O5. Mengajari si Adek.


Sesampainya di kediaman rumahnya, Rafael sedikit merasa cemas akan kena marah kedua orang tuanya. Namun ternyata kecemasan itu tak benar adanya.

Orang tuanya kini sedang duduk di kursi dengan ditemanin sebuah teh hangat yang tersimpan rapi di atas meja.

Rafen pun menyenggol pelan lengan si tengah sebagai tanda bahwa dirinya harus segera cepat membuka arah pembicaraan. Ekhem. Dia berdeham pelan dengan harapan bahwa kedua orang tuanya akan mengajaknya bicara.

A Ael,” ucap Mamah dengan dingin.

Seketika Rafael yang mendengar itu bisa merasakan hawa tidak enak. “Iya, Mah?” jawabnya.

Jangan bilang kayak gitu lagi, Adek masih kecil belum tau mana yang bohong sama mana yang benar.” Mamahnya pun segera menyesap air teh hangat setelah menyelesaikan kalimat itu.

Iya Mah, maaf Ael asal nyeplos aja. Ael janji nggak bakalan kayak gitu lagi.” Rafael menundukkan kepalanya seakan bahwa yang di bawah lebih menarik untuk dilihat dibandingkan dengan apa yang berada di depannya.

Bagus, sebagai hukumannya kamu sama Aa ajarin Adek ngerjain PR ya,” ucap Mamahnya. Rafen yang mendengar itu tak terima, karena dirinya bahkan tidak terlibat apapun.

Tapi kan Aa—

Rafen pun mengurungkan niatnya untuk protes setelah melihat kedua bola mata Mamahnya yang kini telah melebar dengan sempurna.

HEHE OKE MAH, AA SIAP MENJADI GURU SI ADEK.” Rafen berucap sambil memperlihatkan sederetan giginya tak lupa ia pun mengacungkan jempol tangannya.


YA ALLAH ADEK, INI LOH DUA DITAMBAH DUA DITAMBAH TIGA JADI BERAPA? MASA JADI KENYAAANG,” ucap Rafen dengan frustasi. Rambutnya kini telah teracak dengan sempurna. Mengajari Matematika untuk adiknya menjadi mimpi terburuk untuk dirinya sendiri.

ADEK GAK MAU BELAJAR SAMA AA, AA MARAH-MARAH MULU. ADEK JADI TAKUT!

Yaudah, maaf. Kalo 2+2+3 berapa?

Hm …,

Rafen membawa kepala si bungsu untuk menatap dirinya. “Gini, Udin punya kue 2 nih. Terus 2 kue itu Udin makan, beberapa menit kemudian dia makan lagi 2 kue, nah terus satu jam lagi dia lanjut makan 3 kuenya. Jadi kesimpulannya?

Udin kenyang.

Ya Allah bukan gitu Adek, ARGGGH.

Rafen berdiri dari duduknya. Ia berlari ke sana dan kemari dengan cepat.

Kenapa sih, Aa?” tanya Rafael yang baru memasuki ruang keluarganya.

Ael, Aa udah nyerah. Aa nggak mau ngajarin si Adek matematika.

Rafael bingung, terlihat jelas garis yang kini terpampang di dahinya. “Aa kok gitu? Katanya mau bantuin Ael?

Sana kamu yang ajarin, Aa mau liat.

Kini Rafael sudah berada si hadapan si bungsu. Ia menghela nafasnya terlebih dahulu sebelum memulai mengajari adiknya.

Adek,

Fokus ya,” lanjut Rafael.

Berapa jumlah dari pertambahan 3+4+2+5?

Rafael pun melihat si bungsu sedang menulis-nuliskan beberapa angka di kertas putihnya. “Pake tangan, 3+4 itu berarti 3 dulu baru tambah 4, berapa?

Tujuh,” jawab Rafathar dengan memperlihatkan jari-jari di tangannya.

Bagus. Sekarang 7+2, jari-jari itu ditambah lagi 2 jari yang baru. Jadi berapa?

Rafathar menambahkan jari tengah dengan jari manisnya, “Sembilan.

Rafen yang melihat itu hanya bisa melongo. Kok Rafael bisa membuat Adiknya semangat untuk mengerjakan tugas sekolahnya?

Nah sembilan itu ditambah lima, tambahin lagi 5 jari yang tersisa,

Rafathar pun melirik jari-jari tangannya dan muka Rafael secara gantian. “A Ael, ini jari Rafathar kan ada sepuluh. Nggak ada lagi jari yang tersisa,” jawabnya dengan muka yang terbilang polos.

Rafael memejamkan matanya dengan perlahan, lalu ia mengusap dadanya pelan. “Itu jari kaki kamu masih ada, tambahin lima.

Oh iya,

… sebelas, dua belas, tiga belas, empat belas,

EMPAT BELAS. JAWABANNYA EMPAT BELAS A AEL!” Rafathar menjawab dengan bangga. Bola matanya kini memancarkan kebahagiaan karena bisa mengerjakan tugas sekolahnya.

Rafael yang melihat itu hanya bisa menggigit pipi dalamnya. Demi apapun ia benar-benar gemas dengan kelakuan adik bungsunya. Rafael pun memeluk Rafathar dengan erat. Kekesalan pada adiknya kini dapat terbayar dengan sempurna.


Sultan Kwangya Universe.

by NAAMER1CAN0