Kehilangan rumah.
“Lu bener-bener baik-baik aja, 'kan?”
Nalen mengangkat alisnya seiring dengan pertanyaan yang baru masuk ke dalam gendang telinganya. “Baik, kenapa emang?”
Yudi menggelengkan kepalanya. “Enggak, gua kayak ngerasa akhir-akhir ini lu sering ngelamun. Lebih lesu, kayak nggak ada semangat hidupnya lagi.” Nalen hanya tertawa, tak ada sedikit pun niatnya untuk membalas perkataan itu.
“Lu gimana kerjanya Bang, aman?” tanya Nalen, kedua maniknya menatap ke arah yang lebih tua.
“Aman kok, cuman masih sedikit canggung karena masih baru,” sahutnya. “Oh iya, Oma gimana? Sehat?”
Sesuai dugaannya, pertanyaan ini lambat laun pun akan dilontarkan. Ia sedang menimang-nimang untuk menjawabnya, haruskah menjawab secara jujur atau sebaliknya?
“Ini dibungkus semua, A?” Mereka pun dikejutkan oleh pertanyaan itu, lalu dengan kompak mereka menolehkan wajahnya kepada sumber suara dan langsung menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. “Iya Pak, semuanya dibungkus. Nanti dipisahin ya Pak, dijadiin sepuluh-sepuluh.” Amang sate pun hanya mengacungkan jempolnya di udara.
Untung saja penjual sate tersebut bertanya pada tepat waktu, hingga dirinya tak perlu bersusah payah untuk menjawab pertanyaan itu. Harusnya sejak kembali ke kontrakan ia menghindari Yudi. Entah bagaimana Yudi bisa mengetahui suasana dirinya akhir-akhir ini. Mereka tidak mengetahui alasan dirinya tidak turut menghadari acara wisuda para tertuanya, yang mereka ketahui bahwa dirinya sedang merindukan rumahnya. Padahal bahkan rumahnya pun sudah hilang.
“Eh Nalen,” panggil pria asing. Nalen dan Yudi pun menolehkan wajahnya kepada sumber suara. Tercetak jelas garis memanjang pada dahinya sebagai tanda ia kebingungan siapa yang memanggil namanya.
“Oi Kale,” jawabanya sambil berjalan untuk memberikan sapaannya.
“Bang,” sapa Kale- teman satu kelas Nalen- pada Yudi dan kemudian dijawab anggukkan.
“Lah, gua kira lu di sc bantuin angkatan dekor?”
“Oh iya, kerjain tuh tugas bego, ngulang tau rasa lu,” lanjutnya. Lagi-lagi Nalen hanya tertawa dan memukul sedikit pundak temannya. “Iye, nanti gua kerjain elah. Btw thanks Le udah mau bantuin gua, bantuan lu sangat berharga.”
“Siap sama-sama, sorry ya gua nggak bisa ke surabaya. Gua cuman bisa ngucapin turut berduka cita.”
Yudi menegakkan tubuhnya. Sebentar apa katanya? Berduka cita? Siapa yang berduka?
Nalen yang mendengar perkataan itu hanya bisa diam mematung. Pasalnya ia tidak memberitahu anak-anak kontrakan perihal meninggal Oma-nya. Ia melirik Yudi yang terduduk di bangku melalui ekor mata kanannya. Sial.
“Sorry, siapa yang berduka, ya?”
“Oma-nya Nalen, Bang,”
Bagai dihempas pada bebatuan karang di pesisir pantai. Kakinya kini melemas, ia mungkin akan ambruk jika tak segera mendudukan kembali pada sebuah kursi si belakangnya. Bibir Nalen seakan kelu, tenggorokkannya mulai mengering. Bahkan untuk berucap satu kata pun sangat sulit.
“Yaudah gua duluan ya Len, Bang,” pamit Kale. “Sekali lagi turut berduka cita ya, Len.” Kale menepuk pundak temannya sebelum ia benar-benar pergi.
“Bilang sama gua, itu bohong 'kan?”
Bak tuli, kini telinganya tak mampu mencerna perkataan dari abangnya. Bibirnya masih mengatup dengan sempurna. Pertanyaan itu bagai angin lalu untuknya, bahkan ia sendiri sangat enggan untuk mengadahkan kepalanya. Batu-batuan di tanah lebih menarik untuk ia lihat dibandingkan dengan netra pria di hadapannya.
“Please ... bohong 'kan Len?”
Nalen tidak menjawab, namun ia menatap mata abangnya. Terlihat jelas kilatan kesedihan yang terpancar. Hati Yudi mencelos saat melihatnya. Jika tidak dalam keadaan seperti ini mungkin dirinya akan menangis dengan keras.
***
Setelah mengantar pesanan dari para penghuni kontrakannya, Yudi terburu-buru sambil menarik lengan adiknya untuk mengikuti langkah kakinya.
Di sinilah mereka berada, di sebuah taman kontrakannya. Yudi mengusap wajahnya dengan kasar, rasanya ia sangat sulit untuk berkata. Hatinya begitu pilu.
“Len, sumpah gua heran. Kenapa lu tutupin, Anjing.” Yudi mengacak surainya dengan kasar. Ia sangat kecewa dengan kenyataan yang baru diketahuinya beberapa saat yang lalu. “Sebegitu nggak percayanya lu sama kita? Gua kurang apa sih Len, bahkan gua udah nganggep lu kayak adik gua sendiri,” lanjutnya. Kedua tangannya ia bawa untuk mencengkram kerah baju yang lebih muda. Sorot kekecewaan pun tercetak jelas pada maniknya.
“Maaf Bang ... gua waktu itu ...,” henti Nalen. Ia pejamkan matanya sekilas, rasa sesak di dadanya mulai muncul kembali. Rasa yang paling ia benci. Rasanya sangat sakit bila dirasakan.
” ... waktu itu percis di mana besok kalian bakalan wisuda. Gua udah mau ancang-ancang buat tidur, tapi ternyata gua dapet kabar kalau misalnya Oma kritis dan masuk IGD. Gua di situ kalut dan langsung pergi ke Surabaya. Tapi, belum sempet nyampe rumah sakit ... Oma ... Oma dipanggil duluan-” Ia menundukkan kepalanya. Kedua tangannya ia bawa untuk menutupi wajahnya. Entah bagaimana kini cengkraman pada kerah bajunya sudah melonggar, “-gua waktu itu bener-bener hancur Bang ... padahal kalau misalnya gua waktu itu lebih cepet mungkin bisa ketemu dan ngobrol sama Oma buat terakhir kalinya. Nyatanya Tuhan nggak merestui hal itu,”
“Maaf gua waktu itu sempet hilang, maaf ... gua cuman nggak mau ngerusak suasana bahagia kalian, itu aja.”
Tak kuasa menahan tangisnya, kini bulir-bulir air mata itu mulai terjatuh. Air mata itu jatuh beriringan dengan sebuah tangan yang mendekap tubuhnya. Ia tenggelamkan wajahnya pada pundak itu. Bahkan ia pernah berjanji untuk selalu memberikan pundaknya untuk orang-orang yang ia sayangi, tapi ternyata ia lupa bahwa dirinya pun samanya membutuhkan pundak untuk sekadar bersandar.
“Maaf. Maaf gua nggak bisa dateng pada hari itu. Maaf gua nggak bilang tentang hal ini, gua takut Bang. Gua takut terlihat lemah di mata lu semua, gua takut terlihat menyedihkan, bahkan sekarang gua takut buat jadiin lu semua rumah gua Bang. Gua takut.”
Diam-diam air mata Yudi pun mengalir, namun dengan cepat ia hapus jejak air mata tersebut. Saat ini ia sedang menjadi tempat untuk adiknya bersandar.
Tak sengaja mendengar. Jio kini hanya bisa terduduk dengan lemas. Niatnya ia akan memanggil kedua abangnya untuk makan bersama, namun berakhir mendengar cerita yang seharusnya tak ia dengar. Sadar dengan sosok itu, Nalen pun segera menegakkan kembali badannya dan menghapus air matanya dengan cepat. Ia berjalan ke arah Jio dan membantunya untuk berdiri.
“Abang ...,” lirih Jio saat merasakan Nalen membantunya untuk berdiri. Bukannya menjawab Nalen hanya tersenyum seakan hal yang baru saja ia ceritakan tak pernah terjadi.
“Ayo bangun, kita makan.”
Jio pun mulai berdiri, namun tetap kakinya masih terasa lemah untuk sekadar ia langkahkan. Namun berkat bantuan tangan Nalen, sehingga ia bisa berjalan dan kembali duduk pada tempatnya asal.
Mungkin sedihnya sudah terlalu banyak. Air matanya sudah banyak terkuras, hingga kini ia hanya bisa menangis dalam diam. Ia harus terlihat baik-baik saja, ia tak mau dianggap lemah. Ia kuat.
“Anjing, gua gagal ... sorry.” Yudi hanya bisa berucap pada dirinya sendiri. Tanpa sadar air bening pun mulai menetes pada kedua pipinya. “Gua benci liat lu sok kuat, gua benci lu pura-pura baik-baik aja. Gua benci itu Len.” Punggung yang ia tatap pun kini sudah menghilang pada pandangannya.
Story of Nalen Universe.
by NAAMER1CAN0