MANCING


Ia pikir bahwa ajakan tempo hari mengenai akan melaksanakan kegiatan memancing hanya omongan belaka—sekadar ajakan tanpa berniat dilaksanakan. Namun, siapa sangka bahwa ajakan itu justru berakhir dengan ia ikut duduk seraya menunggu ada Ikan-kan memakan umpan yang sudah Papa Jajang pasang.

Tak terhitung sudah berapa kali ia menguap, demi menukar pasokan udara sebelumnya dengan udara baru. Kakinya sudah pegal. Semula hanya hinggapi kaki kiri, saat ini rasa pegal itu justru berpindah pada kaki kanannya.

Dari mulai punggung membungkuk sampai tegak, kemudian kembali membungkuk, Ikan-Ikan itu tak kunjung memperlihatkan tanda-tanda terperangkap pada umpan yang entahlah ia sendiri tak tahu apa saja bahan dasarnya.

Jaya menolehkan wajah ke samping, menatap Papa Jajang yang masih asyik memantau pancingan tersebut. Tak habis pikir, sebab ia tak bisa menemukan letak keseruan dalam memancing yang sudah membuat Papa Jajang terus-menerus melakukannya setiap minggu.

“Pa.” Panggilan dari Jaya menuai tanda tanya yang terlihat dari raut wajah Papa Jajang. “Masih lama?”

Jaya bisa lihat dada Papa Jajang perlahan membusung namun pada detik selanjutnya kembali pada posisi semula. “Dede, Papa aja baru nyelupin pancingan lima menit yang lalu.”

Dan, entah bagaimana, kini justru Jaya ikut menarik napas dalam-dalam lalu dikeluarkan dengan berat hati.

Jaya mengalihkan pandangan, mencoba mencari objek lain untuk ia tatap. Helaan napas lagi-lagi lolos dari mulutnya selepas menolehkan ke samping, ia melihat Harri justru tengah menikmati aktivitas yang sama sekali tak ada letak keseruannya di mata Jaya. Walau jarak mereka terpaut beberapa langkah, akan tetapi Jaya bisa yakini laki-laki itu tak henti menyerukan kalimat sumpah serapah akibat pancingan Papa Asep gagal dalam dimangsa oleh para Ikan-Ikan di bawah sana.

Jaya menahan gelak tawa ketika menyadari laki-laki itu akan melontarkan kalimat tak senonoh, namun dengan cepat ditahan oleh telapak tangan—sengaja membungkam mulut agar kalimat-kalimat itu tak sampai terucapkan. Terlebih menyadari keberadaan Papa Asep di sebelahnya. Apabila Harri sampai mengucapkan kalimat itu, bisa-bisa ia disuruh pulang dengan berjalan kaki.

“Harri, tolol.”

Papa Jajang menengok usai mendengar Jaya tengah bergumam. “Kenapa, De?” Akan tetapi pertanyaan itu justru dibalas gelengan kepala cepat oleh Jaya.

“Papa, Bapak-Bapak di sini Papa kenal semuanya?” tanya Jaya melepas keheningan. Sebab, ia sendiri bingung untuk mengisi kebosanan yang sukar menghilang, selain saling bertukar pertanyaan dengan sang Papa.

“Ada sebagian yang Papa kenal, ada yang nggak.”

Jaya manggut-manggut, kembali membungkam mulut seraya memperhatIkan alat pancingan Papa Jajang. Diam-diam Jaya berharap lambat-laun benda itu akan segera bergerak dan memunculkan Ikan sedari tadi sudah ditunggu untuk bisa ia beserta Papa Jajang bawa pulang.

“Papa kalau mancing kayak gini, De. Biasanya nanti siang suka disiapin nasi liwet, makanya kadang uang iurannya mahal,” jelas Papa Jaya sembari menyiapkan umpan baru. Selama Papa Jajang mengajaknya bicara, tatapan ia justru sengaja dipusatkan pada serangkaian senar pancing serta kail yang perlahan diberi umpan baru sudah disiapkan Papa Jajang.

Hendak ingin melemparkan pertanyaan mengapa Papa Jajang menyimpan umpan baru, sementara umpan lama saja masih terbenam di dalam air, namun pertanyaan itu harus berakhir ia telan lantaran setelah Papa Jajang mengangkat pancingan itu, umpan sudah tiada. Jaya baru tersadar, mengapa Papa Jajang terkadang pulang dengan tangan kosong. Ternyata Ikan-Ikan itu pintar mencuri umpan tanpa harus menyerahkan diri.

“Kalau umpan abis tapi Papa belum dapet Ikannya gimana?” Jaya bersuara seraya menengok, menatap kedua bola mata Papa Jajang dengan serius.

“Ya, pulang.”

Jikalau tahu memancing Ikan itu sesulit ini, mungkin saat itu Jaya tak akan menertawakan Papa Jajang. Sebab, di antara puluhan orang yang sudah melilingi kolam, tak ada satu pun yang sudah berhasil menarik Ikan-Ikan itu keluar. Sampai-sampai Jaya berpikir bahwa sebenarnya Ikan-Ikan itu tak ada di dalam kolam, atau parahnya hanya ada satu Ikan sehingga mereka harus pintar-pintar dalam mengikat hati hewan itu.

Mendengar sayup-sayup bunyi langkah seseorang yang perlahan kian mendekatinya, Jaya sontak segera menegok ke sumber suara—memperlihatkan Harri tengah berjalan menghampiri. Jaya menaikkan salah satu alis, menunggu Harri mengungkapkan maksud dan tujuan selepas laki-laki itu berdiri persis di sampingnya.

Harri celingak-celinguk, sebelum akhirnya berjongkok dan membisikkan sesuatu. “Jang, gimana kalau kita lomba?” ucap Harri tiba-tiba dengan kedua tangan bersedekap.

Dasar kurang ajar! Di situasi yang hanya terpaut beberapa jengkal dengan sang Papa pun laki-laki itu masih saja memanggil namanya dengan sebutan tak sopan.

Jaya memutuskan pandangan, merasa tak tertarik dengan ide konyol itu. Jangankan untuk berlomba, untuk ia berdiam di sini beberapa menit ke depan pun sangat enggan dilakukan.

Harri mengembuskan napas kasar. “Yang dapet ikan paling banyak aing traktir kopi!” lanjut Harri, berusaha menarik perhatian Jaya agar mengiakan cetusan ide darinya itu.

Keterdiamannya Jaya sukses membuat bahu Harri terjatuh. Apabila tidak sedang berada di sisi Papa Jajang, mungkin saat ini ia sudah memukul pundak Jaya tanpa belas kasihan.

“Yaudah, bensin full tiga hari. Ini penawaran terakhir dari aing.”

Deal.”

“Monyet!”

Siapa sangka ucapan dari Harri yang tak sengaja melantun keras itu menuai respons terkejut dari wajah Papa Jajang juga Papa Asep yang sedari tadi sibuk dengan kegiatannya. Harri gelagapan, tubuhnya sontak menegang karena tertangkap basah meloloskan sebuah kata yang sedari tadi sudah susah payah ia tahan agar tak keluar.

Ai Aa meuni awon cacariosan teh,” kata Papa Asep dengan raut wajah tak suka mendengar si sulung mengucapkan kata yang tak seharusnya ia dengar.

Harri menggeleng cepat. “Nggak! I-itu—” Harri menunjuk asal pada pemandangan di depan—pada pohon tinggi yang saling berjejer rapi. “Tadi di sana ada Monyet, Pa!” lanjut Harri, ekspresi wajahnya sudah jelas-jelas memperlihatkan raut ketakutan. Takut apabial setibanya di rumah nanti, ia justru berakhir mendapatkan rentetan kalimat petuah dari sang Papa.

Jaya mengurai tawa. Dan sialnya tawa darinya itu justu dihadiahi pukulan tanpa aba-aba yang diberikan laki-laki di sampingnya itu.

Harri mendengkus. “Maneh kayak Babi!” ucap Harri, menekankan pada kata terakhir seraya memberikan tatapan maut dan kembali berjalan pada tempatnya.

Alih-alih merasa takut, Jaya justru makin dibuat tertawa. Aneh, laki-laki itu selalu mudah tersulut emosi. Padahal sedari tadi ia bahkan tak mengucapkan kalimat apa pun selain satu kata terakhir untuk mengiakan penawaran dari laki-laki itu.

Detik berganti menit. Menit berganti jam. Dan, selama itu pun Ikan-Ikan belum juga memperlihatkan tanda-tanda akan datang. Entah memang Ikan-Ikan itu sangat pintar—sadar akan nyawanya sedang terancam, atau memang ada yang salah dengan umpan dari Papa Jajang. Lantaran setelah Jaya coba perhatikan, hanya mereka berdua yang tak kunjung menyerukan kebahagiaan akibat pancingannya bergerak. Laki-laki di sampingnya yang tadi memberikan penawaran menarik pun rupanya sudah mengantongi satu sampai dua Ikan. Lalu, mengapa hanya ia dengan Papa Jajang yang sedari tadi tak mendapatkan Ikan?

“Papa, kayaknya Papa salah milih tempat. Di sini mah kayaknya Ikan-Ikan pada nggak mau dateng soalnya kepanasan,” kata Jaya sembari mendongakkan kepala ke atas.

Di atas sana memperlihatkan sang raja siang sedang menyombongkan diri, mengusir kehadiran awan-awan di sekeliling sehingga menciptakan sinar yang begitu terik. Yang membuat Jaya kesal adalah tiba-tiba angin datang seolah sedang berbisik, menertawakan betapa malangnya nasib ia berserta sang Papa.

“Nggak, De. Kuncinya mancing itu sabar, yakin, dan jangan pernah pantang menyerah!”

Akui Jaya sangat menyukai sisi semangat Papa Jajang dalam memancing, namun jika terus-menerus begini, mereka hanya membuang waktu dengan sia-sia. Umpan habis, waktu tersita banyak, tenaga terkuras, dan Ikan pun tak dapat.

Kalau begini, ia harus siap-siap mengeluarkan uang demi membayar bensin Harri tiga hari ke depan. Bukannya untung malah buntung. Jika tahu akan berakhir seperti ini, mungkin seharusnya ia tak perlu mengiakan penawaran tersebut saja sedari awal. Namun mau bagaimana lagi? Nasi sudah jadi bubur, toh, hal yang sudah terjadi tak bisa diulang kembali.

PAPA KITA DAPET IKAN LAGI, PA!

Jaya melirik. “Ck, alay,” ketus Jaya tak suka.

Apabila melemparkan kursi sedang ia duduki adalah suatu tindakan yang terpuji, mungkin Jaya sudah melemparkan kursi-kursi miliknya beserta kursi milik pengunjung lain untuk ia lemparkan pada laki-laki itu secara bertubi-tubi. Terlebih ketika bayangan betapa sombongnya wajah laki-laki itu, rasanya Jaya ingin mendorong tubuh Harri ke dalam kolam—sengaja agar laki-laki itu sekalian meraih Ikan-Ikan dengan kedua tangannya. Toh, lebih mudah juga, bukan?

Jaya bangkit. “Pa, Dede ke belakang dulu.”

Usai mendapatkan balasan anggukkan kepala dari sang Papa, Jaya segera melangkahkan kaki. Setelah dipikir-pikir untuk apa juga ia ikut memancing apabila pada akhirnya keberadaan ia sama sekali tak dapat membantu Papa Jajang. Jika begini, lebih baik saja sekalian Jaya menarik diri dari sana.

Menyadari kepergian Jaya, Harri terburu-buru menyimpan kembali alat pancingan. “Pa, Aa mau nyamperin dulu Ajay, ya, bentar.”

Papa Asep melirik kunci yang tergantung di celana si sulung. “Kunci mobilnya siniin dulu, A', jangan dibawa.” Padahal Harri sendiri tak berniat akan meninggalkan Papa Asep di sana, namun agar tak memperpanjang sehingga ia segera menyerahkan kunci tersebut pada Papa Asep.

Napas Harri tersenggal-senggal selepas sampai di mana langkah Jaya akhirnya berhenti. “Maneh mau ke mana, Anying?!

Jaya terperanjat sampai-sampai menggagalkan niat untuk masuk ke dalam mobil. “Babi, aing reuwas!”

Harri berjalan mendekat. “Ai maneh mau ke mana, De?” tanya Harri kebingungan saat menyadari laki-laki itu akan memasuki mobilnya dan meninggalkan Papa Jajang di kolam.

Jaya kembali membuka pintu mobil. “Aing mau nongkrong aja. Bosen di sini cuman bisa planga-plongo kayak gambar tengkorak di baju maneh,” balas Jaya, tatapannya terjatuh pada gambar di pakaian laki-laki itu.

Mendengar kalimat itu sontak membuat Harri melirik pakaiannya. “Anying! Planga-plongo bengeut maneh!” Jaya tertawa tanpa berniat menimpali ucapan itu. “Tolol, ih, terus itu Bapak maneh gimana? Masa ditinggalin gitu aja?”

Jaya mengedikkan bahu. “Biar Bapak maneh yang anterin aja. Bapak aing, kan, yang ngajak mancing. Jadi, udah seharusnya Bapak maneh bales budi nganterin Bapak aing balik.”

Harri melongo. “Kebalik, Monyet! Harusnya Bapak maneh yang nganterin Bapak aing balik!”

“Berisik. Maneh ikut moal? Mun moal, awas. Aing mau keluar.”

Dan, sialnya, entah mengapa berakhir Harri yang ikut terduduk di samping kemudi selagi Jaya fokus dengan jalanan di depan. Padahal niat ia pergi menghampiri Jaya hanya untuk memberi jawaban atas rasa penasarannya. Namun, entah mengapa ia justru ikut masuk pada ide konyol Jaya untuk pergi dari tempat itu. Pantas saja Papa Asep tadi meminta Harri untuk memberikan kunci mobil, mungkin Papa Asep sudah memilki feeling apabila mereka berdua akan pergi.


Papah XL Dede dimana Mobil dibawa dede bukan

You Ya. Dede bosen di sana mah. Dede sama harri, lagi ngopi.

Papah XL Ai dede Papah pulang gimana kalo dede bawa mobil mah

You Papah nanti pulangnya sama papah harri aja. Minta anterin, pasti mau da.

Papah XL Ih ai dede Tau dede mau keluar mah tadi papah larang

You Emang papah selesai jam berapa gitu mancingnya.

Papah XL Papah beres jam set6, jemput papah jam segitu Papah gak enak kalo minta papah harri anterin papah mah

You Ya.

Papah XL Ya


Bukan tak sopan karena telah meninggalkan Papa Jajang. Toh, tadi ia sudah meminta izin untuk keluar. Dan, ia sangat ingat betul Papa Jajang pun mengiakan kalimatnya.

Terik matahari yang sedari tadi membuat dahi-dahinya mengeluarkan keringat pun tergantikan oleh angin sepoi-sepoi sampai-sampai rambut Jaya sesekali ikut bergerak mengikuti arah ke mana angin itu berembus. Langit sudah tidak sebiru tadi. Keadaan langit saat ini memperlihatkan semburat merah jingga, mungkin langit ikut tersipu kala sepasang kaki milik Jaya melangkah guna menjemput sang Papa di dalam sana—langit tahu saja salah satu penghuninya yang memiliki wajah tampan.

Niat ingin menyapa Papa Jajang dan mengucapkan permintaan maaf karena telah meninggalkannya begitu saja, tiba-tiba tubuh Jaya membeku usai mendengar percakapan yang entah mengapa kalimat itu justru mengiris hatinya. Ia tak mudah tersentuh dengan suatu hal, namun untuk kali ini pengecualian.

Pak Aan, dapet Ikan Nila nggak?

Muhun ini saya teh dapet empat ekor, Pak Jajang. Gimana?

Pak, boleh tuker satu sama Ikan Mas punya saya nggak? Kebetulan anak saya yang bungsu nggak bisa makan Ikan Mas dan jarang mau makan Ikan. Sekalinya mau makan, sukanya Ikan Nila. Boleh dituker satu nggak sama Ikan Mas punya saya?

Oh, mangga candak aja, Pak Jajang. Nggak usah dituker juga nggak apa-apa saya mah!

Nggak apa-apa, Pak Aan, tuker aja sama Ikan Mas saya. Saya sama istri mah nggak apa-apa nggak makan ikan juga, yang penting mah anak-anak saya aja yang makan. Da, saya mancing mah cuman buat hiburan aja. Saya ambil satu, ya, Pak Aan. Karena Ikan Nila Pak Aan gede jadi saya tuker sama dua Ikan Mas saya.”

Jaya tersenyum miris, tak tahu mengapa langkah kakinya justru berputar untuk kembali ke tempat di mana mobilnya terparkir. Setelah dipiki-pikir, lebih baik ia menunggu di dalam mobil saja.

Seketika ada setitik perasaan yang sulit untuk Jaya deskripsikan, tentang mancing, tentang Ikan, dan tentang bagaimana perjuangan Papa Jajang memberikan kasih sayang dengan caranya sendiri.


Jagat Lingga Erlangga Universe

by NAAMER1CAN0