No camera, sorry..


“Adek ikut!”

Rafathar berteriak saat melihat kakak sulungnya akan meninggalakan rumahnya. Ia berlari kecil ke arah sang kakak dan memakai sebuah sendal dengan tergesa-gesa.

“Adek, Aa mau kerja kelompok bukan mau main ...,”

Rafathar meraih tangan Rafen lalu mengenggamnya seolah tak mau lepas. “Nggak apa-apa, Adek mau ikut. Nggak mau sendirian di rumah.”

Rafen pun hanya bisa menghela nafasnya setelah mendengar jawaban dari sang adik. Mau tak mau ia pun menuruti kemauan adiknya, daripada nanti menangis bisa dia sendiri yang repot.

“Ganti baju dulu, pake jaket. Aa tungguin di sini,”

“Bohong, Aa pasti mau ninggalin Adek 'kan?”

“Enggak Adek, Aa lagi panasin motor. Kalo ditinggal nanti ada yang nyuri,”

“Adek nggak percaya!”

Rafen pun langsung meraih sebuah benda persegi di kantong celananya. “Nih,” serah Rafen kepada Rafathar, “hp Aa kamu bawa sebagai jaminan. Aa nggak akan ninggalin Adek.”

“Ok, tungguin Adek yah!” Rafathar meraih benda persegi itu lalu berlari dengan cepat untuk mengganti bajunya dengan pakaian yang lebih hangat dibandingkan dengan sebelumnya.


“Inget, jangan minta pulang.” Rafen terus menerus memberikan kata tersebut agar saat ia kerja kelompok, Adeknya tidak merengek meminta pulang.

“Iyahh,” jawabnya.

“Eh Rafen, tumben bawa Adek,” ucap Farrel teman satu kelompok Rafen. Ia pun langsung memberikan sapaan serta sebuah salaman ciri khas anak-anak usia muda.

“Iya, nggak ada siapa-siapa di rumah,” jawabnya. “Sana salaman,” titah Rafen sambil mendorong sedikit punggung Adiknya.

Rafathar menggeleng pelan saat teman-teman wanita kakaknya langsung menghampiri dan menyubit gemas pipinya. Ia tarik baju kakaknya sebagai tanda meminta pertolongan. Rafen yang melihat itu hanya bisa menghela nafasnya.

Sorry ya, Adek gua nggak suka dicubitin pipinya,” ucapnya sambil membawa Adiknya ke sisi kanannya.

“Oh maaf, abisnya Adek lo ganteng banget ...,” jawab Risa.

Rafen hanya tertawa canggung mendengar jawaban itu dan mengucapkan terima kasih untuk pujian kepada Adiknya.

“Adek mau makan nggak?” Rafathar hanya menggeleng. Adiknya jadi lebih pendiam setelah mendapat cubitan di pipinya.

“Yaudah, minum aja ya. Adek main games aja, Aa mau kerja kelompok dulu. Biar nanti bisa pulang cepet,”

“Iya.”

Rafen pun pergi ke arah selatan untuk berunding mengenai tugas kelompoknya. Matanya tak bisa lepas dari sosok Adiknya yang terduduk sendirian di seberangnya.

“Sabar ya, bentar lagi.” Rafen menghampiri adiknya yang sedang asik dengan tabletnya. Tangannya ia bawa untuk mengelus puncak kepalanya.

“Mau makan nggak?”

Rafathar menggeleng.

“Kentang goreng?”

Rafathar mengangguk. “Mau.”

Rafen tersenyum. “Sebentar ya Aa pesenin, kalo ada apa-apa kasih tau aja. Aa ada di sana,” ucapnya sambil menunjuk ke tempat yang tak jauh dari adiknya berada.

Rafathar pun mengikuti arahan dari kakaknya. Setelah mengetahuinya ia hanya mengangguk paham dengan perintah itu.

“Aa pipi adek gatal.” Rafen pun menghentikan langkahnya setelah mendengar ucapan yang dilontarkan adiknya. Dengan terburu ia pun langsung membalikkan badannya dan menatap pipi sang bungsu.

“Jangan digaruk ya?” Rafen mengelus pipi adiknya dengan perlahan. “Kalo gatel usap aja kayak gini, jangan digaruk nanti pipi adek takut sakit.”

Rafen hanya bisa menatap adiknya dengan perasaan sesal. Harusnya ia lebih peka terhadap adiknya yang tak bisa disentuh oleh sembarang orang.


Eh liat deh! itu ada anak kecil, ganteng banget buset ...,

Kalo udah gede gue yakin itu anak pasti jadi artis,

Gue masukin tiktik kali ya? biar viral, lumayan bantu si adek biar jadi artis,

Sumpah ganteng banget anjir, yakin kalo dia punya kakak pasti nggak kalah ganteng!

Percakapan itu kini telah memenuhi gendang telinganya. Ia tak bisa fokus dengan apa yang ia kerjakan saat ini. Ia menatap adiknya yang kini sedang menatapnya balik. Tatapan itu seperti sebuah pertolongan.

“Apa, apa, kenapa?” tanya Rafen setelah berada di depan adiknya.

“Aa, adek sebel. Orang itu foto-fotoin adek terus, adek nggak suka ...,” ucapnya dengan sebal. Kini kedua tangannya sudah dilipat di depan dadanya.

Rafen pun segera menghampiri segerombolan perempuan itu, “hai, sorry ya. Saya kebetulan kakak dari adek yang mbaknya foto, kalo boleh minta. Boleh nggak ya, nggak fotoin adek saya lagi? maaf, tapi adek saya kurang nyaman sama hal kayak gituan.. Terima kasih atas pengertiannya.” Rafen pun tersenyum setelah mengatakan itu, badannya ia bungkukkan sedikit bertujuan sebagai tanda terima kasih. Lalu tak lama ia pun kembali menghampiri adiknya.

“Kalo Adek nggak suka, Adek bilang aja. 'Maaf ya, boleh enggak foto-foto? soalnya Adek kurang nyaman. Terima kasih.'”

“Iya, itu Aa udah beres?”

“Belum, tapi kalo Adek mau pulang ayo. Biar Aa lanjutin bagian Aa di rumah aja,”

“Nggak apa-apa? Nanti temen Aa marah nggak?” Rafen menggeleng sebagai jawaban dari pertanyaan adiknya, “enggak. Ayo pulang.”

Rafathar pun beranjak dari tempat duduknya lalu membantu sang kakak untuk membereskan beberapa barang yang berserakan di atas meja. Sebelum benar-benar keluar mereka berdua pun berpamitan kepada teman satu kelompoknya dan menjelaskan mengapa mereka harus pulang duluan, untungnya teman satu kelompoknya tak memusingkan hal tersebut hingga kini mereka berdua sudah bisa kembali ke rumahnya.


Sultan Kwangya Universe.

by NAAMER1CAN0