LAUK-PAUK DI DALAM TUDUNG SAJI
Jaya menggeliat tak nyaman di atas kasur. Tak biasanya ia tertidur dengan perasaan gelisah. Sehari-hari ia selalu tidur dengan posisi rapi—tak banyak bergerak, tapi kali ini posisi ia tidur sedikit acak-acakan. Selimut yang tersingkap—memperlihatkan sebagian kakinya, bantal berpindah ke kaki, serta guling yang entah sejak kapan sudah tergeletak di karpet.
Jika kegelisahan itu berasal dari udara di kamarnya yang pengap, seharusnya saat ini tubuh Jaya mengeluarkan bulir-bulir keringat bukan malah laki-laki itu makin mengeratkan selimut pada tubuhnya.
Sebelum tidur, perasaan Jaya sudah dibuat tidak tenang. Seperti ada yang sudah ia lupakan, namun Jaya sendiri tak dapat mengingatnya.
Kedua mata Jaya perlahan terbuka. Selagi laki-laki itu mengedip-ngedipkan mata guna menghilangkan penglihatan yang buram, tangan Jaya bergerak melepas casan pada ponselnya. Matanya spontan menyipit—membiasakan menerima perubahan cahaya dari gelap ke terang. Layar ponselnya memperlihatkan pukul dua malam.
Jaya menggaruk kepala, lalu menyimpan kembali ponsel itu di nakas. Menggaruk-garuk kepala sudah jadi salah satu ritual Jaya dalam terbangun dari tidurnya. Jaya sendiri tak tahu mengapa ia selalu melakukan hal itu secara berulang.
Guna mengembalikan kesadarannya, lantas Jaya duduk untuk beberapa menit sebelum akhirnya laki-laki itu bangkit. Jaya meraih kaos hitamnya di kursi dan memakainya, lalu berjalan menuju pintu—membukanya dengan pelan-pelan. Sadar akan waktu tengah menunjukkan dini hari, Jaya meminimalkan suara-suara dari setiap pergerakannya agar tak membangunkan seisi rumah.
Alasan Jaya mengapa ia lebih memilih keluar dari kamar daripada melanjutkan sesi tidurnya, karena ada hal penting yang harus Jaya lakukan sebelum matahari terbit. Target utamanya saat ini hanyalah dapur, Jaya sampai rela menuruni puluhan tangga dengan keadaan kepalanya yang masih pusing demi mendatangi tempat itu.
Sesampainya di dapur, Jaya membuka tudung saji. Ia mengabsen satu per satu menu makanan sore tadi yang sudah dibuat Mama Sumarni. Tanpa menunggu lama, Jaya berjalan menuju penanak nasi, meraih piring lalu menyendok nasi. Ketika jarinya hampir meraih sendok, laki-laki itu segera mengurungkan niat dan memilih makan menggunakan tangan agar bunyi denting dari sendok dengan piring nanti tak membangunkan keluarganya yang sedang tertidur. Jaya menyalakan keran, memposisikan kedua tangannya di bawah aliran air. Merasa tangannya sudah cukup bersih, Jaya mematikan keran. Air semula yang tak sabaran menetes kini lenyap dalam sekejap.
Jaya meneguk air setelah berhasil menuangkan air ke dalam gelas. Usai sesi membasahi kerongkongannya selesai, selanjutnya satu per satu lauk-pauk Jaya ambil dan ditaruh ke piringnya. Setelah merasa cukup, Jaya berdoa sebelum akhirnya menikmati agenda makan malam itu dengan kesunyian.
Bunyi yang bisa Jaya dengar saat ini hanyalah suara dari mulutnya yang sibuk mengunyah, suara kulkas dengan galon bersahutan. Bahkan, jika tiba-tiba ia bersendawa, mungkin Jaya akan ikut kaget sendiri dengan suara sendawanya.
Jaya berulang melakukan menikmati makan malam itu dengan keadaan mata tertutup. Ternyata rasa kantuk itu masih dapat dirasakan laki-laki itu. Walaupun begitu, mulutnya tak henti dalam mengunyah.
“Lagi ngapain, De?”
Tubuh Jaya menegang, matanya refleks membuka dengan kedua tangan saling mengepal. Mulutnya yang sedari tadi sibuk bergerak kini ikut terdiam. “Bisa nggak Teteh jangan ngagetin kayak gitu,” timpal Jaya sedikit sewot, namun harus tetap mengatur suara agar tak kelepasan mengeluarkan nada suara tinggi.
Ivanka terkikik. Perempuan itu berjalan mendekati adiknya, menarik kursi dan duduk persis di seberang Jaya. Ivanka menatap piring milik sang adik. “Tumben Dede makan malem-malem?” tanya Ivanka tak langsung digubris oleh Jaya, sebab laki-laki itu sibuk kembali menghancurkan lauk-pauk di dalam mulutnya. Ivanka berdecak kesal sembari melipat tangan di atas meja.
“Teteh mau ngapain ke dapur?” tanya Jaya usai menelan satu suapan nasi beserta tempe goreng.
“Teteh ta—”
“Ssstttt!” Jaya menyimpan jari telunjuk di depan mulut, kepalanya sibuk celingak-celinguk. “Teteh ngomongnya jangan kenceng-kenceng, nanti papa sama mama takut kebangun.”
Ivanka mengangguk. “Teteh tadi denger suara air keran nyala, makanya langsung turun ke bawah buat liat. Awalnya Teteh ngira bocor, eh, tapi ternyata Teteh nggak sengaja liat Dede lagi makan sendirian di sini,” balas Ivanka dengan nada suara pelan cenderung berbisik-bisik, mengikuti titahan sang adik.
Pandangan Jaya tak sedikit pun berpindah pada kedua bola mata sang kakak walau sejenak. Laki-laki itu seperti tengah menikmati santapan malam. Sekarang ini bahkan ia benar-benar terlihat sedang kelaparan di mata Ivanka.
“Dede tadi makan sore nggak?” tanya Ivanka cukup terkejut melihat adiknya bersemangat makan di waktu malam seperti ini. Biasanya Jaya selalu menolak untuk makan lebih dari jam dua belas malam. Namun, pendirian adiknya itu tak selaras dengan gerak-geriknya sekarang ini.
Jaya mengunyah cepat dan menelan makanan itu tak sabaran. “Jam delapan malem tadi Dede udah makan kwetiau.”
Dahi Ivanka mengerut. “Loh, Teteh kira Dede nggak makan sama sekali makanya keliatan lahap banget makannya sekarang.”
Jaya meraih gelas, meneguk air sampai dirasa sudah tak ada satu pun makanan bersarang di kerongkongannya.
“Dede kebangun soalnya keinget mama udah masak. Dede takut buat mama sedih kalau Dede nggak nyicip masakannya, makanya Dede makan sekarang. Biar pas mama bangun nanti, isi lauk-pauk di tudung saji udah berkurang.” Usai menyelesaikan kalimatnya, Jaya kembali menyuapkan nasi ke mulutnya.
Ivanka merespons ucapan Jaya dengan senyuman. Ivanka berdiri dari kursi, mengambil gelas sang adik lalu mengisikannya dengan air yang baru.
Walaupun terkadang Jaya terlihat sangat manja, tapi laki-laki itu tak pernah absen untuk menghargai masakan sang mama. Ivanka sangat tahu betapa gengsinya Jaya, namun jika sudah berhadapan dengan sang mama, sifat gengsi itu mendadak hilang. Jaya bahkan tak segan-segan memuji setiap hal yang berhubungan dengan Mama Sumarni.
Ivanka masih ingat, Mama Sumarni pernah membeli baju dan tampak tidak percaya diri ketika memakainya lantaran tak sengaja mendengar ada seseorang mengatakan bahwa baju yang sedang Mama Sumarni saat itu terlihat norak. Jaya yang menyadari raut wajah Mama Sumarni yang berubah dratis tak henti mengatakan apabila baju yang tengah dipakai Mama Sumarni sangat bagus.
Ivanka pun dulu pernah merasakan apa yang namanya salah memotong rambut, saat itu salon memotong poni Ivanka terlalu pendek dan membuat kepercayaan dirinya hilang. Alih-alih meledeknya, saat itu Jaya justru memuji potongan poninya terlihat lucu. Akan tetapi, merasakan Ivanka yang tetap tak percaya diri, akhirnya Jaya memutuskan untuk memberi Ivanka sebuah topi serta jaket untuk dipakai sehari-hari—memiliki keuntungan untuk menutupi potongan poninya.
Ivanka menujuk dengan dagu. “Sayurnya jangan lupa dimakan, tuh, De, jangan dipilih-pilih kasian.”
“Udah Dede makan sedikit tadi. Mama pernah bilang ngga apa-apa kalau makan sayur sedikit juga, yang penting Dede makan sayurnya walau sisa.”
Melihat Ivanka yang tiba-tiba berdiri, lantas Jaya mendongak dengan tatapan bingung. “Teteh mau ke mana?”
Ivanka melirik keberadaan piring di dalam lemari. “Ambil piring. Liat Dede makannya semangat, Teteh jadi ikutan laper.”
Dan benar saja, beberapa menit setelahnya Ivanka ikut bergabung makan dengan sang adik. Mereka berdua menikmati masakan Mama Sumarni dengan sangat lahap. Niat Ivanka turun sebatas ingin memastikan kondiri keran di dapur, malah berakhir menghabiskan sisa masakan sang mama.
“Dede udah ada mikirin belum nanti kuliah mau ambil jurusan apa sama mau di kampus mana?”
Jaya menggeleng. “Belum.”
“Pikirin baik-baik, ya, mulai sekarang lebih rajin lagi belajarnya. Jangan sampe nanti Dede salah pilih jurusan terus nyesel di tengah-tengah.”
Jaya merespons kalimat itu dengan anggukkan kepala.
“Dede nggak tau kalau selama ini Mama punya sihir,” kata Jaya tiba-tiba memunculkan kerutan di dahi Ivanka.
“Hah? Maksudnya?”
Jaya menatap kondisi piringnya dengan senyuman cerah. “Semua yang dimasak Mama rasanya selalu enak. Mama berguru di mana, ya, sampe bisa nyulap semua masakan rasanya enak-enak banget.”
Ivanka yang berniat menyuap pun, tangannya mendadak berhenti tepat di depan mulut. Ivanka menurunkan tangan, tersenyum kecil seraya mengusak rambut Jaya menggunakan tangan lain yang bersih.
“Kalau emang enak dan Dede sayang Mama, coba sayurnya itu abisin.” Ivanka tersenyum miring.
Dalam pikiran Ivanka, adiknya akan menolak dan mengerucutkan bibir kesal lantaran dipaksa memakan sayur. Terkejutnya, Ivanka bahkan tak berekspetasi apabila Jaya akan benar-benar menyantap sayuran itu tanpa protes sedikit pun.
Melihat kelapangan dada sang adik dalam menyantap makanan yang tak disukainya itu, Ivanka tahu bahwa sebesar apa rasa sayang sang adik kepada sang mama.
Di belakang sana tanpa di sadari kakak beradik itu, ada sang peran utama yang sedang mereka perbincangkan. Wanita itu berdiri lengkap dengan tatapan penuh haru melihat anak-anaknya menikmati masakannya. Air mata yang tak diharapkan muncul pun diam-diam menetes. Mama Sumarni sangat beruntung memiliki dua buah hatinya yang tak pernah sekali pun membuatnya sedih.
Jika ia adalah kupu-kupu, maka sayap kanan dan kirinya adalah kedua buah hatinya sendiri. Jika salah satu sayapnya hilang, ia tak akan pernah bisa untuk terbang.
Jika salah satu dari mereka hilang, maka jiwa Mama Sumarni pun akan ikut hilang pula.
Puspas Niskala Universe
by NAAMER1CAN0