MONDAY QUALITY TIME.
“Lho?” Grace terheran ketika maniknya tak sengaja menatap sebuah postur tubuh yang tidak asing baginya.
Semula Grace akan membukakan pintu rumahnya untuk ketiga temannya yang akan melaksanakan kerja kelompok di kediamannya. Namun, alih-alih dapati ketiga temannya, dia malah berpapasan dengan Jagat yang sedang berdiam diri di depan pintu rumahnya.
Jagat tentu sama terkejutnya saat dapati bukan orang yang sedang dia cari, melainkan seseorang yang telah membuat jantungnya berdegup kencang.
“Anjir!” kejut Yolan, menghentikan Jagat yang akan melontarkan ucapannya. “Maneh mau ngajak si Grace keluar bukan, Lang?” tanya Yolan, setiba di rumah Grace dan sedikit dibuat bingung dengan kehadiran temannya itu secara tiba-tiba.
Aksara dan Fara yang baru menginjakkan kakinya di depan pintu pun terheran. Lantas, Aksara segera berucap, “ya udah kalau maraneh berdua ada acara mah gapapa, kita kerja kelompoknya kapan-kapan lagi aja.”
Baru saja Grace ingin bersuara, namun, suara seseorang di belakangnya lebih dulu menginterupsinya.
“Nak, mau sekarang?” Pandangan mereka semua mulai ditujukan kepada lelaki paruh baya yang sedang melangkahkan kedua kakinya untuk menghampiri.
Maka, Jagat membalas ucapan itu dengan menganggukkan kepalanya. “Boleh, Om.”
“Kalian mau kerja kelompok, ya? Silakan masuk aja, saya mau ada acara dulu sama, Nak Jagat.”
“Ayah mau ke mana?” tanya Grace penuh dengan rasa penasaran. Grace dibuat bingung saat mengetahui bahwa ayahnya memiliki rencana kegiatan dengan seorang lelaki di depannya.
Benedict melirik sekilas pada barang yang berada di genggamannya, lalu dia angkat agar putri sulungnya dapat melihat. “Ayah sama Jagat mau main golf.”
Entah mengapa setelah mendengar penjelasan itu Grace merasa malu. Malu karena dia telah mempercayai ucapan Yolan juga ucapan Aksara yang mengatakan bahwa lelaki itu datang untuk menemui dirinya.
“O-oh, iya. Hati-hati, Ayah,” ucap Grace dengan gelagap.
Jagat mengulas senyumnya. “Saya duluan,” pamit Jagat pada keempat orang yang sedang berdiam diri di depan pintu dan menatap ke arahnya. Setelah itu, Jagat mulai mengekori Benedict dari belakang.
“Anjay si Elang keren gitu euy baru sekali ngehubungin Om Ben langsung garagas quality time,” bisik Yolan kepada Aksara. Kedua insan itu masih setia menatap punggung kepergian dua orang yang telah berpamitan sebelumnya.
“Asli, Mang Yolan. Udah kayak suhu aja si Mang Jagat.” Setelah itu, baik Aksara maupun Yolan kini keduanya saling tenggelam dalam tawanya. Merasa lucu dengan pembahasan mereka berdua.
“Jadinya mau ke tempat golf yang semalam, Om?” Jagat memastikan terlebih dahulu sebelum menjalankan mobilnya. Keduanya saat ini sudah terduduk di tempatnya masing-masing; Jagat di kursi pengemudi serta Benedict di kursi sebelah pengemudi.
Benedict meraih sabuk pengaman untuk dia pakai setelah dirasa dirinya telah nyaman mendudukan dirinya. “Iya, kamu tau jalannya, Nak?” tanya Benedict, tatapannya kini telah dia pusatkan penuh pada seseorang di sampingnya.
Jagat mengangguk menyetujui ucapan yang lebih tua. “Tau, Om, kebetulan rumah saya memang di daerah Dago.”
Jagat melirik sekilas pada barang bawaan yang Benedict simpan di sekitaran kakinya. “Barangnya simpan di belakang aja, Om, takutnya sempit.” Jagat cukup sadar saat dirinya melihat bahwa pria paruh baya itu terlihat tidak nyaman memposisikan kedua kakinya di sana, akibat beberapa barang yang menghalangi kakinya untuk leluasa beristirahat.
“Iya, ya, benar juga.”
Barang tersebut kemudian Benedict pindahkan ke belakang jok mobil yang lebih muda. Matanya tak sengaja melihat seragam putih-abu yang digantungkan begitu saja pada bagasi mobil saat dirinya sedang sibuk memposisikan barang bawaannya.
“Kamu baru pulang sekolah?” tanya Benedict, badannya kini telah dia sandarkan kembali dengan nyaman seperti semula. Pun, dengan pandangannya yang sudah dia arahkan pada pemandangan jalanan di depannya.
“Iya, Om. Biar nggak terlalu lama, jadi saya bawa baju ganti.” Ada sedikit nada kekehan di sana. Jagat sedang berusaha mencairkan suasana, karena entah mengapa dia merasa sedikit tegang saat menyadari dia berada di satu atap yang sama dengan seseorang di sebelahnya. Jagat tidak tahu apakah hanya dirinya yang merasakan ketegangan ini, atau pria di sebelahnya pun merasakan hal yang sama.
“Musik, Om?” Benedict menyimpan kembali ponselnya, lalu mengangguk. “Boleh.”
Jagat sudah bisa bernapas lega ketika alunan musik mulai menghangatkan suasana yang sedang dirasakannya. Mobilnya sudah berjalan sedari tadi. Saat bersama dengan ayahnya, Jagat akan menjadi seseorang yang banyak bicara. Semua apa yang dia lihat di jalan akan selalu dilontarkan kepada ayahnya, namun, untuk kali ini dia hanya bisa menelan mentah-mentah semua pertanyaan yang berada di benaknya.
“Kamu beneran lahir di Amsterdam?” Benedict menjadi orang pertama yang melontarkan pertanyaan. Maka, dengan cepat Jagat mengangguk bahkan hingga rambutnya ikut menaik dan turun dengan riang.
“Iya, Om, saya beneran lahir di Amsterdam.”
Benedict mulai tertarik dengan percakapan mereka, terlihat dari cara duduknya yang lebih mencondongkan ke arah kanannya. “Dari Nenek? Atau?” Melihat seseorang di sebelahnya tak kunjung jawab membuat Benedict merasa tidak enak karena telah mencoba mencari tahu privasi orang. “Maaf, saya kayaknya terlalu kepo. Jangan dijawab aja kalau begitu, Nak.”
Jagat memamerkan sekilas senyuman indahnya yang dia miliki, lalu menggeleng pelan. “Bukan, Om. Dari Ayah sama Opa, Oma sama Bunda saya keturunan Vietnam Jawa. Opa juga ada Jawa nya sedikit karena dulu ketemu Oma pas lagi pendidikan S-1 nya di Jawa,” jelas Jagat dengan panjang lebar. Benedict sedari tadi hanya memasang telinganya dengan setia.
“Daerah mana?”
Jagat mengernyitkan dahinya, tak lupa menatap sekilas ke arah sampingnya lalu kembali memusatkan perhatiannya pada jalanan di depannya. “Daerah yang mana, ya, Om, kalau saya boleh tau?” tanya Jagat, karena mereka sedang membahas tiga negara dalam satu waktu sehingga Jagat perlu memastikan dengan jelas.
“Jawa nya, daerah mana?”
“Ah, Klaten, Om. Cuman saya lupa spefisiknya entah di bagian selatan, tengah, atau utara.” Bagaimana bisa ingat jika dirinya pun bisa dihitung jari mengunjungi kota tersebut. Terakhir Jagat menginjakkan kakinya di sana saat dirinya duduk di bangku kelas 2 SMP, artinya sudah hampir empat tahun yang lalu.
“Kalau, Om, Jawa nya di mana? Soalnya kalau nggak salah, Grace katanya pindahan dari Jawa juga?”
“Grace lahir di Jakarta, tapi saat duduk kelas lima SD dia pindah ke Purwokerto. Setelah itu, kelas 2 SMP dia pindah ke Yogyakarta. Terakhir, dia pindah lagi kelas 2 SMA ke Bandung.”
Ternyata Grace tak jauh darinya yang harus merasakan kehilangan orang-orang yang disayanginya. Namun, pikiran itu segera dia tepis, sebab, Tuhan paling tahu dalam memberikan rencana terbaik untuk umat-Nya.
Percakapan mereka tak hanya di situ. Mereka mulai membicarakan perihal salah satu lagu yang telah membuat fokus Benedict teralihkan secara penuh. Jagat kini baru menyadari, bahwa selera musik Grace tak jauh dari selera musik Ayahnya; pria paruh baya yang sedang bersamanya saat ini. Bahkan, Benedict berinisiatif untuk memberikan beberapa CD kepadanya agar Jagat bisa mengetahui tentang lagu-lagu lawas yang saat ini sudah mulai terlupakan oleh sebagian besar orang.
Pertama kali yang Jagat rasakan saat menginjakkan kakinya di sini; Heritage Dago adalah hembusan angin sore yang mulai menerpa wajah eloknya. Jagat memejamkan matanya sejenak sembari menghirup udara segar di sana. Aroma dari pepohonan pun mulai menyeruak dan berbondong-bondong untuk segera masuk dalam indra penciumannya.
“Ternyata curam juga, ya, tempatnya,” ucap Benedict, otomatis menghentikan kegiatan Jagat sebelumnya; menikmati udara segar.
Jagat pun menolehkan wajahnya seraya berkata, “loh, ini memang pertama kalinya, Om, main di sini?”
Benedict mengangguk mengiakan ucapan Jagat. “Iya, ini pertama kalinya saya ke sini dapat rekomendasi dari teman saya.”
“Saya kira Om udah tau, makanya saya nggak kasih komentar apa-apa perihal tempatnya.” Jagat menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal, merasa tidak enak tidak memberi tahu keadaan yang sesungguhnya dari tempat yang mereka tempati saat ini.
“Kamu tau?”
“Tau, Om. Kebetulan saya sama ayah saya udah sering main di sini.”
Dago Golf Course atau biasa dikenal dengan Heritage Dago merupakan salah satu lapangan tertua di Indonesia karena dibangun pada tahun 1917 yang terdiri dari 18 hole, dengan spesifikasi;12 hole terdiri dari par 4, 2 hole terdiri dari par 5, dan 4 hole terdiri dari par 3. Lapangan ini terletak di lembah Bandung Utara, sehingga tempat ini sedikit curam.
“Mau siapa duluan yang main?” tanya Bendict.
Dengan suka rela Jagat memilih Benedict menjadi orang pertama yang akan memainkan permainan tersebut. “Boleh dari, Om Ben, duluan.”
Lantas, Benedict seakan setuju dengan ucapan yang lebih muda. Saat ini dia sudah bersiap untuk memukul bola pertamanya pada hole pertama, dengan harapan bola dari Benedict ini tidak akan meleset. Apabila meleset, sudah dipastikan bola tersebut akan memasuki jurang.
“Wah, gila, Om. Suaranya ….” Jagat dibuat takjub tatkala sebuah pukulan dari Benedict menghasilkan alunan suara yang begitu indah. Bahkan, Jagat masih ingat betul suara pukulan itu.
Benedict menyipitkan matanya, memastikan ke arah mana bola dia terjatuh. “Enak, ya?” kekeh Benedict, menyombongkan dirinya secara tidak langsung kepada yang lebih muda.
“Banget, Om. Nyaring lagi, enak didenger. Tanda-tanda pukulannya jauh.”
Benedict melangkah mundur, memberikan sedikit akses untuk yang lebih muda maju dan melaksanakan teeing shot (pukulan pertama).
Tak ingin memperlihatkan kesan pertamanya yang buruk. Jagat kini sudah memposisikan dirinya untuk melakukan pukulan pertamanya, dengan harapan suara yang dihasilkan akan sama indahnya dengan suara pukulan Benedict.
“Nice.” Benedict sedari tadi memperhatikan pukulan pertama dari Jagat. Senyumannya terukir saat dirasa pukulan pertama yang lebih muda lebih kuat dari pukulan dirinya.
Jagat mengernyitkan dahinya tatkala menyadari arah dari bola golf yang telah dia pukul. “Masuk bunker, ya, kayaknya.” Baru saja dia menyelesaikan pukulannya, namun, sepertinya dirinya tidak diperkenankan untuk meraih skor unggul pada hole pertamanya.
“Nggak, Nak. Nggak masuk bunker kalau kata saya, itu bola nya melebihi bunker, sih.” Dalam permainan golf memiliki hazards atau biasa disebut dengan rintangan yang berada di permainan golf. Hazards ini terbagi menjadi dua, yaitu; bunker hazard (rintangan pasir) dan water hazard (rintangan air). Adanya hazard untuk mengasah skills dari para pemain golf.
“Saya akhirnya bisa ngerasain main golf sama yang lebih muda,” ucap Benedict, kedua tangannya memegang stick golf dengan lihai, Pun beberapa saat kemudian suara nyaring mulai terdengar kembali menandakan sang empu telah menyelesaikan pukulannya.
“Memang Junior nggak pernah main golf bareng Om?” tanya Jagat, penasaran saat mendengar bahwa dirinya menjadi orang pertama yang Benedict ajak untuk bermain golf selain teman-teman yang sebaya dengannya.
Benedict menggeleng tanpa melepaskan pandangan dari arah depannya, masih sibuk memperhatikan ke arah mana bola dia terjatuh. “Mana bisa dia saya ajak ke tempat kayak ginian, kesehariannya cuman nunduk sama ponselnya. Saya juga bingung sama tingkah dia.” Benedict menggelengkan kepalanya seraya mengingat kejadian di mana putra bungsunya menolak mentah-mentah ajakannya untuk bermain golf bersama.
“Masih awal-awal mungkin, Om, jadi masih susah lepas dari games-nya. Saya juga waktu awal-awal main sama kayak Junior, cuman sekarang saya udah jarang main games online lagi.”
Benedict mengangguk menyetujui ucapan yang baru saja Jagat lontarkan. Dirinya pun mafhum atas perlakuan anaknya, karena Benedict pernah muda dan pernah merasakannya.
“Mulai capek, ya.” Benedict tertawa saat kedua telapak kakinya sudah merasakan pegal yang luar biasa. Napasnya tersengal-sengal. Bahkan, untuk sekadar berucap pun Benedict perlu mengeluarkan tenaga yang lebih.
Jagat menggeleng dan membalas ucapan itu dengan kekehan kecil. “Semangat, Om, abis ini kita bisa naik buggy car lagi.”
Bagaimana tidak merasa pegal, mereka berdua telah sukses menyapu bersih ronde pertama yaitu menyelesaikan sembilan hole. Pada ronde pertama ini dimenangkan oleh Benedict dengan meraih 38 poin dan Jagat 41 poin dari jumlah par 35.
“Keren, Om!” seru Jagat, melihat yang lebih tua berhasil mendapatkan predikat birdie pada hole 11 par 3. Birdie merupakan skor satu angka yang kurang dari jumlah par dalam satu hole. Sedangkan, dirinya pada hole 11 mendapatkan predikat bogey yaitu kebalikan dari birdie yang berhasil mencetak skor satu angka yang melebihi dari jumlah par dalam satu hole.
“Saya sendiri juga kaget pas tau birdie.”
Sudah hampir satu jam tiga puluh menit mereka bermain. Tak terasa langit pun telah menampakkan lembayung senja. Beberapa menit lagi, mungkin langit yang riang memperlihatkan warna jingga akan kian menggelap dan berganti menjadi warna hitam.
Permainan semakin lama semakin menarik, sebab, Benedict dan Jagat saling berambisi untuk mencetak skor paling tinggi. Benedict dengan rasa percaya dirinya dan Jagat dengan rasa tidak mau memperlihatkan permainan yang buruk, karena takut ini merupakan permainan pertama serta terakhir kali dirinya dengan Benedict.
Kini keduanya telah menyelesaikan sebanyak 18 hole dengan total 70 par. Langit pun mulai hitam, menandakan waktu sudah kian larut. Benedict berhasil memenangkan permainan golf saat ini dengan perolehan seluruh skor 77 dan Jagat memperoleh skor 79 dari total jumlah par 70.

“Saya kayaknya harus belajar lagi biar nanti bisa ngalahin, Om Ben,” ucap Jagat diiringi kekehan kecil, sedikit malu karena dirinya memperlihatkan sisi kekalahannya.
“Saya tunggu, kalau kamu sudah jago kita main lagi nanti,” sahut Benedict dengan sedikit nada candaan di dalamnya.
Jika boleh jujur, Jagat mengakui bahwa permainan Benedict tak kalah jago dari permainan ayahnya. Padahal dirinya sudah sering bermain dan mengasah permainannya setiap kali dia bermain golf. Namun, kekalahan harus menghampiri lagi dirinya untuk saat ini.
“Saya dapet hukuman nggak, nih, Om?” bercanda Jagat, kedua tangannya kini sedang mempersiapkan pakaian untuk kegiatan membersihkan tubuhnya dari keringat yang sudah membasahi tubuhnya.
“Dapet, sebagai hukuman kamu ikut makan malam bareng saya di rumah, ya. Istri saya katanya sedang masak di rumah.”
Seketika Jagat menghentikan kedua tangannya yang sedang asyik merapikan barang bawaannya. Kedua matanya telah melebar dengan sempurna, bahkan, telinganya seakan tuli dan membutuhkan ucapan pengulangan agar bisa dia mendengarnya dengan jelas.
“Aduh, Om, kalau itu saya sedikit enggan. Nanti yang ada saya malah ganggu aktivitas makan malam Om Ben sama keluarga.” Jagat menggaruk belakang kepalanya, upaya menghilangkan rasa canggung juga rasa tidak enaknya.
“Saya nggak menerima penolakan, ya, Nak.”
Mau ditolak pun rasanya Jagat tidak mampu, hingga akhirnya dia mengangguk menyetujui ucapan Benedict dan melanjutkan kembali kegiatan yang sempat terhenti. Entah rasa bahagia atau canggung yang Jagat rasakan, tapi dia senang saat mengetahui secara tidak langsung dirinya perlahan mulai diterima di keluarga perempuan yang dia sukai.

“Eh, maaf, Om.” Jagat sedikit terkejut tatkala dapati Benedict yang sudah berdiri di belakangnya. Ponselnya pun segera dia masukkan kembali ke dalam kantong celananya.
Benedict mengulas senyumnya sekilas. “Gapapa, mereka ngasih izin kamu untuk makan malam bareng saya di rumah, kan?” tanya Benedict memastikan setelah kedua telinganya tak sengaja ikut mendengar sebuah pesan suara dari orang tua lelaki di depannya.
Jagat mengangguk cepat. “Iya, Om. Sudah.”
“Ya sudah, ayo, kita berangkat kalau begitu.”
Maka, Jagat dengan cepat meraih barang bawaannya terlebih dahulu sebelum akhirnya mereka berdua kembali menuju kendaraan roda empat miliknya.
Perjalanan yang mereka tempuh cukup macet membuat mobilnya terpaksa terparkir di antara puluhan mobil lainnya. Jagat melirik sekilas pada jam yang berada di pergelangan tangan kirinya. Waktu menunjukkan pukul 19.00 malam. Dia pun menghela napasnya sekilas saat menyadari bahwa puluhan mobil-mobil itu kemungkinan orang-orang yang telah selesai bekerja dan bergegas menuju kediamannya masing-masing.
“Tau gitu tadi kita mandi di rumah saya aja, saya kira nggak akan semacet ini.” Benedict mulai bersuara ketika melihat kendaraan yang dinaiki sudah hampir sepuluh menit hanya diam di tempat, tanpa ada pergerakkan sedikit pun.
“Tok … tok … tok!”
Jagat dengan refleks menolehkan wajahnya ke arah sumber suara. Di sana terdapat anak kecil yang sedang mengetuk jendela mobilnya. Tak lama, Jagat mulai menurunkan kaca mobilnya dan memperlihatkan raut penasarannya.
“Kak, mau beli tisuny—Kak Jagat!”
“Loh, kamu?!” ucap Jagat, terkejut dengan kehadiran seseorang yang dilihatnya.
Benedict sedari tadi hanya bisa mengerjapkan kedua matanya tak henti ketika melihat kedua orang di depannya sedang asyik bercengkrama seperti seseorang yang sudah lama tidak berjumpa.
“Kamu jualan sama siapa? Ibu?” Anak itu mengangguk. “Iya sama Ibu!” telunjuknya menunjuk ke arah barat, lantas, Jagat hanya bisa mengikuti arah si kecil berada.
“Adek masih sakit?” tanyanya kembali disambut gelengan dari si kecil. “Adek udah sehat dari lama, kok, dari semenjak Kak Jagat bantuin kita jualan tisu besoknya Ibu beliin obat, terus habis itu Adek jadi lebih sehat!”
“Ya udah, ini buat Kak Jagat aja! Soalnya waktu itu udah mau bantuin aku, Ibu, sama Adek aku.” Si kecil menyerahkan dua pack tisu kepadanya. Jagat tentu tidak langsung menerimanya karena dia membantunya dengan ikhlas tanpa mengharapkan imbalan apa pun.
“Kakak beli aja, ya, soalnya Kakak waktu itu bantuin kamu ikhlas, kok. Jadi, sekarang Kakak beli, ya?” Jagat sudah berancang-ancang mengambil uangnya dan segera akan menyerahkan uang tersebut pada si kecil yang masih setia berdiri di depan jendela mobilnya. Namun, tangan seseorang menghentikannya.
“Saya aja.” Jagat mengernyitkan dahinya, meminta penjelasan lebih dari pria paruh baya di sampingnya. “Biar saya aja yang beli. Om beli semuanya ya, Adek. Berapa?”
Dengan riang si kecil berlari dan segera menghampiri pada pintu seberang, menghasilkan kekosongan yang berada di sampingnya. “Tujuh puluh lima ribu, Om!”
Maka, Benedict segera mengeluarkan dua lembar uang berwarna merah muda. Lalu dia serahkan pada si kecil. “Sisanya untuk makan malam kamu, Ibu, juga Adek kamu, ya. Makan yang banyak biar kamu sehat.”
“Iya, siap! Abis ini aku mau ajak Ibu buat makan sate! Terima kasih, Om Besar, terima kasih, Kak Jagat! Aku pamit dulu, ya!”
“Salam dari Kakak untuk Ibu, ya. Nanti kapan-kapan Kakak kunjungi kamu lagi, ya.” Si kecil mengacungkan kedua jempolnya disertai sebuah cengiran yang membuat kesan gemas untuknya.
“Kamu beneran pernah bantu mereka buat jualan tisu?” tanya Benedict selepas anak itu pergi, kedua tangannya kini menyimpan tumpukkan tisu yang baru saja dia beli.
“Hehe, iya, Om. Dulu waktu awal-awal saya pindah ke sini, itu pun nggak sengaja karena Ibunya lagi gendong anaknya yang sakit. Karena kasian liat anak tadi kerja sendirian di tengah jalan raya, jadi, saya inisiatif bantuin.”
Ini baru pertemuan kedua bagi Benedict, namun, dia sudah merasakan bahwa sebagian hatinya sukses telah direbut oleh lelaki yang lebih muda di sampingnya. Ternyata, dugaannya tidak pernah salah. Bahkan, Benedict akan dengan senang hati mengizinkan putrinya untuk bersama lelaki itu.
From Jij Bent Mooi Alternate Universe.
by NAAMER1CAN0