KISAH LINDAP
Sambil dengerin ini ya: https://open.spotify.com/track/4NmiNWf3mFp078EFfvvgnr?si=e02c636d215f422f
Tiap-tiap untaian kata yang terucap dari birai temannya membuat Jagat dengan sukarela membuka kedua telinganya lebar-lebar. Lelaki berzodiakan taurus itu menatap lamat-lamat satu per satu temannya ketika mereka mulai menyuarakan kata demi katanya. Tangannya masih sibuk memasukan berbagai camilan ke dalam mulutnya, seakan-akan camilan itu tidak mempengaruhi konsentrasinya dalam mendengarkan obrolan yang mulai menghiasi suasana di antaranya.
Langit-langit telah menampakkan kiasan warna oranye sejak sepuluh menit yang lalu. Bangku-bangku yang sebelumnya tertata rapi kini telah saling bertumpuk satu sama lain, terkecuali tiga bangku yang sedang mereka singgahi. Bangku-bangku itu terlihat sudah rapuh, namun ketika diduduki malah berbanding balik dengan sebuah fakta tersebut, karena kini satu bangku panjang itu telah berisikan tiga orang untuk menduduki di atasnya—bangku yang cukup kokoh dalam menopang beban tubuh ketiganya.
“Minum, Gat?” tawar Aksara yang dihadiahi sebuah gelengan kecil dari Jagat. Melihat sebuah tolakan itu membut Aksara dengan segera meneguk minuman berwarna hitam yang mengandung kafein.
“Maneh inget nggak anjir beungeut si Jagat pas datang ke sekolah ini planga-plongo pisan, bangsat!” seru Harri, sang empu hanya bisa terkekeh ketika ingatannya menampilkan kembali kejadian tersebut.
Beungeut (kasar) = muka.
Hari itu tiba ketika dirinya mengharuskan mengikuti perintah dari sang Ayah untuk ikut berpindah ke kota pasundan; tanah sunda. Jagat dibuat kikuk menyadari perbedaan gaya bahasa saat kedua kakinya telah berpijak sempurna di tengah-tengah bangunan sekolah yang sudah ada dari jaman kolonel.
“Terus, ya, anjir. Aing ngajak dia kenalan malah nyebutin hari coba, anying! Padahal aing teh lagi bilang kalau nama aing ‘Harri’. Agak heran aing sama popolian si Jagat waktu itu.”
Popoloan (kasar) = pikiran.
Gelak tawa mulai mereka senandungkan dengan kompak, mereka saling bernostalgia untuk mengingat kejadian-kejadian konyol telah menghiasi hidupnya yang terkesan monoton.
Sebenarnya Jagat bisa saja mengeluarkan pembelaannya terkait ucapan yang baru disuarakan oleh Harri dengan lantangnya. Namun sepertinya hanya berdiam dan mengamati suasana hangat di sana pun sudah lebih dari cukup baginya.
“Apalagi waktu si Ajay panik beli ayam goreng anying gara-gara si Jagat cuman bawa bekel nasi sama bumbu apa sih aing lupa, cuy.”
“Teriyaki nggak sih, Gat?” tanya Jaya memastikan.
“Iya teriyaki,” sahut Jagat disertai anggukkan. Dua kata tersebut mampu menurunkan ego Jagat dalam menahannya untuk tidak mengeluarkan satu patah kata.
Obrolan-obrolan itu tak kunjung mereka hentikan, bahkan obrolan nya saat ini telah diiringi oleh sebuah lelucon yang tak pernah luput ketika mereka sudah saling berhadapan di atas meja; menyatukan keenam pola pikir menjadi satu tujuan; menyuarakan dengan lantang tiap-tiap kejadian yang pernah mereka alami.
“Aing masih inget si burung Yolan sama si Aksa datang ka kelas pas pelajaran fisika, terus disuruh ngerjain soal di depan anying. Aing cuman bisa bilang mampus di bangku aing sama si Ajay.”
Yolan yang sedang mengunyah sebuah kacang pun seketika tersedak. Dia pukul dadanya; tangannya menengadah, mencari sebuah cairan yang dapat menghilangkan rasa batuknya. Ketika satu gelas air minum telah berada di genggamannya, maka dengan tergesa Yolan langsung meneguknya tanpa menyisakan setetes cairan itu.
“Bangsat, si aku jadi inget lagi momen yang amat sangat memalukan!” Yolan mengusap wajahnya kasar. Yolan mengira dengan mengusap wajahnya akan membantu menghilangkan kejadian itu dalam ingatannya. Nyatanya, semakin ingin menghilangkan keinginan itu semakin teringat jelas kejadiannya.
“Sumpah, aing jadi tumbal anjing. Padahal aing kan ngajaknya ke kantin, malah belok ke ipa empat anjir udah gelo ini mah pola pikir si Yolan harus cepet-cepet dibenerin.”
Gelo = gila.
Langit kian kelam, pijaran temaram yang menjadi satu-satunya benda yang membantu menjadi penerang mereka. Setiap kali embusan angin datang, pijaran itu akan ikut tergoyang—seperti sedang menari; membuat keadaan di antaranya semakin ramai.
“Anjir udah jam setengah tujuh aja nggak kerasa.”
Jaya tak sengaja melihat jam yang berada di pergelangan tangannya. Padahal Jaya masih teringat jelas mereka baru saja membuka obrolan, namun rasa tidak puas dan kecewa mulai mendatanginya.
Waktu akan terasa lebih cepat berlalu apabila menghabiskan bersama orang yang tepat. Sama halnya dengan mereka yang tidak terasa sudah menghabiskan waktu selama tiga jam dalam bernostalgia.
“Hayu balik, ah.” (Ayo pulang.)
Decitan suara dari kursi yang bergesekkan dengan lantai mulai menggema. Mereka saat ini sedang berduyun-duyun untuk merapikan kembali meja serta bangku yang sudah dipakainya. Sampah-sampah bekas camilan yang berserakan di atas meja pun kini sudah menghilang; berpindah pada tempat sampah yang tak jauh dari tempatnya berada.
“Guys,” panggil Jagat. Dia menjeda ucapannya sebentar untuk sekadar menghela napasnya sebelum harus melanjutkan kembali kata-katanya yang sempat terhenti dan dihadiahi tatapan penuh tanya dari kelima temannya. “Night riding dulu, boleh? Kita keliling Bandung.” Ia tatap satu per satu temannya dengan lamat ketika ucapannya telah diserukan. Jagat berharap bahwa permintaannya itu akan segera disetujui oleh kelima teman-temannya.
Benar saja, tanpa harus menunggu lama mereka dengan kompak mengangguk; menyetujui permintaannya untuk berkeliling kota Bandung di malam hari.
Malam ini bulan terlihat berkali-kali lipat lebih terang dari biasanya. Objek bulat di atas langit itu telah menarik perhatiannya ketika kedua matanya dia menengadahkan ke atas dan langsung disambut oleh objek tersebut. Pancaran sinar bulan itu mendominasi. Bahkan, pancaran sinar dari kendaraan lalu-lalang di sekelilingnya pun masih terkalahkan oleh pancaran bulan di atas langit sana.
Selama perjalanan, Jagat mengulas senyuman di balik helm yang sedang digunakannya; senyuman yang tak ingin ia lunturkan. Posisinya saat ini menjadi orang yang paling belakang. Mereka tak punya tujuan secara khusus, bak ekor yang akan selalu mengikuti arah kepala serta tubuh melangkah.
“Kenapa berhenti?” heran Jagat kala melihat kendaraan temannya sudah menepi di salah satu jalan yang jarang dijangkau oleh kendaraan lain.
“Kita udah dua kali lewat jalan ini anjir, bosen. Udahlah kita pulang aja, aing juga udah capek pengen langsung rebahan aja rasanya.”
“Besok lagi ajalah, sekalian aja kita agendakan touring.”
Jagat bergeming. Dia tidak menimpali ajakan dari Rakha seperti teman-teman lainnya yang langsung mengiakan. Jagat turun dari motornya, membuka helm dan menyimpannya di atas kendaraannya. Kedua tungkainya dia bawa untuk menghampiri temannya satu per satu.
“Terima kasih, ya, Aksa.”
Jagat meraih tangan Aksara lalu memeluknya sekilas, dia pun tak lupa untuk memberikan senyuman kecilnya kepada temannya itu. Aksara yang diperlakukan seperti itu hanya bisa memberikan raut penuh tanyanya.
Jabat tanganku, mungkin untuk yang terakhir kali.
“Rakha, terima kasih, ya.”
Rakha balas jabatan tangan Jagat tanpa mengeluarkan sepatah suaranya. Dia menganggukkan kepalanya untuk menimpali ucapan terima kasih darinya, meskipun dia sendiri tidak tahu mengapa lelaki itu secara tiba-tiba mengucapkan kata terima kasihnya.
kita berbincang, tentang memori di masa lalu.
“Jay, terima kasih, ya.”
Jaya mengernyitkan dahinya saat merasakan lelaki tersebut sudah merengkuh tubuhnya. Banyak pertanyaan yang ingin dia tanyakan, namun temannya itu telah lebih dulu meninggalkannya sehingga Jaya langsung menelan kembali pertanyaan yang sudah berada di ujung lidahnya.
Peluk tubuhku, usapkan juga air mataku.
“Yolan, terima kasih.” Yolan tersenyum sembari membalas jabatan serta pelukan dari Jagat. “Si kamu lebay banget anjir sampe bilang makasih gara-gara kita udah turutin maneh mau night riding. Padahal mah itung-itung kenangan aja, biar bisa diinget kalau kita abis nostalgia langsung keliling Bandung.”
Seolah sedang tertampar dengan perkataan Yolan, Jagat hanya diam membeku sembari melayangkan senyumannya. Jagat mati-matian menahan air matanya yang mungkin bisa saja menetes apabila ia tak mampu menahannya.
Kita terharu, seakan tiada bertemu lagi.
Pandangannya tertuju pada seseorang di sampingnya. Jagat melangkah untuk mendekati sang empu tanpa mengucapkan sepatah kata. Dia langsung merengkuh tubuh teman satu bangkunya dalam keheningan. Gemuruh di dadanya mulai mendominasi seakan ingin mengeluarkan sesuatu pada kedua matanya. Maka dengan cepat Jagat segera melepas pelukannya seraya berucap, “Ri, terima kasih banyak, ya.”
“Untuk?”
“Semuanya.”
Jagat menepuk pundak Harri sebelum kembali menghampiri kendaraannya yang sudah terparkir beberapa meter dari tempatnya berpijak.
“Hati-hati ya pulangnya. Jangan ngebut, jangan mendadak beloknya. Terima kasih udah mau nurutin dan nemenin saya keliling kota Bandung di malam hari.”
Bersenang-senanglah, karena hari ini yang kan kita rindukan.
“Kalem anjir, Gat. Timbang muterin kota Bandung doang.”
Ucapan dari Aksara langsung diangguki oleh kelima temannya dengan serempak. Jagat yang menyaksikan itu hanya bisa terkekeh sembari menggelengkan kepalanya.
“Ya udah, aing balik duluan, ya. Maneh nanti dari sini lurus aja terus di persimpangan jalan depan belok kiri biar cepet ke Dago nya.”
“Iya, terima kasih.”
Di hari nanti sebuah kisah klasik untuk masa depan.
Satu per satu deru suara motor itu mulai meramaikan suasana yang sebelumnya sunyi. Bunyi suara klakson mulai terdengar, mereka dengan sengaja membunyikannya untuk mengatakan bahwa itu menjadi salah satu kata terakhir perpisahannya.
Bersenang-senanglah, karena waktu ini yang kan kita banggakan di hari tua.
Jagat menatap nanar kepergian teman-temannya yang saat ini sudah tak bisa dilihat oleh sepasang matanya. Hatinya membuncah ketika dia menyadari bahwa hari ini adalah menjadi hari terakhirnya untuk bertemu dan bercengkrama dengan teman-temannya.
Sampai jumpa kawanku, semoga kita selalu, menjadi sebuah kisah klasik untuk masa depan.
Tetesan air mata yang sebelumnya ia tahan mati-matian seketika menetes secara perlahan bersamaan dengan langit yang mulai meneteskan tiap rintikkan air hujan.
Sampai jumpa kawanku, semoga kita selalu, menjadi sebuah kisah klasik untuk masa depan.
Jagat menundukkan kepalanya, berusaha menyembunyikan bahwa hari ini menjadi hari yang paling menyedihkan untuknya. Ia sudah tidak peduli dengan orang-orang yang mungkin melihatnya sedang menangis. Ia perlu sebuah validasi akan perasaan yang sedang dirasakannya.
Mungkin diriku masih ingin bersama kalian.
Terkadang lewat tangisan mampu menyembuhkan berbagai perasaan yang dipendamnya. Sama halnya dengan Jagat, untuk pertama kalinya ia mengeluarkan air mata karena teman-temannya, karena jutaan kenangan yang telah dirasakannya.
Mungkin jiwaku masih haus sanjungan kalian.
Terima kasih, Bandung, atas sejuta kenangan indah di dalamnya.
“Apaan itu?” tanya Rakha yang dijawab sebuah gelengan kecil dari Harri yang sedang memegang satu buah amplop.
Bacanya harus lengkap, ya. Harus ada kalian berlima: Aksara, Harri, Jaya, Rakha, dan Yolan.
Lantas, Jaya mengernyitkan keningnya ketika membaca tulisan di depan amplop itu. Matanya sibuk mencari keberadaan Aksara dan Yolan. Tangannya segera melambai di udara kala matanya tak sengaja bertemu dengan mata kedua teman itu. Aksara dan Yolan pun segera berlari dan langsung ikut duduk bersamaan dengan ketiga temannya yang sudah lebih dulu di taman sekolahnya.
“Itu apaan?” tanya Aksara yang dibalas Rakha dangan mengedikkan kedua bahunya.
“Si Elang, mana?” tanya Yolan ketika tak menemukan sosok temannya di antara mereka.
Harri tampaknya mulai tertarik dengan pertanyaan dari Yolan. Buktinya ia langsung menengadahkan kepalanya dan menatap temannya itu dengan lamat. “Nggak tau, nggak masuk. Surat pun nggak ada. Apa dia sakit gara-gara semalem abis keliling Bandung, ya?” Mereka semua serempak menggelengkan kepalanya, buat kepala Harri semakin dipenuhi tanda tanya.
“Cepet buka itu amplop apaan, udah ada semua, nih.”
Rakha segera merampas amplop yang semula berada di genggaman Harri. Ia buka secara perlahan kertas itu agar tidak merusaknya. Dahinya seketika mengernyit ketika sebuah kalimat pertama yang muncul dan membuat mereka semakin dibuat penuh kebingungan.
“Untuk Solurds yang saya sayangi …,” ucap ulang Yolan pada kalimat pertama yang telah dilihatnya.
Maka, mereka saling bertatapan satu sama lain dan segera membuka surat itu dengan tergesa. Betapa terkejutnya ketika surat itu berisikan sebuah kata-kata yang sama sekali tidak pernah mereka harapkan sebelumnya.
Untuk Solurds yang saya sayangi, di Tempat
Hai, guys, sehat? Semalem hujan setelah kalian pergi untuk kembali ke rumah kalian masing-masing. Sepertinya alam lebih tau tentang hubungan pertemanan kita, ya? Alam lebih tau kalau hari itu menjadi hari terakhir kita ketemu.
Guys, saya benar-benar beruntung disambut hangat oleh kalian ketika saya datang ke kota ini. Maksudnya ke kota Bandung, karena saya saat ini udah ngga ada di kota itu lagi. Miris, ya? Hahaha.
Terima kasih banyak atas nostalgia hari kemarin yang mampu buat kenangan itu semakin teringat jelas dipikiran saya, kenangan indah yang ngga mungkin saya bisa rasakan untuk kedua kalinya.
Aksara, kamu makan yang benar, ya. Saya perhatikan pola makan kamu sedikit ngga teratur kalau di kosan. Jangan sampai telat makan atau bahkan ngga makan sama sekali. Kalau di akhir bulan kamu kesusahan untuk mencari makan, masih ada keempat teman kamu yang akan selalu nyambut hangat kedatangan kamu di rumahnya. Jangan merasa ngga enak untuk merepotkan mereka, ya. Kesehatan kamu lebih penting dibandingkan dengan sebuah ego yang kamu simpan sendirian.
Jaya, saya tau kalau kamu punya kebiasaan unik yang suka cuci motor tengah malam. Tolong kurangi, ya. Itu ngga baik untuk kesehatan kamu sendiri. Tolong jaga Harri dan Rakha ya, jaga mereka kalau misalnya mereka berantem. Karena setelah ini, saya ngga bisa nemani kamu untuk ngamanin mereka. Lagipula saya tau kamu mampu laksanain itu sendirian, karena sebelum saya datang pun kamu sudah bisa dan biasa lihat mereka berantem, kan? Jangan lupa untuk kontrol emosi kamu, ya, Jay. Candaan kamu sebenarnya lucu kok, cuman anak-anak memang suka jahilin kamu aja, jadi jangan dipikirkan, ya, hahaha.
Harri, orang yang berhasil selalu buat saya kerap emosi waktu berhadapan sama kamu. Jahilnya kamu, bakalan saya rindukan selalu, Ri. Tapi, tolong jangan jahili orang-orang seperti kamu jahili saya, ya. Biar saya aja yang rasain, biar saya merasa kalau saya special diperlakukan itu sama kamu dan kedua antek-antek kamu—Aksara dan Yolan. Salam untuk Kaila, Aarash, dan Aariz, ya. Saya benar-benar nunggu mereka jadi orang sukses, termasuk kamu juga.
Rakha, saya bakalan selalu rindu omelan dari kamu. Omelan yang sebenarnya saya hindarin, tapi kayaknya saya bakalan rindu momen itu. Bahkan saya ngga tau apakah saya di sini bakalan diperlakukan seperti kamu perlakukan saya? Perhatiannya kamu lewat omelan itu mungkin ngga akan saya bisa dapatkan dari orang-orang baru di sini.
Yolan, bagaimana cara bicara kamu, cara kamu memperlakukan saya, bahkan tiap tindakan konyol yang selalu kamu lakukan masih teringat jelas di pikiran saya. Kamu unik, Lan. Saya benar-benar merasa kehilangan kamu. Konyolnya kamu dengan anak-anak ngga mungkin pernah akan saya lupakan begitu aja. Lan, saya titip Aksara, ya. Saya benar-benar khawatir karena dia selalu nyembunyiin sesuatu sendirian. Tolong cek satu minggu sekali dia di kosannya, mungkin kamu yang lebih tau dengan sifat Aksara dan Aksara pun akan leluasa terbuka sama kamu.
Maaf karena saya pergi tanpa harus mengucapkan kata perpisahan sebelumnya, saya terlalu egois sampai akhirnya saya pendam itu sendirian. Maaf saya terlalu egois untuk memperlihatkan kesedihan saya untuk yang kesekian kalinya.
Kalau kalian udah selesai baca surat ini, artinya saya udah pergi. Pergi bersama jutaan kenangan kita bersama. Kalian jangan khawatirkan saya, karena saya selalu sehat di sini. Di sini sangat indah, penghuninya pun ramah-ramah, agak sayang aja di sini ngga seindah dan seramah kalian saat berada di dekat saya.
Kebiasaan saya hari ini selalu mandang langit, berharap kalian akan sama pandangi, dan berharap kita sedang memandangi langit yang sama walaupun dengan jarak yang memisahkan. Langitnya di tempat saya dengan langitnya di tempat kamu tetep sama. Ngga berubah sama sekali.
Kita sukses sama-sama, ya? Saya dengan impian saya, kalian dengan impian kalian.
Kalau ada waktu, ayo kita ketemu. Ketemu di suatu tempat yang telah mengukir kenangan kita bersama. Tanpa saya ucapkan pun pasti kalian udah tau, kan, ya?
Kalau gitu, sampai jumpa lagi, teman.
Salam hangat,
Jagat Lingga Erlangga.
Ketika bait terakhir telah selesai mereka baca secara bersama-sama, sebuah tangis pun langsung pecah. Mereka saling merangkul satu sama lain.
Kalau saja mereka lebih peka akan hari di mana temannya itu meminta secara khusus untuk berkeliling kota Bandung, pasti mereka senang hati untuk menghabiskan waktunya tanpa terkecuali, tanpa harus dihentikan oleh rasa bosan.
Kalau saja mereka tahu itu menjadi hari terakhirnya, mereka akan membuat kenangan-kenangan baru dan indah agar temannya itu bisa menyimpannya tanpa harus melupakan kenangan lama.
Kalau saja mereka tahu akan kepergiannya, mungkin mereka akan mencegahnya. Mencegah ia akan pergi dan meninggalkannya bersamaan dengan jutaan harapan yang belum mereka realisasikan dengan bersama-sama.
Kalau saja.
Kalau saja.
Kalau saja.
“Semoga maneh bahagia selalu, Gat. Makasih udah mau kenal dan temenan sama kita. Kita bakalan selalu nunggu janji maneh buat datang dan ketemu di tempat ‘kita’.”
Nyatanya, setelah surat itu sampai di tangan mereka, sebuah janji pun tak pernah ditepati oleh sang empu. Setiap hari mereka mengunjungi tempat itu. Mulai dari langit biru yang kemudian tergantikan oleh langit hitam; mulai dari tempat sepi dari pengunjung, lalu ramai berdatangan, dan kembali sunyi, Pun sang empu tak pernah menampakkan dirinya. Seakan janji tersebut hanyalah sebuah ucapan belaka yang tak akan pernah ditepatinya. Atau bahkan sang empu pun lupa bahwa ia pernah menjanjikan hal tersebut.
Mereka selalu mengulanginya hingga tepat tiga tahun lamanya. Mereka selalu berharap lelaki itu akan menepati janjinya. Namun, lagi-lagi rasa kekecewaan yang selalu mereka dapatkan.
“Buat apa janji kalau nggak akan pernah ditepati?”
Bersamaan dengan langit malam yang mulai menghilang dan menampakkan langit pagi, sebuah janji itu pun mereka kubur secara bersama-sama. Tidak ada lagi mereka yang akan mengunjungi tempat ini setiap harinya. Pun dengan kenangan dan harapan yang telah mereka buat sebelumnya dengan sang empu yang membuat janji pun mereka kubur secara bersamaan. Mulai saat ini mereka akan menjalankan aktivitas seakan nama Jagat tidak pernah muncul dalam hidupnya.
Selamat jumpa kawankku, Jagat.
— FIN.
Jagat Lingga Erlangga Universe.
By NAAMER1CAN0