LABRAK DAN PERTEMPURAN KECIL
cw // violence , harsh words
Deru suara motor sekonyong-konyong datang dan mulai meramaikan keadaan sunyi di antara mereka. Sebenarnya tanpa harus bersusah payah menolehkan wajah pun mereka sudah tahu bahwa kendaraan tersebut tersebut tak lain adalah milik Rakha. Benar saja, ketika perlahan kendaran itu mendekat mereka dapat melihat jelas laki-laki itu tengah fokus menjalankan motor kesayangan berwarna merahnya.
Jaya meneguk cepat satu kantong minuman berasa buah melon itu. “Anying si eta beneran we pake jaket gelembung teh,” ucap Jaya ketika motor itu telah melintasinya. Dirasa minumannya sudah benar-benar habis, laki-laki itu otomatis berdiri, bergegas meremas kantong bekas minuman tersebut dan segera membuangnya ke tempat sampah persis berada di belakang.
Rakha memarkirkan kendaraannya dengan asal. Mematikan mesin dan mencabut kunci motor tak sabaran. Laki-laki dengan jaket tebal berwarna biru tua itu perlahan berjalan menghampiri ketiga temannya yang sudah setia menunggu kedatangannya. “Keselamatan itu nomor satu.” Rakha membalas ucapan Jaya beberapa saat lalu, merebut paksa satu botol air minum dalam genggaman Jagat dan meneguknya tanpa permisi.
Harri mengacungkan kedua jempol, bangga mendengar balasan kalimat dari Rakha. “Bangga pisan aing akhirnya maneh ngikutin kata-kata dari aing, Kha!” puji Harri tak henti. “Ya udah atuh kalau gitu mah kita gas berangkat saat ini juga, da, soalnya udah komplit.” Harri mengabsen satu per satu temannya—memastikan ulang. Padahal tanpa harus menghitung pun Harri sudah bisa tahu jumlah dari mereka tak ada yang berkurang.
Jagat otomatis mengangkat tangan. “Eh, guys, apa nggak ada cara lain selain kita labrak mereka?” Jagat berdiri, membawa kedua kakinya untuk berjalan mendekati ketiga orang yang sudah berancang-ancang memasuki tempat tersebut. “Maksudnya gini, sesuatu yang dibalas sama hal buruk itu nggak baik. Masih banyak cara, kok, buat ngasih pelajaran sama mereka.” Jagat berusaha sekuat tenaga untuk menahan mereka agar tak melakukan tindakan yang tak sepatutnya dilakukan.
Bayangkan saja apabila pihak sekolah tahu bahwa mereka telah melakukan tindakan tak terpuji, lantas bagaimana nasibnya nanti? Terlebih ia serta teman-teman yang lain memiliki sebuah titel yang cukup terpandang di sekolah.
Jaya menoleh. “Gat, maneh pernah denger kalimat yang bilang darah dibalas darah, nggak?” tanya Jaya memastikan. “Itu yang lagi kita lakuin, pukulan dibales sama pukulan.” Harri dan Rakha mengangguk serempak, menyetujui balasan dari Jaya. “Kalau ujung-ujungnya berdarah, sih, itu bonus.” Jaya mengedikkan bahu tak acuh.
Jagat bergidik ngeri, menggeleng cepat semua bayangan yang sempat terlintas dalam pikirannya. “Kalau misalnya kita menganut kalimat itu, terus kapan mau selesai permasalahannya?” Jagat merentangkan tangan, memberi batasan agar ketiga temannya tak sembarangan masuk ke dalam tempat sana dengan rasa emosional tidak stabil. “Dendam dibalas dendam bukan solusi terbaik dalam mengatasi masalah. Kalau misalnya kita sekarang labrak, masuk ke dalam sana buat pukulin salah satu dari mereka, terus mereka sewaktu-waktu bales dendam lagi. Kapan selesainya kalau gitu?”
Jaya mengenyit. “Ya, tinggal labrak buat pukul lagi lah. Ya, nggak?” Jaya menatap Harri dan Rakha secara bergantian. “Betul! Calm, gini-gini aing dulu pernah diajarin silat sama bapa aing,” sahut Rakha, meyakinkan Jagat yang masih dipenuhi keraguan yang tercetak jelas pada wajahnya.
Jagat hendak membalas kembali ucapan itu, namun seseorang lebih dulu memotong dan menginterupsi kegiatannya tanpa permisi. “Udahlah, Gat, maneh jangan larang-larang kita. Kalau maneh emang nggak mau ikut, ya udah tunggu di sini, jagain motor kita bertiga.” Harri menunjuk ke arah kendaraan yang terparkir rapi—kecuali satu motor yang berwarna merah. “Lagian ini mah bukan saatnya kita debat, sekarang mah saatnya kita liatin jiwa solidaritas kita. Temen kita dipukulin gitu aja setelah main basket apa maneh nggak marah?” Alih-alih menjawab, laki-laki itu lebih memilih membungkam mulut, sontak hal itu berhasil membuat sang empu berdecak kesal.
“Kalau mau ikut, ya udah ikut. Kalau nggak mau, maneh diem di sini,” tegas Harri untuk yang terakhir kali sebelum akhirnya laki-laki itu menghempaskan rentangan tangan dari Jagat yang semula berusaha mencegah mereka untuk memulai aksinya. Ia menggerakkan tangan, memberi isyarat kepada Jaya dan Rakha agar segera berjalan mengikutinya.
Ketiga temannya sudah berjalan dengan penuh rasa percaya diri, sementara Jagat masih berada dibatas bimbang. “Batu banget brengsek.” Hingga akhirnya keputusan akhir laki-laki itu adalah mengikuti ketiga orang itu yang sudah berada jauh di depan sana.
Dalam setiap langkahnya menuju tempat itu, Jagat tak henti menggumamkan kalimat permintaan agar mereka diberikan keberuntungan, ia berharap bahwa tindakan kali ini tak akan membawa mereka ke dalam sesuatu permasalahan besar di depan.
Gelak tawa terdengar begitu nyaring, padahal mereka baru saja sampai di depan pintu. Suara sepatu yang bergesekkan dengan lantai di bawahnya perlahan mendominasi dan menyamarkan riuh suara percakapan pun gelak tawa dari orang-orang yang sudah berada di dalam ruangan sana.
Mata Harri memicing, mencoba mencari sosok orang yang disebutkan oleh Aksara dan Yolan dalam grup obrolannya. “Woi bangsat!” teriak Harri tanpa rasa takut. “Yang namanya si Omar mana?!” Laki-laki itu berkacak pinggang, menunggu orang yang sedang mereka cari akan mengangkat tangannya.
“Aya naon ieu?” Ruli menghentikan permainan basketnya, melirik ke empat orang yang sudah berdiri di depan pintu GOR. “Maneh aya kaperluan naon kadieu, Ri?” tanya Ruli, cukup terheran ketika melihat sosok orang tersebut yang tak biasa menginjakkan kaki di tempat ini.
Ada apa ini? Lo ada keperluan apa ke sini, Ri?
Salah satu dari mereka mengernyit. “Maneh kenal?” Ruli mengangguk. “Kenal, temen aing. Anak 60,” timpalnya.
Harri melangkah mendekati laki-laki yang masih memegang bola basket dengan salah satu tangannya. “Rul, Omar Omar teh yang mana anaknya?” tanya Harri tanpa basa-basi, ia tak lupa mengulurkan tangan kanan untuk memberikan sapaan salam hangat kepada laki-laki itu.
Ruli meraih uluran tangan Harri, kemudian ia lepaskan setelah merasa cukup untuk bersalaman. “Omar?” Alis Ruli bertaut kebingungan. “Mau ngapain maneh cari Omar?”
“Ada perlu.”
Ruli membalikan tubuh, menatap satu per satu orang yang sedang duduk di tepi lapangan. “Woi! Aya nu nempo si Omar teu, daks?” Bagas sedikit meninggikan suara, sengaja agar dapat terdengar oleh mereka semua yang sedang berlatihan basket dengannya.
Woi! Ada yang liat Omar nggak, Guys?
Namun sayangnya yang ia dapatkan hanya sebuah balasan gelengan kepala dengan kompak, menandakan bahwa mereka pun tak mengetahui keberadaan Omar ada di mana.
“Anying si Omar ke ma—”
“Aing! Aing yang namanya Omar, ada apa?” Laki-laki yang masih memakai seragam basket berwarna kuning itu berjalan menghampiri orang-orang yang secara tak sadar telah membuat bulatan kecil di tengah lapang dengan terengah-engah. Dari cara laki-laki itu berusaha mengais pasokan oksigen menandakan bahwa orang tersebut telah melakukan kegiatan yang cukup berat. Pun, ketika bulir-bulir keringat terjatuh mengenai seragam basketnya.
Rakha berdeham. “Maneh Omar?” Pertanyaan itu dibalas anggukkan oleh sang empu. Seolah telah mendapatkan lampu hijau, Rakha dengan cepat menghampiri laki-laki itu.
“MAKSUD SIA UDAH NGEGANGGU TEMEN AING APAAN ANJING?!” murka Harri.
Baru saja tangan Harri ingin mencengkeram pakaian sang empu, namun kedatangan Rakha secara tiba-tiba itu justru menghentikannya secara sepihak. “Maneh cicing, biar aing yang maju,” bisik Rakha, menghempaskan tak berperasaan tangan Harri. Sebab tak ingin membuat permasalahan lain, akhirnya mau tak mau Harri mengikuti keinginan satu temannya itu. Harri memilih untuk mundur, berdiri di belakang Rakha sembari mengawasi apabila temannya sewaktu-waktu akan berada dalam bahaya.
“Ada apaan, si—”
Brugh!
Suara pukulan itu cukup keras, namun tak sekeras bagaimana ketika tubuh sang empu terjatuh ke lantai. Omar yang tidak mendapatkan aba-aba pun tak bisa menahan keseimbangan tubuhnya, sehingga kini laki-laki itu hanya bisa meringis kesakitan.
“EH ANJING ADA APAAN INI TEH KENAPA MUKULIN TEMEN ARURANG BANGSAT!”
Mereka yang semula hanya terdiam sembari memandang ke arahnya, satu per satu mulai berdatangan dan berdiri persis di belakang Ruli yang masih terdiam membeku memproses kejadian tersebut. Salah satu dari mereka mendatangi Omar, membantunya untuk berdiri sebab telah dihantam secara sepihak.
“Eh bagong, temen sia itu udah ngehajar temen aing waktu pertandingan kemarin, ya, Anjing!” Rakha menunjuk wajah Omar dengan mimik wajah sudah dipenuhi amarah.
Mendengar sebuah fakta itu, mereka semua kompak membelalakan mata. “Bener, Mar, sia abis ngehajar temen mereka?” Bukannya menjawab, Omar hanya diam sembari menundukkan wajah.
Jagat spontan berlari dan menahan tubuh Rakha ketika laki-laki itu akan kembali berjalan yang ia pastikan bahwa laki-laki itu akan kembali melayangkan pukulan. “Udah, udah. Jangan pake kekerasan, kita omongin aja secara baik-baik.” Jagat dapat melihat jelas bagaimana napas Rakha turun dan naik dengan tak beraturan disertai urat leher yang tercetak pada permukaan kulit laki-laki itu.
Jaya mendekati Harri yang masih setia berdiri sembari membisikkan sebuah kalimat. “Satu pukulan doang mah nggak akan berasa. Lagian nanggung kali mukul cuman di bagian pipi kiri, sedangkan pipi kanannya belum kesentuh nanti yang ada jadi berat sebelah.”
Harri menoleh, menatap Jaya beberapa detik sebelum akhirnya laki-laki itu menganggukkan kepala, seakan telah memberikan sebuah persetujuan atas semua pikiran dalam kepala Harri.
“Mar, sini aing mau ngomong.” Harri menggerakkan tangan, memanggil laki-laki itu agar segera menghampirinya. Prasetya yang masih setia menahan tubuh Omar pun seketika terlepas, mempersilakan Omar agar mendatangi orang yang sudah memanggilnya.
Dengan perasaan campur aduk Omar berjalan, salah satu tangannya setia memegang ujung bibir yang masih terasa berdenyut. Namun belum sempat sepenuhnya laki-laki itu berdiri di hadapan Harri, tiba-tiba sebuah pukulan kembali dilayangkan orang tersebut kepadanya. Berbeda dengan pukulan sebelumnya yang mendarat di pipi kiri, pukulan beberapa saat lalu justru mendarat pada pipi sebelahnya—pipi kanan.
Laki-laki yang baru saja datang dengan cepat menghempaskan tas berisikan sepatu basket ke lantai. Kemudian dengan cepat ia berlari ke arah Harri dan membalas pukulan yang telah dilayangkan kepada Omar. “EH BANGSAT KENAPA SIA PUKULIN TEMEN AING!” ucap laki-laki itu tak terima melihat rekan satu timnya dipukuli secara tiba-tiba.
Jagat, Jaya, dan Rakha terperanjat menyadari tubuh Harri terhuyung akibat pukulan yang datang dari arah sampingnya. “BAGONG, JANGAN SENTUH TEMEN AING ANJING!” Rakha menghempaskan cengkeraman Jagat pada tubuhnya. Ia berlari ke arah laki-laki menggunakan jaket berwarna hijau tua, sebelum akhirnya membalas pukulan tak kalah kencang dari sebelumnya.
Jagat memukul pundak Jaya, menyadarkan laki-laki itu dari sebuah lamunan. “Bantu lerai gila, bukan diem aja. Saya pegang Rakha, kamu bantuin Harri.” Setelah menyelesaikan ucapannya, Jagat berlari untuk meraih pundak Rakha lalu menyeretnya ke belakang agar tak terjadi pertengkaran yang entah mengapa justru makin terasa panas.
Jagat cukup kewalahan menahan tubuh Rakha hanya dengan seorang diri, hingga akhirnya salah satu dari mereka datang dan membantu mencengkeram tangan kiri Rakha agar laki-laki itu tak dapat bebas bergerak.
Ammar memberontak, tak terima melihat rekan satu timnya diperlakukan semena-mena. “GOBLOG MARANEH, SI OMAR DITENGGEULAN KU JELEMA BAGONG IEU TEH LAIN DIBANTUAN KALAH CICING WAE, POPOLOAN SARIA KABEHAN DI MANA ANJING!”
Gila lo semua, Omar dipukulin sama orang brengsek ini tuh bukan dibantuin malah pada diem aja, otak kalian semua di mana! Ps. Kalimat bahasa sunda di atas termasuk bahasa yang kasar.
Jaya menepis jemari laki-laki di depannya dengan kasar. “Tong wani tunjak-tunjuk ka hareupeun beungeut babaturan aing, bangsat!” ucap Jaya masih dengan salah satu tangan menahan pundak Harri yang sudah dibantu oleh Ruli.
Jangan berani tunjuk-tunjuk ke depan muka temen gue!
“SIA NU SIGA BAGONG, TEU NYAHO NAON MASALAHNA PIPILUEUN!” timpal Rakha dengan tubuh sesekali yang memberontak. “DIADU DIEU JEUNG AING KEHED!” tantang Rakha.
Lo yang kayak Babi, nggak tau apa masalahnya tapi ikut-ikutan! Berantem sini sama gue!
Rakha menggerakkan kedua tangannya, berupaya melepaskan dari cengekeraman kedua orang itu. “Lepasin aing Anjing, aing mau nonjok itu orang!” Rakha menggertakkan gigi.
“OMAR SI KAMU KE MANA ANJIR, SI AKU TINGGALIN BENTAR LANGSUNG ILA—” Ucapan Yolan otomatis terhenti ketika melihat keempat temannya yang berada di dalam GOR lapangan biasa ia pakai untuk bermain dengan rekan basket sekolah lain. “SI KALIAN NGAPAIN DI SINI ANJIR?!” Yolan berlari, menghampiri ke tengah lapang yang entah mengapa ia merasa hawa di sekitarnya seketika memanas. Pun, tatapan sengit yang berbondong-bondong dilayangkan Harri, Jaya, dan Rakha pada rekan basket sekolah lain.
Aksara yang baru datang langsung terarah kepada salah satu wajah temannya yang terlihat memar. “HARRI MUKA MANEH KENAPA ANYING BABAK BELUR?!” panik Aksara, menatap wajah temannya itu dengan seksama.
“Yang itu bukan orang yang udah mukulin maneh kemarin teh, Lan?” Rakha menunjuk ke arah Omar yang sudah terduduk di lantai dengan tangan berusaha menghilangkan rasa denyut pada wajahnya.
Yolan terbelalak. “Anjing, jangan bilang si kalian abis berantem?!” Yolan mulai menyadari situasinya saat ini, terlebih ketika melihat beberapa memar pada wajah ketiga orang di hadapannya.
Tak ada yang menjawab menandakan bahwa dugaannya benar.
“Ih tolol, kenapa si kalian berantem?”
Jaya mulai melepaskan cengkeraman pada tubuh Harri, pun diikuti hal yang sama oleh Jagat untuk melepaskan Rakha, walaupun masih ada ketakutan apabila temannya itu akan kembali melayangkan pukulan.
“Aing nggak bisa liat temen aing sendiri diganggu gitu aja, ya, Monyet,” balas Harri.
Yolan mengacak-ngacak rambutnya frustasi. “Tapi nggak dengan berantem juga tolol!” Yolan cukup sabar ketika mendapatkan jawaban yang sama sekali tak pernah terlintas akan mendengar kalimat tersebut. “Liat si aku nggak kenapa-apa, soalnya kemarin langsung dikompres sama si Aksa, udah nggak terlalu sakit juga!”
“Harri, Rakha, Ammar, Omar si kalian cepet salaman dulu. Si kalian teh temen si aku, harus akur!”
Harri menggeleng. “Nggak mau, Anying, mereka yang salah!” Rakha mengangguk menyetujui.
“Nggak ada salah atau bener. Minta maaf, ya, minta maaf,” tegas Yolan dengan nada ucapan terkesan dingin.
Aksara berjalan mendekati Jagat yang sedang menatap khusyuk kejadian itu. “Maneh ikut berantem nggak, Gat?” Pertanyaan itu dibalas gelengan oleh Jagat.
Harri menghela napas. “Maafin aing nya.” Laki-laki kelahiran bulan Juni itu mengulurkan tangan, namun sang empu justru tak membalas uluran tangannya. “TUH, DA, AING UDAH MINTA MAAF TEH NGGAK DIBALES ANYING MALESIN!” ketus Harri tak terima permintaan maafnya tak digubris oleh sang empu.
Ruli menggeplak kepala Ammar. “Cepet minta maaf juga, goblog.”
Ammar meringis ketika merasakan belakang kepalanya dipukul begitu saja. “Ya, maafin juga aing.” Ammar meraih uluran tangan dari Harri dengan rasa malas. “Maafin aing tadi udah mukul maneh walaupun aing masih belum puas.”
Harri menghempaskan tangan, sebab tak mau berlama-lamaan untuk bersalaman dengan orang yang telah memukul wajahnya.
Rakha mengeluarkan selembar uang, lalu menyerahkannya kepada Omar. “Maafin aing, Mar.” Sementara Omar yang diberi uang secara tiba-tiba hanya bisa menyatukan kedua alisnya dengan heran. “Apaan?” Omar menatap selembar uang itu tanpa berniat untuk segera meraihnya.
“Duit buat beli es batu, dua ribu cukuplah. Malah maneh untung seribu.”
“SI BANGSAT, LUKA AING DIHADIAHI DUA REBU DOANG.”
Gelak tawa kompak melantun setelah mendengar kalimat konyol yang terlontar dari mulut Rakha. Biarpun mulut mengeluarkan kalimat tak setuju, namun tangan kanannya masih bergerak meraih selembar uang berwarna abu itu.
Aksara cukup penasaran dengan pakaian yang digunakan oleh Harri dan Rakha. “Maraneh kenapa pake jaket itu, sih? Udah kayak tukang villa aja Anying.”
Harri melirik jaketnya sekilas. “Ini teh pertahanan aing sama si Rakha kalau sewaktu-waktu ada yang ninju perut, soalnya bahannya tebel. Jadi aman dari pukulan,” jelas Harri dengan bangga dapat memamerkan ide cemerlangnya.
“Si aku nggak habis pikir sumpah sama jalan pikiran si kalian.”
Yolan menggeleng. Kendati ia cukup kesal dengan tingkah temannya yang telah melakukan tindakan tersebut, namun jauh di dalam sana ia merasa beruntung sebab telah dipertemukan dengan seorang teman yang setia.
“Eh Omar, tanpa mengurangi rasa hormat maaf kalau si aku nggak simpati karena musibah si kamu hari ini. Tapi si kamu tetep harus lanjutin bersihin toilet GOR ya, Anying, si aku sama si Aksa udah beli pewangi toilet!” Yolan menengadahkan tangan ke arah Aksara, kemudian kantong plastik berwarna putih itu telah berpindah tangan. “Ini hukuman karena si kamu udah mukul si aku kemarin!” Kantong plastik berisikan beberapa belanjaan itu Yolan serahkan dengan cepat kepada sang empu.
Siapa yang tidak merasa kesal ketika dirinya sedang asyik bermain basket, namun entah mengapa secara tiba-tiba ia justru mendapatkan sebuah pukulan dengan dalih ia telah merampas bola yang semula sedang digiring olehnya. Lagipula, bukankah itu yang dinamakan pertandingan?
“BRENGSEK, KAKI GUA JANGAN DIINJEK JUGA ANJING!”
Teriakan itu cukup nyentrik di tengah-tengah suasana sunyi. Semua orang menoleh ke arah sumber suara yang telah berteriak dengan lantang. Bahkan suasana ramai akan kalimat yang semula terus-menerus dilantangkan saban insan di sana, langsung lenyap dan menyisakan rasa penasaran siapa pemilik suara jeritan tersebut.
Jagat memukul asal tubuh seseorang yang telah menginjak kakinya secara tak sengaja. Bagaimana tidak terasa sakit ketika ia hanya memakai sandal, sedangkan sang pelaku yang menginjak menggunakan sepatu dengan permukaan alas yang keras. Terlebih sang pelaku pada saat itu tengah berlari sehingga kakinya dapat merasakan kesakitan yang berkali-kali lipat apabila dibandingkan dengan diinjak biasa.
Jagat berjongkok, mengusap-ngusap permukaan kulit yang terasa sakit. Bahkan jejak dari sepatu sang empu masih tercetak jelas di atas permukaan kulitnya, pun beberapa detik setelahnya rona merah mulai muncul secara perlahan.
“Eh, eh, hampura aing nggak tau kalau ada kaki maneh sumpah!”
“WAH SIA APAIN TEMEN AING HAH?! LAGI BALES DENDAM BUKAN?!” Harri menoleh, menunjuk orang tersebut yang memperlihatkan raut penuh ketakutan. “ATAU MANEH MAU NYOBA NGERASAIN DIPUKUL SAMA JAGOAN ARCAMANIK JUGA?!”
Laki-laki itu menggeleng cepat. “Nggak sumpah, aing bukan mau bales dendam. Aing lagi buru-buru mau bawa pesenan makan aing di luar, driver-nya dari tadi udah nungguin!” Laki-laki itu mengangkat dua lembar uang dengan tinggi, berusaha meyakinkan bahwa ia benar-benar tak memiliki niat buruk seperti yang dikatakan Harri untuknya. “Ini buktinya aing pegang uang!”
Ruli menggeleng-gelengkan kepala. “Tolol pisan sumpah maneh, Dzul! Padahal masalah satu baru aja beres.”
Jagat Lingga Erlangga Universe.
by NAAMER1CAN0