KEBERADAAN YANG DIBUTUHKAN.


Pikiran Harri mulai kalut selepas melihat sebuah notifikasi dari akun twitter kekasihnya, apalagi setelah jemarinya mencoba membuka notifikasi itu namun hanya menampilkan sebuah kata This Tweet has been deleted. Harri tentu dibuat kebingungan, hingga pada akhirnya ia memutuskan untuk segera menemui kekasihnya. Padahal dirinya beserta teman-temannya belum genap enam puluh menit bercengkerama bersama di kegiatan pertemuan rutinnya, malam minggu.

Harri beserta kendaraannya sudah berada di depan pagar megah berwarna coklat keemasan. Pagar yang dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan tinggi badan dirinya. Matanya mulai menelisik, mencoba menemukan sosok seseorang yang sedang dikhawatirkan olehnya sedari tadi.

Ia refleks berdiri ketika melihat perempuan itu sedang berjalan menuju tempatnya berada. Harri tersenyum sembari menengadahkan lengan kanannya agar perempuan itu menyerahkan benda bulat yang berada di genggamannya.

“Bilang Bibi nggak kamu mau ke rumah aku?” tanya Harri di kala kegiatan memasangkan helm.

Fara membalas ucapan Harri dengan anggukkan kecil, karena ia tak mau membuat lelaki itu kesusahan dalam memasangkan alat pelindung dalam berkendara pada kepalanya.

Click.

Suara pengait helm itu mulai mengalun. Suara dengan intonasi rendah namun mampu menyerbu rungunya sebab suasana di sekitar mereka cukup sunyi, sehingga indra pendengeran mereka dengan senang hati menerima kedatangannya untuk memasuki gendang telinganya. “Udah.” Harri menepuk kepala Fara yang masih terbalutkan helm dengan pelan. Fara tersenyum sembari menggumamkan kata terima kasihnya yang kemudian kembali dibalas sebuah senyuman dari lelaki itu.

“Nggak hujan, Yang, kamu jangan khawatir baju kamu bakalan kotor!” panik Harri ketika Fara memandang kendaraan roda duanya dengan raut wajah yang sulit ia artikan sendiri.

Berbicara perihal kendaraan motor yang Harri bawa hari ini, motor itu telah membuat rasa kesal Fara bergejolak ketika suatu hari mereka berdua berangkat kesekolah menggunakan motor yang Harri iming-imingkan dapat dari Ayahnya. Awalnya Fara merasa senang-senang saja, ia sama sekali tidak mempermasalahkan perihal kendaraan yang dinaikinya, toh mau apapun kendaraannya ia tetap akan sampai di tempat tujuannya. Namun, terkecuali untuk motor satu itu yang telah membuat seragam putihnya sukses dipenuhi dengan noda hitam yang berasalkan dari genangan air selepas hujan yang membasahi kota Bandung. Kesal? Tanpa harus dijawab pun semua orang akan tahu betapa kesalnya ia pada hari itu.

Fara terkekeh sembari menepuk pelan bahu sang kekasih. “Apa ai kamu, aku cuman liatin aja kenapa panik pisan.” Kekehan itu kemudian berubah menjadi sebuah alunan tawa kala ia tak sengaja melihat wajah Harri yang dipenuhi rasa ketakutan.

“Anjir, kirain teh bakalan marah!” sahut Harri dilengkapi dengan sebuah nada penuh ketenangan. Harri berjalan mendahului Fara yang masih berdiam diri di tempat semula. Harri menepuk jok motor belakangnya seraya berkata, “ayo, Yang, naik!” Tanpa menunggu lama, Fara pun segera berlari untuk menuruti ucapan dari kekasihnya yang kini sudah duduk di atas motornya dengan mesin yang sudah menyala.

Fara mengalungkan kedua lengannya di pinggang lelaki itu. Kepalanya ia bawa untuk bersandar di pundak kirinya. “Yang, mau belanja di mana? Kenapa tumben malem-malem gini Mama mau ngeliwet?” Harri menggeleng pelan atas pertanyaan yang dilayangkan secara bertubi-tubi oleh seseorang di belakangnya. “Di warung aja, tunjukin nanti.” Fara lagi-lagi mengangguk, mengiakan ucapan dari kekasihnya.

Bersamaan dengan kendaran itu yang kembali dilajukan sang empu, mereka pun saling terdiam seakan sedang menikmati suasana di sekitarnya.

Sukmanya memang sedang berada di atas motor, namun pikirannya entah sedang berlari ke mana. Ingatannya seketika kembali saat Ayahnya mengirimkan sebuah pesan yang membuat dirinya sukses dibuat kalut.

Seperti sudah ada ikatan batin, Harri sedari tadi membungkam mulutnya. Sejujurnya banyak pertanyaan yang ingin ia lontarkan, namun setelah melihat tingkah laku kekasihnya itu membuat dirinya segera mengurungkan niat tersebut.


“Mama, Isel angkat ya ini ikan pindangnya takut gosong!”

Sejak kedatangannya Fara bergegas menuju Dapur untuk membantu Mama Iis dalam menghidangkan menu makan malamnya. Fara memang tidak terlalu jago dalam urusan masak-memasak, namun untuk sekadar menggoreng, memotong, mencuci saja sih ia tentu bisa.

“Iya, Neng, angkat aja. Bentar ya Mama lagi balikin nasi liwetnya dulu!”

Mendengar ucapannya yang telah disetujui tuan rumah, maka, Fara pun segera mematikan kompornya dan mulai mengangkat menu makanan itu dengan penuh kehati-hatian.

“Yang, cobain udah pas belum bumbunya?” Harri menyerahkan jari kelingking kanannya ke depan mulut Fara. Ia menatap lamat perempuan di depannya, menunggu respons dari Fara atas sambal yang telah dibuat olehnya.

Fara mengangguk cepat, matanya berbinar ketika rasa pedas namun masih bisa merasakan rasa manisnya dari sambal itu mulai memenuhi mulutnya.

“Udah enak, Yang!”

“Oke, mantap ai gitu mah!”

Harri kembali meninggalkan Fara setelah mendapatkan jawaban kepuasan dari hasil masakannya.

Fara saat ini sudah kembali menghidupkan kompornya, ia meraih satu genggam kerupuk mentah untuk dirinya goreng. Namun, secara tiba-tiba suara seseorang kembali menginterupsinya.

Neng Isel! Minumnya mau es durian atau es kelapa aja?” ucap Asep—Papa Harri.

“Es kelapa kayaknya seger, Pa, kalau buat ngeliwet!”

“Oke, es kelapa aja.”

Acapkali ia menginjakkan kakinya di rumah ini, ia merasa telah menjadi salah satu bagian dari keluarga kekasihnya. Bagaimana cara mereka memperlakukan dirinya, seperti seorang Ayah dan Ibu memperlakukan putri kandungnya.

Rasanya senang, namun tersimpan rasa kesedihan pula di dalamnya. Ia sedih karena tak bisa merasakan semua ini pada keluarganya.

“Bengong wae heh!” Harri menyenggol bahu Fara menggunakan bahunya dengan pelan. Ia secara spontan mematikan kompornya dan meraih sebuah saringan juga spatula yang sebelumnya sedang Fara genggam. “Sama aku aja.” Fara mulai melepaskan genggaman pada peralatan masaknya, tubuhnya menggeser pelan agar kekasihnya tak kesusahan dalam kegiatan menggoreng kerupuk.

“Harri, makasih ya.”

Santai, Yang. Teu pira ngagoreng kerupuk kieu wae anjir teu kudu dipusingin.” (Santai, Yang. Cuman ngegoreng kerupuk gini aja anjir gak usah dipusingin.)

Fara tersenyum, matanya tak lepas dari pemandangan di depannya. Pemandangan kekasihnya yang dengan telaten mengambil alih pekerjaannya beberapa saat lalu.

Bukan itu, makasih udah ngajak aku ke rumah kamu. Kamu selalu siaga setiap aku butuh kamu. Makasih, Harri.

“Sama-sama.”

Mata Fara terbelalak, ia cukup terkejut ketika ucapan dalam hatinya dijawab begitu saja oleh lelaki di depannya. Jadi, selama ini Harri bisa baca pikirannya, kah?

“Tadi aing belum jawab sama-sama. Sama-sama, geulis.”

Ah, begitu rupanya. Fara hampir saja mempercayai bahwa kekasihnya memiliki kemampuan dalam membaca pikirannya.


Waktu menunjukkan pukul 21.00, waktu yang cukup telat untuk jadwal makan malam biasanya.

Mereka saat ini sedang menikmati makan malamnya berupa nasi liwet bersama yang dihidangkan di atas daun pisang di teras rumahnya. Angin sepoi-sepoi sedari tadi datang lalu pergi, seakan mereka sedang meminta izin untuk bergabung dalam kegiatan makan malamnya. Bulan di langit pun nampak indah, apalagi dipadukan langit hitam dengan ditemani bintang-bintang di sekitarnya. Makan malam yang cumup sederhana, namun penuh makna dan rasa.

Neng, aaa~” Fara sejujurnya malu ketika Mama Iis mulai memajukan tangannya untuk menyuapi dirinya dengan menu makanan kesukannya. Malu karena Aarash, Aariz, dan Kaila pun tidak disuapi oleh Mamanya.

Fara memajukan mulutnya untuk menerima cumi yang telah disodorkan Mama Iis. Semburat merah mulai tercipta kala makanan itu sudah ia kunyah dalam mulutnya.

“Aaaa~”

“Kenapa ai kalian?” heran Mama Iis melihat keempat anaknya sedang membuka mulutnya dengan kompak.

“Kita juga mau disuapin, bener nggak, Dek?” tanya Harri kepada ketiga adiknya, kemudian mereka mengangguk secara kompak. “Aaa~ Mama, Aaa~” Harri masih berusaha keras agar dirinya bisa mendapatkan sebuah suapan dari Mama tercintanya.

“Aaa~”

Mama Iis menggelengkan kepalanya, ia menghela napasnya sekilas melihat tingkah keempat anaknya yang sama sekali tak pernah terbesit dalam benaknya. Mau tak mau ia pun mulai menyuapi anak-anaknya secara satu persatu mulai dari si sulung hingga si bungsu.

Mama Iis mengernyitkan dahinya saat melihat seseorang di depannya pun ikut membuka mulutnya. “Kenapa ai Papa?” tanya Mama Iis penuh keheranan.

“Papa juga mau disuapin, Aaa~”

Gelak tawa pun mulai saling mereka lontarkan dan bersahutan satu sama lain. Tingkah Papa Asep sukses membuat atmosfer yang sudah hangat, kian semakin hangat. Makan malam kali ini dipenuhi canda dan tawa yang tak akan pernah ia lupakan begitu saja. Fara akan selalu mengingat momen berharga ini. Terlebih ketika ia disuapi, Fara sangat merindukan rasa kasih sayang seorang Ibu yang sudah lama tak pernah ia rasakan.


“Haaah~ kenyang banget!” ucap Fara setelah menghempaskan dirinya begitu saja di atas sofa. Kedua tangannya menempuk pelan perutnya seolah sedang memperlihatkan bahwa ucapannya tidaklah bohong.

“Abis makan nggak boleh tiduran ai kamu, bangun.” Harri meraih lengan Fara untuk membenarkan posisinya. Fara awalnya kesal, namun ketika sadar ini bukan kediamannya maka ia langsung mendudukkan dirinya.

Harri menolehkan wajahnya, ia menatap ragu sang kekasih atas ucapan yang ingin ia lontarkan. Padahal ucapan itu sudah berada di ujung lidahnya dan sudah siap ia ucapkan.

“Kamu kenapa?” tanya Fara, lebih dulu mengeluarkan suaranya saat melihat kekasihnya memperlihatkan raut keraguan.

“Mau cerita sekarang nggak?” Sebuah gelengan pun ia dapatkan atas pertanyaan yang baru saja ia lemparkan. Harri paham, perempuan itu jarang sekali bercerita secara empat mata. Padahal Harri sendiri lebih senang mendengarkan secara langsung dibandingkan harus melalui sebuah tulisan.

Harri mengelus pelan punggung Fara dengan lembut seakan melalui sentuhan itu ia sedang berupaya menyalurkan sebuah kata yang akan menenangkan perempuan berzodiak libra. “Ya udah, kalau mau cerita nanti chat aing aja, ya.” Fara mengangguk, untuk saat ini ia tak mau membuat suasana hatinya kembali kelam.

“Mau pulang sekarang?”

“Kamu ngusir aku bukan?” sahut Fara, mendramatisir keadaan dengan menundukkan kepalanya seolah telah tersakiti oleh ucapan lelaki itu.

“ENGGAK ANJIR, AING CUMAN TAKUT KEMALEMAN AJA MANEH PULANGNYA, YANG. BUKAN MAU NGUSIR!”

Fara terkekeh, kepalanya mendongkak dan menatap obsidian hitam yang sedang menatap ke arahnya. “Aku bercanda, nanti anterin aku ke Setia Budi ya. Aku lagi males pulang ke Kopo.” Fara meraih lengan Harri lalu memainkannya.

Harri, si pemilik lengannya yang sedang dimainkan oleh kekasihnya pun hanya bisa menatap kegiatan tersebut “Iya, heg.” (Iya, boleh.)

Harri memang tipikal yang menyukai segala sesuatu melalui sentuhan. Dirinya tidak terlalu pandai dalam bertutur perihal perasaannya melalui sebuah lisan, maka dari itu ia mampu menyalurkannya lewat sentuhan.

“Yang, ayo mabar!” ucap Fara antusias, saking antusiasnya genggaman mereka terputus begitu saja.

Harri nampak mendengkus ketika menyadari tautan mereka berdua terlepas.

Maneh udah download belum games-nya?” Fara mengangguk cepat. Ia segera meraih ranselnya dan mencari keberadaan benda pipihnya. “Udah, nih!” Fara mendekatkan ponsel miliknya ke arah Harri, berusaha memperlihatkan games yang biasa dimainkan oleh kekasihnya itu kini sudah tersedia di dalam ponselnya.

Aing berdoa supaya menang biar rank aing nggak turun ….”

Fara hanya bisa merespons ucapan yang terlontar di bibir manis kekasihnya penuh kebingungan. Masih banyak hal tentang games tersebut yang sama sekali belum ia kuasai.

Ruang tamu itu kini dipenuhi oleh suara-suara seperti; First blood!, An emeny has been slain!, Double kill., You have slain an enemy!, atau bahkan Ledendary!.

“YANG, YANG, YANG! TOLONGIN AKU DIKEJAR-KEJAR INI GIMANA, WOI!” Fara panik ketika menyadari ada lawan tim yang sedang berusaha mengejar dirinya, ia tak tahu harus melakukan apa hingga ia hanya berlari-lari saja.

“DI MANA ITU POSISINYA?!”

“NGGAK TAU, NGGAK TAU. SEMUANYA KELIATAN SAMA!”

Harri melirik dengan cepat posisi kekasihnya berada, ia saat ini sedang berusaha membunuh beberapa lawan tim yang sudah lebih dulu mendatanginya.”

“YANG, BERTAHAN AING MAU BUNUH SI HAMA DULU!”

You has been slain!

“YANG, AKU MATI!”

“ANYING PADAHAL AKU BARU AJA BILANG BERTAHAN DULU, BELUM JUGA ADA SEPULUH DETIK!”

Entahlah rasanya sangat sulit Fara deskripsikan saat mencoba permainan yang biasa dimainkan kekasihnya dengan teman-temannya. Ia ketika main selalu dibuat deg-degan sebab dirinya selalu dikejar tim lawan.

Fara terkekeh melihat reaksi Harri yang sedang memajukan bibirnya atas kekalahan dirinya dengan mudah dibunuh oleh tim lawan. Ia hanya bisa berdoa agar lelaki itu tak memarahi dirinya, terlebih ia takut apabila kekasihnya tak mau bermain kembali dengannya.


Kolase Asmara Alternate Universe.

by NAAMER1CAN0