MALAM HARI DI BUMI PASUNDAN.


Bandung hari ini telah diguyur hujan sejak kepulangannya dari kediaman Harri—kekasihnya—beberapa jam yang lalu. Aroma yang dihasilkan setelah hujan pun masih membekas di setiap penjuru daerah Bandung, membuat ia yang sedari tadi melewati jalanan menikmati aroma segar yang menenangkan.

Bicara mengenai kejadian tadi siang, saat itu ia memang benar-benar sedang menahan rasa laparnya, sebab ketika bel istirahat kedua dibunyikan ia tidak sempat untuk makan siang; jangankan makan siang, untuk sekadar melangkahkan kakinya ke kantin pun ia tidak melakukannya. Fara harus mengorbankan waktu istirahatnya untuk mengerjakan tugas yang sudah ia lupakan sebelumnya.

Dengan perasaan yang dipenuhi rasa penyesalan, membuat Harri bersikukuh ingin menemui Fara untuk menebus kesalahannya. Seperti sekarang ini, kedua sejoli itu sedang terduduk nyaman di atas kendaraan motor milik Harri lengkap dengan kedua tangan Fara yang sudah melingkari perut sang empu pemilik motor hitam ini.

Harri kerap mencuri pandang perempuan itu melalui spion motornya karena selama perjalanan Fara masih bersikeras untuk membungkam mulutnya.

“Udah atuh, Yang, jangan marah, ih. Aku juga, kan, nggak tau kalau mereka teh mau main ke rumah. Tiba-tiba datang aja weh itu dua burung teh.”

Harri mencolek lutut Fara dengan manja menggunakan jari telunjuk kirinya. Matanya masih sibuk memandangi perempuan di belakangnya yang masih setia memberikan raut cemberut melalui spion motornya.

Harri menghela napasnya sekilas ketika ucapannya tidak digubris oleh sang puan. “Aing traktir sok mau makan apa aja bebas! Asal abis aja, nanti aing yang bayarin!” sogok Harri, masih berusaha keras agar kekasihnya tak mendiamkannya kembali pasca kejadian tak terduga tadi sore di kediamannya.

Deal?!

Dipenuhi rasa kasihan, akhirnya Fara menyerukan ucapannya untuk pertama kali. Ia menyerahkan tangan kanannya melalui sela-sela kegiatan memeluk Harri sembari mengistirahatkan dagunya di pundak kanan lelaki itu.

Harri melirik sekilas tangan Fara yang terjulur. Tangan kirinya mulai ia lepaskan dari pegangan motornya secara perlahan. “Maaf pake tangan kiri, Yang. Soalna kalau tangan kanan dilepas nanti motornya teh takut berhenti tiba-tiba.” Harri segera mengaitkan tangan kirinya dengan tangan kanan Fara yang sudah lebi dulu terulur. “DEALL!” Setelah itu, Harri melepaskan uluran tangannya dan kembali menyimpan tangan kirinya di tempat semula agar tidak membuat keseimbangannya sewaktu-waktu akan hilang.

Senyum Harri merekah tatkala merasakan pelukan yang diberikan kekasihnya kian mengerat, Pun dengan sang empu telah memamerkan senyumannya lebih dulu. Tangan Harri kembali terulur untuk menepuk kepala Fara yang masih terbungkuskan oleh benda bulatnya.

“Jangan ditepuk kenceng-kenceng nanti aku takut bodoh!”

“Kan, bukan emangnya udah dari dulu?” ejeknya membuat Fara dengan refleks memukul kepala Harri hingga sang empu mengaduh pelan.

“Onyet!”

Harri lagi-lagi dibuat tertawa acapkali dirinya berhasil membuat perempuan itu merasa kesal. Entah mengapa setiap kali melihat Fara mendecak kesal di matanya terlihat sangat lucu. Maka dari itu, tiada hari tanpa dirinya untuk sekadar menggoda sang kekasih.

Keheningan mulai tercipta. Mereka berdua sedang menelusuri tiap-tiap jalanan untuk menuju tempat yang akan ditujunya. Jalanan yang licin dengan genangan air di atasnya membuat Harri harus menjalankan pelan kendaraannya agar genangan air tersebut tidak mengenai para pejalan kaki yang berada di bahu jalan.

Mereka berdua telah berusaha untuk menghargai orang lain, namun mereka berdua tidak dihargai oleh kendaraan roda empat yang baru saja melintas dengan kecepatan tinggi. Sontak genangan air tersebut sukses membasahi tubuh kedua sejoli di atas motornya. Untung saja mereka tidak memakai pakaian dengan warna terang, namun tetap saja hal tersebut meninggalkan rasa kesal.

“DASAR MONYET MANEH MOBIL AVANZA SILVER, AING DOAIN SEMOGA RUMAH MANEH KALO HUJAN BOCOR TERUS! TERUS KALAU HUJAN, HUJANNYA DI RUMAH MANEH AJA, DI RUMAH YANG LAIN NGGAK! KALAU MAKAN NASI SEMOGA DAPET BATU! MOBILNYA SEMOGA KOTOR TERUS NGGAK BERSIH-BERSIH MESKIPUN UDAH MANEH CUCI! SEMOGA KALAU MANEH JALAN KENA KARMA DICIPRATIN KENDARAAN YANG LEWAT!” maki Fara yang dihadiahi sebuah kekehan dan gelengan kecil dari Harri. Harri membantu mengusap lutut sang kekasih agar rasa emosinya tidak berapi-api.

Lantas sepersekian sekon kemudian senyum Harri seketika luntur tatkala kedua telinganya mendengar obrolan orang asing yang telah menjelekkan kekasihnya.

Ih awewe naonnya eta teh meuni butut kitu omonganna teh, munyat monyet ceunah kasar pisan, ajig. Mana omonganna doa butut kabeh. Pasti awewe nu teu bener.” (Ih cewek apaan ya itu tuh jelek banget omongannya, munyat monyet katanya kasar banget, ajig. Mana doanya jelek semua. Pasti cewek yang nggak bener.)

Harri mengertakkan giginya saat ucapan itu tanpa permisi memasuki rungunya. Rahangnya mengeras, pun dengan lengan yang sudah terkepal di sela-sela menjalankan kendarannya. Ia melirik sekilas ke arah kekasihnya dan memperlihatkan Fara kini sedang menundukkan kepalanya. Sontak emosi Harri sudah tak bisa ia tahan ketika menyangkuti kekasihnya yang telah dibuat sedih oleh orang lain. Terlebih ketika pelukannya seketika terlepas begitu saja membuat Harri semakin geram.

Harri membawa kedua lengan Fara untuk memeluknya dengan kencang. Fara awalnya menolak, namun akhirnya ia pun menurut setelah melihat raut wajah kekasihnya yang sulit diartikan.

Harri menjalankan kendaraannya dengan kecepatan lebih tinggi dibandingkan dengan sebelumnya. Ia sedang berusaha mengejar kendaraan di depannya yang seenak jidat mengatai kekasihnya begitu saja. Saat kendaraannya sudah persis di samping kendaraan orang itu, lantas Harri segera berkata, “DASAR ANJING!” teriak Harri tiba-tiba membuat beberapa pasang mata pengendara lain sedang memandang heran ke arahnya. Termasuk Fara, orang yang di belakangnya pun sudah mendongkakkan kepalanya dan memandang heran Harri melalui spion motornya. Pun bersamaan dengan pelukannua yang secara otomatis terlepas.

“Sel, lanjutin, Sel. Dasar tikus gitu, cepet!” bisik Harri sembari menepuk lututnya secara tergesa.

Tanpa sebuah pertanyaan maupun tanpa sanggahannya, Fara pun mengangguk dan menuruti ucapan Harri. “DASAR TIKUS!” Ucapan dari Fara sukses dihadiahi sebuah senyuman lebar dari sang empu.

“DASAR BABI!” lanjut teriak Harri masih dengan menjalankan motornya berdekatan dengan orang yang sudah membuat kekasihnya bersedih. “ITULAH NAMA-NAMA HEWAN!” seru Harri terakhir kali, badannya sedikit ia condongkan ke arah kanan seakan sedang meneriaki orang tersebut persis di sebelah telinganya.

Freak pisan, anjing,” ketus orang tersebut sembari menjalanakan kendaraannya dengan kecepatan tinggi, membuat jarak yang jauh dengan kendaraan Harri yang sebelumnya dengan sengaja Harri ikuti secara terang-terangan.

SIA YANG FREAK ANJING! DIADULAH JEUNG AING SETAN! LAGIAN MUN SIA HAYANG DOA NU ALUS NGADOA SORANGAN!” (LU YANG FREAK! BERADULAH SAMA GUA! LAGIAN KALAU LU MAU DOA YANG BAGUS YA BERDOA SENDIRI!) maki Harri di dalam hati, ia tak berani menyuarakan ucapan tersebut di depan Fara karena perempuan itu sedang memperlihatkan raut wajah yang tidak baik-baik saja.

“Kamu ngapain kayak gitu tadi? Biarin aja jangan diladenin. Lagian itu emang salah aku yang terlalu kasar.”

Harri menggeleng, tidak menerima ucapan Fara untuk tidak menimpali perilaku yang seenaknya orang tersebut layangkan untuk kekasihnya terlebih ketika ia menyalahkan dirinya sendiri. “Sekali-kali mah emang harus dikasih pelajaran. Lagian maneh berhak marah, aing juga sama kok tadi maki-maki di dalem hati. Apa mau aing tumpahin makian tadi?”

Fara menggeleng cepat. “Jangan, lagipula perbuatan jelek jangan dibales sama yang jelek juga, Harri.”

“Tapi aing nggak bales sama perbuatan jelek, Grizelle. Aing emang lagi ngabsen nama-nama hewan aja itu. Kalau masalah makian aing no comment,” eleknya yang dibalas decakan dari seseorang di belakangnya.

Tangan Harri terulur untuk menarik kepala Fara dan kembali mengistirahatkannya di bahu kiri miliknya. “Udah jangan pusingin orang gila. Maneh kayak tadi lagi dong posisinya, aing suka.”

Fara pun menuruti ucapan Harri tanpa harus menunggu lama untuk kembali memeluk kekasihnya sembari menyimpan kepalanya di bahu lelaki itu dengan nyaman. Ia dengan refleks memejamkan kedua matanya ketika angin malam mulai menerpa paras eloknya. Bibir manisnya tersenyum kecil acapkali lelaki yang sedang menjalankan kendaraannya mengelus punggung tangan miliknya yang bertengger nyaman di pinggang lelaki itu.

Melalui sentuhan kecil darinya mampu membuat perasaan sedihnya seketika hilang begitu saja.

Aing nggak akan pernah ngebiarin siapapun buat maneh sedih, Sel. Kalau ada yang berani buat maneh sedih, dia harus berhadapan sama aing dulu.


Kolase Asmara Universe.

by NAAMER1CAN0