KESEMPATAN TERAMAT LANGKA


Derap langkah berbondong-bondong dibunyikan dengan lantang oleh kedua insan yang tengah berjalan menyusuri koridor kelas sepuluh. Kemudian tak lama derap langkah tersebut saling bersahutan dan terendam oleh percakapan dari orang-orang yang mereka lewati. Laki-laki dengan tubuh lebih tinggi dua sentimeter dari orang di depannya itu sesekali menengadahkan kepala untuk sekadar menatap dan memberikan sebuah senyuman kepada orang yang telah memanggil namanya.

Kemudian tak lama senyuman itu hilang dan tergantikan oleh raut penuh tanya. “Naha eureun?[1]” tanya Jaya setelah menyadari laki-laki itu menghentikan langkahnya secara tiba-tiba membuat dirinya mau tak mau mengikuti hal yang sama—menghentikan langkah.

Kenapa berhenti? [1]

Harri memutar tubuh disertai dahi yang mengernyit. “Lah, lainna ieu kelas budak eta teh? [2]” Harri menunjuk kelas di depan lengkap dengan kedua mata tak absen untuk melirik papan kelas tersebut.

Lah, bukannya ini kelas anak itu tuh? [2]

“Sepuluh IPA tujuh, tolol!”

Naha atuh sia teu ngomong! Kata aing mah harusnya sia yang jalan di depan, bukannya malah aing! [3]” timpal Harri, tak ingin disalahkan secara sepihak.

Kenapa lo nggak ngomong! Kata gue, sih, harusnya lu yang jalan di depan, bukannya malah gue! [3]

Jaya tak menggubris ucapan Harri, melainkan ia lebih memilih untuk mendorong punggung laki-laki itu agar kembali melanjutkan perjalanan yang sempat terhenti beberapa sekon lalu. Sementara, laki-laki yang dipaksa sebelah pihak itu hanya bisa menghela napas sembari mengikuti perintah Jaya dengan puluhan kalimat sumpah-serapah yang telah ia luapkan dalam hati.

“Apa?” Jaya dibuat heran untuk sekian kalinya, sebab alih-alih mengucapkan secara vokal, laki-laki itu justru menatapnya secara bergantian dengan ruangan di depan mereka.

Harri berdecak kesal disertai kedua mata yang memutar. “Ya, sia ngomong sendirilah sana. Masa harus sama aing-aing lagi?!” Tepat setelah menyelesaikan ucapannya, Harri membawa kedua kakinya untuk mendekati dinding di belakang, menyandarkan sembari menunggu Jaya menyelesaikan urusannya.

Harri tak segan untuk melantunkan tawa saat melihat tingkah laku temannya itu seperti tengah kebingungan dalam mencari seseorang. Bukannya ia tak ingin membantu, hanya saja Harri sendiri sengaja berdiam diri agar Jaya bergerak untuk menyelesaikan urusannya sendiri. Pun, ia memiliki maksud terselubung lain di dalamnya.

Ramai. Itulah satu penggambaran suasana yang telah berhasil menyita perhatian Jaya siang ini. Para siswa-siswi yang tak henti berlalu-lalang, jeritan bercampur gelak tawa itu diam-diam berhasil membuat Jaya secara tak sadar menelan saliva. Ia makin dibuat gugup setelah menyadari bahwa suasana di depannya ini teramat asing untuknya.

Tenggorokan Jaya seolah tercekat, padahal kedua kakinya sudah berada persis di depan pintu kelas tersebut. Dalam hitungan detik seharusnya ia mampu mengeluarkan suara untuk sekadar menginterupsi beberapa aktivitas orang di dalam sana, namun sepertinya ia harus mengurungkannya kembali hingga rasa percaya itu datang.

Ketika hendak ingin mengeluarkan suara, siapa sangka bahwa seorang gadis dengan rambut berwarna hitam sebahu di dalam kelas sana lebih dulu mengarahkan pandangan kepadanya. Mata mereka saling beradu untuk beberapa detik, sebelum salah satu dari mereka akhirnya memutuskan pandangan tersebut secara sepihak.

Jaya berani sumpah ia sendiri tak bisa mendengar suara gadis itu, namun entah mengapa kedua matanya dapat menangkap jelas bagaimana ketika orang tersebut menyerukan namanya disertai sebuah senyuman yang terukir pada wajah gadis itu. Sontak hal itu secara sadar tak sadar membuat Jaya membalas senyuman itu secara sekilas.

Laki-laki itu membawa langkahnya untuk mundur beberapa langkah, menyisakan ruang untuk para siswa dan siswi melintasi jalan tersebut tanpa harus bersusah payah memutar jalan, yang bahkan jika hal itu dilakukan cukup memakan waktu yang banyak.

Rasanya saat ini juga Jaya ingin melafalkan ribuan kalimat sumpah-serapah ketika kedua matanya tak dapat menemukan sosok laki-laki yang semula tengah asyik menyandarkan punggung pada dinding belakang yang tak jauh dari tempatnya berpijak. Ketika ia sedang sibuk mencari keberadaan temannya, tiba-tiba saja sebuah suara berhasil kembali menginterupsi, suara yang masih terdengar cukup asing di telinga laki-laki itu. Maka, tanpa harus membuat sang empu menunggu lama, Jaya dengan cepat memutar tubuh untuk berhadapan dengan orang tersebut.

“Kak Jaya sendirian ke sininya?”

Di antara semua kalimat yang mungkin dapat gadis itu serukan, entah mengapa pertanyaan itu terlontar begitu saja di luar dugaan. Padahal semula ia sudah menghafal dialog apa yang akan ia ucapkan apabila berhadapan dengan kakak kelas itu nanti. Ingin kembali mengurungkan pertanyaan itu, namun dengan cepat ia dibuat diam saat laki-laki itu menggelengkan kepala, menjawab atas pertanyaan yang sudah ia tuturkan.

“Nggak, berdua sama Harri tapi anaknya lagi nggak tau ke mana.” Syifa merespons jawaban dari kakak kelasnya itu dengan menganggukkan kepala.

“Syifa,” panggil Jaya, berhasil membuat gadis itu menengadahkan kepala untuk memandang ke arah laki-laki itu disertai kernyitan tercetak pada dahi sang puan. “Jaya udah bisa ambil dompetnya sekarang?” lanjut Jaya dengan kedua mata masih asyik menatap netra seorang gadis di depannya.

Syifa spontan menepuk dahi kala menyadari bahwa seharusnya ia segera menyerahkan barang kakak kelasnya yang sudah ia bantu amankan. Lagi pula sudah jelas bukan alasan mengapa laki-laki itu susah payah mendatangi kelasnya, tak ayal untuk mengambil barangnya yang tertinggal ketika pelajaran Prakarya dan Kewirausahaan (PKWU) berlangsung. Beruntungnya ia dapat memutar otaknya dengan cepat sehingga mengambil kesempatan itu untuk ia manfaatkan berinteraksi dengan kakak kelas yang disukainya.

“Oh iya!” Syifa segera merogoh kantong rok sekolah demi meraih barang yang telah dipinta sang empu. “Bener yang ini, kan, dompet Kak Jaya nya?” Syifa mengangkat dompet itu sembari memutarnya sebelum akhirnya ia serahkan kepada Jaya yang telah menengadahkan tangan kanan persis di depan tubuhnya.

“Iya, itu punya Jaya.”

Tanpa harus memastikan dengan rinci pun Jaya sudah teramat mengenali barang yang tak pernah absen ia bawa ke mana pun. “Makasih, ya, Syifa.” Jaya memberikan sebuah senyuman singkat di sela-sela kegiatan berusaha memasukkan dompet itu kembali pada tempatnya.

“Eh, Kak!”

Jaya mengangkat salah satu alisnya seolah sedang menunggu sang empu akan melanjutkan ucapannya.

“Dicek dulu isinya takut ada yang ilang, walaupun Syifa nggak ngambil, tapi tetep harus dicek dulu!”

Dompet berwarna coklat itu yang sudah tersimpan rapi pada saku celana belakang, mau tak mau kembali ia tarik keluar dan mengikuti permintaan seseorang di hadapannya untuk memeriksa isi dompetnya sendiri.

“Gimana, Kak? Isinya udah lengkap kayak waktu sebelum hilang belum?” tanya Syifa penasaran, sebab laki-laki itu hanya diam yang mana hal itu kontradiktif dengan jemarinya yang lihai membolak-balikkan beberapa lembar uang miliknya.

Jaya merapikan kembali uang tersebut, lalu memasukkan dengan hati-hati ke dalam dompetnya. “Ini waktu Syifa nemu dalam keadaan kebuka atau ketutup?” tanya Jaya, sesekali bergantian mengalihkan pandangan dari dompet tengah ia genggam dengan gadis di hadapannya.

Syifa terdiam untuk beberapa saat. Gurat halus yang semula tercetak jelas pada dahinya itu perlahan berubah menjadi gurat tebal disertai dengan kedua mata menatap tajam ke arah dompet laki-laki itu. “Ada yang hilang, Kak?” Pertanyaan yang baru saja dilontarkan itu, berharap dibalas sebuah gelengan kepala, namun harapannya itu harus ia tepis jauh-jauh ketika laki-laki itu justru memberikan gestur yang bertolak belakang dengan keinginannya—menganggukkan kepala.

Bola mata Syifa sontak membulat sempurna disertai mulut yang menganga. “ILANG BERAPA, KAK?!” Bagaimana tak terkejut ketika mengetahui suatu fakta bahwa uang dari barang yang telah ia temukan hilang.

Alih-alih menjawab, Jaya justru terdiam dengan kedua mata terus terarah pada gadis itu. Diam-diam ia melantunkan tawa yang teramat kecil ketika melihat raut wajah gadis di seberangnya.

Sementara gadis itu tak luput untuk mencoba memastikan seluruh isi kantong dalam seragam sekolahnya, kendati ia sendiri tak mengambil uang itu. “Kak Jaya?” ucap Syifa di sela-sela kegiatan merogoh isi kantong seragam. “Uang Kak Jaya ilang berapa?” lanjut Syifa, menengadahkan sejenak kepala untuk sekadar menatap kedua mata laki-laki itu yang tak kunjung menjawab ucapannya.

“Bercanda.”

Dahi Syifa mengerut seiring dengan kedua tangan yang terhenti secara paksa. “Hah?” Gadis itu memiringkan sedikit kepalanya, berusaha mencerna ucapan yang baru saja ia dengar.

“Uangnya nggak ada yang ilang,” timpal Jaya tak ingin membuat gadis itu makin kepikiran oleh kata-katanya. “Jaya bercanda aja tadi.” Lantas, setelah menyelesaikan ucapannya, Jaya menarik ujung kedua bibirnya membentuk sebuah kurva sangat indah. Laki-laki itu tersenyum sampai kedua matanya turut menghilang bersamaan dengan suara tawa yang melantun rendah.

Seharusnya Syifa kesal ketika menyadari bahwa kakak kelasnya itu telah menjahilinya. Namun bukannya ia sibuk mencaci maki kakak kelas itu, ia malah terdiam—sibuk menatap dan memperhatikan bagaimana ketika laki-laki di depannya tengah memamerkan sebuah senyuman yang sama sekali belum pernah ia lihat sebelumnya.

Degup jantungnya berpacu cepat seakan ia telah berlari puluhan kilometer selaras dengan kedua pipinya ikut merona secara perlahan. Bak tersihir oleh adegan di hadapannya, secara tak sadar Syifa ikut terbuai dan mengikuti laki-laki itu untuk melantunkan sebuah tawa. Sebagian orang yang melewati mereka hanya bisa saling melemparkan tatapan penuh tanda tanya.

“Ehem.” Jaya berdeham selepas menyadari bahwa mereka berdua berhasil menjadi pusat perhatian sebagian orang yang berlalu-lalang. “Kalau gitu makasih, ya, Syifa,” Jaya menghentikan sebentar kalimatnya untuk sekadar menelan saliva sembar sesekali menggaruk belakang kepala yang tak gatal. “Makasih udah bantu amanin dompet Jaya.” Senyuman itu kembali Jaya layangkan sebagai ucapan terima kasihnya, sebab tanpa bantuan adik kelasnya itu mungkin hingga saat ini ia tak dapat menemukan dompetnya.

“Sama-sama Kak Jaya. Lain kali hati-hati, ya, naro dompetnya, kalau bisa kunci aja pakein gembok biar nggak ilang-ilang lagi!”

Jaya terkikik geli. “Iya, Syifa.”

Baru saja Syifa akan melangkah pergi, akan tetapi sebuah suara kembali menginterupsinya. “By the way, Syifa nggak ke kantin?” tanya Jaya.

Syifa mengangguk sembari tak lupa memamerkan senyuman yang setia menghiasi paras eloknya. “Ke kantin, tapi tadi ada urusan dulu. Jadinya abis beres urusan itu Syifa bakalan ke kantin,” balas Syifa, “Kak Jaya sendiri nggak ke kantin?” Syifa melayangkan pertanyaan serupa yang semula Jaya berikan untuknya.

“Ini mau ke kantin, sekali lagi makasih, ya, Syifa. Kalau gitu Jaya duluan.”

Sebuah lambaian tangan Syifa berikan dengan penuh rasa malu-malu. Terbesit nada sebuah kekecewaan setelah melihat laki-laki itu membalikkan tubuh dan perlahan menjauhi dirinya. Padahal jauh di dalam lubuk hatinya menyimpan sebuah rasa keinginan untuk bersama laki-laki itu lebih lama, setidaknya hingga bel sekolah berkumandang. Namun, tentu saja keinginannya itu tak dapat dikabulkan terbukti dengan sosok laki-laki itu kini telah menghilang sepenuhnya.

“Baru sadar ternyata punya lesun pipi.”

“Siapa yang punya lesun pipi, Jang?”

Jaya tersentak ketika sebuah kalimat tiba-tiba saja menimpali ucapannya tanpa permisi. “Anjing, aing kaget!” Sedangkan sang tersangka yang telah membuat Jaya terkejut hanya bisa tertawa tanpa mengucapkan permintaan maafnya.

Sia dari mana aja, tolol!”

Harri menepis cepat sebuah tangan yang akan memukulnya, beruntungnya ia memiliki tingkat refleks yang tinggi. “Aing dari tadi diem di kelas IPA 2, di kelasnya si Juju. Tapi kata aing teh kenapa aing tiba-tiba ditinggalin. Marah pisanlah sia nggak tau diri, Jang!” Tangan kanan Harri yang sebelumnya mencengkeram erat pergelangan tangan Jaya, kini beralih untuk merangkul pundak temannya itu.

Ucapan dari Harri dianggap angin lalu oleh Jaya, sebab hingga pada detik kesepuluh nampaknya laki-laki itu belum terlihat akan membalasnya. Hingga pada akhirnya sebuah helaan napas terdengar jelas oleh telinga sebelah kirimya.

“Siapa ini teh yang punya lesun pipi, Jay?”

“Kepo.”

Jaya melepaskan rangkulan pada pundaknya, lalu kedua jemarinya bergerak untuk menoyor kepala laki-laki itu sebelum akhirnya ia berjalan mendahului sang empu yang masih sibuk memaki dirinya.

Anying, sumpah sia salah satu makhluk pribumi yang nggak tau diri, Anying Jajang!”


Puspas Niskala Universe.

by NAAMER1CAN0