Nalendra Elvano.
tw // mention of bullying
Ia merasakan kelegaan setelah mengetahui bahwa kamar di sebelahnya sudah terisi dengan penghuni baru. Ia sendiri bukan tipekal orang yang penakut, hanya saja jika dibiarkan terus-terusan kosong siapa tahu ada yang sengaja untuk mengisi kamar tersebut 'kan?
Ia beranjak dari tempat tidurnya lalu berjalan untuk sekadar duduk pada sebuah sofa tunggal yang tak jauh dari ranjangnya berada.
Ingatan itu kembali muncul saat ia berusia 9 tahun. Selama ia menginjakkan kakinya pada Sekolah Dasar, dirinya sangat membenci tiga hal yang hingga saat ini sangat membekas untuknya. Pertama, ia benci setiap tanggal 22 Desember; kedua, ia benci pada tanggal 12 November; dan terakhir ia membenci pada setiap waktu liburan kenaikan kelas.
Iya, benar. Ia benci saat dirinya harus tersenyum saat rekan-rekan kelasnya merayakan hari ibu dan hari ayah di depan matanya sendiri, ia benci harus pura-pura kuat nyatanya tidak. Ia benci saat selalu dititah untuk menceritakan masa liburannya. Apa yang bisa diharapkan? bahkan dirinya hanya berdiam di rumah tanpa merasakan berjalan-jalan dengan keluarganya. Bahkan ia pun benci dirinya sendiri karena tidak bisa merasakan seperti orang-orang di luar sana pada umumnya, ia benci itu. Apakah mungkin mereka meninggalkannya karena dirinya sendiri? Apakah dirinya tidak diharapkan untuk ada?
“Eh Nalen, kamu kok terus-terusan merayakan hari Ibu yang diwakili Nenek kamu? emang Ibu kamu kemana?“
“Nalen kan nggak punya Ibu,“
“Kasian ya, Ibunya kok ninggalin dia?“
“Ayahnya juga nggak ada, soalnya sampe sekarang aku aja belum pernah ketemu sama Ayahnya,“
“Nalen itu yatim piatu ya?“
“Ih kasian, nggak bisa rasain punya Ibu dan Ayah.“
Cemooh-cemooh itulah yang selalu ia dapatkan. Semasa SD-nya ia menjadi anak tertutup, tak bisa bergaul, bahkan enggan untuk memunculkan batang hidung sepersekian detik di depan publik. Namun, berkat seseorang bak malaikatlah yang bisa membuat dirinya tumbuh menjadi pria pemberani dan kuat. Shara Nirmala adalah sosok malaikat satu-satunya yang sangat berharga untuk dirinya.
Jika dipikir-pikir memang siapa yang mau berada di posisi ini? siapa yang mau di posisi bahwa ia tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu dan ayah? siapa yang mau melihat kegiatan rutinitas sekolahnya saat merayakan tanggal-tanggal penting? siapa yang mau? enggak ada. Bahkan jika bisa, ia pun tak mau berada dan tak mau memilih untuk di posisi saat ini.
“Nalen, kamu anak yang baik. Kalo kamu mendengarkan ucapan-ucapan itu biarkan saja ya? Oma tau Nalen anak yang baik, nggak mungkin 'kan Nalen balik sakitin mereka?“
Itulah sebuah kata-kata yang sering terlintas di dalam otaknya. Sebuah kata-kata tersirat bahwa dirinya tak boleh samanya seperti orang-orang yang sudah menjelekkan dirinya.
Saat ini ia sudah tak begitu mengharapkan sebuah kasih sayang dari Ibu dan Ayahnya, yang ia harapkan adalah semoga Oma-nya sehat selalu hingga dengan gagahnya ia dapat memamerkan sebuah gelar di belakang namanya. Lagi pula, ekspetasi hanya bisa dipatahkan oleh sebuah harapan, dan ia tidak mau itu.
Pelukkan dari Oma saja sudah bisa membuat dirinya tenang dan hangat, lalu apa bedanya dengan pelukkan seorang Ibu?
Story of Nalen.
by NAAMER1CAN0