Kata bahagia tak berarti untuknya.


Sebuah kertas yang sedang ia genggam telah menuntun dirinya untuk datang ke kota- Pontianak- ini. Kota yang sangat jauh dari tempatnya berada, ia harus menyebrangi pulau dan menyita beberapa hari untuk bisa sampai di sini. Kertas tersebut adalah kertas peninggalan Omanya terakhir yang mengatakan bahwa ia masih memiliki kedua orang tua. Selama dua puluh dua ia hidup, ia berpikir jika ia tak memiliki orang tua, ia berpikir bahwa orang tuanya sudah meninggal. Entah harus sedih atau senang, yang pasti ia merasakan kecewa setelah mengetahui hal ini.

Mobil yang sedang ditumpangi keduanya pun kini telah terparkir sempurna di dalam perumahan mewah yang tak jauh dari pusat kota. Nalen kini sedang mengatur degup jantungnya yang tak beraturan. Basa-basi apa yang harus ia sampaikan saat bertemu dengan Ibunya setelah dua puluh dua tahun tidak bertemu?

“Yang mana rumahnya?”

Itu pertanyaan dari Yudi yang telah menyadarkannya dari sebuah lamunan. Awalnya dirinya sempat menolak Yudi untuk ikut bersamanya, karena Abangnya pasti membutuhkan istirahat setelah lembur kerja, namun, ya, mau gimana lagi? Yudi tipekal orang yang keras kepala.

“Itu di ujung.” Nalen menunjuk sebuah rumah dengan nuansa putih dan memiliki halaman yang cukup luas bila dibandingkan dengan rumah yang berada di sekitarnya.

“Eh, lu mau ke mana, Bang?” tanya Nalen saat melihat Yudi bersiap-siap untuk keluar dari mobilnya.

“Mau samperin Ibu lu, 'kan?”

“Lu diem di sini aja, biar gua aja yang masuk,”

“Tapi—”

“—ini gua maksa.”

Yudi pun dibuat bungkam setelah mengetahui bahwa ia dilarang untuk ikut bersama pria di sampingnya. Akhirnya ia pun mengalah dan kembali menyandarkan punggungnya pada kursi kemudi.

“Kabarin kalo ada apa-apa,”

“Iya.”

Kedua kakinya ia bawa untuk keluar mobil, tak lupa untuk merapikan pakaiannya. Ia tak mau kesan pertama yang diberikan tidak sempurna, bahkan jari-jarinya pun dengan mahir menyisir rambutnya agar terlihat lebih rapih.

Atensinya kini telah tersita oleh sebuah kegiatan yang berada di dalam jangkauan pandangannya. Sebuah keluarga kecil yang sedang sibuk dengan beberapa hidangan di atas meja dan diiringi oleh sebuah candaan hangat.

Degup jantungnya semakin cepat setelah kedua maniknya tak sengaja menangkap sebuah wanita berambut panjang lengkap dengan sebuah baju putih yang menggantung pada tubuhnya. Cantik. Satu kata yang ia deskripsikan saat melihat sosok perempuan tersebut.

Bibirnya terangkat ke atas seiring dengan sorot matanya yang mulai sendu. Apakah benar perempuan yang ia pandangi saat ini adalah Ibu kandungnya?

“Maaf, anda siapa, ya?”

Sial. Batinnya.

Perempuan itu kini mulai berjalan menghampiri pria asing yang beberapa saat lalu menatap ke arah keluarganya. Ia sedikit khawatir bahwa pria tersebut bukanlah pria yang baik.

“Maaf sebelumnya, saya sedang mencari sosok perempuan yang bernama Rana Rembulan—“

“—ada keperluan apa, ya? Kebetulan itu dengan saya sendiri.”

Nalen tak bisa menyembunyikan rasa rindunya. Kedua tangannya ingin ia cepat-cepat lingkarkan pada tubuh perempuan itu, namun dirinya cukup waras untuk tak melakukan hal yang menurutnya konyol.

“Boleh bicara sebentar? Ada yang harus saya obrolkan,”

“Oh iya, nama saya Nalendra Elvano.”

Nalen mengulurkan tangan kanannya kepada sosok perempuan di hadapannya. Tak lama perempuan itu pun menarik uluran tangannya dan tak lupa mengenalkan kembali siapa dirinya.

Mamah!

Iya sebentar Nak, mamah sedang ada tamu. Kalian makan duluan saja ya,” jawab Rana dengan sedikit teriakan agar kedua anaknya dapat mendengar jawaban darinya.

“Maaf, jadi apa yang harus diobrolkan, ya?” Rana kembali bertanya kepada pria asing di hadapannya.

Nalen terdiam sebentar. Jujur dirinya sangat bingung apa yang harus ia ucapkan saat ini. Dialog-dialog yang sudah ia siapkan di sepanjang jalan pun kini mulai sirna, bahkan dirinya tak ingat pernah menyiapkan sebuah dialog untuk pertemuan hari ini.

Rana pun dibuat bingung dengan sosok pria dihadapannya, namun dirinya cukup familiar dengan wajah dari pria ini. Mirip seseorang.

“Ibu.”

Satu kata lolos dari mulutnya. Satu kata yang membuat Rana melebarkan matanya. Nalen tak berani untuk sekadar menatap prempuan di hadapannya.

“Maaf?”

“Ibu, ini Alen. Anak Ibu …,”

“Sepertinya anda salah orang, anak saya masih kecil,” sanggahnya dengan cepat.

“Ibu ini Alen, anak Ibu dan anak Ayah Faadhil Keswara. Ini Alen, Bu.”

Nalen memberanikan dirinya untuk menatap kedua manik perempuan di hadapannya. Entah ia akan senang atau kecewa dengan reaksinya, itu bisa diurus nanti.

“Saya nggak kenal Faadhil Keswara, saya nggak kenal Nalendra Elvano. Anda benar-benar salah orang, saya rasa.”

Nalen memberikan sebuah foto yang menampakkan perempuan tersebut dengan sosok ayahnya. Perempuan itu pun hanya bisa terdiam setelah melihat sebuah gambar yang menampakkan dirinya memakai gaun berwarna putih.

“Ayah di mana, Bu? Alen mau ketemu sama Ayah,”

“Dia sudah meninggal 20 tahun yang lalu,” jawabnya, ia mengalihkan pandangannya ke samping seolah sedang membuang muka.

Hatinya seperti sedang dilempar oleh ribuan batu. Sesak dan sakit. Harapannya untuk bertemu dengan Ayahnya harus ia kubur dengan hidup-hidup.

“Dia punya penyakit stroke, waktu itu dia sedang bekerja di Singapura. Pun dimakamkan di sana,”

“Sudah, ‘kan? Anda hanya mau tahu keberadaan Ayah anda? Kalau gitu saya pamit.”

Nalen menahan lengan perempuan tersebut dengan cepat. “Bu, ini Alen. Alen anak Ibu … anak pertama Ibu.”

“Bu, dua puluh tahun Alen nggak pernah merasakan pelukan hangat dari Ibu. Jangankan pelukan, tegur sapa pun nggak pernah. Alen cuman butuh pelukan Ibu,”

“Maaf, tapi saya nggak kenal kamu. Saya hanya punya dua anak, itu pun masih TK.”

Rana bersikeras dengan ucapannya bahwa ia tak memiliki anak selain si kembar. Entah apa yang sedang ia sembunyikan, atau bahkan ia tak mengingatnya?

“Bu, selama ini Alen tinggal sama Oma. Shara Nirmala, itu Ibunya Ibu ‘kan?”

“Bu, Alen jauh-jauh datang ke sini cuman mau bertemu sama Ibu. Alen mau diakui kayak kedua anak Ibu, Alen butuh diakui,” lanjutnya.

“Sudah, ya? Kamu mending pulang, sia-sia kamu datang ke sini, karena saya benar-benar nggak kenal kamu.”

Rana melepaskan genggaman pada lengannya. Ia pun berjalan membelakangi pria yang menyebutkan bahwa ia adalah putra sulungnya. Benarkah?

“Oma, Shara Nirmala, Ibunya Ibu udah meninggal.”

Rana menghentikan langkah kakinya. Bola matanya melebar setelah mendengar tuturan tersebut. Tatapan matanya mulai kosong. Ia kembali berjalan seakan tak peduli dengan apa yang telah disampaikan oleh pria asing itu. Berbeda dengan tingkahnya, degup jantungnya mulai perpacu cepat setelah mendengar tuturan tersebut.

“Alen mohon, Alen nggak apa-apa nggak Ibu akui. Tapi Alen mohon, Ibu datang ya ke makam Oma? Datang ke tempat peristirahatan Oma untuk terakhir kalinya? Oma berpesan kalau dia rindu sama Ibu. Selama dua puluh tahun Oma sembunyiin keberadaan Ibu, dan selama itu pula Oma udah menyimpan rasa rindu buat Ibu. Alen mohon, Ibu datang, ya?”

Tubuhnya kini sudah berlutut di atas aspal. Ia tak peduli jika menjadi bahan tontonan orang yang berlalu lalang, dirinya hanya ingin Ibunya datang ke tempat peristirahatan terakhir Oma-nya.

Tak tega dengan sebuah suara yang menyimpan banyak beban itu, ia pun kembali dan membantu pria asing di hadapannya untuk kembali berdiri. Ia pun hanya manusia biasa yang memiliki rasa iba terdahap seseorang.

“Jangan kayak gini, nanti orang lain berpikiran macam-macam tentang saya.”

Nalen pun berdiri dari kegiatan memohonnya dengan bantuan sebuah uluran tangan. Sorot matanya memancarkan sebuah permohonan. Rana tak tega untuk melihatnya hingga pada akhirnya ia pun memalingkan wajahnya ke arah lain asalkan tak memandang sorot mata itu.

“Kamu pulang, ya? Kalau perlu saya kasih ongkos untuk kamu pulang.”

Rana mengeluarkan beberapa lembaran uang berwarna merah muda dan menyerahkan tepat pada wajah Nalen. Merasa terhina dengan perlakuan tersebut, Nalen pun mulai angkat bicara.

“Sebegitu menyedihkannya saya di mata anda? Memang. Hidup saya sudah hancur selama dua puluh tahun ini, saya nggak punya sosok Ibu dan Ayah sejak kecil. Sebuah olokan pun sudah biasa bagi saya, saya pikir saya akan mendapatkan kebahagian setelah saya datang ke sini. Ternyata harapan saya hanya sebatas angan-angan, bahkan kini hidup saya pun sudah tak punya siapa-siapa lagi. Memang benar, saya hidup pun tak ada gunanya, tak ada yang mengharapkan. Saya heran, kenapa anda rela susah payah melahirkan saya jika pada akhirnya saya sendiri tak dianggap kehadirannya oleh Ibu kandungnya sendiri?”

“Saya cuman mau diakui, nggak lebih. Saya pun ingin merasakan seperti anak-anak di luar sana yang berkeluh kesah dengan orang tuanya, yang mendapat hangatnya pelukan. Itu saja—”

“—maaf, tapi saya tetap nggak kenal siapa kamu.” potong Rana, ia memalingkan wajahnya. Ia menggigit pipi dalamnya untuk menahan sesuatu yang mulai bergejolak di dadanya.

“Oke kalau begitu. Terima kasih atas waktunya, maaf saya sudah menganggu. Selamat sore, semoga Anda dan sekeluarga disehatkan selalu. Oh iya, terima kasih atas penawarannya, saya masih mempunyai uang.”

Nalen meraih tangan perempuan itu lalu mengecupnya sebelum akhirnya ia kembali. Rana hanya terdiam setelah mendapat perlakuan tersebut, hangat. Ia rasanya ingin mengenggam lengan tersebut dengan waktu yang sedikit lebih lama. Bulir air matanya mulai terjatuh membasahi kedua pipinya seiring dengan menatap punggung yang mulai menjauh dari pandangannya.

“Itu siapa sayang? Kok nggak disuruh masuk?”

Rana terkejut dengan sebuah suara yang menyadarkannya. Ia usap air matanya dengan cepat, lalu berbalik untuk menatap suaminya.

“Nggak tau, salah orang katanya. Lagi cari alamat tapi yang punya rumah udah pindah, aku juga nggak kenal.”

Pria paruh baya lengkap dengan sebuah piring di kedua lengannya pun hanya mengangguk.

“Yaudah ayo kita makan, kasian si kembar udah lapar.”

Rana pun meraih satu piring di lengan suaminya. Pria paruh baya itu hanya tersenyum dan mengecup pelipis istrinya dengan pelan. Rana pun tersenyum merasakan kehangatan dari keluarga barunya.

Maaf. Ibu nggak bermaksud begitu. Ibu terlalu takut untuk mengenang masa lalu, dan kamu salah satu cuplikan dari masa lalu Ibu.


Pada dasarnya hatinya sudah rapuh, setelah pertemuan ini hatinya pun semakin rapuh. Padahal tadinya ia berharap bahwa pertemuan hari ini akan mengembalikan hatinya, ternyata tidak.

Rasa sakit yang ia rasakan dari cemooh teman-temannya sejak Sekolah Dasar tak ada apa-apanya setelah merasakan bahwa dirinya tak dianggap oleh orang tuanya, bahkan telah dipandang sebelah mata olehnya. Ia semakin menyesal setelah mengetahui bahwa Ayahnya sudah tak ada. Dua orang yang ia sayangi meninggalkannya untuk selama-lamanya.

Tak benar-benar kembali. Ia pun menolehkan kembali pandangannya ke belakang, berhadap perempuan itu masiuh memandanginya. Ia hanya bisa tersenyum miris setelah melihat adegan sebuah keluarga yang sedang tertawa sambil saling menyuapi satu sama lain. Ia boleh merasakan iri, ‘kan?

Harusnya Alen yang duduk di sana Bu, harusnya Alen yang Ibu elus kepalanya, harusnya Alen Bu ….

***

“Eh, kok cepet, sih?”

“Ketemu nggak, lu?” tanya Yudi kembali setelah melihat Nalen yang kini sudah mendudukkan dirinya di kursi sebelahnya. Nalen hanya mengangguk.

“Lemes amat si kayak Balon oddo,”

Nalen tersenyum setelah mendengar sebuah lelucon yang cukup menghibur dirinya. “Ayo pulang Bang, kita pulang ke Jatinangor.”

“Buset, langsung nih?”

Nalen menganggukkan kembali kepalanya. “Iya.”

Yudi cukup mengerti dengan suasana hati dari Adiknya ini. Sangat terlihat jelas dengan cara jalan dia sebelum dan sesudahnya, namun ia sendiri tak berani untuk menanyakan hal lainnya. Biarkan adiknya yang cerita sendiri.

Oma, maaf. Alen nggak bisa bawa Ibu buat dateng ke rumah barunya Oma. Alen udah berusaha, tapi usaha Alen nggak berarti. Oma, maafin Alen ya. Alen gagal, lagi.

Kali ini adalah kala pertama dan terakhirnya ia untuk mencari Ibunya. Nyatanya mengapa harus ia cari jika apa yang ia cari pun tak mau menampakkan dirinya? atau minimal menghargai usahanya.

Hidup sendiri dan sebatang kara tak semenyedihkan itu. Ia sempat ingin berputus asa namun konyol baginya setelah semua hal menyedihkan ini menimpanya, mengapa harus nyerah pada saat ini? Ibaratkan ia sudah terlanjur basah, jadi ya sudah berenang saja sekalian. Lagipula, untuk saat ini ia harus berfokus pada keinginan Oma-nya yang harus segera ia realisasikan.


Story Of Nalen Universe.

by NAAMER1CAN0