aktivitas dirinya dengan sang kekasih.

“Emang paling cocok sih pegangan tangan pas hujan-hujanan gini, wah itu mah si aku yakin bakalan langsung anget!” ucap Yolan penuh dengan cemooh yang disengaja, lantaran kedua sejoli itu tertangkap basah oleh dirinya pun Aksara. “Bener nggak, Sa?” Aksara mengangguk, menyetujui ucapan Yolan. diiringi sebuah tawa yang mengalun.

“Pegangan tangan, yuk, Sa?” Yolan menyerahkan lengannya kemudian langsung disambut hangat oleh temannya—Aksara—tanpa sebuah kalimat yang terucap.

Aksara dan Yolan kini sudah mendahului Fara dan Harri yang masih setia membeku pasca kejadian sebelumnya. Harri berdecak kesal. Berbagai makian sudah ia lontarkan dalam hatinya. Persetan dengan pasang mata yang tengah menatapnya, Harri saat ini tengah berlari dan mengejar kedua temannya untuk memberikan sebuah pelajaran.

“MONYET SIA AKSA YOLAN!”

Aksara dan Yolan sontak berlari kencang tatkala sang korban tengah memperlihatkan sarat wajah menahan amarahnya. Bahkan, mereka yang semula berpegangan tangan pun harus terlepas sebab Harri sedang mengejarnya bak kesetanan.

AING BERCANDA MANG HARRI! JANGAN KEJAR AING ANJING!” Tak peduli kondisi perutnya, yang ia pedulikan saat ini hanyalah dapat terbebas dari kejaran seseorang di belakangnya. “KEJAR SI YOLAN AJA PLIS MANG AING CUMAN NGIKUTIN SI BURUNG YOLAN!”

Naasnya, sang dewi fortuna seakan tak sedang memihak kepadanya. Selepas menyelesaikan ucapannya, Aksara tidak bisa menopang tubuhnya sehingga ia harus merasakan pantatnya yang sukses mencium lantai sekolahnya dengan cuma-cuma. “ANJING!” umpat Aksara, spontan mengusap pantatnya seolah tengah berusaha menghilangkan rasa sakitnya pasca terjatuh di tengah-tengah keramaian.

Kendatinya ia memang tengah menahan rasa sakit akibat terjatuh atas kebodohannya, namun entah mengapa dibandingkan dengan rasa sakitnya Aksara lebih merasakan malu sebab ia menjadi tontonan para siswa yang tak jauh dari tempatnya berada.

Harri terbahak kala melihat jelas adegan Aksara terjatuh terjadi persis di depan matanya. “MAMPUS ANYING, LEBOK! KARMA TI AING TAH MONYET!” Harri menarik kerah baju Aksara agar lelaki tersebut tak bisa berlari dan kabur darinya kembali. Aksara tentu pasrah, padahal seharusnya yang berada di posisinya saat ini adalah Yolan bukan dirinya.

Lebok (kasar) = mampus/rasain.

“HAG, SI YOLAN DI KELAS IPS 5 TUH!” teriak salah satu teman sebayanya.

Sudah jelas, setelah mendengar tuturan itu Harri lekas membawa kedua tungkainya untuk menyambanyi salah satu kelas yang telah disebutkan oleh Adimas—teman satu ekstrakurikulernya. Aksara masih setia mengikuti ke arah mana lelaki itu menyeretnya. Saat ini Aksara hanya bisa berharap bahwa suara bel sekolah segera dilantunkan agar ia bisa secepat mungkin terbebas dari siksaan temannya.

“Aksa, sia kalau mau selamet bantuin aing bawa si Yolan kadieu,” ucap Harri kepada Aksara.

Kadieu = ke sini.

Itu bukan sebuah permintaan tolongnya, namun sebuah titahan mutlak yang mau tak mau harus ia lakukan. Masa bodoh akan terjadi suatu hal pada hubungannya dengan Yolan, Aksara hanya ingin terbebas dari satu temannya itu.

“AKSA ANJING SI AKU BAKALAN MARAH BANGET SAMA SI KAMU INI MAH ASLI ANJING!” teriak Yolan, terus-menerus menghindar dari kejaran Aksara yang membabi buta. Sedang Harri tengah berdiam diri di depan pintu kelas untuk mencegah lelaki itu akan berusaha kabur darinya.

“YOLAN ANJING SINI GAK MANEH?! ERA ANYING INI BUKAN KELAS KITA!”

Era (kasar) = malu. | ps. bahasa halusnya 'isin'

“HAG ANYING AING MINTA MAAF! SI AKU NGGAK AKAN CENG-CENGIN SI KAMU SAMA TEMEN SI AKU FARA LAGI, JANJI!” Yolan bersungut seraya mengacungkan kedua jari kelingkingnya di udara, memperlihatkan bahwasannya ia tak sedang membual dengan ucapannya.

Harri tak menghiraukan ucapan itu, ia hanya ingin memberi pelajaran kepada kedua rekannya terlebih memberi pelajaran kepada Yolan. Sebab sedari tadi malam, ia selalu mengolok-ngolok dirinya tanpa henti. Dengan begitu, mungkin saja setelah ini Yolan akan merasa jera dan tidak akan mengulanginya kembali. Sejujurnya Harri tak begitu memedulikan semua perkataan yang dilontarkan oleh teman-teman kepadanya, hanya saja setelah merasakan atmosfer canggung di antara dirinya dengan sang kekasih membuat Harri bersikukuh untuk memberikan sebuah pelajaran.

Beruntungnya, deras hujan di luar sana mampu membantu meredamkan suaranya yang begitu menggelegar di koridor yang mereka tempati. Bagaimana tidak akan terdengar apabila lorongnya saat ini mulai sunyi sebab sebagian siswa yang sebelumnya di luar kini sudah masuk ke dalam kelasnya satu per satu. Termasuk Fara yang ditinggalkan begitu saja tanpa adanya sebuah kata perpisahan yang diucapkan Harri kepadanya.


Kolase Asmara Universe.

by NAAMER1CAN0