Ketemu


Dari awal Jagat berniat untuk mempertemukan anak-anak Brokat dengan Solurds, namun dirinya sedikit ragu mengingat perbedaan bahasa yang akan menghambat komunikasi untuk kedua belah pihak temannya.

“Mana temen lu di Bandung, Jal?” tanya Hartigan sambil celingak-celinguk mencari keberadaan temannya itu. Jagat pun ikut mencari keberadaan teman-temannya karena mereka tidak datang bersama.

“Woi, Ler.”

Merasa terpanggil, Jagat pun menolehkan wajahnya ke arah sumber suara, dan benar saja teman-temannya baru saja sampai.

“Ini kenalin teman saya dari Jakarta dari paling ujung kiri ada Samuel, Hartigan, Horace, dan yang paling ujung kanan ada Farzan,”

“Kalo ini dari paling kanan ada Harri, Jaya, Yolan, Aksa, dan Rakha yang di ujung kiri sana.”

Jagat memperkenalkan satu persatu temannya. Mereka pun hanya menganggukkan kepalanya sebagai tanda perkenalan satu sama lain, canggung rasanya setelah melihat bahwa terlihat perbedaan satu sama lain.

Anying anak kota pisan eta tampilanna, beda jeung si Jagat. Aing jadi curiga.” (Anying anak kota banget itu tampilannya, beda sama si Jagat. Gua jadi curiga.) Rakha berbisik kecil tepat di telinga Aksa. Aksa pun setuju dengan pendapat Rakha bahwa ia pun merasakan keganjalan setelah melihat dari teman Jakartnya.

“Mau main ke mana ini, Ler?”

What? Who’s Ler?

“Galer, panggilan Jagat,” jawab Harri.

Farzan memberikan tatapan tak percayanya. Bagaimana bisa temannya itu dipanggil dengan sebutan yang … sedikit vulgar?

What the fuck … for real?

Anying Hag, si eta apaleun arti Galer sigana,” (Anying Hag, dia tau arti Galer kayaknya.) bisik Aksa yang kemudian dianggukki Harri. “Galer mah pan lain bahasa sunda ai sia, makana si eta ngarti. Tapi da maksud aing mah lain kadinya manggil Galer teh.” (Galer kan bukan bahasa sunda, makanya dia ngerti. Tapi kan maksud gua tuh bukan kesitu manggil dia Galer.)

“Udah udah nggak apa-apa,” tenang Jagat pada Farzan, “terserah kalian aja mau kemana, kita ngikut.”

Akhirnya setelah berdebat antara pergi ke Braga atau Asia Afrika, sebagian besar dari mereka pun menyetujui untuk pergi ke Asia Afrika. Anak-anak Brokat tidak tahu harus memilih pergi kemana, namun setelah mendengar kata Asia Afrika seperti tempat yang menarik jadi mereka memutuskan untuk memilih tempat tersebut.

Hayu,” ajak Yolan sambil melangkahkan kakinya lebih dulu untuk menuju kendaraan umum.

“Tapi mobilnya—“

“Kita naik angkot,” jawab Rakha memotong pembicaraan Samuel yang belum selesai untuk diucapkan. Samuel sedikit geram karena ini kali pertamanya ada seseorang yang berani memotong pembicaraan orang.

Dahi Hartigan menyatu memberikan garis-garis halus yang tercetak jelas. “Angkot itu apa?”

“Angkutan Kota, kendaraan umum semacem taksi versi murah,” jawab Jaya.

“Seratus ribu?” Hartigan kembali bertanya pada pria di sampingnya yang sempat menjawab pertanyaannya beberapa saat lalu. “Apanya seratus ribu?” tanya balik Jaya sambil menaikkan alis kanannya.

“Naik angkot katanya murah, berapa emang? Seratus ribu sekali naik?”

Aneh. Jaya tak habis pikir orang di sebelahnya ini orang yang habis keluar dari Gua kah?

“Seratus ribu itu bisa buat maneh balik ke Jakarta,” jawab Jaya asal. Ia sejujurnya merasakan lelah saat mengetahui pria yang baru ia kenal ini banyak bertanya.

Wow impressive,” takjub Hartigan. Ia pun berlari ke arah depan untuk sekadar memberitahukan kepada teman-temannya agar esok hari pulang menggunakan angkutan umum saja untuk kembali ke tempat asalnya, Jakarta.

“Lu kata siapa?” tanya Horace, Hartigan pun menunjuk ke arah Jaya. Jaya yang tiba-tiba ditunjuk pun hanya bisa memberikan tatapan penuh tanyanya.

“Eh, bro, emang bener ke Jakarta pake angkutan umum seharga seratus ribu?” tanya Horace untuk memastikan. Pasalnya ia sedikit ragu dengan semua perkataan yang telah dilontarkan Hartigan mengingat Hartigan tipekal orang yang selalu penuh dengan candaan.

Anjing … dia percaya dong,” batin Jaya. Ia hanya bisa memberikan senyumannya, entahlah sepertinya ia salah untuk mengajak orang untuk bercanda.

“Eh maneh mau kemana anjir?” Yolan berteriak saat melihat rekan barunya akan masuk pada angkutan umum yang berada di depannya. Sontak hal itu membuat yang lainnya menolehkan kepalanya kepada sumber suara.

“Lah, kan katanya naik angkot?” tanya Hartigan. “Bukan yang itu anjir, beda jurusan. Tuh ambil angkot yang dibelakang.”

Hartigan pun semakin dibuat bingung, jadi angkutan umum ini banyak variasinya?

“Oh jadi gini ya suasana di dalem angkot, ada live musicnya keren.” Farzan berucap sambil melihat keliling.

Aksara hanya bisa memperhatikan sejenak tingkah laku keempat temannya yang baru ia kenal hari ini. Sedikit aneh, tingkah lakunya seperti orang yang tak pernah merasakan ini semua.

Yolan sedikit terkejut saat melihat keempat teman dari Jakartanya itu serentak memberikan satu lembar uang berwarna merah muda.

Anying maraneh bisa teu mere duit teh anu pas kitu goceng, ulah cepe kabeh anying.” (Anying lu semua bisa nggak ngasih uang tuh yang pas lima ribu, bukan seratus ribu semua.) Yolan berdecak melihat kejadian itu, sedangkan yang lainnya hanya bisa berdiam diri sambil mengedip-ngedipkan matanya.

“Jal, dia ngomong apa?”

“Gua juga enggak ngerti, Ras.” Jaya menghela napasnya. Ia bawa uang berwarna biru di dompetnya lalu diserahkan pada Yolan. “Pake duit aing aja yang ini, kalo pake seratus ribu takut nggak ada kembalian buat penumpang lainnya.”

“Nggak usah,” Jaya menaikkan alisnya setelah mendengar tuturan tersebut. “Ambil aja duit lu, udah pake duit ini aja. Nggak apa-apa kasih aja semuanya.” Farzan meraih empat lembar uang berwarna merah muda dari lengan teman-temannya. Lalu kembali menyerahkan kepada Yolan.

Buset, jaya pisan ieu angkot timbang ka asia afrika dibonusan opat ratus rebu.” (Buset, jaya banget ini angkot timbang ke asia afrika dibonusin empat ratus ribu.) Harri terbenganga setelah melihat kejadian yang sangat amat asing di matanya.

Maraneh mau keliling Indonesia nggak?” tanya Harri.

“Udah pernah,” jawab Horace.

Hening. Semuanya tiba-tiba tak ada yang berani untuk bersuara. Bahkan Harri yang mengajak pun kini diam tak bergeming. Entah ia yang salah berucap atau memang ia yang masih terkejut atas jawaban dari pria baru itu.

“Oke, aing bodo amat sama fakta itu. Tapi di Bandung juga kalian bisa keliling Indonesia.”

Yang dijelaskan Harri memang benar adanya. Ia benar-benar tak bermain dengan ucapannya.

“Tapi gua males jalan,” ucap Farzan yang diangguki yang lainnya. Bandung di siang hari cukup membuat badannya sedikit berkeringat, mestipun tidak sepanas di Jakarta, namun jika berkeliaran di jalanan akan cukup membuat badannya sedikit lengket.

“Tenang, kita naik bandros.” Dengan bangga Harri menaik turunkan kedua alisnya. Namun, kelima temannya termasuk Jagat memberikan sedikit raut heran.

“Bandros tuh apa, Ri?”

“Bandung Tour on Bus, jadi bandros kayak kendaraan yang bakalan anterin kita keliling Kota Bandung,” jelas Rakha secara singkat.

Samuel teringat sesuatu. “Oh, kayak double deckersnya yang di London kali, ya?” tanyanya.

Naon double deckers teh?” (Apa double deckers tuh?) tanya Aksa pada Rakha. Namun, Rakha hanya membalas dengan gelengan.

“Bus tingkatnya di London yang warna merah itu,” jawab Jagat karena ia tak sengaja mendengar pertanyaan dari Aksa. Aksa yang mendengar jawaban dari Jagat hanya bisa terkagum. “Keren pisan maneh bisa tau, Gat.”

“Lah, ya iyalah orang dia suka-“

“Hayu buru daks naik, bisi kaburu pinuh.” Yolan memotong pembicaraan Hartigan yang belum sempat ia selesaikan. Bisa-bisanya teman barunya Jagat tak mengetahui bahwa London sudah seperti rumah kedua bagi keluarga Jagat.

“Halo selamat siang kepada Aa Aa ganteng yang sedang terduduk manis di bangkunya masing-masing, perkenalkan saya Mira yang akan membantu dalam memandu perjalanan hari ini. Jadi, nanti untuk rute hari ini akan mulai dari Gasibu menuju Asia Afrika lalu dilanjut Braga lalu menuju Dago dan kembali ke Gasibu. Buat yang belum pernah keliling Indonesia, seperti saya. Jangan khawatir sebentar lagi kita akan berkeliling Indonesia secara bersama.”

Pemandu dari Bandros pun mulai menyapa dan menjelaskan rute mana saja yang akan dilewatinya. Ia pun menjelaskan bahwa Bandros ini akan membawa penumpang untuk berkeliling Indonesia, tak hanya itu Pemandu pun akan menjelaskan mengenai sejarah tempat/bangunan tertentu di perjalanan.

Sebuah pengalaman baru untuk dirinya. Selama di Jakarta ia tak pernah merasakan jalan-jalan bersama seperti saat ini, rasanya sangat sejuk saat melihat masih banyaknya hijau-hijauan yang menyegarkan padangannya. Selama ini ia di Jakarta sering di sapa oleh sebuah bangunan-bangunan megah yang saling berlomba-lomba menjadi bangunan paling tinggi.

“Mana kok belum keliling Indonesia?” tanya Farzan. Pemandu pun tak sengaja mendengar ucapan itu langsung bersuara.

“Aa, Aa dari mana asalnya?”

“Saya?” tunjuk Farzan pada dirinya sendiri sambil menolehkan wajahnya ke kiri dan ke kanan. Pemandu itu tersenyum dan menganggukan kepalanya.

“Saya dari Jakarta,”

“Wah, selamat datang di Bandung. Jadi berkeliling Indonesia di sini itu dalam artian bahwa bus ini akan melewati jalan-jalan daerah yang ada di Indonesia. Seperti tadi kita telah melewati jalan Kalimantan, lalu saat ini kita sedang berada di jalan Riau.”

Ah. Dirinya mulai paham maksud dari keliling Indonesia. Ternyata bus ini akan melewati nama-nama jalan sesuai dengan nama daerah yang ada di Indonesia, maka dari itu Harri menyebutnya bahwa Bandros ini akan mengantarkan kita keliling Indonesia. Cukup menarik.

“Aa Aa ganteng, saat ini kita sedang berada di Jalan Asia Afrika, jalan yang dipenuhi oleh hantu-hantu yang berkeliaran,”

“Loh, ini daerah bekas pembunuhan atau giman-“

“ANJING!”

“BANGSAT GUA KAGET!”

“FCK!”

“MOTHERFCKER!”

“ANYING!”

Bukan hanya anak-anak Brokat, bahkan Aksara yang notaben anak Bandung sendiri masih sering terkejut saat melewati Asia Afrika karena hantu-hantu yang berkeliaran akan mengejutkan penumpang di dalam Bandros seperti saat ini Hartigan benar-benar terkejut karena hantu-hantu tersebut menarik kakinya dari bawah, padahal dirinya sedang bertanya mengapa di daerah sini banyak hantu-hantu yang berkeliaran.

“Maafin temen-temen saya ya Mbak, kalo kaget emang bahasanya agak susah untuk dikontrol.” Jagat menundukkan kepalanya sebentar lalu menggaruk kepalanya yang tak gatal dan diikuti oleh Harri, Jaya, Rakha, juga Yolan.

Setelah turun dari Bandros mereka pun tertawa bersama saat mengingat kejadian di dalam Bandros yang membuat kelima dari sepuluh orang terkejut karena hantu-hantu Asia Afrika.

“Ai sia udah Hag, istigfar.” Jaya menoyor Kepala Harri karena selepas mereka turun dari Bandros Harri tak berniat untuk berhenti tertawa.

Harri memegang kedua lututnya pun dengan badan yang ditundukkan sembilan puluh derajat. “Aing nggak kuat anying, lawak pisan. Apalagi muka si eta, aduh aing poho ngaranna saha.” (Gua nggak kuat anying, lawak banget. Apalagi muka dia, aduh gua lupa namanya siapa.)

Harri tak sadar bahwa kini kedua matanya mengeluarkan bulir-bulir air mata, Hartigan yang merasa ditunjuk pun hanya bisa memberikan raut kesalnya. Kesal karena ia merasa sedang diomongkan tapi ia sendiri tak mengerti arti dari obrolan itu. Mereka semua sepakat bahwa tidak jadi untuk menuju Asia Afrika karena kejadian sebelumnya masih membekas dan membuat mereka-anak-anak brokat- menolak untuk pergi ke sana.

“Itu apaan?” tunjuk Samuel pada sebuah gerobak yang tak jauh dari tempat ia berada.

Jaya menolehkan wajahnya. “Cilok.”

“Enak?” Jaya mengangguk. “Maneh mau beli?”

“Berapa harganya?”

“Lima ratus,”

“Lima ratus ribu?” Jaya menggeleng, “lima ratus perak lah anying, masa iya lima ratus ribu.”

“Tunggu aja di sini, biar aing yang beliin.” Jaya melangkahkan kedua kakinya untuk berjalan ke arah gerobak cilok berada, tak lupa ia pun menarik Yolan yang sedang asik berdiam diri sendirian. Mau tak mau Yolan pun mengikuti tarikkan Jaya, mengingat tenaga Jaya sedikit lebih kuat darinya.

Tak lama Jaya pun kembali dengan membawa sepuluh bungkus cilok lengkap dengan bumbu kacangnya. Lalu ia menyerahkan satu persatu kepada temannya, namun Farza mengernyit setelah mengetahui bahwa makanan yang dipegangnya berbahan dasarkan kacang.

“Lu jangan makan ini, buat gua aja.” Farzan menarik satu bungkus cilok yang baru saja akan Jagat santap.

“Loh, maneh jangan gitu anying. Kalo masih kurang nanti aing beliin, balikin itu ciloknya ke si Erlangga.” Yolan menarik kembali satu bungkus yang telah dirampasnya dari lengan Jagat, lalu Yolan kembali menyerahkan pada Jagat. Jagat hanya bisa terdiam melihat pemandangan itu.

He has a peanut allergy, so please you better shut up.

Yolan mengerti sekarang, perdebatan kecil itu membuat yang lainnya hanya bisa memandang ke arah sumber keributan dengan mulut yang dipenuhi oleh makanan yang baru dibelinya. Yolan pun kembali meraih satu bungkus cilok dari lengan Jagat, lalu menyerahkan kembali pada Farzan.

Sorry, my bad.

Jagat hanya menggeleng, “santai aja bukan salah kamu.” Lalu kedua tangannya ia ulurkan untuk menepuk pundak Yolan agar temannya itu tak menyalahkan dirinya sendiri.

Makan cilok aja enggak bikin kenyang, hayu urang dahar siang.” (Makan cilok aja enggak bikin kenyang, ayo kita makan siang.) Rakha bangkit dari kegiatan jongkoknya, lalu membuang sampah ciloknya ke tempat sampah.

“Maraneh mau makan apa?”

“Terserah lu aja.”

Rakha mengangguk lalu mengeluarkan benda perseginya untuk mencari tempat makan yang akan menjadi tempat teman makan siangnya hari ini. Rakha pun mulai mencari tempat makan yang berada di sekitar Gasibu untuk meminimalisir perjalanan yang jauh.


Jagat Lingga Erlangga Alternate Universe.

by NAAMER1CAN0