KEGIATAN HARI MINGGU.
Ini menjadi kegiatan pertama yang Grace lakukan di luar lingkup sekolah. Tiga hari lalu dirinya diajak oleh Jagat untuk ikut ke salah satu panti asuhan yang biasa Jagat datangi. Satu fakta yang baru diketahuinya, bahwa Jagat menjadi salah satu donatur tetap di panti asuhan yang sedang dia kunjungi. Pandangan Grace terhadap lelaki itu semakin tampak terkagum. Di usianya yang masih terbilang muda, Jagat sudah banyak membantu orang-orang.
“Jadinya, nanti kita ngapain aja agendanya?” tanya Grace, ketika melihat Jagat sudah memarkirkan kendaraan roda duanya dengan sempurna.
Lelaki itu berjalan ke arahnya sembari merapikan pakaiannya yang mulai kusut akibat perjalanan yang telah dilaluinya. “Ngajar anak-anak baca, tulis, dan menggambar,” sahutnya. Mata Jagat menyipit, menelisik untuk menemukan seseorang yang sedang dicarinya. “Jaya belum sampai, ya?” tanya Jagat tanpa menolehkan wajahnya ke arah perempuan di sebelahnya.
“Tuh.”
Grace menunjuk sebuah mobil putih yang telah menampakkan dirinya ketika Jagat baru saja menanyakan keberadaan sang empu.
“Sebentar, ya, kamu tunggu di sini.”
Jagat berjalan menuju mobil Jaya berada setelah mengucapkan hal tersebut kepada perempuan yang masih setia berdiri di tempatnya. Grace hanya bisa menganggukkan kepalanya dan menatap punggung lebar itu yang mulai terlihat mengecil di matanya.
“Jay,” panggil Jagat, berhasil membuat Jaya menolehkan wajahnya.
Jaya menutup pintu mobilnya sebelum akhirnya berjalan menghampiri Jagat. “Oit.” Tangan itu terulur untuk memberikan sapaan kepada seseorang yang telah memanggil namanya.
“Aman?” tanya Jagat, menerima uluran sapaan itu dari Jaya.
Jaya mengangguk. “Aman, aing taro di kursi belakang.” Jaya mengacungkan jempol kanannya sebagai simbol bahwa semua yang sedang dikhawatirkan oleh Jagat aman terkendali olehnya.
Jagat melirik sekilas ke arah yang disebutkan oleh Jaya, sebelum akhirnya kembali menatap teman di hadapannya. “Ya udah, ayo kita bawa.” Baru saja Jagat akan melangkahkan kakinya, namun, tangan Jaya lebih dulu menghentikannya. Lantas, Jagat hanya bisa membalas dengan alis yang menaik.
“Semua dibawa sekarang?”
Awalnya Jagat sedikit terheran dengan pertanyaan itu. Namun seketika kerutan di dahinya sudah memudar saat dirinya mulai paham arah pembicaraan temannya itu.
Jagat menggeleng. “Nggak, kalau yang itu nanti.”
Jaya mengangguk lalu berjalan mengikuti langkah Jagat. Tak lama suara gemuruh motor pun menginterupsi kegiatan keduanya yang sedang membereskan barang-barang yang akan digunakan pada kegiatan hari ini.
“Woy!”
“Way, woy, way, woy. Bantuan anying, ai sia punya perasaan manusiawi mah,” ketus Jaya diiringi dengusan ketika melihat Aksara yang hanya menyapa tanpa berniatan untuk membantunya.
“Marah-marah wae ih!” Aksara mengelus dadanya. Kakinya mulai melangkah menghampiri kedua temannya yang sedang bersiap-siap untuk membereskan barang-barang yang akan digunakan nanti. “Kamu teh jangan marah-marah wae, nanti cepet tua.” Aksara mengelus punggung Jaya dengan pelan, bak orang tua yang sedang memberikan nasihat untuk anaknya.
“Bacot.”
Jagat hanya bisa menggelengkan kepalanya mendengar sebuah debatan yang sudah seperti makanan sehari-hari baginya. Mereka semua tiada hari untuk mendebatkan hal-hal kecil. Namun, siapa sangka bahwa debatan kecil itu malah membuat dirinya terhibur.
“Bawa masuk bukan ini, nyet?” tanya Harri untuk memastikan. Meskipun itu sebuah pertanyaan retoris dan tidak membutuhkan jawaban. “Iya.” Lantas, Jagat segera mengangguki ucapan Harri.
“Henteu, sia buang. Ada-ada aja anying- pertanyaan konyol sia,” hardik Rakha, bola matanya memutar malas ketika pertanyaan dari Harri tak sengaja memasuki gendang telinganya.
“Ih, ini teh kenapa sih teman-teman aing pada marah-marah semua!”
Perdebatan itu bagai angin lalu di telinga Fara yang kini sedang sibuk mengangkat sebuah box untuk segera dia bawa ke dalam panti asuhan. Jagat yang tak sengaja melihat pergerakan itu pun segera menghampirinya.
“Kamu nggak usah bawa, temenin aja Grace langsung masuk ke dalem.” Jagat merampas sebuah box yang berada di rengkuhan Fara. Tentu Fara terkejut dengan perlakuan itu, sampai akhirnya dia menyerahkan box tersebut dan segera menghampiri Grace yang sedang berdiri seorang diri sembari memandang ke arah mereka berada.
Aksara, Harri, Jaya, Rakha, dan Yolan menolehkan wajahnya ketika Jagat memerintah Fara untuk tidak membawa box tersebut. Sedetik kemudian mereka dengan kompak memutuskan pandangannya dan kembali saling melempar argumentasi yang sempat terhenti beberapa saat lalu.
Setelah berdebat sepuluh menit lamanya, akhirnya kini mereka semua sudah memasuki ruangan yang biasa mereka tempati untuk membantu mengajar dan bermain dengan anak-anak panti. Jagat menjadi orang terakhir yang memasuki panti asuhan, sedangkan teman-teman lainnya sudah lebih dulu berada di depan.
“Kak Jagat!”
Seruan tersebut membuat Jagat berjongkok dengan lututnya dijadikan tumpuan untuk menjaga keseimbangan tubuhnya. Box yang sedang dibawanya segera dia simpan ke lantai bersamaan dengan tubuhnya yang sudah siap dia sejajarkan dengan si kecil. Tangannya refleks membuka ketika maniknya tak sengaja menangkap seseorang yang sedang berlari ke arahnya.
Entah Jagat yang sedang kekurangan keseimbangannya atau karena si kecil yang terlalu bersemangat memeluknya, hingga pada akhirnya pantat Jagat sukses mencium lantai ruangan yang sedang ditempatinya.
“Apa kabar, cantik?” Tangan kanan Jagat terulur untuk mengelus rambut si kecil dan merapikannya. Sedangkan tangan kirinya dia bawa untuk mengusap punggung anak itu dengan lembut.
“Alhamdulillah Nia baik! Kak Jagat sendiri gimana?” Bola mata Nia melebar, memberikan sorot kebahagiaan dan meneduhkan bagi Jagat sendiri yang menatapnya.
“Baik, puji Tuhan Kak Jagat juga baik.”
Siapa sangka interaksi Jagat dan Nia sukses membuat Grace mengalihkan atensinya. Kedua kakinya yang sebelumnya sedang melangkah kini telah sukses terhenti dan asyik menatap interaksi dua insan di hadapannya.
Bagaimana cara Jagat berinteraksi dengan si kecil, lagi-lagi membuat Grace terpukau. Perlakuannya sama seperti perlakuan pada Aden yang beberapa saat lalu mereka temui di tempat Soto Ahri, Buah Batu. Perlakuan hangat bagi siapa pun yang melihatnya akan merasakan kehangatan yang sama.
“Kak, ayo kita mulai nulis-nulis!”
Grace mulai tersadar dari lamunannya ketika jari-jari yang dia biarkan begitu saja, digenggam oleh seorang anak kecil. Grace pastikan bahwa anak itu masih berusia sekitar lima-enam tahun terlihat dari suara dan tingkah lakunya.
Jagat menolehkan wajahnya ketika teriakan tersebut mampu menginterupsi kegiatannya dengan Nia; yang masih setia berada di dalam pelukannya. Presensi seseorang di depannya telah sukses membuat dirinya mengulas sebuah senyuman.
“Nia, cantik. Masuk, yuk?” ajak Jagat, tubuhnya yang semula berjongkok kini sudah sempurna berdiri. Tangan kanannya menggenggam erat tangan Nia, sedangkan tangan kirinya disibukkan untuk merengkuh sebuah box yang berisikan peralatan mewarnai.
“Kamu nggak ngajarin mereka?”
Pertanyaan secara tiba-tiba dari Grace sukses membuat Jagat sedikit terkejut. Dengan refleks Jagat menggeser tubuhnya agar Grace dapat duduk dengan nyaman di sebelahnya.
“Hai,” sapa Jagat disertai senyumannya. Jagat menggeleng pelan. “Nggak, saya nggak biasa ngajar di depan publik kayak gitu. Paling saya ngajar secara individu, secara empat mata.” Meskipun umur anak-anak panti yang masih terbilang muda, Jagat tetap tidak terbiasa dengan pusat perhatiaan yang akan menyoroti dirinya.
Grace mengangguk paham. Tidak berani untuk bertanya lebih lanjut karena di depannya kini sedang menampakkan Harri dan Yolan yang sibuk menjadi guru untuk anak-anak panti dalam kegiatan belajar membaca dan menulis.
“Kak Jagat, huruf z tuh kayak gini?” Si kecil mengangkat bukunya untuk ditunjukkan kepadanya yang lebih tua, sedang terduduk persis di belakang sang empu.
“Bukan sayang, itu kamu nulis huruf s. Huruf z mulai dari arah kiri terus kamu runcingin di bagian tubuhnya.” Si kecil kembali menundukkan kepalanya ketika Jagat membenarkan bagaimana cara penulisan huruf z yang benar.
“Gini?”
Jagat memperhatikan satu per satu huruf yang telah ditulis si kecil. Kepalanya dibawa naik turun setelah menyadari si kecil telah sukses dalam mencoba menuliskan namanya. “Pinter. Kan, kalau gini jadinya Zoe bukan Soe.” Tangan Jagat mengacak rambut sikecil lantaran gemas dengan tingkahnya. Namun, tak lama Jagat kembali merapikan rambut Zoe karena si kecil telah mengerucutkan bibirnya dengan sebal.
“Rambut kamu udah panjang, emang nggak gerah?” Zoe menggelengkan kepalanya. “Eh, iya deh, Zoe, kadang-kadang suka ngerasa gerah,” ralat si kecil disertai anggukkannya.
“Nanti bilang Ibu buat potongin rambut kamu, ya. Sedikit aja, biar kamu nggak kegerahan.” Jagat mulai meraih rambut Zoe, lalu mengepangnya seraya si kecil sibuk menuliskan beberapa kata yang sudah dituliskan oleh Harri di papan tulis.
Tanpa sadar Grace sedari tadi tersenyum melihat Jagat dengan Zoe saling melemparkan pertanyaan dan jawabannya. Bahkan, dua insan yang sedang berada di depan ruangannya pun tidak dia gubris sama sekali keberadaannya, karena terlalu sibuk memerhatikan eksistensi kedua orang di hadapannya.
Satu yang mulai disadarinya ketika kain hitam kecil itu yang semula melingkar pada pergelangan tangan Jagat, sudah berpindah pada rambut Zoe. Grace terkagum melihat jari-jari Jagat dengan lihat mengikat rambut si kecil tanpa kesusahan. Ingatannya pun kembali pada saat bagaimana lelaki itu membantu mengikatkan rambutnya di tengah-tengah kegiatan memasak.
“Hey, kok bengong?” Jagat mengibaskan tangannya persis di depan mata Grace, namun, sepertinya sang empu tidak menyadari keberadaannya.
Satu detik ... dua detik ... tiga detik ....
“Nggak. Nggak apa-apa, mau aja.”
Grace merutuki dirinya sendiri menyadari kejadian yang baru saja dialaminya. Dirinya terlalu berlarut dalam pikirannya sehingga melupakan sekitar. Terlebih melupakan satu fakta bahwa dia sedang memandangi interaksi antara Jagat dan Zoe.
“Kak Jagat.”
Jagat bisa memastikan bahwa ini bukanlah suara anak kecil yang masih berusia empat hingga enam tahun. Jagat bahkan rela untuk berdiam diri sejenak untuk memastikan saat panggilan itu memenuhi gendang telinganya.
“Kak Jagat.”
Lantas, Jagat menolehkan wajahnya ke arah samping dan menampilkan seorang perempuan sedang tersenyum ke arahnya.
“Kenapa manggil saya kayak gitu?” Sebelumnya tangan Jagat disibukkan untuk memeluk kedua tututnya. Namun, ketika panggilan itu dilontarkan oleh perempuan di sebelahnya membuat Jagat secara otomatis menegakkan tubuhnya.
“Lucu panggilannya. Halo, Kak Jagat.” Tangan Grace melambai, memberikan sebuah sapaan bak orang asing yang sedang saling menyapa satu sama lain.
Ucapan dari Grace sukses membuat Jagat tersipu. Dia berdeham dengan harapan rasa gugup dan salah tingkahnya akan menghilang, namun, dewi fortuna seperti tidak mengizinkannya untuk dia bernapas sejenak.
“Halo, Kak Jagat kok nggak bales sapaan aku?”
“Mega—”
“Eh punteun ya ini mah tolong untuk dua kakak yang sedang duduk berdua di belakang sambil senyum-senyum, tolong, kita teh lagi belajar. Jangan pacaran dulu.”
“Ciee!” ledek anak-anak secara kompak. Membuat suara riuh menggema diberbagai penjuru ruangan.
Kini bukan hanya Jagat yang sedang menahan rasa salah tingkahnya, namun, Grace pun merasakan hal tersebut ketika dia dengan lelaki di sampingnya mendapatkan sebuah ledekan dari satu ruangan yang sedang ditempatinya.
“Brengsek, Harri,” gumam Jagat dalam hati. Mata Jagat menatap lelaki itu dengan penuh penekanan, namun, sang empu tidak mengindahkan tatapannya. Harri justru membalas reaksi Jagat dengan menjulurkan lidahnya.
“Kak Jagat sama Nia, Kak Grace sama Zoe, ya. Kita lomba menggambar paling bagus dan paling cepet. Oke?”
“Oke!” sahut Nia dan Zoe dengan semangat.
Keempat orang itu mulai bersemangat untuk mengoleskan beberapa krayon di atas selembar kertas putih yang hanya terisikan oleh garis-garis hitam.
“Cantik, Kak Jagat mau pinjem warna coklatnya, dong.” Tangan Jagat sudah menengadah berharap agar si kecil memberikan krayon sesuai dengan permintaan warnanya. Akan tetapi, si kecil tak kunjung memberikannya.
“Kok dikacangin?”
“Kak Jagat mau warnain apa kok warna coklat?” Nia yang sedari tadi sibuk mewarnai pohon pun perhatiannya mulai terpecah.
“Warnain ini,” tunjuk Jagat. Alis Nia mengerut saat menyadari yang lebih tua salah dalam memilih warna.
“Ih, itu kan rumput! Kok rumput warnanya coklat, sih?”
Jagat kembali memerhatikan gambar di depannya, namun, yang dilihatnya hanyalah sebuah tanah. Sehingga dirinya berinisiatif untuk mewarnai dengan warna coklat.
“Oh, rumput ya ... oke, Kakak salah.”
Grace tidak bisa menahan gelak tawanya. Dirinya terkekeh pelan tatkala telinganya tak sengaja mendengar sebuah perdebatan dari lawan mainnya.
“Kak Jagat makanya yang fokus dong!” ledek Grace. Jagat membalas ledekan tersebut dengan memutarkan bola matanya.
“Zoe, Zoe, Kak Jagat itu sombong tau. Masa, ya, Kak Grace kalau manggil nggak pernah dijawab. Kamu liat, ya,” bisik Grace dengan pelan pada Zoe. Zoe yang mendengar ucapan Grace hanya bisa mengerjapkan matanya dengan cepat. Tak sabar melihat apa yang akan diperlihatkan oleh yang lebih tua.
“Kak Jagat.”
“Kak Jagat, halo.”
“Kak Jagat sombong.”
Jagat menarik napasnya perlahan lalu membuangnya saat panggilan itu sudah diucapkan Grace sebanyak tiga kali. Dan sebanyak itu Jagat tidak menggubris panggilannya.
“Tuh, kan, sombong. Coba deh kamu yang panggil.”
Zoe mengangguk, merasa tertantang. Tangannya yang semula menggeggam sebuah krayon sudah dia lepaskan dan menatap yang lebih tua dengan penuh semangat.
“Kak Jagat.”
“Kak Jagaaaat.”
“Kak Jagat, ish!”
Jagat memejamkan matanya sejenak, lalu menolehkan wajahnya kepada tim sang lawan. Merasa sudah terganggu dengan sebuah panggilan-panggilan secara terus menerus menyebutkan namanya. “Apa sayang?” jawab Jagat.
Lantas, Zoe segera menggeleng dan kembali menatap Grace yang berada di sampingnya. “Itu panggilan Zoe dijawab, kok. Coba Kak Grace sekarang panggil lagi!”
Grace terheran ketika panggilan dari si kecil tak harus menunggu lama untuk dijawab. Sedangkan panggilan darinya tak pernah direspons oleh sang pemilik nama tersebut.
Grace menarik napas terlebih dahulu sebelum akhirnya dia mengucapkan, “Kak Jagat!”
“Apa sayang?” sahut Jagat, tanpa menolehkan wajahnya. Sang empu masih terfokus dengan gambar yang sedang diberi polesan krayon-krayon itu.
Maka, Grace terdiam ketika mendengar jawaban tersebut. Jantungnya mulai berdebar, pun dengan kedua bola matanya yang sudah melebar.
Entah sadar atau tidak sadar Jagat mengatakan hal tersebut, karena kini sang empu masih asyik mengoleskan krayon warna-warninya ke sebuah gambar yang kini sudah hampir sepenuhnya terwarnai.
“Kak Grace, itu dijawab!” seru Zoe, menampilkan binaran di kedua bola matanya.
Grace mengangguk kecil. “I-iya.” Dan kembali mengatupkan bibirnya.
Gambar hasil Jagat dan Nia:

Gambar hasil Grace dan Zoe:

Jij Bent Mooi Alternate Universe.
by NAAMER1CAN0.