MENANTANG KEBERANIAN
Syifa sudah siap di tempat duduknya ketika bel sekolah berbunyi. Satu per satu orang tergesa menempati bangku, tak sabar menantikan sang pengawas yang akan duduk di meja depan. Namun, tidak untuk dua orang sedang asyik diam diri di pintu. Kedua laki-laki itu tengah harap-harap cemas saat mulai melihat guru-guru berhamburan pergi ke kelasnya masing-masing.
“Siapa, euy, pengawas kelas arurang, Ri, Cip?” kata Hasan.
Bukannya menjawab pertanyaan Hasan, Cipta dan Harri malah menggelengkan kepala serta tangan mengepal di dada, seolah tengah berdoa apabila yang dilihat saat ini tak sesuai dengan apa yang mereka pikirkan.
Sayangnya, untuk kali ini doa mereka tak terkabulkan. Alih-alih menjauhi kelasnya, salah satu sang pengawas di depan sana malah makin mendekat.
“Siap-siap, kelas arurang sama Sensei Turi!” Harri berlari menuju tempat duduk. Suasana yang semula tenang berubah sekejap menjadi bising. Jika dilihat dari raut wajah para kakak kelasnya, sepertinya sang pengawas nanti bukanlah pengawas yang diidam-idamkan untuk datang.
“Emang kenapa sama Sensei Turi, A Jagat?” tanya Syifa penasaran, sebab ia tak pernah diajar oleh guru Bahasa Jepang tersebut. Dan setahunya, kelas sepuluh pun tak ada yang kedapatan diajar oleh beliau.
“Beliau orangnya tegas. Kadang kalau ngerasa lagi bosen, beliau sesekali suka jalan-jalan sambil liatin kita ngerjain soal.”
Mulut Syifa membulat. Ia menatap Jaya dan Harri bergantian. Lalu bagaimana dengan permintaan mereka nanti?
Jaya yang merasa pandangan dari adik kelasnya itu bukan tatapan biasa—seperti dibaluti kekhawatiran, lantas menaikkan alis seolah bertanya mengapa telah menatapnya dengan ekspresi seperti itu. Namun yang bersangkutan membalasnya dengan gelengan kepala.
“Cip!” Syifa menoleh. “Jangan lupa, ya, titipan Aa nanti!” kata Harri berseri-seri seraya mengacungkan jempol.
“Harri nitip apa sama kamu?” tanya Jagat, sebab jika dilihat dari gelagat Harri cukup membuat Jagat curiga. Kecurigaan itu dikuatkan oleh tatapan Syifa yang memperlihatkan gelisah melirik Jaya dan Harri bergantian.
Syifa menggeleng. “O-oh, itu … A Harri nitip sesuatu yang ada kaitannya sama Kak Jaya, A Jagat,” kilah Syifa, mengucapkan asal jawaban yang saat itu terlintas dalam kepalanya.
Alis Jagat menaik, terdengar dari bagaimana Syifa menjawab pertanyaan darinya, Jagat bisa menarik simpulan bahwa sang adik kelas tengah berbohong. Mata yang terus-menerus menatap langit-langit ruangan, jari-jemari saling memainkan satu sama lain, dan suara sedikit gelagapan.
“Saya cuman mau ngingetin aja, hati-hati. Apa pun permintaan itu yang sekiranya buat kamu rugi, jangan dilakuin. Sensei Turi nggak main-main tegasnya.”
Entah kalimat itu sebatas gertakan atau memang sungguhan, nyali Syifa mendadak hilang terbawa angin yang datang melalui ventilasi. Apabila diingat-ingat dari kata per kata yang telah diucapkan Jagat, Syifa yakin bahwa sang kakak kelas tidak sedang mengada-ngada.
Helaan napas kasar keluar dari mulut Syifa saat selembar kertas jawaban beserta soal telah tersimpan rapi di atas meja. Masih pagi sudah disuguhkan dengan soal matematika yang memusingkan. Bahkan, hanya dengan melihat sekilas pertanyaan-pertanyaan itu, kepala Syifa langsung berdenyut.
Dengan susah payah melawan rasa malas, Syifa akhirnya memulai untuk memberikan bulatan pada bagian identitas diri. Syifa tak tahu apakah ia beserta murid di ruangan delapan termasuk orang-orang yang beruntung atau tidak, sebab Sensei Turi saat ini sedang sibuk dengan beberapa berkas di atas mejanya.
Karena tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Syifa cepat-cepat mengerjakan soal dari yang menurutnya paling mudah dan tak akan banyak menyita waktu.
Kekhawatiran perihal ia tak dapat mengerjakan soal tak sepenuhnya benar, lantaran waktu sudah hampir berjalan selama dua puluh menit dan ia masih sanggup menghitung soal-soal selanjutnya.
Belum genap lima menit berlalu dari memuji kelancaran mengerjakan soal, sampai akhirnya Syifa kini hanya bisa menatap salah satu soal dengan raut kebingungan. Kuku-kuku jari tak henti ia gigit, sebagian rambutnya telah berantakan—ia acak-acak—dengan harapan rumus-rumus yang sudah dilupakan akan kembali teringat.
Sayangnya, makin ia mencoba mengingat, makin kosong pula isi kepalanya.
Pada akhirnya, Syifa hanya bisa menggigit bibir seraya menolehkan wajah ke samping. “A Jagat, t-tau rumus beberapa bangun ruang, nggak?” bisik Syifa penuh keraguan dalam ucapannya, takut apabila suaranya mampu terdengar sampai telinga sang pengawas.
“Tau.”
“Boleh nggak kalau Syifa minta A Jagat buat tulisin beberapa rumus bangun ruang yang lengkap di kertas coretan Syifa yang ini?” Bola mata Syifa memperlihatkan tatapan penuh harap. “Syifa beneran lupa rumusnya, mau capcipcup tapi takut nanti nilai Syifa jadi taruhannya.”
“Deketin kertasnya ke arah saya, biar saya tulis.”
Maka, pandangan Syifa langsung tertuju pada sang pengawas di depan. Ia mencoba memberikan raut pura-pura berpikir, sedang tangan kirinya berusaha menggeser kertas coretan pada Jagat. Kalau soal akting-akting seperti ini, ia sendiri ahlinya.
Tak berselang lama, kertas coretan Syifa sudah kembali pada posisi semula. Baru saja Jagat akan kembali mengerjakan soal, Syifa tiba-tiba mencolek lengannya. Jagat melirik ke arah gadis itu, kemudian terjatuh pada beberapa huruf yang selesai Syifa tuliskan di atas kertas. Jagat mengangguk pelan, memberi jawaban dari tulisan ‘makasih A Jagat’.
Syifa kagetnya bukan main ketika seseorang berdiri di sampingnya. Ia pikir hidupnya akan berakhir pada detik itu juga. Tapi setelah mencoba mengingat-ingat, ia sama sekali belum meluncurkan aksi kepada Jaya maupun Harri.
“Tanda tangan dulu di nomor empat belas,” ujar sang pengawas.
Begitu kalimat itu selesai diucapkan, Syifa bisa bernapas lega. Ia kira sang pengawas datang karena telah mencurigai dirinya.
Tak sengaja melihat tindakan sang adik kelas yang sedari tadi tak henti menepuk dada, Jagat malah dibuat salah fokus oleh salah satu soal yang sepertinya baru gadis itu selesai kerjakan.
“Nomor sepuluh kamu salah hitung, tuh. Harusnya jawabannya B bukan C, coba dilihat lagi baik-baik,” ceplos Jagat menghentikan aktivitas Syifa dalam menenangkan diri.
“Eh, masa, sih, salah? Syifa kerjainnya udah bener, kok, A Jagat.” Alis Syifa menekuk, memperhatikan satu per satu angka serta lambangnya. Ia takut jika benar-benar salah dalam menghitungnya.
Lantas, Jagat segera menarik kertas coretan sang adik kelas tanpa mengeluarkan suara. Jagat menulis ulang soal serta jawaban yang tak sepenuhnya ia isi—sengaja agar dilanjutkan oleh Syifa nanti. Namun, ketika Jagat mencoba fokus membantu sang adik kelas, tiba-tiba seutas senyuman muncul membuat laki-laki itu tak mampu menahan raut wajahnya kala tak sengaja membaca beberapa kalimat di kertas coretan tersebut.
“Lanjutin sisanya, tinggal kamu isi-isi aja.”
Syifa mengangguk. Ternyata ada untungnya juga ia bisa berbagi meja dengan orang pintar. Rasanya Syifa telah menyesal karena pernah meragukan kemampuan kakak kelasnya itu.
Saat sedang asyik menghitung ulang, tiba-tiba Syifa teringat dengan permintaan Jaya dan Harri. Maka, Syifa cepat-cepat memastikan bahwa sang pengawas telah fokus dengan pekerjannya sendiri sebelum akan melancarkan aksinya.
Syifa lirik sekilas ke arah lembar jawaban Jagat. Tangan yang sibuk menulis ulang jawaban dari laki-laki di sampingnya, sementara matanya bergerak menatap jawaban serta sang pengawas penuh kehati-hatian.
Senyum Syifa merekah selepas berhasil menyalin tiga puluh lima nomor soal pilihan ganda. Untuk dua nomor esai harus Syifa relakan, sebab ia sendiri bingung harus menyerahkan jawaban dengan cara apa pada mereka.
“Jangan berisik, ya, saya mau ke toilet sebentar. Jangan ada yang berani saling tukar jawaban dengan temannya,” kata Sensei Turi sebelum pergi meninggalkan ruangan.
Sepeninggalan sang pengawas, kelas yang semula tenang berubah agak ricuh. Bisikan demi bisikan bisa Syifa dengar termasuk bisikan dari Harri yang tak henti memanggil namanya.
Seolah tahu apa yang akan dilakukan Syifa pada Harri, Jaya tak berniat memutuskan pandangan sedari tadi. Matanya sudah siap membaca gerakan mulut Syifa dan tangannya sudah siap mencatat.
Syifa berusaha tenang, kepalanya tetap lurus ke depan. Namun mulutnya tak henti bergerak tanpa suara dengan tangan memberikan gestur angka satu dan angka lain-lainnya secara bergantian.
Selain takut apabila ternyata diam-diam sang pengawas penyimpan kamera tersembunyi, Syifa pun takut apabila laki-laki di sampingnya sadar bahwa ia telah menyalin ulang jawabannya.
Bertepatan Syifa menggumamkan nomor terakhir, sang pengawas pun kembali datang. Ricuhnya ruangan tersebut seketika langsung hening dalam sekejap, menyisakan suara lembar soal yang dibuka-tutup dan denting jarum jam.
Entah karena sang pengawas telah mendengar berisiknya ruang delapan dari kejauhan atau memang merasa kalau anak-anak di ruang delapan tak menuruti perintahnya, pada menit-menit terakhir Sensei Turi tak henti berjalan-jalan dan memeriksa satu per satu lembar jawaban para muridnya.
Syifa yang ingat kalau pada kertas coretannya memuat contekan dari jawaban Jagat, lantas cepat-cepat Syifa balikan. Syifa memperlihatkan bagian sisi coretan lain agar tak menjadi bulan-bulanan sang pengawas.
“Lembar jawaban sama soal disimpan saja di atas meja, tapi untuk lembar jawaban jangan lupa dibalik biar nanti saya yang rapikan sendiri. Kalau sudah selesai silakan keluar meninggalkan kelas.”
Pada detik-detik terakhir, Syifa dibuat was-was lantaran ia menyisakan satu soal terakhir yang belum diisi. Syifa sudah mencoba untuk fokus, tapi suara langkah dari sepatu hak sang pengawas membuat isi kepalanya buyar.
Sampai akhirnya bel yang menyatakan ujian hari kedua pada jam pertama telah selesai, Syifa pun memilih untuk asal membulatkan jawaban. Tak apa-apa, yang penting ia sudah menjawab soal sisanya dengan sungguh-sungguh.
Sesuai dengan arahan Sensei Turi, Syifa meninggalkan soal serta jawaban di meja. Kertas coretan serta papan dan alat tulisnya akan Syifa kembali masukkan ke dalam tas—sengaja disimpan di depan kelas.
“Syifa,” panggil Jagat membuat Syifa menoleh. “Lembar coretan kamu tadi boleh saya bawa nggak? Saya mau mastiin kalau hitungan yang saya kasih tadi bener atau nggak.”
Syifa mengangguk, menyerahkan semua lembar coretan itu tanpa banyak bertanya. “Boleh A Jagat, ngomong-ngomong makasih banyak udah bantu Syifa, ya, tadi.”
Jagat mengangguk dan mengulas senyum. “Sama-sama.”
Jaya yang tak sengaja mendengar percakapan dari kedua orang itu hanya bisa memutar bola mata malas. “Cih.” Raut masam tercetak jelas pada wajah Jaya. Ia menarik pundak Harri secara paksa untuk segera keluar dari kelas. Bahkan parahnya, ia tak berniat menunggu Jagat barang sejenak yang masih merapikan barang-barangnya di dalam.
“Eta si Jagat tinggaleun, Jang!” ucap Harri dengan langkah yang susah payah untuk diseimbangkan.
“Itu Jagat ketinggalan, Jang!”
“Biarin, entar juga nyusul sendiri anaknya,” balas Jaya sedikit ketus.
Puspas Niskala Universe
by NAAMER1CAN0