Menepati janjinya.
“Passport?”
“Udah,”
“Baju anget?”
“Udah,”
“Surat-surat penting?”
“Udah,”
“Visa?”
“Udah,”
“Charger, laptop, handphone?”
“Udah,”
“Sambel terasi?”
Semuanya terdiam setelah mendengar pertanyaan itu.
“Kok diem, Abang lupa ya bawa sambel terasinya?” tanya Jio lengkap dengan sebuat kerutan di dahinya.
“Abang beli aja di sana deh kalo itu,”
“Ih nggak-nggak, bawa sekarang. Hemat uang!” Jio menyerahkan beberapa kantong sambal terasi ke arah abangnya. Nalen pun dengan terpaksa meraihnya.
“Oke …,” jawab Nalen dengan pasrah. Ia pun mulai memasukkan beberapa sambal terasi ke dalam kopernya, semoga aja nggak kena pas pengecekan. Lagipula lebih baik ia turuti kemauannya daripada si bungsu marah.
“Hati-hati di sana, jangan salah pergaulan,” ucap Jordi.
“Kalo ada apa-apa hubungi kita,” timpal Donny yang mulai mengeluarkan suaranya.
“Belanda sama Indonesia beda berapa jam?”
“Belanda lebih lambat 6 jam,” sahut Mario. Yohan pun hanya menganggukan kepalanya.
“Salam buat kincir Belanda,” ucap Haekal dengan tiba-tiba.
Nalen tertawa mendengar ucapan itu. Kadang ia merasa senang mendapatkan sosok teman humoris seperti saat ini, di saat suasana sedah sendu masih saja ia rela untuk membangkitkan suasanya yang penuh haru ini.
“Iya, nanti gua bawa balik kincirnya buat lu.” Haekal pun hanya bisa memukul pundak rekannya dengan pelan. Ia sendiri ingin menangis, namun sedikit malu jika harus dilihatkan secara terang-terangan.
“Harus banget pergi, ya?”
Semuanya kembali terdiam setelah mendengar tuturan dari si bungsu. Nalen menghela nafasnya pelan lalu bejalan ke arah yang lebih muda.
“Iya harus, maaf ya? Abang egois dulu buat kali ini aja, nggak apa-apa, ‘kan?”
Jio hanya bisa menunduk mendengarnya. Berat hatinya untuk mengiyakan ucapan tersebut, namun lebih berat lagi jika ia menolaknya.
“Tapi Jio bentar lagi mau wisuda,”
Nalen mengangkat kedua lengannya. Ia mengusak surai itu dengan lembut. “Iya, Jio hebat. Kalo waktunya memungkinkan nanti Abang dateng, tapi kalo nggak … nanti Abang kasih apapun yang Jio minta.”
“Apapun?”
“Iya, apapun,”
“Jio minta Abang buat dateng,”
Nalen dibuat bungkam. Sial, triknya salah. Manjanya Jio kembali lagi, padahal akhir-akhir ini ia sering mempelihatkan sisi dewasanya. Bahkan, percaya tak percaya dia pun kini sudah memiliki seorah kekasih.
“Kecuali itu—“
“—berarti nggak bisa apapun.”
Jio memainkan ujung jaketnya. Ia lebih tertarik untuk memainkannya daripada harus melihat dan menatap abangnya.
“Kapan flight?”
Nalen menolehkan wajahnya kepada sumber suara. “Jam 16.15,” jawabnya.
“Yaudah sana, udah mau jam empat,”
“Nanti, masih ada waktu. Gua mau di sini, ngabisin dulu waktu sama kalian,”
“Anjing, jangan buat melow lah!” ucap Derry dan Jevon secara bersamaan. Lalu mereka berdua pun melakukan high five setelah menyelesaikan kalimatnya karena telah berucap dengan kompak.
“Kuliah yang bener nanti, jangan main bolos-bolos. Malu, udah mau magister masih leha-leha,” ucap Luthfi.
“Lu setelah kerja emang jadi dewasa gini ya, Bang? Kayak udah ada aura bos-bosnya,”
Nalen menghentikan ucapannya setelah merasakan sebuah cengkraman di bahu kanannya. “Iya iya, gua bakalan rajin biar bisa balik ke sini cepet.”
“Tapi pertanyaannya, kalo gua balik, kalian masih di kontrakan nggak?”
“Masih,”
“Selalu,”
“Tetep di sana,”
“Kontrakan for life,”
“Jangan khawatir, kontrakan itu bakalan jadi milik kita. Si Chakka udah tanda tangan kontrak mau dibeli,”
“Hah sumpah?” Teguh tertegun dengan jawaban yang telah ia dengar dari Sagara.
“Iya Bang, gua beli aja sekalian. Biar jadi tempat peristirahatan kita, siapa tau kalo kita udah berkeluarga nanti kontrakan itu bisa jadi villa dan tempat buat kita liburan sekeluarga,”
“Buset, nggak nyesel gua pernah adu jotos, ngegembel, sedih-sedihan sama lu pada kalo akhir-akhirnya bakalan kayak gini.” Adrian bertepuk tangan dengan pelan saat mendengar jawaban dari Chakka. Memang tuan muda Chakka ini tak ada tandingannya, tanpa berkoordinasi tau-tau sebentar lagi kontrakannya menjadi milik bersama.
“Iya, tunggu gua ya. Gua bakalan pulang secepet mungkin,”
“Kita selalu nunggu lu beserta gelar baru lu, Nalendra Elvano, S.T. goes to Nalendra Elvano, S.T., M.Sc..”
Senyum Nalen semakin cerah setelah mendapatkan tuturan kata tersebut. Bukan hanya dirinya yang bangga dengan apa yang ia akan ambil, namun kedua puluh dua rekannya pun sama bangganya. Seketika kata rumah pun sudah bisa ia dapatkan. Rumah baginya adalah mereka, mereka yang akan menjadi tempat singgah bahkan tempat untuk berkeluh kesah dirinya.
Kebersamaan mereka pun harus terhenti setelah mendapatkan sebuah pengumuman bahwa pesawat yang akan terbang ke negara kincir itu akan flight dalam beberapa menit ke depan. Ia pun langsung bersiap-siap dan mulai memeluk rekannya satu persatu sambil mengatakan kata perpisahan.
“Safe flight,”
“Jangan lupa berdoa,”
“Hati-hati, ya,”
“Jangan lupa bahagia,”
“Inget tujuan lu pergi ke sana itu apa,”
“Jangan lupa untuk kembali,”
“Kontrakan selalu terbuka buat lu,”
“Jangan lost contact,”
“Jaga kesehatan,”
“Kurangi minum kopi,”
“Jangan terlalu banyak ngerokok,”
“Makan yang sehat,”
“Jangan kebanyakan gadang,”
“Udah sampe sana, wajib kabarin kita,”
“Setiap jam jangan lupa kabarin kita,”
“Semangat, bro,”
“Jangan sedih, kita selalu ada buat lu. Jangan ngerasa kesepian lagi,”
“Jangan ragu buat pc gua kalo mau berkeluh kesah,”
“Tetap mabar walaupun kita LDR,”
“Gua pinjem mobil dan motor lu ya. Hati-hati,”
“Jangan boros, beli yang menurut lu perlu aja,”
“Abang, jangan ragu buat telfon Jio kalo kangen Jio ya. Maksudnya kalau Abang mau ngobrol sama Ibu, Jio bakalan seneng banget, hati-hati di sana ya Abang.”
Yudi membantu membawa tas yang melingkar pada punggungnya. Ia berjalan mendahului Nalendra yang masih berpamitan dengan rekan-rekan lainnya.
Tak lama Yudi menyerahkan kembali tasnya, ia dekap tubuh itu dengan erat seakan tak rela untuk melepaskannya.
“Tolong jangan hilang kabar, gua nggak suka lu kayak gitu. Jangan mikir macem-macem, inget tujuan lu terbang ke sana karena apa dan untuk siapa. Buat Oma bangga, jangan pernah berpikir buat nyerah. Kabarin gua tiap jam, tiap menit, bahkan tiap detik pun gua rela. Telfon gua kalo lu butuh orang buat cerita, butuh orang buat bersandar. Jangan sungkan telfon nyokap gua kalo lu kangen sama tempat singgah lu, ngokap gua pasti seneng. Kalo ada apa-apa jangan dipendem sendirian, jangan kebawa pergaulan yang salah, jangan seks bebas, konsumsi drugs, minum alcohol. Kabarin gua kalo udah sampe sana. Last, gua bakalan selalu ada buat lu sampe kapan pun, jadi jangan sungkan buat jadiin gua dan temen-temen lainnya sebagai Rumah.”
Yudi melepas pelukannya dan menepuk pundak Nalen dengan cukup bertenaga. Ia usak rambut adiknya sebelum akhirnya ia rapihkan kembali.
“Gih sana, ketinggalan pesawat nanti nangis,”
“Bang, makasih. Makasih udah mau bantu gua ini-itu, gua nggak tau lagi kalo nggak ada lu bakal gimana. Lu udah gua anggap kayak abang kandung gua, makasih udah jadi saksi bisu perkembangan hidup gua. Mulai dari sedih sampe seneng lu saksiin itu semua. Maaf kalo gua masih banyak salah, gua pasti kangen sama lu, mamah, dan bapak. Salam buat mereka, bilang anak bungsunya nanti bakalan ngasih undangan buat hadir di wisuda magister gua.”
Yudi tersenyum. Baru kali ini ia merasakan perpisahan yang penuh haru, ia daritadi sedang menahan tangisnya, entahlah berat hatinya untuk meninggalkan pria di hadapannya. Menurutnya pria yang sedang ada di hadapannya ini sebuah malaikat yang harus ia jaga, sebuah malaikat yang penuh sisi kerapuhan sehingga ia sendiri harus menjadi sandaran untuknya.
“Iya, gua pasti tunggu moment itu.”
Nalen pun melambaikan tangannya kepada rekan-rekan yang sedang memperhatikannya. Ia tarik kedua ujung bibirnya untuk tersenyum, tak lupa ia pun menepuk pundak abangnya sebelum ia benar-benar terbang ke negara kincir.
Yudi hanya bisa menatap punggung yang semakin lama semakin hilang dari pandangannya. Air matanya mulai menetes namun dengan sigap ia menyekanya dengan cepat.
“Hati-hati, jagoan,
Nalendra Elvano, sosok orang hebat dan kuat yang pernah gua temui.”
Sebab nama tersebut menjadi alasan mengapa dirinya tumbuh menjadi orang yang kuat.
Nalendra: orang yang tak pernah mengenal lelah dan gigih.
Elvano: hadiah dari Tuhan berupa anak yang kuat.
Nalendra Elvano, orang yang tak pernah mengenal lelah berupa hadiah dari Tuhan sebagai anak yang kuat.
Story of Nalen Universe.
by NAAMER1CAN0