KURSUS GRATIS.
Setelah mengungkapkan apa yang ia inginkan kepada ayahnya malam kemarin, di sinilah saat ini ia berada. Kaus putih dengan rok abu masih setia membaluti tubuhnya, padahal waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Langit-langit di luar pun mulai menampakkan semburat senja yang masih tertunda.
Bunyi aliran air menemani keheningan dirinya seorang diri di tengah-tengah luasnya ruangan yang sedang ia singgahi. Tanganya bergerak dengan cekatan mengusap bahan makanan di bawah aliran air di hadapannya.
“Neng beneran mau belajar masak?” tanya Mama Iis ketika sudah berada di samping yang lebih muda. Bahan makanan yang sebelumnya Mama Iis pegang sudah ia sodorkan kepada perempuan di sebelahnya. “Tolong sekalian dicuci, ya, Neng.”
Fara mengangguk dengan semangat hingga membuat rambutnya yang semula terikat kini mulai mencuat, beberapa helaian rambutnya terlepas dan mengganggu penglihatannya dalam membasuh sebagian bahan makanannya yang belum selesai.
“Beneran, Ma!”
Fara mematikan keran wastafel setelah menjawab ucapan Mama Iis. Kemudian ia berlari kecil, menghampiri sang puan rumah yang sibuk memotong bumbu masakan dengan lihai.
“Neng Isel tolong potong kolnya panjang-panjang kayak gini, ya.” Mama Iis memperlihatkan hasil potongan sebelumnya untuk dijadikannya referensi.
Fara melirik sekilas lalu mengangguk paham. Tangannya mulai meraih satu buah pisau yang tidak dipakai oleh sang puan rumah. Ia mulai memotong kubis tersebut sesuai dengan instruksi dari sang guru masaknya hari ini.
“Ma, gini bukan? Isel bener nggak motongnya?”
Mama Iis menghentikan sejenak kegiatan dalam menyiapkan bumbu dapurnya. Matanya melirik kepada sebuah objek yang telah diperlihatkan oleh yang lebih muda. “Ih, pinter. Itu ning Neng Isel jago!” Mama Iis mengacungkan jempolnya, ucapannya tak berbohong dalam memuji. Ia memang bangga kepada perempuan itu yang mampu belajar dengan cepat.
Salah satu kelemahan Fara adalah ketika seseorang dengan lantang memuji di hadapannya. Ia kurang pandai dalam menutupi sebuah ekspresi yang tercetak dalam mimik wajahnya. Kini semburat merah mulai muncul beriringan dengan hawa panas yang datang begitu saja secara cepat.
“Nih tips masak mi aci ala Mama mah kayak gini, Neng. Pertama, bawang merah sama bawang putihnya dialusin dulu jangan lupa dikasih kemiri 1-2 biji aja. Gunanya ini teh biar masakan lebih harum. Kalau misalnya dipake dimakanan berkuah mah kemiri bisa bantu kentelin kuah.”
Fara lagi-lagi mengangguk, bola matanya sedari tadi sibuk memerhatikan Mama Iis yang pandai beradaptasi dengan lingkungan dapur. Ia pun sedikit menyesal karena di usianya saat ini ia baru memiliki keinginan untuk belajar memasak. Namun, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, kan?
“Nah kalau udah halus jangan lupa masukin tomat, daun bawang, sama cabe. Nanti diulek lagi tapi uleknya kasar aja jangan sehalus yang awal, pokoknya sampai kayak gini teksturnya.” Mama Iis dengan perlahan memberitahu setiap langkah-langkah menu masakan kali ini yang menjadi menu masakan favorit di keluarganya.
“Siapin minyak, nanti bumbunya langsung ditumis semua sampe harum. Setelah itu masukin kolnya sampai layu baru masukin mi kuningnya.”
Fara seakan terlena dengan cara memasak Mama Iis yang acapkali membuatnya terkagum-kagum kala memandangnya. Ketika tips itu diserukan oleh sang empu, maka Fara langsung mengingat dalam otak kepalanya. Ia mengingat semua yang sedang diajarkan oleh Ibu dari kekasihnya.
“Tips biar makin enak jangan lupa dikasih bumbu lada putihnya yang banyak, ini ciri khas mi aci ala keluarga Mama.” Mama Iis menuangkan satu bungkus lada putih ke atas masakan yang berada di atas wajannya. Tangannya kembali bergerak untuk mengaduk makanan itu agar bumbunya merata. “Jangan lupa terakhir dikasih seledri sama bawang goreng, abis itu makanannya udah jadi deh!” Kompornya sudah ia matikan. Fara membawa satu wadah besar untuk menampung hasil menu masakan pertamanya.
Tanpa harus mengeluarkan tenaganya, indra penciumannya pun langsung disuguhi sebuah aroma yang sangat nikmat. Fara dibuat takjub kala makanan itu sudah berdiam diri dengan cantik di atas meja makan. Matanya berbinar, ingin segera menyicipinya namun masih harus melanjutkan masakan yang lain.
“Masakan kedua sayur asem nah kalo Mama mah biasanya bawang merah, bawang putih, sama cabenya suka diulek nanti baru dimasukin ke kuahnya. Terus, lengkuasnya digeprek dulu baru dimasukin. Nah yang utama jangan lupa terasi merahnya dibakar dulu biar harum baru dimasukin ke kuahnya.”
Ketika ucapan dari Mama Iis selesai diucapkan, otaknya bekerja untuk mengulangi runtutan kata-kata itu agar ia dapat mengingatnya. Salahkan ia yag sedari tadi tak membawa alat tulisnya, sehingga ia hanya memanfaatkan daya ingatannya dalam belajar memasak pada hari ini.
“Melinjo, jagung, labu, kacang merah direbus duluan sampe empuk. Nanti setelah itu baru masukin kacang panjang, daun melinjo, daun salam, sama bumbu lain kayak asam jawa, gula merah, dan garam. Abis itu ditunggu aja, udah selesai.”
“Sayur asem gini enaknya makan sama ikan teri yang digoreng kering sama tempe goreng. Neng gorengin tempe goreng, ya.”
Fara mengangguk, membawa telapak tangannya untuk ia simpan di pelipis dahinya. “Siap, Ma!” Mama Iis terkekeh melihat anak gadisnya memperlihatkan pergerakkan yang menggemaskan. “Neng ... Neng,” ucap Mama Iis sembari menggelengkan kepalanya.
“Waduh, rame gini ini teh dapur,” ucap Harri setibanya di dapur rumahnya dan langsung disambut oleh kedua orang yang asyik bergulat dengan kompornya.
“Aa, pulang kapan?” tanya Mama Iis, terkejut melihat putranya secara tiba-tiba muncul tanpa diketahuinya
“Baru aja Aa dateng.”
Harri berjalan menuju tempat Mama Iis berada. Harri menarik tangan kanan Mamanya untuk ia layangkan sebuah ciuman di atasnya, tak lupa ia pun bubuhi kecupan singkat di kedua pipi sang ibunya.
Harri menghampiri kekasihnya yang sedang terfokus pada masakan di depannya. Ia menepuk pelan kepala kekasihnya sembari menyunggingkan senyuman kecil.
“Udah beres futsalnya?” Harri mengangguk kecil merespons ucapan yang diserukan Fara.
Tangan Harri terulur untuk menyelipkan rambut kekasihnya ke belakang telinganya. “Rame banget ih ternyata masak teh, ya!” Harri terkekeh, ia mengusak pelan rambut sang kekasih atas kegemasannya yang tertangkap dengan jelas oleh kedua netranya. Untung saja tindakan secara tiba-tiba dari Harri tidak membuat Fara kesulitan dalam kegiatan memasaknya. “Ya udah, kalau rame lanjutin. Aing mau ke atas mandi dulu, ya.”
“Ma, Aa ke atas dulu ya mau mandi.” Mama Iis berdeham kecil merespons ucapan anak sulungnya.
Fara mengangkat kedua ujung bibirnya membentuk lengkungan sempurna. Acapkali menerima sebuah validasi akan apa yang dilakukannya hari ini membuat dirinya makin semangat untuk belajar lebih dalam di dunia dapur. Walaupun ia sempat meringus pelan akibat minyak panas yang secara tak sengaja mendarat di kulit tangannya, namun hal tersebut tak mengurungkan niatnya dalam belajar memasak.
“Coba tebak mana sayur asem buatan Mama sama buatan Neng Isel,” ucap Mama Iis pada anak sulungnya.
Baik Mama Iis dan Fara memandang lelaki itu penuh harap. Harapan bahwa ia dapat menemukan masakan sang empu tanpa harus memberikan sebuah isyarat secara tersirat.
Harri menyipitkan matanya, ia menatap lamat dua hidangan makanan di depannya. Tangannya sudah bersedekap di atas meja, bahkan indra penciumannya sudah ia tajamkan untuk menambah kesan seperti orang yang memang sedang menilai dari sisi objektivitas.
Tangannya sudah menyendokkan sayur di mangkuk sebelah kirinya untuk segera ia makan, lalu tak lama ia mengulanginya pada mangkuk di sebelah kanan. Kepalanya mengangguk pelan tatkala cairan itu mulai mengaliri tenggorokannya. Sendoknya ia simpan kembali di tempat semula. Tangannya kembali bersedekap dengan pandangan yang menatap kedua orang perempuan di depannya dengan lamat.
“Mana sayur yang buatan Mama, terus mana sayur yang buatan Neng Isel?”
Harri menggeserkan mangkuk sebelah kirinya beberapa senti dari mangkuk sebelah kanan. “Ini buatan Mama,” tunjuk Harri pada mangkuk tersebut. Mama Iis pun menganggukkan kepalanya, seolah sedang mengatakan bahwa tebakan dari anak sulungnya benar.
“Kenapa bisa bilang itu punya Mama?” tanya Mama Iis penuh penasaran.
Harri kembali menyendokkan kuah sayur asam itu untuk dimasukkan ke dalam mulutnya. “Kuah Mama agak hambar, sedangkan punya Isel pas di mulut Aa yang suka asin,” sahut Harri setelah kuah di dalam mulutnya sudah hilang.
Mama Iis mengacungkan jempolnya, merasa bangga karena putra sulungnya dapat mengetahui dan memahami karakteristuk dari masakannya.
Apa yang dikatakan Harri itu benar, bahwa Mama Iis beserta Papa Asep dan ketiga adiknya memang menyukai makanan yang terkesan hambar. Sedang dirinya sedikit suka dengan citra rasa yang sedikit asin, akan tetapi tidak terlalu asin. Sehingga hanya dalam satu suapan saja Harri mampu mengetahui mana masakan Mamanya dan mana masakan kekasihnya.
“Harri kadang kalau makan sup atau masakan Mama suka ditambahin garem lagi,” tutur Mama Iis sembari berbisik pelan pada perempuan di sampingnya. Fara hanya menganggukkan kepalanya diiringi senyuman kecil untuk merespons ucapan yang dilemparkan perempuan paruh baya di sampingnya itu.
“Enak, masakan dua-duanya enak. Hebat!” puji Harri membuat kedua orang di depannya menghadiahi senyuman manis yang tercetak pada birai masing-masing orang itu.
“Kaila, Aa, Ii, ayo makan dulu!” teriak Mama Iis.
Panggilan itu seperti mutlak, tanpa harus ada bantahan. Sehingga mereka bertiga yang dipanggil pun langsung bergegas menghampiri ke arah sumber suara. Mereka saling berlomba untuk sampai lebih dulu ke arah ruang makannya. Kaila yang melihat kedua adiknya hanya bisa menggelengkan kepalanya, terkadang lelah melihat tingkah si kecil yang tak ada habisnya.
“Sel, sini,” tepuk Harri pada sebuah tempat kosong di sampingnya. Fara yang mendengar namanya diserukan pun langsung menengok dan berjalan mengikuti titahan dari sang pemilik rumah.
“Kenapa?” tanya Fara, setelah mendudukan dirinya tepat di tempat yang dipinta sang kekasih.
Harri menyimpan sebuah bantal di atas paha kekasihnya. “Aing mau tidur bentar, ya. Sepuluh menit aja.” Harri merebahkan tubuhnya, kepalanya ia simpan di atas bantal itu dengan hati-hati.
“Ih, tidurnya di kamar kamu aja biar nyaman! Aku mau pulang.”
“Nanti aku anterin, aku ikutin dari belakang. Tapi, aku tidur dulu bentar, ya?”
Fara pun mengangguk, ia tidak bisa menyanggah ucapan kekasihnya karena takut membuat mood sang kekasih yang secara tiba-tiba akan rusak.
Fara membawa tangannya untuk mengelus surai sang kekasih yang kini sudah tertidur pulas dengan dengkuran yang rendah. Ia tahu bahwa lelaki itu sedang merasakan kelelahan akibat jadwal latihan futsalnya. Tangan yang semula mengelus surai dengan penuh kehati-hatian pun kini bergerak untuk mengelus pelan kedua alis lelaki yang tertidur pulas di atas pahanya.
“Aku ngiri banget anjir, alis kamu tebel banget.”
Entah mengapa ia seringkali dibuat keheranan dengan lelaki yang lebih mendominasi memiliki alis yang lebih tebal dibandingkan dengan alis milik perempuan. Ia pun melirik jam dinding yang telah menunjukkan pukul 19.20, artinya sudah 15 menit lelaki itu tertidur. Ia ingin membangunkannya namun Fara tak enak akan mengganggu lelaki itu.
“Jam berapa sekarang?” tanya Harri secara tiba-tiba, masih dengan matanya yang terpejam dan kedua tangannya yang bersedekap di dada.
“Jam setengah delapan kurang sepuluh menit.”
Harri langsung membelakkan matanya. Dengan cepat ia bangun dan mengatur kesadarannya agar segera pulih.
“Kamu kalau masih ngantuk tidur aja, aku pulang sendiri nanti aku share live location aja,” tukas Fara yang dihadiahi gelengan tak setuju dari sang empu.
“Nggak, pulang sama aing. Bentar aing bawa jaket dulu.” Harri pun mulai meninggalkan Fara yang masih terduduk dengan bantal yang berada di atas pahanya. Ia pun meraih ranselnya lalu membawa jaket untuk segera ia pakai. Karena apabila ia tak memakainya, Harri akan memarahinya tanpa henti. Bahkan, ia masih teringat jelas setiap kata-kata yang akan diucapkan lelaki itu
Mesin motor sudah Harri matikan. Ia meninggalkan kendaraan kesayangannya tepat di depan gerbang rumah sang kekasih. Harri berjalan untuk membukakan gerbang itu agar kekasihnya tak usah repot-repot turun dari motornya.
“Makasih, Hawwy!” ucap Fara saat kendaraan roda duanya melewati sang kekasih yang masih setia memegang pintu gerbang rumahnya.
Fara mematikan mesin kendaraan roda duanya, pun dengan motornya yang sudah distandarkan. Fara turun dari motornya secara perlahan, kemudian Harri langsung menghampirinya untuk membantu membukakan pengait helmnya.
“Kamu hebat, Yang! Baru pertama belajar masak, makanannya langsung enak!” puji Harri dengan kedua mata yang masih sibuk mencari pengait helm kekasihnya. Ia menyunggingkan senyumannya ketika pengait helm itu sudah berhasil dibukakan.
Semesta sedang tak memihak padanya, pun dengan dirinya yang tak mampu menahan rasa salah tingkah di hadapan lelaki ini. Semburat merah kian muncul perlahan dan menjelajari kedua pipinya.
Harri terkekeh kala menyadari perempuan di depannya sedang menahan malu akibat sebuah perkataan yang dilontarkannya beberapa saat lalu.
“Apaan ini teh dipuji gitu aja langsung salting kamu, Yang.”
“Nggak tau, ih. Akhir-akhir ini aku gampang salting kalau ada yang muji. Apalagi kalau dipuji maneh sama Mama kamu.”
Lagi-lagi Harri tertawa, ia menyentil pelan dahi kekasihnya membuat sang empu berhasil mengaduh pelan.
“Ih, kenapa dahi aing disentil! Marah pisanlah!”
“Aing juga salting maneh bilang gitu, anjir!”
Keduanya pun tertawa bersama. Membuat langit-langit hitam di atasnya menjadi saksi bisu atas kedua sejoli yang sedang dimabuk asmara di bawahnya. Harri mengulurkan tangannya di sela kegiatan tertawanya untuk mengelus dahi sang kekasih, takut akan sentilannya beberapa saat lalu memberikan bekas merah di sana.
“Aku pulang, nya,” pamit Harri secara tiba-tiba membuat Fara yang semula tertawa kini sudah mengatupkan kembali mulutnya.
Fara mengangguk pelan. “Iya, hati-hati. Kalau udah sampe nanti kabarin aku. BTW makasih banyak, ya, Yang, buat hari ini!” Harri melayangkan senyumannya dengan lengan kanan yang mengusak surai Fara dengan perlahan. “Sama-sama geulis.”
“Kamu langsung pulang?”
Harri menggeleng pelan. Helm yang sedari tadi masih di genggamnya kini sudah ia simpan di atas spion kendaraan roda dua kekasihnya. “Nggak, aku mau ke kosan si Aksa dulu kayaknya mah. Mau ngasih sayur asem buatan Mama dulu ke dia, anaknya pasti jarang makan sayur, kasian,” tunjuk Harri pada suatu barang yang tergantung sempurna di motornya.
“Ya udah, kalau gitu hati-hati! Nanti kalau Papa kamu udah pulang salam dari aku, ya, Yang!”
“Iya, geulis. Aing pulang, ya.”
Fara berjalan mengekori sang kekasih yang telah berpamitan untuk kembali ke rumahnya. Ia terus-menerus memperlihatkan senyuman manisnya sampai akhirnya sebuah klakson dibunyikan sang empu. Fara melambaikan tangannya di udara, kemudian kendaraan tersebut kian menghilang dalam pandangannya. Ia membalikkan badannya untuk mengunci kembali gerbang yang semula terbuka lebar. Bahkan hingga lelaki tersebut sudah menghilang sepenuhnya, senyuman itu masih setia tercetak di raut wajahnya.
Kolase Asmara Universe.
by NAAMER1CAN0