MENGHABISKAN WAKTU BERSAMA


Alunan suara gitar memeriahkan suasana hening dan memanjakan indra pendengarannya. Bibir tipis miliknya seketika terangkat kala dirinya ikut terbuai dengan syair-syair syahdu yang dikumandangkan orang-orang di hadapannya.

Sembilu yang dulu Biarlah berlalu Bekerja bersama hati Kita ini insan Bukan seekor sapi~.

Kepala Fara tergerak mengikuti alunan melodi indah tersebut. Dalam hati ia bersorak riang. Sebab sebuah lagu yang saat ini sedang dinyanyikan tak ayal adalah lagu kesukaannya. Entah kebetulan atau memang seseorang di sampingnya sengaja meminta orang tersebut untuk menyanyikan lagu itu untuknya.

Angin malam yang datang bahkan tak mampu membuat dirinya urung berada pada kegiatan malam ini. Dinginnya cuaca di malam hari masih terkalahkan oleh hangatnya yang diberikan oleh teman-temannya. Jua, oleh seseorang di sampingnya.

Satu jam yang lalu ia sahaja mengirimkan sebuah pesan tunggal pada kekasihnya agar dapat membawa dirinya menikmati suasana kota Bandung di malam hari. Jelas, sebab malam ini adalah malam minggu. Malam terbaik untuk dirinya menghabiskan waktu secara cuma-cuma. Pun, menghabiskan waktu dengan seseorang yang amat disayanginya.

Alih-alih mengiakan serta menuruti pinta darinya, kekasihnya justru membawa teman-temannya untuk berkumpul bersama di kediamannya. Dan, ya, di sinilah mereka berada. Di sebuah halaman yang tak begitu luas, namun mampu membuat orang-orang tersebut nyaman bersantai ria di kediamannya.

Agenda malam hari ini menghabiskan waktu bersama untuk tertawa riang, katanya. Sebagai tuan rumah, dirinya pun mengikuti kegiatan acara berlangsung tanpa membantahnya sedikit pun.

Kepulan asap berasal dari sebelah barat tiba-tiba tanpa permisi datang kepadanya. Sebuah aroma lezat yang tidak sengaja tercium oleh hidung bangirnya. Ia menoleh, mencari ke arah asap itu berasal. Matanya berbinar kala dapati sebuah makanan yang sudah ia idam-idamkan sejak kedatangan kekasihnya beberapa jam lalu.

“Fara sini! Jagat udah selesai bakar dagingnya!” seru perempuan tak ayal kekasih dari seorang lelaki yang telah disebutkan namanya.

Ia dengan senang hati akan menyambangi tempat Grace berada. Namun, saat ia hendak berdiri dan menghampiri ke arah tempat itu berada. Justru ia dibuat terduduk kembali ketika lengan seseorang menahannya.

“Sama aing aja bawainnya, maneh diem di sini, ya.”

Lantas, Fara hanya bisa terdiam dan menuruti perintah kekasihnya. Lagi pula, jika boleh jujur ia sendiri pun malas untuk menjalankan kedua tungkainya untuk menyambangi tempat itu yang terpaut cukup jauh dari tempat ia berada.

Baru saja ia akan terlarut dalam pikirannya, sayangnya kedatangan seseorang membuat dirinya harus menepis jauh-jauh khayalannya.

“Geser, Yang.”

Harri memberikan sebuah isyarat dengan menggerakkan ketiga jemari yang terbebas. Fara pun langsung menggeser, memberikan ruang agar kekasihnya dapat merasa nyaman ketika duduk di sampingnya.

“Minumnya belum beres, si Rakha masih marah-marah gara-gara di duo semprul nggak mau bantuin ngancurin es batu,” jelasnya sembari mengibaskan lengannya persis di atas makanan yang sedang digenggam olehnya.

Fara terkekeh. Ia melirik ke arah depannya yang menampilkan Aksara serta Yolan sedang asyik menyanyi seraya menggerakkan tubuhnya dengan lihai. Sementara Jaya asyik memetik gitarnya untuk memberikan suasana hangat di antaranya.

“A, Yang.”

Harri sudah berancang-ancang untuk menyuapkan satu potongan daging ke mulut kekasihnya. Tetapi, perempuan di sebelahnya justru menanggapi ucapannya dengan sebuah gelengan.

“Nggak mau disuapin, aku malu!”

Harri memutar bola matanya. Malu katanya. Padahal jelas-jelas saat ini tidak ada satu pun pasang mata yang sedang memandang ke arahnya. Karena dirinya tak mau menimbulkan sebuah pertikaian, ia pun langsung menyerahkan piring yang sebelumnya ia pegang ke arah perempuan itu.

“A, Yang!” ucap Harri, mulutnya terbuka seakan menunggu seseorang akan memberikan makanan lezat itu untuknya.

Fara hendak memasukkan satu potongan daging ke dalam mulutnya pun sukses mengurungkan niatnya. Dahinya mengerut, heran dengan ucapan dari Harri tanpa sebuah konteks yang jelas.

Seolah paham akan pandangan kekasihnya, Harri sontak menunjuk mulut dengan jari tunjuknya. “Kalau kamu nggak mau suapin aku, artinya kamu yang suapin aku,” ucap Harri disertai sebuah senyuman kecil yang mengejek. “A, Yang!” lanjutnya sembari membuka lebar-lebar mulutnya bak bentuk sebuah hati itu.

Fara mengerlingkan matanya namun tangannya tetap menyuapi lelaki itu tanpa mengeluarkan sebuah bantahan apapun.

“Hmm... enak.” Kepala Harri bergerak ke kanan dan ke kiri, memperagakan kebiasaan kekasihnya yang selalu memperlihatkan gerakan tersebut ketika menikmati sebuah makanan yang menurutnya sangat lezat. “Kebiasaan kamu tah kalau misalnya makan pasti kayak gini kepalanya.” Harri kembali mengulangi gerakan kepalanya untuk diperlihatkan kepada kekasihnya.

“Aku nggak sealay kamu juga mereun!”

Fara mencubit lengan Harri yang berada di atas kaki milik lelaki itu. Pipinya menggembung akibat menahan kesal selepas melihat reka adegan diperlihatkan kekasih untuknya.

Cubit-cubitan, o ... o, cubit-cubitan~ Senggol-senggolan, o ... o, senggol-senggolan~

Harri baru saja akan melayangkan sebuah keluhannya sebab perempuan itu dengan sengaja memberikan sebuah cubitan cukup keras untuknya. Kulitnya kian memerah pun rasa panas mulai dirasakan olehnya.

Fara memberikan tatapan sinisnya kepada tiga pemuda di hadapannya. Namun irosnya mereka sama sekali tak memedulikan sebuah isyarat darinya.

“Sumpah aku kesel banget sama mereka, kamu mending putus pertemanan ajalah sama tiga dedemit itu!”

Kini giliran Fara yang dibuat pitam oleh ketiga pemuda itu. Sekarang ia tahu mengapa kekasihnya selalu kesal ketika sudah berhadapan dengan ketiga orang tersebut, terlebih saat sudah berhadapan dengan Aksara dan Yolan. Ternyata mereka memang semenyebalkan itu.

Harri terkekeh, tak dapat menyembunyikan gelak tawanya kala indra pendengarannya dipenuhi oleh runtutan kalimat ketus yang keluar dari bibir manis sang kekasih.

“Udah biarin aja, mereka mah emang hobinya gangguin hubungan kita. Biasa, sirik mereun,” sahut Harri diiringi kedua bahunya terangkat tak acuh.

Disamping itu, meskipun ada rasa kesal yang berada pada benaknya namun jauh dari lubuk hatinya ia merasa bahagia sebab dapat merasakan momen indah saat ini yang mungkin ia tak dapat merasakannya apabila tak bersama dengan lelaki di sampingnya.

Sebuah senyuman manis sekonyong-konyong terbit pada wajah eloknya. Maniknya setia menatap wajah rupawan sang kekasih dari arah sampingnya. Rahang yang tegas, rambut hitam yang berkilau, serta mulut yang masih sibuk mengunyah daging yang telah disuapinya beberapa saat lalu.

“Apa?” tanya Harri terheran. Alisnya ikut terangkat; maniknya sibuk menerobos obsidian hitam perempuan di depannya yang entah sejak kapan kekasihnya menatap dirinya tanpa berkedip.

Fara menggelengkan kepalanya. “Nggak, aku cuman mau liat aja wajah tampan kekasihku ini sampai membuat aku mabuk kepayang.” Tatapannya makin dalam, berupaya menembus obsidian lelaki itu.

“Alay pisan, terlalu hiperbola omongan maneh!”

Kini giliran Fara yang dibuat tertawa karena ucapan darinya berhasil membuat lelaki tersebut meninggalkannya seorang diri. Fara tahu betul bahwa lelaki itu sedang menutupi rasa salah tingkahnya, terlihat dari kedua netranya yang tak berani balik menatap netra miliknya membuat ia makin yakin dengan aforismenya.


“Terus, gimana, Fa?” penasaran Aksara setelah mendengar Fara menceritakan masalah yang sedang dirasakannya.

Fara mengangkat telapak tangannya, memberi isyarat ia membutuhkan waktu sejenak untuk meneguk cairan putihnya terlebih dahulu. “Minggu ini katanya mau coba lamar tante Fifi,” timpalnya selepas cairan itu sudah sepenuhnya ia teguk dan mengaliri tenggorokannya.

“Nggak apa-apa, Fa. Nanti mah kalau si kamu udah punya ibu baru, si kamu bisa cerita ke dia. Si kamu nggak usah mendem apa-apa sendiri lagi.”

Semua mengangguk, menyetujui ucapan yang dilontarkan oleh Yolan. Pun, Fara sendiri ikut mengangguk. Walaupun dalam lubuk hatinya masih tercipta keraguan serta rasa tidak rela sebab eksistensi ibunya akan segera tergantikan oleh orang asing yang diiming-imingkan akan menjadi ibu barunya.

Maneh jangan khawatir kalau mikir ibu maneh bakalan ada yang gantiin, Fa. Karena emang pada dasarnya mendiang ibu maneh bakalan tetep jadi prioritas buat maneh dan buat ayah maneh. Percaya sama aing,” tutur Rakha secara tiba-tiba.

Fara sontak terkejut kala kekhawatirannya dapat diketahui oleh lelaki itu. Sekarang ia tahu mengapa kekasihnya acap kali menyebut bahwa Rakha salah satu temannya yang paling peka di antara temannya yang lain.

“Bener itu, Yang! Jadi seorang kakak juga nggak sepenuhnya capek juga, da. Malahan banyak serunya.”

Grace mengangguk, menyetujui ucapan Harri. “Iya bener kata Harri, jadi kakak rame, kok! Nanti kamu nggak sendirian lagi di rumah, ada temennya!”

Grace berusaha meyakinkan perihal stigma menjadi seorang kakak itu melelahkan. Memang benar ada sisi melelahkannya, namun terlepas dari itu banyak suka dibandingkan dengan rasa dukanya.

“Betul kata Grace, nanti si kamu nggak akan ngerasa kesepian lagi di rumah. Kalaupun si kamu ngerasa kesepian nanti kita siap meramaikan rumah si kamu lagi. Betul teu, daks?”

“Betul!” seru mereka dengan kompak, sukses membuat Fara menyunggingkan sebuah senyumannya.

“Tapi, ya, kalau bisa mah nanti nongkrongnya di daerah Setiabudi aja jangan di Kopo, anying. Bensin aing langsung mau abis ini mah asli!” keluh Aksara sembari mengacungkan kedua jarinya di udara.

“Ini mah aing juga setuju sih sebenernya, apalagi aing yang notaben pacaranya tiap hari anter-jemput anjir. Bayangkan sia semua bayangkan, tiap hari aing harus menempuh perjalanan sangat jauh kayak dari ujung ke ujung! Ini mah aing beli bensin udah kayak mandi alias sehari dua kali!”

Ucapan Harri dibalas tatapan sengit dari sang kekasihnya. Bahkan apabila Harri diibaratkan secarik kertas, mungkin ia akan berlubang sebab tatapan itu cukup mematikan bagi siapa saja yang melihatnya.

“Ya udah kalau nggak ikhlas mah jangan! Aku juga nggak minta harus selalu di anter jemput sama maneh!” timpal Fara penuh kekesalan. Pipinya mengembung memberikan kesan nyata bahwa ia sedang menahan rasa kesal pun amarah yang dibendungnya.

Jaya spontan menggaruk pelipisnya ketika kedua rungunya harus mendengar pertikaian sekian kali sejak ia mengetahui kedua orang tersebut memiliki hubungan yang khusus.

Maneh jemput aja si Harri sekali-kali, Fa, kalau gitu mah,” usul Aksara dihadiahi gelengan kepala secara cepat dari sang empu yang disebutkan namanya.

“Nggak usah! Nggak apa-apa, mending aing aja deh yang jemput serius! Aing nggak masalah kok kalau harus beli bensin terus, lagian ada untungnya jadi si Babe suka ngelebihin uang jajan!” tolaknya secara halus.

Tiba-tiba saja ingatannya mulai menampilkan kembali potongan-potongan kejadian beberapa hari lalu saat dirinya dibonceng oleh sang kekasih. Itu menjadi salah satu pengalaman terburuk yang sama sekali Harri tak ingin merasakannya kembali.

“Grace! Ayo nanti kita jemput pacar kita! Kamu jemput Jagat, aku jemput Harri terus berangkat sekolahnya barengan!”

“Boleh, ide bagus! Aku setuju!”

Demi apapun, rasanya Harri ingin kembali memutar waktu dan ingin membungkam mulut Aksara agar tak sembarang menyerukan sebuah ide konyolnya.

Harri dan Jagat saling bertatapan, berupaya melayangkan dan menyalurkan rasa ketakutannya. Tatapan itu hanya mereka berdua yang tahu. Terlebih manakala pikirannya mulai membayangkan hal itu akan terjadi kembali pada dirinya. Harri dan Jagat menggeleng cepat untuk menepis pikiran itu jauh-jauh.

Maraneh berdua kenapa?” tanya Jaya heran melihat kedua temannya menggelengkan kepala dengan kompak.

“Nggak, bukan apa-apa. Tadi ada lalet jadi saya gelengin kepala.”

“Betul sama kayak si Jagat, tapi aing disamperin nyamuk bukan lalet jadi aing refleks geleng weh.”

Sekuat-kuatnya mereka berdua menutupi kebohongan, Rakha masih dapat merasakannya. Ia tertawa kala dirinya merasakan bahwa kedua orang itu berusaha menutupi sesuatu yang ia yakini ada kaitannya dengan usulan dari Aksara.

Langit hitam yang dihiasi miliaran bintang di sekelilingnya membuat kesan indah tatkala netranya sibuk membidik satu-satu benda di angkasa itu. Angin-angin yang datang mampu menyamarkan alunan musik yang sedang dimainkan oleh seseorang di depannya dengan serta-merta rungunya kini mulai didominasi oleh suara desiran pohon.

Malam ini bulan terlihat pendar. Mungkin akibat halimun yang berusaha menyombongkan dirinya bahwa mereka seakan mengatakan keberadaannya tak ingin dikalahkan oleh angin-angin yang sedari tadi terus berdatangan tanpa dipintanya.

Ia tak pernah menyesal bahwa kejadian menangis di dalam kelasnya justru memberikan momen indah saat ini. Jika ia tahu bahwa hubungan secara terang-terangan berakhir seperti ini mungkin ia akan menjadi orang pertama yang menolak mentah-mentah sebuah ide konyol dari kekasihnya. Memang semua hal yang disembunyikan tak akan selamanya indah.


Kolase Asmara Universe.

by NAAMER1CAN0