MAAF


Adegan yang terdapat di dalam narasi ini bukanlah tindakan yang baik. Maka dari itu, dimohon untuk tidak ditiru dan mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Terima kasih.


tw // violence


Jaya benci dirinya sendiri ketika ia tak bisa melawan segala keegoisan yang tanpa permisi mendatanginya kala itu. Ia kalah telak dalam mengontrol amarah yang mengakibatkan penyesalan tertinggal dalam dirinya. Bagaimana bisa ia menyakiti temannya yang sudah banyak membantu ia selama ini?

Terkadang manusia memang ladangnya berbuat salah. Namun Jaya tak menyangka apabila kesalahan dan kebodohan tersebut akan secepat itu ia lakukan.

Lalu, bagaimana caranya untuk melupakan kebodohan itu? Rasanya, dengan meminta maaf sampai berlutut pun penyesalan tersebut akan selalu bisa ia rasakan di setiap langkah yang ia bawa.

Ternyata benar, di umur-umur sekarang ini ia akan merasakan berbagai emosional yang sulit dikontrol. Seseorang akan kehilangan jati diri karena keegoisannya sendiri.

Setelah bergelut dengan semua masalah yang sudah terjadi, hanya sekadar menyesali perbuataan tidak menjadikan semua masalah akan selesai sendirinya. Permasalahan ini tidak akan terjadi jika bukan karena Jaya yang menciptakan. Dan Jaya telah menerima konsekuensi mendapatkan kekecewaan dari orang-orang sekitarnya. Hingga satu-satunya cara saat ini yang bisa Jaya lakukan hanyalah merenungkan kesalahan dan meminta maaf pada orang-orang yang telah ia kecewakan.

Bersama perasaan gelisah, kemungkinan-kemungkinan tentang Yolan yang tak akan mau memaafkannya menjadi peneman Jaya sepanjang jalan. Jaya tak memedulikan banyaknya kalimat sudah diucapkan Aksara di belakang sana. Pikirannya sedang kalang kabut. Mau disesali dengan gaya apa pun tak akan bisa merubah yang sudah terjadi.

“Jay, ai maneh! Udahlah sini biar aing aja yang ngetir,” kata Aksara sembari menepuk pundak Jaya berulangkali guna menyadarkan laki-laki itu. Lantaran beberapa detik lalu Jaya hampir saja menabrak motor yang akan berbelok, padahal jelas-jelas motor itu sudah menyalakan lampu sein dari jauh. Jika Jaya telat menekan rem, mungkin mereka berdua saat ini sudah tertidur di atas aspal.

Sorry, sorry.”

Usai berada di situasi cukup mencekam, Aksara memilih untuk menghentikan kegiatan bermain ponsel dan menaruh perhatian pada Jaya yang tengah berkendara.

Selama roda dua itu berputar, mulut Aksara tak henti menggumamkan kalimat meminta pertolongan agar mereka berdua diselamatkan selama perjalanan. Bukan karena kondisi jalanan sepi, melainkan karena cara Jaya membawa motor yang sedikit oleng lagi-lagi berhasil membuat Aksara mengepalkan tangan ketakutan.

“Harusnya tadi aing misah motor aja sama si Ajay,” ucap Aksara dengan nada suara pelan.

Awalnya Aksara kira mereka akan pergi ke rumah Yolan menggunakan motor masing-masing, lantaran setelah sesampainya di kosan, Jaya tak langsung membawa masuk motornya. Baru saja Aksara mengeluarkan motornya, tiba-tiba Jaya masuk dan memarkirkan motor laki-laki itu di tempat bekas motornya terparkir.

Setelah mencoba mengorek informasi karena rasa penasarannya yang cukup besar, Aksara pun akhirnya tahu maksud utama mengapa Jaya bersikeras ingin menggunakan motor Aksara untuk pergi ke rumah Yolan. Ternyata, Jaya membutuhkan ruang tempat penyimpanan barang karena ada yang perlu dibeli dulu sebelum menuju rumah Yolan.

Sebelumnya Aksara tak pernah terpikirkan hal bodoh untuk pergi mengelilingi kota Bandung demi mencari barang yang diinginkan Jaya. Beberapa toko telah mereka telusuri, sayangnya beberapa di antara toko itu sudah tutup. Bagaimana tidak tutup, pasalnya mereka pergi mencari barang tersebut pukul setengah dua belas malam. Lagi pula, tak semua toko buka dua puluh empat jam.

Dari kejauhan Aksara bisa lihat tiga motor sudah terparkir lebih dulu di halaman rumah Yolan. Aksara manggut-manggut, ternyata mereka bertiga benar-benar mendengarkan ucapannya agar datang lebih lambat dari kedatangan ia bersama Jaya. Kendati mereka melupakan janji darinya untuk menunggu di warung belokan sebelum menuju rumah Yolan.

Sementara Jaya yang sangat hafal betul dengan tiga kendaraan itu, mengernyitkan dahi kebingungan. Mengapa bisa mereka bertiga datang secara bersamaan? Terlihat dari bagaimana motor itu terparkir pun Jaya tahu apabila ketiganya belum lama datang.

Jaya mematikan mesin motor. Usai tak ada lagi kebisingan yang bisa ia dengar, sayup-sayup dari arah barat Jaya mendengar seseorang sedang berbicara. Walaupun tak terdengar begitu jelas, tapi Jaya pastikan nada suara itu terdengar sedikit lirih dan penuh penyesalan.

“Yolan, maafin aing, ya, gara-gara rencana aing maneh jadi ditonjok si Ajay.” Kepala Harri menunduk dengan kedua tangan menyatu di dada.

Aksara yang baru saja sampai langsung berlari terbirit-birit menghampiri kediga temannya yang serempak tengah berlutut di depan Yolan untuk meminta maaf. Sebenarnya Aksara sama sekali tak mengetahui rencana mereka ini, ia hanya ikut-ikutan sengaja meninggalkan laki-laki di belakang sana agar Jaya datang seorang diri.

“Kalau aja dari awal aing nggak pernah ngasih ide buat jalanin rencana ini kayaknya maneh nggak bakalan pernah dapet tonjokan itu,” lanjut Harri masih pada posisinya.

Melihat Yolan hanya diam, lantas Jagat ikut bersuara. “Saya juga minta maaf, ya, Yolan. Saya udah ikutan setuju jalanin rencana ini dan melibatkan kamu di dalamnya.”

Rakha mengangguk menyetujui ucapan Jagat. “Aing juga minta maaf, ya, Lan. Seharusnya maneh nggak ngerasain ini semua sendirian.”

“Maaf, ya, Lan. Tadi siang aing nggak dateng lebih cepet dan cegah si Ajay buat nonjok maneh. Coba kalau siang tadi aing dateng lebih cepet, kayaknya maneh nggak akan kena imbasnya dari rencana arurang ini.”

Yolan sama sekali tak berniat untuk tak menghiraukan permintaan maaf dari mereka, melainkan ia masih sedikit terkejut dengan kedatangan ketiga temannya secara tiba-tiba. Sebab ia hanya tahu yang akan datang dan meminta maaf secara langsung hanyalah Jaya. Tapi, ia justru menemukan ketiga temannya yang sudah memarkirkan motornya di halaman rumah Yolan.

Ketika Yolan hendak mengeluarkan suara, sekonyong-konyong seseorang dari seberangnya lebih dulu menggagalkan Yolan dalam merespons kalimat permintaan maaf ketiga temannya.

“Lan,” panggil Jaya dengan langkah gontai mendekati Yolan.

Euy—”

Seketika Yolan memelotot selepas dapati Jaya dengan tiba-tiba ikut berlutut di hadapannya, menumpu tubuhnya di atas rumput—satu langkah lebih maju dari Aksara, Harri, Jagat, dan Rakha berlutut. Bukan hanya Yolan yang terkejut, keempat temannya di belakang Jaya pun ikut terkejut sampai-sampai mata mereka melebar dengan mulut menganga. Tak pernah terpikirkan dalam benak mereka apabila Jaya rela menurunkan ego meminta maaf sampai berlutut.

Apalagi Harri yang melihat pemandangan itu, karena selama berteman dengan Jaya, Harri tak pernah melihat Jaya meminta maaf kepada seseorang sampai berlutut-lutut.

Aing udah tau semuanya dari Hag. Soal kedekatan maneh sama Syifa juga aing udah tau, ini semua cuman semata-mata rencana dari yang si Hag buat.” Jaya menunduk, memejamkan mata. “Sorry aing udah main nonjok maneh tanpa bilang apa pun. Aing akuin aing bodoh banget tadi siang. Sorry, Lan. Aing bener-bener nyesel. Kalau maneh mau bales mukul aing sekarang pun aing rela, Lan. Mungkin pukulan dari maneh nggak bisa ngilangin kekecewaan maneh buat aing, tapi seenggaknya aing juga pantes dapetin tonjokan itu dari maneh.”

Yolan menghela napas sembari diam-diam melirik Harri dengan tatapan seolah-olah Yolan mengatakan mengapa Harri tak mengikuti arahan darinya sesuai yang telah ia ucapkan di grup.

Aing ngga membenarkan tingkah laku aing yang tiba-tiba berani main tangan sama maneh. Aing di situ bener-bener kalang kabut liat maneh interaksi sama dua cewek di hari yang sama, dan perlakuan yang sama juga. Arurang dari dulu sering saling wanti-wanti buat nggak mainin perasaan cewek, makanya aing langsung bertindak kayak gitu tanpa cari tau dua cewek itu bener yang lagi maneh deketin atau bukan. Terlebih aing liat salah satu cewek yang aing suka ada di situ juga. Aing marah karena aing pikir cewek itu dijadiin mainan sama maneh.”

“Bintang?” tanya Yolan.

Jaya cepat-cepat mendongak dan menggeleng. “Syifa!”

Sial, Yolan tak dapat menahan gelak tawanya. Awalnya Yolan hanya berniat mempermainkan laki-laki yang masih berlutut itu, sengaja ingin melihat reaksi apa yang akan Jaya berikan. Yolan merasa lega sekaligus senang usai menyadari apabila Jaya benar-benar sudah tak menyangkal lagi soal perasaannya.

Dengan posisi masih berdiri Yolan berjalan mendekati Jaya. “Jay, si aku sama sekali nggak kecewa ataupun marah sama si kamu. Sumpah, si aku nggak sama sekali marah atau kecewa. Justru si aku seneng dengan adanya kejadian ini, si kamu bisa sadar sama perasaan si kamu sendiri.” Yolan menepuk pundak Jaya dengan tubuh sedikit membungkuk. “Si aku juga minta maaf, ya, Jay. Si aku udah ikut rencana itu dan udah ngelus kepala si dia siang tadi sampe buat si kamu salah paham liatnya. Si aku juga kalau ada di posisi si kamu bakalan ngelakuin hal yang sama, kok, ngeliat cewek yang si kami suka digituin sama cowok lain.”

Sorry, Lan,” ucap Jaya. Laki-laki itu masih dihantui oleh perasaan penyesalan, kendati Yolan sendiri sudah memaafkan kesalahan darinya.

“Udah, udah, si kami semua sama-sama salah. Jadi, si kami semua saling memafkan aja, ya.” Jaya menarik bahu Jaya untuk berdiri. “Si kalian juga berdiri jangan berlutut terus, untung di rumah lagi sepi jadi mamah sama papah si aku nggak akan mikir macem-macem.”

Dengan mulut sibuk mengunyah sesuatu, mereka berempat berdiri secara bersamaan.

Jaya memajukan wajah sembari memejamkan mata. “Ayo tonjok aing kayak tadi siang aing tonjok maneh, Lan. Bales tonjok aing sebanyak aing udah tonjok maneh,” kata Jaya dengan paksa.

Yolan menggeleng cepat, tak menyetujui dengan permintaan Jaya. “Nggak! Sampe kapan pun si aku nggak mau bales tonjokan si kamu!”

“Tapi aing nggak bisa nganggep semuanya baik-baik aja kalau misalnya maneh belum bales pukulan aing, Lan.” Jaya bisa lihat wajah kebingungan dari Yolan, tangan laki-laki itu sampai ikut mengepal di sisi kakinya. “Nggak apa-apa, ini aing yang minta. Aing nggak bakalan dendam atau bales maneh lagi. Aing cuman minta hak aing atas kejadian tadi siang di sekolah, nggak lebih.” Mata Jaya kembali memejam, sudah siap mendapatkan pukulan yang mendarat di pipinya.

Alih-alih pukulan itu ia rasakan, Jaya malah merasa ada orang yang ikut berdiri di kedua sisinya. Jaya membuka mata, lalu bergantian menoleh ke kiri dan kanan.

Harri terburu-buru membuang permen karet dari mulutnya ke sembarang arah. “Arurang juga pantes dapet tonjokan dari maneh, Lan.” Aksara, Jagat, dan Rakha mengangguk serempak. “Arurang pantes dapetin satu tonjokan dari maneh, dan satu tonjokan dari Ajay. Terlebih buat aing sendiri, aing pantes dapetin itu karena aing yang udah ngasih ide ini semua.”

Jaya menarik kembali kepalanya.

Yolan tiba-tiba merasa pening, ia cepat-cepat memijat pelipis. “Please, ini kenapa malah berakhir jadi ajang tonjok-menonjok, sih?”

“Karena arurang pernah janji kalau ada satu orang yang lagi sedih, semuanya harus ikut ngerasa sedih. Kalau ada satu orang yang kena tonjok, semuanya juga harus ikutan ngerasain. Arurang ada bukan soal seneng-senengnya aja, tapi soal susah, sedih, kecewa, marah, kita laluin bersama.”

Kalimat dari Harri itu mampu menyayat perasaan Jaya, ia tak menyangka perlakuannya tadi siang akan jadi melebar sampai sebesar ini.

Jaya merapikan rambut, memajukan kepala dan menutup mata. “Ayo tonjok aing sekeras tadi aing nonjok maneh di sekolah. Jangan dikurangin.” Yolan meremas kesepuluh jarinya cemas, sibuk memikir apakah ia perlu melakukannya atau tidak. “Kalau maneh emang niat maafin aing, pasti maneh bakalan lakuin it—”

Belum sempat Jaya menyelesaikan kalimatnya, Yolan sudah lebih dulu melayangkan pukulan sesuai permintaan laki-laki itu. “Maaf! Maaf kalau terlalu keras! Ini kurang lebih tenaga yang si kamu pukul buat si aku!” Yolan menarik napas, lalu berancang-ancang untuk memukul yang kedua kalinya. “Ini pukulan kedua, lebih pelan dari pukulan kesatu. Tapi lumayan buat pipi dalem si aku berdarah.”

Aksara, Harri, Jagat, dan Rakha sontak memejamkan mata usai mendengar suara cukup keras menghantam pipi Jaya. Mereka diam-diam berdoa agar kondisi pipinya nanti tak akan seburuk kondisi Yolan yang mengeluarkan darah dari dalam mulutnya. Tak ada satu pun dari mereka yang membuka mata dan melihat kejadian itu secara langsung, mereka tengah mempersiapkan diri menjadi kandidat selanjutnya.

Yolan menepuk punggung Jaya mengabsen wajah laki-laki itu dengan teliti. “Sakit nggak, Jay? Ada yang luka nggak?” tanya Yolan khawatir karena sedari tadi laki-laki itu hanya diam dengan mata menutup.

Jaya menggeleng. “Nggak, aing cuman kaget.”

Yolan menarik tangan dari punggung Jaya, lalu berganti menjadi posisi bersedekap. “Nah, itu yang si aku rasain tadi siang. Tiba-tiba ditonjok tanpa aba-aba!” timpal Yolan disertai nada suara yang terdengar menahan kesal.

Sorry….”

Aksara membuka mata. “Kalau gitu tinggal arurang yang maraneh tonjok, cepet takut orang tua si Yolan bangun nanti arurang dimarahin.” Aksara mengucapkan kalimat itu sedikit berbelit lantaran tercipta ketakutan di dalamnya.

“Nggak ada. Orang tua si aku lagi nggak di rumah, mereka lagi nginep di kosannya A Gingin di Bogor. Kalau Teh Devi lagi nginep di rumah temennya,” balas Yolan.

Jaya kira permintaan keempat temannya untuk dilayangkan pukulan hanya sebatas ucapan tanpa berniat merealisasikan, tetapi ternyata mereka benar-benar melakukannya. Keempat orang itu sudah berbaris, menutup mata dengan saling berpegangan tangan satu sama lain. Sejujurnya Jaya tak mau melakukannya, tapi usai mendengar betapa berisiknya keempat orang itu meminta untuk melakukan hal yang sama kepada mereka, mau tak mau Jaya dan Yolan pun mewujudkannya.

“Lakuin sesuai sama kerasnya pukulan Jaya tadi siang.”

Setelah berdiskusi siapa yang akan melakukannya lebih dulu, Yolan menyarankan kalau pukulan pertama perlu dilakukan oleh Jaya. Karena Jaya korban sekaligus target utama dalam rencana mereka.

“Badan maraneh ngadep kanan, aing mukul si Yolan cuman di satu pipi doang.” Tanpa mengulangi titahan itu, mereka serempak mengikuti arahan dari Jaya.

Satu per satu pukulan mulai dilayangkan Jaya, kerasnya sama seperti yang Jaya layangkan pada Yolan, namun kali ini Jaya sengaja memberikan satu tingkatan lebih keras dari pukulannya untuk Yolan.

Anjing, sakit banget!” Salah satu dari mereka mengaduh kesakitan, bahkan tangan laki-laki itu sudah melepaskan genggaman demi mengelus pipinya sendiri.

Jaya cengengesan. Semoga pukulan itu buat maraneh jera kalau misalnya nggak semua urusan bisa maraneh ikutcampuri semudah itu tanpa persetujuan dari aing.

Jaya melangkah mundur, memberikan ruang untuk Yolan melakukan tugasnya. “Berdiri yang bener, berdiri tegak biar si kalian nggak oleng nanti.”

Yolan menelan ludah. “Maafin si aku, ya!” Suara benturan dari jari-jemari dengan pipi kembali terdengar, kerasnya hampir seimbang dengan kerasnya pukulan dari Jaya. Sebelum Yolan berdiri di depan mereka, Jaya sempat mengucapkan bahwa laki-laki itu sengaja memberikan pukulan sedikit keras untuk efek jera bagi mereka. Dan, diam-diam Yolan mengikuti alur permainan yang Jaya buat tanpa keempat orang itu ketahui.

“Udah, ya, si aku harap pukulan kali ini pertama dan terakhir si kami rasain. Nggak ada pukulan lagi setelah ini.”

Ucapan Yolan dibalas anggukkan oleh mereka, sebab keempat orang itu sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada yang sibuk mengelus pipi, sibuk membuang ludah demi memastikan bahwa tak ada pendarahan, ada yang sibuk memijat kepala karena tiba-tiba terasa pusing, dan bahkan ada yang sibuk memejamkan mata sembari mengepalkan tangan.

Yolan menoleh, menatap laki-laki di sampingnya. “Si kami sekarang udah baik-baik aja, kan? Nggak musuhan dan saling diem-dieman lagi?”

“Iya. Sorry kalau kemarin-kemarin aing udah childish, ya, Lan.”

Harri berjalan menghampiri keduanya. “Sok atuh sekarang mah pelukan dulu biar meyakinkan arurang kalau maraneh berdua udah baik-baik aja.” Harri mendorong punggung Jaya dan Yolan, membuat kedua orang itu refleks saling memeluk satu sama lain.

Yolan menepuk-nepuk punggung Jaya. “Semoga setelah ini nggak ada kecanggungan lagi di antara si kami, ya, Mang Ajay!” Jaya mengangguk dalam pelukan Yolan dan membalas perlakuan yang sama seperti yang diberikan Yolan—menepuk-nepuk punggung secara konstan.

Di tengah-tengah pemandangan penuh haru itu, mendadak bulu kuduk Jagat tiba-tiba berdiri selepas telinganya tak sengaja mendengar tangisan seseorang sangat pelan. Buru-buru Jagat mengusap belakang lehernya. Ia tak tahu apabila rumah Yolan ternyata cukup angker apabila malam hari.

Harri menegok usai menyadari ada yang tidak beres dengan salah satu temannya. “Anying, maneh kenapa nangis, Sa? Sebegitu terharunya, ya, maneh liat si Ajay sama si Yolan baikan lagi?”

Sontak kalimat itu berhasil membuat pelukan Jaya dan Yolan terlepas, serta membuat Jagat dan Rakha yang sibuk menyaksikan Jaya dan Yolan tadi ikut menoleh pada Aksara.

Aksara menggeleng. “Kaki aing diinjek si Jagat. Sakit banget, bagong! Kuku aing teh lagi kekeongeun gara-gara salah potong kuku!” Aksara spontan mendorong tubuh Jagat agar menjauh darinya.

“E-eh, maaf, Sa, saya nggak tau. Pantes aja, kok, dari tadi saya ngerasa nginjek yang lembek-lembek, mana tadi saya udah merinding kirain ada hantu soalnya denger ada yang nangis!” Jagat menyatukan tangan. “Anyway, kekeongeun, tuh, apa?” Jagat menoleh pada Rakha.

“Cantengan,” sahut Rakha.

Mata Jagat melebar. “Maaf, ya, Sa, saya bener-bener nggak tahu kalau kamu lagi cantengan!”

Sebetulnya dalam kalimat itu tidak ada yang aneh, namun Aksara merasa kalimat itu seakan diucapkan penuh sindiran untuknya. Kendati Aksara tahu mana mungkin Jagat akan melakukan itu.

Saat mengedarkan pandangan menuju arah Aksara, Jaya tak sengaja melihat satu barang yang berhasil menyita perhatiannya secepat kilat di seberang sana. “Lan, aing bawa sesuatu buat maneh.”

“Bawa apaan?” Alis Yolan menyatu.

Aing bawa satu dus mi soto buat maneh, maneh suka mi soto, kan?” tanya Jaya memastikan.

“Sumpah?!” Mulut Yolan membulat tak percaya. “Sumpah si kamu bawa satu dus mi? Buat si aku?”

Heeh, mi-nya ada di motor. Sekali lagi sorry, ya Lan.”

“Si kamu tau si aku suka mi soto?”

Jaya mengangguk. “Tau. Aing suka liat maneh kalau makan mi di sekolah pasti rasa soto.” Yolan tak dapat menyembunyikan raut wajah terharunya begitu mendengar temannya itu ingat dengan rasa dari mi yang biasa ia makan di sekolah. Bahkan, Yolan tak pernah ada pikiran akan mendapatkan mi sebanyak satu dus sebagai permintaan maaf dari seseorang untuknya.

“Najis, kalau maneh berani liatin muka kayak gitu lagi, aing nggak segan-segan nonjok maneh lebih kenceng dari sebelumnya.”

Yolan mengurai tawa. “Yaudah kalau gitu kita makan mi dulu barengan, yuk! Si aku masak 5 bungkus mi pake telur sayur disatu panci. Si kalian sekalian tidur di sini aja, nanti subuh-subuh pulang. Soalnya khawatir kalau pulang jam segini udah larut banget.”

Yolan menggerakkan dagu, memberi isyarat agar mereka segera masuk ke dalam rumahnya. Harri yang paham akan isyarat itu menarik pundak temannya untuk berjalan menuju tempat diminta Yolan. “Aing, Jagat, sama Rakha nginep di sini aja kalau gitu nemenin maneh.”

“Emang tadinya si kalian mau nginep di mana?”

“Di Aksa.”

Yolan manggut-manggut. “BTW, si kalian nggak ada yang jijik-an, kan? Soalnya nanti si aku masaknya di satu panci biar cepet.”

“Si Rakha, tah,” balas Harri.

Rakha yang tak terima namanya disebut langsung menoyor Harri cukup keras. “Eh, anying, aing nggak geleuhan. Tapi nanti kalau bisa maraneh jangan putus mi-nya, ya, Anjing, awas aja. Minimal suruput sampe abis, nggak sopan kalau diputus.”

Dahi Aksara mengerut. “Terus kalau misalnya mi-nya ternyata nyatu sampe mi terakhir gimana?” tanya Aksara dengan langkah hati-hati, sebab salah satu jempolnya berdenyut akibat diinjak Jagat tanpa belas kasihan.

Moal ai sia, da, eta teh mi-na sabaraha bungkus mereun lain sabungkus hungkul. Moal mungkin mi-na nyambung neupi akhir mah, tolol.” Harri tak dapat menahan kekesalannya sampai-sampai kaki ia ikut bergerak untuk menendang pantat Aksara. Sedang Aksara tak henti memaki tindakan Harri, karena selain kakinya yang menjadi korban Jagat, kini pantatnya menjadi korban keganasan Harri.

“Nggak akan, itu mi-nya beberapa bungkus, kali, bukan sebungkus doang. Nggak akan mungkin mi-nya nyambung sampai akhir.”

Jaya dan Yolan terkekeh-kekeh melihat adegan konyol dari teman-temannya sibuk mendebatkan soal mi. “Maneh nggak kenapa-kenapa, kan, Lan?”

Yolan merangkul Jaya, menepuk pundak laki-laki itu sebanyak dua kali sebagai jawaban dari pertanyaan telah Jaya lontarkan. “Si kamu liat aja si aku sekarang, sehat-sehat aja, kan? Di muka si aku juga nggak ada yang lebam, tuh.”

Jaya melirik wajah Yolan, memastikan sendiri bahwa di sana tak ada warna yang tak ingin Jaya lihat. “Tapi ada yang sakit nggak di wajah maneh?”

“Nggak ada, Mang Ajay. Si aku beneran nggak kenapa-kenapa.”

Jaya mengembuskan napas cukup kasar. “Lan, sorry, ya.”

“Udah, ih, maaf mulu. Lama-kelamaanaing juga bosen sendiri dengernya, Jay.”

Jaya mengurai tawa. Ia sama sekali tak keberatan dengan pukulan yang baru saja dilayangkan Yolan pada punggungnya. Pukulan itu tak sebanding dengan pukulan darinya tadi siang, pukulan penuh arti akibat kekesalan yang mendatanginya. Sementara pukulan dari Yolan tadi hanya menandakan pukulan kekesalan biasa tanpa adanya arti apa pun.

Pukul setengah satu malam itu mereka habiskan untuk saling mengobrol—menjelaskan bagaimana awal terciptanya rencana Harri sampai Aksara yang sengaja membuat kebohongan untuk membuat Jaya makin jera akan perlakuannya. Dinginnya malam ditemani oleh satu panci berisikan mi kuah. Lima bungkus untuk mereka hanya terasa sebagai pengganjal perut, sehingga Rakha kembali menambahkan lima bungkus mi baru. Biasanya makan dua bungkus saja sudah buat perut kenyang, hebatnya apabila dimakan secara bersama-sama sepuluh bungkus pun tak ada artinya untuk mereka. Entah karena kelaparan, atau mereka diam-diam sengaja sedang menambah waktu agar bisa menghabiskan waktu bersama sampai terasa sudah puas berbagi tawa.

Lucunya, mereka semua sama-sama merintih saat satu suapan masuk ke dalam mulut. Mereka kompak merasa ngilu akibat pukulan yang mereka terima.

Jika bukan karena Teh Ivanka yang sudah memberikan nasihat untuknya, mungkin Jaya akan lebih memilih menundanya dalam meminta maaf. Jaya akan memilih untuk mencari cara bagaimana menurunkan egonya yang tinggi, dan apabila hal itu terjadi, Jaya tak tahu kapan pastinya ia akan mengakui kesalahannya. Ia tak bisa membayangkan jika hubungan pertemannya retak oleh kesalahpahaman yang dibuat olehnya, mungkin ia tak bisa memaafkan dirinya sampai kapan pun.


Puspas Niskala Universe

by NAAMER1CAN0