LUI CAFE, 16.00 WIB


Semua yang terjadi pada hidupnya serba tiba-tiba. Siang tadi ia tiba-tiba mendapatkan pesan ajakan untuk menongkrong bersama Harri dan teman-teman. Beberapa saat setelahnya, ia tiba-tiba ditawari untuk datang bersama seseorang yang tak disangka-sangka akan memberinya tumpangan. Lalu, tiba-tiba kerongkongannya terasa kering sampai-sampai ia sama sekali tak dapat membawa percakapan sedikit pun di atas motor sang pemiliknya.

Anehnya sang pemilik motor tak terasa keberatan saat ia memilih membungkam mulut alih-alih mengajaknya berbicara. Namun, ada sedikit kekecewaan lantaran laki-laki itu tak memiliki inisiatif untuk memunculkan topik obrolan. Sampai akhirnya, tiba-tiba saja kendaraan itu berhenti tepat di tempat yang sudah dijanjikan untuk mengisi waktu yang luang. Lagi-lagi semua terasa tiba-tiba.

Syifa turun dari motor, dengan perasaan penuh rasa sungkan, ia mencengkeram pundak sang kakak kelas—menjadikan pundak itu sebagai bantuan. Secuil perasaan senang muncul ketika laki-laki itu tak menarik pundak, Syifa menarik simpulan kalau tindakan secara impulsif itu tak memberatkan sang pemilik motor.

“Nanti yang masuk duluan mau Kak Jaya dulu atau Syifa dulu, Kak?” tanya Syifa.

Tangan Syifa bergerak merapikan pakaian yang mungkin tak sengaja terlipat oleh angin ketika dalam perjalanan tadi.

Jaya yang sedang sibuk membenarkan motornya terparkir spontan mengerutkan dahi. “Kenapa masuknya harus gantian?”

“Biar nggak nimbulin pertanyaan dari Aa-Aa yang udah dateng duluan kalau liat Syifa sama Kak Jaya datengnya barengan.” Syifa menjawab pertanyaan itu seadanya.

Jaya diam sejenak, sampai akhirnya ia luangkan waktu untuk menatap penuh kedua bola mata hitam sang adik kelas. “Emang kenapa kalau mereka liat Jaya sama Syifa dateng barengan?”

Jaya berani sumpah, ia menjawab pertanyaan itu tanpa adanya intonasi menggertak. Tetapi sepertinya sang adik kelas mengartikan lain, sampai-sampai Jaya bisa lihat pupil mata gadis itu melebar.

Aduh, Syifa jadi menyesal sendiri karena sudah menjawab pertanyaan itu tanpa merangkai kata-kata yang lebih halus untuk didengar.

“Takut mereka mikir macem-macem, Kak.” Syifa memainkan jari, kentara memperlihatkan gerak-geriknya yang merasa bersalah.

Jaya mencabut kunci motor, lalu menggerakkan setang motor untuk memastikan kalau motornya benar-benar sudah terkunci. “Jaya nggak masalah. Tapi, kalau Syifa emang nggak nyaman, yaudah. Syifa duluan aja yang masuk, nanti Jaya masuk lima belas menit kemudian.”

Syifa menggeleng cepat, tubuhnya menegak. “Nggak, Kak. Bukan kayak, gitu!” Tangannya menyilang di depan dada, lalu kepalanya tak henti menggeleng-geleng. “Kalau emang Kak Jaya nggak keberatan, ayo kita sekarang masuk barengan aja, Kak!”

Melalui intonasi suara itu, Jaya paham kalau sang adik kelas tengah berusaha menebus rasa bersalahnya.

Syifa baru saja akan melangkahkan kaki, namun ia langsung urungkan begitu menyadari sang kakak kelas masih terdiam duduk di atas motornya. “Kenapa nggak turun, Kak? Kak Jaya berubah pikiran? Mau Syifa duluan yang masuk?” Rentetan pertanyaan itu Syifa lontarkan dalam satu kali tarikan napas.

Alih-alih segera menjawabnya, Jaya malah menyilangkan tangan sembari mengabsen Syifa dari atas kepala sampai kaki.

Menerima perlakuan itu, Syifa makin dibuat bingung. “Kak Jaya kenapa?”

Dagu Jaya bergerak menunjuk ke arah kepala sang gadis. “Syifa beneran mau pake itu sampe ke dalem sana?” Salah satu alis Jaya terangkat, seolah tengah mencari alasan mengapa sang adik kelas bersikeras ingin membawa benda itu ke dalam sana alih-alih menyimpannya di motor.

Syifa buru-buru meraba benda di atas kepalanya. Sepersekian detik kemudian Syifa membulatkan mata. Mengapa ia selalu melupakan keberadaan benda bulat di kepalanya? Dulu, ia pernah berada di posisi ini ketika kakak kelas itu mengantarkan pulang.

Jaya terkekeh-kekeh. “Udah Jaya tebak, sih, kalau nggak kerasa masih pake helm.” Tangannya menengadah siap untuk menerima helm yang akan diserahkan Syifa.

Syifa pernah mengatakan kalau pemandangan laki-laki itu sedang tertawa merupakan salah satu pemandangan yang ia sukai, namun pada saat-saat tertentu—seperti sekarang ini, Syifa sebal sendiri saat tawa renyah itu memasuki indra pendengarannya.

“Cih, ketawanya kayak lagi ngeledek Syifa banget, tau, Kak.” Syifa menyerahkan helm, kemudian langsung diterima dan disimpan di atas motor sang pemiliknya.

“Emang.” Jaya mengangguk membenarkan.

Tak berselang dari jawaban yang sukses membuat Syifa mengerucutkan bibir sebal, laki-laki itu turun dari motor dan bersiap-siap memasuki kafe. Jaya yang memandu perjalanan, sementara Syifa berjalan satu langkah lebih lambat. Sebab, Syifa berpikir kalau Jaya pasti sudah bertukar kabar dengan teman-temannya di dalam sana. Sehingga, ia tak perlu repot-repot mencari di mana meja mereka berada.

Usai berhasil melangkahkan kaki memasuki bangunan itu, Syifa spontan mengedarkan pandangan. Ia dan Jaya sempat beberapa kali bertukar pandangan untuk bertanya apakah akan memesan sekarang atau nanti setelah mengetahui meja mereka. Awalnya Syifa menjawab kalau lebih baik memesan setelah mengetahui di mana letak meja mereka—sekaligus untuk mengetahui nomor meja agar memudahkan memesan. Tetapi, setelah Jaya mengungkapkan keinginannya, ia menyetujui untuk memesan lebih dulu dan mengambil nomor baru.

Syifa hanya perlu memperhatikan para pengunjung yang berada di dekat kolam, sebab Jaya mengatakan kalau keberadaan teman-temannya ada di sana.

Jaya kembali bersama nomor meja yang sudah berada di genggaman laki-laki itu.

“Punya Syifa jadi berapa, Kak?” tanya Syifa, sudah siap mengeluarkan uang namun segera dicegah dengan tepukan yang ia rasakan pada punggung tangan.

“Nggak usah.”

“Ah, nggak mau kayak gitu. Udah ditumpangin dateng ke sini, masa Syifa sampe dibayarin juga?”

Jawaban itu menuai tawa yang lolos dari mulut Jaya. “Yaudah, Syifa nanti bayarin parkir aja pas mau pulang.”

Alis Syifa bertaut. “Mana bisa kayak gitu! Nggak adil, dong?”

“Daripada nggak sama sekali?” Jaya mengangkat bahu. “Kalau emang nggak mau, yaudah, nggak usah bayar. Uang dari Syifa nanti juga nggak akan Jaya ambil.” Bon pesanan itu Jaya masukkan ke dalam saku, sengaja agar sang adik kelas tak mengetahui berapa banyak gadis itu perlu mengeluarkan uang demi membayar pesanannya.

“Yaudah, oke, Syifa nanti yang bayar biaya parkirnya.” Syifa cemberut, kakinya mengentak-entak kecil ketika berjalan demi menghampiri meja teman-teman laki-laki itu.

Tinggal menyisakan beberapa langkah untuk dapat mendatangai meja itu, Syifa dan Jaya langsung dibuat bingung usai disuguhkan pemandangan mereka sedang bergantian menyentil dahi Aksara dan Yolan.

Syifa menoleh, ingin meminta jawaban dari apa yang sudah dilihatnya pada Jaya. Sedang Jaya yang tak tahu-menahu hanya bisa menggelengkan kepala. Bagaimana Jaya bisa mengetahui ketika sedari tadi ia bersama gadis itu?

“Hayu taruhan kata maraneh si Ajay sama si Cipa datengnya bakal barengan atau misah?” kata Harri, menyandarkan punggung.

Sebagai salah satu kegiatan menghabiskan waktu—pun sebagai agenda menunggu kedua orang yang belum terlihat akan tanda-tanda kedatangannya—Harri berusaha memunculkan percakapan-percakapan agar di meja mereka tak terlalu senyap. Sampai sebuah kalimat itu tanpa sengaja lolos dari mulutnya begitu saja.

“Misah, sih. Aing mikir kalau si Ajay kayaknya nggak akan seberani itu buat ngajak barengan ke sini,” sahut Aksara.

Bukan tanpa alasan Aksara menuturkan kalimat itu, sebab adegan demi adegan yang masih tersimpan rapi di otaknya mengenai tindakan Jaya kepada sang adik kelas, Aksara mampu mengungkapkan kalimat itu tanpa berpikir panjang.

Jagat menyunggingkan senyuman di tengah-tengah kegiatan menyeruput kopi. “Saya pilih mereka dateng barengan.” Gelas kopi itu Jagat simpan kembali di meja.

“Nggak mungkin, si mereka pasti dateng misah bener kata si Aksa!” Yolan menentang.

Rakha memajukan badan. Tangannya mengacung. “Acungin tangan kalau maraneh pilih si Ajay sama si Syifa dateng barengan.” Rakha menganggukan kepala saat melihat Harri dan Jagat mengacungkan tangan penuh percaya diri. “Sekarang acungin tangan kalau maraneh pilih mereka pasti dateng misah.” Rakha menurunkan tangan, dan melihat hanya Aksara Yolan yang mengacungkan tangan.

Rakha menjentikkan jari. “Oke, tiga lawan dua, ya. Yang kalah diapain, Hag?” tanya Rakha.

Harri bergantian memandang Aksara dan Yolan dengan wajah penuh arti. “Jepat tarang,” ucap Harri menghadiahi kerutan pada dahi Jagat.

Jagat menoleh ke arah Rakha. Paham akan perlakuan itu, Rakha mempercepat menelan cairan yang baru saja disesapnya. “Nyentil dahi,” kata Rakha, menerjemahkan ucapan Harri untuk Jagat.

Kemudian Jagat mengangguk-angguk menyetujui saran itu. “Deal. Dua kali, ya.”

Harri menyambut kedatangan dua orang itu dengan senyuman lebar. Laki-laki itu bahkan sampai berdiri, meraih gelasnya untuk pindah ke kursi yang lain. Menyadari akan tepukan yang Harri berikan, Aksara pun mengikuti gerak-gerik temannya untuk berpindah. Menyisakan kedua kursi bersebelahan untuk Jaya dan Syifa yang baru datang.

“Jam empat banget, ya,” kata Jagat, sedikit menyiratkan kalimat sindiran karena pada kenyataannya kedua orang itu terlambat sekitar dua puluh menit dari waktu yang sudah dijanjikan.

Yolan melirik sembari cengengesan. “Kayaknya, sih, abis jalan-jalan dulu. Liat aja baju si mereka sampai senada gitu!” goda Yolan.

Jaya dan Syifa refleks menatap pakaian yang mereka gunakan. Jaya menggunakan celana jin hitam panjang sedikit sobek pada bagian lutut, kaos hitam bergambar salah satu band rock asing, lalu jaket polos berwarna hitam. Sementara Syifa menggunakan celana jin putih, kaos ungu muda, serta cardigan ungu yang selalu ia pakai ke mana pun. Syifa sangat sayang dengan cardigan-nya sampai-sampai ia menginginkan seluruh orang mengetahui keberadaannya.

“Mana ada, beda juga warnanya,” timpal Jaya.

“Sama!” Yolan menyipitkan mata. “Si kalian sama-sama pake celana jin, kaos, terus jaket!”

Jaya menunjuk Harri serta Aksara bergantian. “Itu si Hag sama si Aksa juga pake baju kayak aing.” Jaya berusaha keras menentang agar ia dan Syifa tak menjadi bulan-bulanan teman-temannya. Karena demi apa pun, Jaya tahu apa yang ada dalam pikiran mereka saat ini.

Kepala Yolan menegok, mengabsen pakaian temannya. “Tapi si mereka celananya pendek! Nggak panjang kayak punya si kalian!”

“Udah, Lan. Kasian mereka nanti salah tingkah kalau kamu gertak kayak gitu. Dengan mereka dateng barengan aja harusnya kamu udah ngerti, sih, apa yang lagi terjadi,” ujar Jagat, kedua alisnya turun dan naik seakan sedang menggoda kedua orang itu.

Maraneh dateng ke sini barengan atau nggak sengaja ketemu di depan?” Rakha penasaran.

“Syifa sama Kak Jaya nggak sengaja ketemu di—”

“Bareng, aing jemput ke rumahnya.”

Syifa memelotot, menengok pada Jaya. Namun sayang, ia tak menemukan sedikit pun ekspresi apa pun dari wajah laki-laki itu selain tatapan datar.

Bagong, bengeut aing!” hardik Harri setelah merasakan semburan yang berasal dari Yolan. Sedangkan Yolan yang menjadi tersangka tengah terbatuk-batuk karena tak mempercayai apa yang baru saja ia dengar.

Harri meraih tisu yang diberikan Rakha, ia mengusap-ngusap wajahnya yang terkena cipratan dari mulut Yolan. Berani sumpah, Harri lupa untuk menghindari satu temannya itu ketika menongkrong. Titik kesabaran Harri sudah berada di ujung tanduk kalau harus berhadapan dengan tingkah laku Yolan yang selalu tersedak dan berakhir mengeluarkan seluruh air minum di dalam mulutnya tanpa melihat situasi.

“Cieeeee.” Siulan kecil Jagat lantunkan. Tangannya menempuk-nepuk bangga dengan tindakan Jaya yang sudah jauh lebih berani dari kemarin-kemarin.

Jaya menatap sinis. “Diem, Monyet.” Lalu Jagat langsung membungkam mulut, memberikan gestur hormat untuk mengikuti perintah dari yang bersangkutan.

“Syifa.” Panggilan dari Harri dibalas tatapan penasaran, Syifa diam untuk menunggu kalimat apa yang akan dilanjutkan kakak kelasnya. “Syifa pasti bertanya-tanya, kan, kenapa tiba-tiba diajakin nongkrong sama Aa?” Syifa mengangguk.

“Syifa mau tau nggak alesannya apa?” Syifa lagi-lagi mengangguk. “Jadi, alesannya itu karena—”

Tanpa berpikir panjang mengenai efek dari tingkah lakunya, Jaya secara tiba-tiba langsung melempar nomor meja ke arah Harri yang sedang menyeringai. “Diem, Monyet!”

Lantas, perlakuan itu langsung dihadiahi gelak tawa dari seisi meja. Syifa yang belum sempat menemukan jawaban itu hanya bisa mengedip-ngedipkan mata kebingungan.

“Kenapa emang, Kak? Kak Jaya tau jawabannya?” bisik Syifa.

“Nggak. Nanti kalau mereka ngomong yang aneh-aneh, Syifa jangan dengerin.” Jaya mewanti-wanti, sebab ia tahu betapa lancarnya mulut teman-teman itu dalam mengungkapkan sesuatu. Ia sedikit khawatir, kalau mulut itu akan mengucapkan kalimat yang tidak-tidak mengenainya.

Lantaran terus dihadiahi tatapan tak bersahabat dari laki-laki yang duduk di samping Syifa, akhirnya mereka pun segera mengganti topik obrolan. Satu per satu dari mereka mulai membawa cerita yang mampu membuat dihadiahi tatapan tak percaya. Contohnya seperti Harri membawa cerita gosip hangat mengenai kisah percintaan guru muda di sekolah yang ia dapatkan dari kakak kelasnya.

Di tengah-tengah Harri bercerita, Jaya melirik jam pada tangannya yang sudah menunjukkan hampir jam setengah tujuh malam. “Mau pulang jam berapa, Syifa?”

“Syifa nanti bareng Kak Jaya lagi pulangnya?”

Jaya mengangguk. “Iya. Kan, tadi Jaya yang jemput, berarti Jaya juga yang nganterin Syifa pulang.”

Syifa berpikir sejenak. “Pulangnya nanti barengan aja sama yang lainnya, Kak Jaya.”

Pandangan Jaya tertuju pada wajah serius keempat temannya yang sedang mendengarkan Harri bercerita. “Mereka kayaknya bakalan pulang malem. Soalnya abis dari sini Jaya mau ngajak Syifa makan bakmi dulu.” Bola mata hitam miliknya kemudian bersinggungan dengan bola mata gadis itu.

Mendengar nama makanan yang baru saja disebutkan laki-laki itu, mata Syifa berbinar. “Gimana kalau jam tujuh malem, Kak Jaya?”

Jaya tersenyum seraya mengangguk. “Boleh.”

Lalu, Syifa bisa rasakan tepukan pelan pada pundaknya. “Udah. Sekarang Syifa udah bisa perhatiin lagi Harri yang lagi cerita. Maaf tadi udah Jaya ganggu bentar.”

Jika kalian berpikir kalau lilin dan plastik adalah salah satu barang yang mudah meleleh, maka jawabannya salah. Sebab, jawaban yang benar adalah ketika ia dihadapkan dengan sang kakak kelas itu. Jari-jarinya tak mampu digerakkan untuk meraih gelas demi membasahi kerongkongan yang tercekat akibat perlakuan lembut dari laki-laki itu. Lututnya terasa lemas, saking lemasnya ia tak bisa memindahkan ketika merasakan ada kaki lain yang mengenainya. Setelah ditelusuri, itu adalah kaki Jaya.

Intonasi suara laki-laki itu ketika mengajak teman-temannya bicara dan ketika mengajaknya bicara sangat berbeda. Dengan teman-temannya, Jaya mampu meninggikan suaranya. Tapi, saat berbicara dengannya, telinga Syifa tak pernah sedikit pun mendengar ucapan laki-laki itu meninggi. Belum lagi ditambah senyuman yang terus menghiasi wajah tampannya ketika mengajaknya mengobrol. Syifa sudah kalah telak dari berbagai sisi mana pun.


Puspas Niskala Universe

by NAAMER1CAN0