LANGIT JINGGA DI BUAH BATU.


Mesin motor keduanya telah dimatikan oleh sang empu. Baik kendaraan Harri dan kendaraan Fara kini sudah terparkir sempurna di halaman rumah Harri. Harri berjalan untuk kembali menutup gerbang rumahnya yang semula terbuka.

Kepala Fara mendongkak, menatap langit sore hari yang dipenuhi semburat warna Jingga membuat kesan yang sangat indah kala memandanginya. Kemudian sesaat kemudian suara derap langkah yang menghampirinya mulai mengalihkan atensi Fara dari memandangi langit sorenya.

Harri menghampiri Fara dan membantu melepaskan helm yang masih membaluti kepala sang kekasih. Ia cukup mafhum bahwa perempuannya sering kesulitan untuk membuka pengait helmnya.

“Makasih, Harri,” goda Fara dengan menjulurkan lidahnya. Ia sangat suka melihat raut wajah kesal yang selalu diperlihatkan kekasihnya kala dirinya selalu memanggil dia dengan sebutan namanya.

Harri berdecak diiringi bola matanya yang memutar. Ia berusaha menulikan pendengarannya, namun kalah cepat karena ucapan sang empu sudah memasuki gendang telinganya. “Nanti mah jangan ngebut-ngebut, maneh bukan Rossi.”

Fara mendecak kesal saat mendengar dirinya disepelekan oleh lelaki di depannya. Fara menukikkan alisnya, tak lupa menajamkan pandangannya agar Harri akan takut dengan tatapannya.

“Kamu aja we yang lambat itu mah, bukan aku yang ngebut!”

Harri menjitak kepala Fara membuat sang empu mengaduh kesakitan. “Awh! Parah banget penganiayaan dalam hubungan kekasih ini mah!”

Harri memutar bola matanya malas. Ia melangkah lebih dulu untuk memasuki kediamannya yang kemudian tak lama disusul oleh Fara di belakang sana.

“Kamu mau kemana, ih?” protes Fara melihat Harri yang sudah melangkah meninggalkannya tanpa mengeluarkan sepatah kata.

Langkah Harri berhenti dan membalikan badannya untuk menatap sang kekasih di belakangnya. “Mau ganti baju, kamu sama si Mama dulu sebentar.” Harri menepuk puncak kepala Fara lalu kembali melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti beberapa saat lalu.

Mulut dan kakinya selaras. Fara sedari tadi sedang berceloteh dengan kedua tungkainya yang berjalan menuju ruang tamu, sebab Harri malah meninggalkannya begitu saja. Fara yang baru saja akan duduk pun langsung dikejutkan oleh teriakan seseorang. Hingga akhirnya ia kembali menegakkan tubuhnya dan memperlihatkan senyuman indahnya kepada seseorang di seberang sana.

“Neng, kemana aja ih Mama kangen Neng Isel!” Wanita paruh baya itu segera memeluk perempuan yang lebih muda penuh semangat ketika sudah di depannya. Lewat pelukan itu Mama Iis menyalurkan rasa rindunya kepada Fara.

Bahkan kedatangan Fara bisa Mama Iis hitung dengan jari saking jarangnya perempuan itu mengunjungi rumahnya.

“Isel lagi sibuk, Ma, jadinya jarang main ke sini deh! Oh iya, Papa ke mana, Ma?” tanya Isel, mengecupi punggung tangan wanita paruh baya itu sembari mengedarkan pandangannya ke samping kanan dan kirinya berharap bisa menemukan sosok seseorang yang sedang diperbincangkan.

“Lagi di belakang buka durian, si Papa mau buat es duren katanya soalnya ada Neng Isel.”

Hati Fara tersentuh ketika merasakan bahwa kedua orang tua kekasihnya memperlakukan dirinya dengan sangat baik. Jika ia sedang seorang diri, mungkin ia sudah meneteskan air matanya.

“Neng, ayo kita makan. Mama udah masakin makanan kesukaan Neng Isel!” Mama Iis meraih lengan Fara dan menyeret menuju dapur rumahnya.

Seketika sampai di sana, Fara hanya bisa melebarkan bola matanya ketika melihat hidangan lezat menu makan sore hari ini. Cacing-cacing di perut pun seakan memberontak untuk segera diberi asupan.

“Teteh Isel!” teriak Kaila antusias saat melihat sosok seseorang yang sudah berada di kursi dapur rumahnya. Ia berlari kecil untuk menyodorkan lengan kanannya. “Teh Isel kemana aja? Udah lama nggak ke rumah!” Kaila mengecup lengan Fara dan mendudukkan dirinya persis di samping kursi Fara.

“Teteh lagi sibuk, tugas Teteh banyak banget! Ini juga, abis makan sore Teteh mau ikut ngerjain tugas di sini!” Fara menghela napasnya, memperlihatkan sedikit rasa lelah yang dirasanya kepada si kecil.

“Nanti kalau udah nggak sibuk, sering-sering main ke sini, ya! Kaila punya barbie baru yang dokter sama reporter pokoknya Teh Isel harus main sama Kaila!”

Fara menyatukan jari telunjuk dan jempol membentuk bulatan sempurna. “Ok, nanti Teh Isel sering main ke sini!” Kaila tersenyum sembari menganggukkan kepalanya antusias tatkala mendengar jawaban dari Fara yang sukses membuat dirinya semakin tidak sabar untuk menantikan hal tersebut.

“Mama, ih! Aquarium di kamar Aa airnya ditumpahin sama si kembar. Mana karpet Aa jadi basah semua!” ketus Harri, mengusakkan kepalanya kepada punggung Mamanya seakan sedang mengadu atas perilaku kedua adik kembarnya yang selalu membuat emosinya berhasil memuncak.

Fara terkekeh melihat pemandangan di depannya yang sedang memeperlihatkan kekasihnya bak kanak-kanak mengadu.

“Aa, ih, malu itu sama pacar kamu diliatin.” Harri melirik sekilas ke arah Fara yang sedang tersenyum kepadanya, lalu kembali melanjutkan kegiatannya untuk bermanjaan kepada Mamanya. “Biarinlah, Aa mah nggak malu. Mama atuh, ih, karpet Aa gimana?!”

Mama Iis menghela napasnya, tangannya seketika terhenti dan berjalan menuju wastafel untuk membersihkan tangannya. Seakan seperti ada magnet di antaranya, Harri pun tak lelah untuk mengikuti langkah sang Mamanya.

“Iya nanti Mama ganti, lagian Aa kan biasanya juga suka dikunci bukan kamarnya?”

Harri mulai menjauhkan kepalanya dari punggung Mamanya. “Udah Aa kunci tapi nggak tau kenapa tiba-tiba kebuka, aneh pisan rumah teh kenapa ya.”

“Kaila yang buka … Kaila buka kamar Aa mau ambil pensil warna Kaila yang ketinggalan di meja belajar Aa ….”

Harri menolehkan wajahnya menatap sang adik sedang terduduk sembari menundukkan kepalanya. Harri mulai menghampiri dan duduk persis di depan Kaila.

“Kaila, Aa mah nggak pernah ngelarang Kaila buat masuk kamar Aa. Sok, Aa pernah nggak ngelarang Kaila buat masuk?” tanya Harri yang dijawab sebuah gelengan dari sang adik. “Kaila harus tau kalau abis dari kamar orang apalagi yang sebelumnya dikunci, Kaila harus ngunciin lagi. Sama halnya kayak Aa pinjem spidol Kaila yang isinya 12, Aa harus balikinnya juga 12. Harus balikin kayak waktu dipinjem.”

Kaila mengangguk, kepalanya mulai mendongkak pelan dan menatap kedua mata Harri secara diam-diam.

“Kaila minta maaf Aa … soalnya Kaila buru-buru takut ditinggalin temen Kaila … Kaila janji nanti Kaila nggak akan gitu lagi!”

Harri mengembuskan napasnya pelan disertai anggukkan kecil. Ia memang sedang marah akibat keteledoran adiknya, namun Harri tak bisa lama marah sebab dia sangat menyanyangi ketiga adiknya, walaupun setiap hari ia selalu dibuat ngelus dada akan tingkah lalu para adiknya.

“Teh Isel, Teh Isel, Papa udah bongkar durennya nanti tinggal dibuatin teh es durennya!” teriak Aariz, berlari kecil ke arah Fara untuk memperlihatkan buah durian yang sudah dibuka oleh Papa dari kekasihnya.

“Teh Isel, liat!” Aarash tidak mau kalah untuk memamerkan hasil jerih payah Papanya untuk membelah buah Durian.

Fara lagi-lagi menarik ujung kedua bibirnya untuk memberikan senyum terbaiknya disertai acungan jempol untuk respons antusias si kecil yang membutuhkan sebuah pujian untuknya.

Fara sontak berdiri dari tempat duduknya dan berjalan untuk memberikan kecupan pada punggung tangan Papa Asep. “Pa,” sapa Fara sembari membawa punggung tangan itu pada keningnya.

“Ayah sehat, Neng?”

“Sehat, Pa.”

“Salam ya buat si Ayah.”

Fara tersenyum dan mengangguk. “Iya, nanti Isel sampein kalau Ayah udah pulang, ya, Pa.” Papa Asep membalas ucapan Fara dengan anggukkannya.

Setelah itu Fara kembali duduk di tempat semula. Harri yang sebelumnya ada di depannya, kini sudah berpindah di samping Fara.

Harri baru saja akan membawa nasi pun langsung dihentikan oleh tangan Fara yang menggenggam pelan tangannya. “Sama aku aja dibawain.” Lantas, dengan senang hati Harri menerimanya. Tangannya kini sudah bersedekap di atas meja sembari kedua matanya asyik memperhatikan kegiatan Fara yang lihai dan telaten untuk memenuhi piring kosongnya dengan lauk-pauk yang sudah dibuat Mamanya.

“Kamu makan yang banyak, kalau bisa sayur lodehnya abisin, ya, Neng.”

Fara terkekeh kecil dan menggeleng, menolak perintah dari Mama Iis dengan halus. “Aduh, Mama mah suka seucap-ucap.”

“Ma, tah Isel diet. Marahin, Ma, orang Isel punya maag.”

Harri mengaduh ketika pinggangnya sukses dicubit oleh perempuan di sampingnya.

“Sakit, anjir!” keluh Harri dan menatap tajam Fara. Namun, tatapannya masih kalah oleh tatapan penuh arti dari Fara.

“Neng, jangan diet-diet. Nanti sakit. Orang sakit aja mau makan susah nikmatin, masa orang sehat kayak kita mau membatasi makanan? Jangan diet, ah, ya. Mending olahraga aja sama camilannya diganti buah-buahan aja mulai sekarang.”

Tah, dengerin kata Mama Iis!”

Fara sendiri tak pernah mengatakan bahwa dirinya sedang berdiet. Hanya saya Fara kerap menolak ajakan Harri makan, sebab dirinya sudah lebih dulu makan sehingga tak mampu untuk mengiakan ajakan dari kekasihnya.

Fara menggeleng cepat, tak mau membuat Mama Iis semakin salahpaham dengannya. “Mama, Neng mah nggak diet-diet. Harri mah bohong! Mama jangan percaya!”

Ruangan tersebut dipenuhi dengan gelak tawa. Obrolan-obrolan kecil saling mereka lontarkan. Harri tersenyum di sela-sela kegiatan makannya. Ia senang ketika melihat Fara makan dengan lahap dan terhibur oleh keluarganya.

Bahagia terus, Sel, aing bakal buat maneh bahagia terus.


Fara menghempaskan tubuhnya begitu saja pada salah satu sofa di ruang keluarga kediaman Harri. Keadaan perutnya kini sangat penuh, ia tak kuasa untuk sekadar memasukkan makanan lainnya.

“Mana? PR nya mana?” tanya Harri ketika sudah menyusul Fara untuk duduk di bawahnya. Tangannya menengadah, menunggu sang empu menyerahkan tugas sekolahnya yang kerap membuatnya penasaran karena Fara selalu mengeluh dengan tugasnya. Sedangkan, tangan satunya menyimpan sebuah minuman di atas meja—yang telah dibuat oleh Papanya.

Fara meraih ranselnya yang tak jauh dari tempatnya berada. Tangannya merogoh dan memilah sebuah buku yang sedang dicarinya. Ketika sudah mendapatkan buku itu, Fara bergegas menyerahkan kepada Harri dan ikut terduduk di bawah menyusul kekasihnya.

“Ini!” Harri mengikuti arah tunjuk Fara. “Oh, turunan.” Tangan Harri kembali menengadah, seolah sedang meminta sesuatu yang kemudian Fara langsung menyerahkan satu kotak alat tulisnya.

“Aku kerjain satu yang setipe. Kamu perhatiin, nanti coba isi. Aku bakal jelasin nanti.” Fara mengangguk, matanya tak lepas dari buku-buku itu yang semula bersih kini sudah mulai ternodai oleh tinta hitam yang mulai memenuhi kertasnya.

Ai aku ngapain dong?” tanya Fara yang dibalas Harri dengan menunjuk minuman menggunakan dagunya. “Makan itu, si Papa sengaja buatin untuk maneh.”

Sebenarnya perut Fara saat ini sudah sangat kenyang. Namun, untuk memasukkan minuman kesukaannya tak mungkin bisa ia tolak begitu saja. Buktinya kini mulut Fara sudah dipenuhi dengan minuman tersebut.

“Enak banget! Sumpah ini mah maneh kayaknya harus buat ‘Es Duren ala Bapa Asep’!” Harri terkekeh dan menggelengkan kepalanya. Ia masih terfokus pada sebuah soal yang dikeluhkan kekasihnya.

“Abisin.”

“Iya, pasti. Ai kamu nggak?”

Harri menggeleng. “Nggak, aing udah berada ditahap bosen pisan sama duren, anjir. Atuh da setiap hari hayoh we rumah teh selalu makan durian, gimana aing nggak enek.”

Apa yang diucapkan Harri itu benar. Keluarganya sangat menyukai buah durian. Bahkan, setiap pagi buah itu selalu tersedia di atas meja makannya. Awalnya Harri senang-senang aja menikmatinya, namun semakin lama Harri tentu saja merasa bosan. Sampai buah durian di matanya sudah tidak menggugah seleranya.

“Kamu masih marah nggak?”

“Marah apaan?” Harri kembali bertanya dengan mengernyitkan dahinya, berupaya mencerna pertanyaan yang secara tiba-tiba Fara layangkan.

“Yang ngerangkul.”

“Oh,” jawab Harri sekilas dan menjeda sedikit ucapannya. “Sedikit,” lanjutnya tanpa mengalihkan sedikitpun pandangannya.

“Sumpah aku nggak sadar!”

“Ya udah, udah terjadi juga, kan? Lagian itu akibat dari kita yang backstreet.”

Fara mengembuskan napasnya. Ia mengangguk mengiakan ucapan dari Harri. Namun rasa tidak enak masih menghantui dirinya. Padahal Fara kira Harri tidak akan cemburu ketika dia bersama dengan teman sekelasnya.

“Lanjutin.” Harri menyerahkan buku serta alat tulisnya ke arah Fara. Fara langsung menghentikan kegiatan menikmati minuman duriannya. Tangannya mulai meraih sebuah pulpen. Matanya menajam, memperhatikan setiap tulisan yang telah dicoretkan Harri sebelumnya.

“Nomor tiga sama lima ikutin kayak gitu, sama persis cuman beda angka.”

Fara mengangguk dan mulai mencoba mengerjakan tugas matematika wajib yang paling dihindarinya. Fara beruntung rasanya memiliki kekasih seperti Harri yang pandai dalam segala bidang. Meskipun terkadang Harri terlihat seperti orang yang tidak telaten dalam akademik, namun tentu pandangan itu salah. Harri kerap menjadi peringkat lima besar di kelasnya. Artinya, Harri sangat pandai dalam bidang akademik.

Mereka berdua saling terdiam. Hanya ada suara televisi yang menemaninya. Fara masih terfokus pada tugas-tugas sekolahnya, sedangkan Harri sedari tadi menyuapkan minuman ke dalam mulut Fara agar perempuan itu masih bisa menikmatinya; matanya sibuk memastikan bahwa Fara mengerjakan tugasnya dengan benar.


Kolase Asmara Universe.

by NAAMER1CAN0