PANGGILAN PERDANA


“Halo?”

Kata tersebut menjadi awalan dari perbincangan mereka berdua sejak sambungan telepon itu terhubung. Padahal sebelumnya Ivanka berniat akan diam saja sampai laki-laki di seberang sana yang mengawali pembicaraan duluan. Namun, detik demi detik berlalu, yang di seberang tak kunjung menyapanya.

“Halo? Suara aku nggak kedengeran, ya?” tanya Ivanka sekaligus memastikan, takut apabila earpods yang sengaja sudah ia pinjam dari Della—temannya—rusak.

Terdengar suara grasah-grusuh dari seberang sambungan. Apabila didengar-dengar, Ivanka samar-samar mendengar derap langkah disertai roda keranjang sengaja diseret dan bergesekkan dengan lantai di bawahnya.

Bentar, Va, gua lagi jalan ke tempat sayuran dulu.

Ivanka mengangguk, meski jawaban secara gerakan kepala itu tak akan bisa dilihat oleh yang di seberang sambungan.

Ivanka menyandarkan punggung. Tatapannya lurus ke depan, mengabsen satu per satu pengunjung baru saja datang dan terlihat kebingungan memilih tempat duduk untuk menikmati secangkir kopi dengan suasana sore hari begitu syahdu.

Bandung sejak siang tadi diguyur hujan, bahkan sampai hampir menggagalkan rencana Ivanka untuk mengerjakan tugas di Kafe. Beruntung, ketika Ivanka sudah siap pergi, hujan sudah reda. Mungkin hujan-hujan itu mendengar doa yang sudah Ivanka hafalkan di dalam hati, memohon diberikan suasana terang sebentar sampai Ivanka berhasil menginjakkan kaki di tempat tujuannya.

Dan, yang lebih mengejutkan adalah saat Ivanka berhasil sampai di Kafe, hujan itu tiba-tiba turun kembali. Bahkan, rintikkan air itu masih setia menghujani kota Pasundan sampai detik ini. Meski tak sederas sebelumnya, namun apabila sengaja berdiam diri di bawah rintikkan air hujan itu dengan jangka waktu yang lama, tetap akan membuat pakaian menjadi basah. Parahnya bisa membuat kepala sakit dan demam. Hujan gerimis adalah salah satu jenis hujan paling menyakitkan untuk kesehatan—kalimat itu adalah kalimat sering diucapkan oleh Mama Sumarni.

Ivanka, woy.

Ivanka kembali tersadar dari lamunan ketika mendengar panggilan ketiga kalinya yang diserukan laki-laki di seberang telepon.

Ivanka menelan ludah kasar, matanya bergerak melepas kecanggungan. “Eh iya, gimana, Kaleel?”

Gua nyalain kamera, ya. Gua arahin kameranya ke ikan asin terus lu nanti bantu pilihin.

Kepala Ivanka mengangguk pelan. “Boleh. Tapi maaf, ya, aku nggak bisa nyalain kamera soalnya lagi di luar.“

Pertama, Ivanka tak sepenuh berbohong. Ivanka memang benar-benar sedang berada di Kafe, bahkan alunan musik yang sengaja dimainkan pun samar-samar mungkin akan terdengar oleh Kaleel di seberang sana. Kedua, alasan lainnya adalah—anggap saja Ivanka belum berani memunculkan dirinya di hadapan laki-laki itu. Entahlah, mungkin karena mereka berkenalan melalui sosial media, sehingga Ivanka belum sepenuhnya menyiapkan diri.

Santai, Va. Gua juga nyalain kamera buat minta bantuan pilih sayuran sama ikan asin yang disukain adek gua. Lagian—

Dahi Ivanka mengerut lantaran tiba-tiba Kaleel menggantung kalimatnya. “Lagian apa?”

Lagian kalau kamera lu dinyalain nanti yang ada pengunjung di sini pada ketakutan.

“Apa sih! Emang muka aku kayak tikus!”

Kalimat ketusan dari Ivanka berhasil menuai tawa Kaleel. Meski tak begitu jelas, tetapi Ivanka sangat yakin bahwa laki-laki di sana sedang menertawainya.

Tak habis pikir, padahal ini menjadi kali pertama mereka berinteraksi secara langsung, Ivanka mengira bahwa kadar menyebalkan laki-laki itu setidaknya akan berkurang sampai sepuluh persen. Namun, kenyataannya kadar menyebalkan laki-laki itu justru bertambah berkali-kali lipat dari sebelumnya.

Ivanka berdecak. Mungkin Ivanka terlalu keras dalam memberi respons tersebut sampai akhirnya tawa itu menghilang dan digantikan oleh dehaman singkat. “Bercanda, Vankuy.

Kaleel membawa langkah mendekati berbagai ikan-ikan berjejer rapi. Dari jenis ikan berasal dari air laut sampai ikan berasal dari air tawar pun ada. Ivanka dapat melihat saat ini Kaleel sedang berjalan-jalan seraya mendekatkan kamera pada tiap-tiap ikan segar di sana. Sengaja agar Ivanka dapat melihatnya dengan jelas. Kaleel tak begitu menggubris dan memedulikan tatapan kebingungan dari orang-orang di sebelahnya, walau Kaleel sekarang ini Kaleel sudah mendapatkan tatapan tersebut untuk kesekian kali.

Satu kali, Ivanka dan Kaleel belum menemukan ikan yang dimaksud. Ivanka memberi perintah agar Kaleel kembali berjalan seperti semula, namun dengan tempo langkah lebih pelan. Kaleel menuruti.

Namun, untuk kedua kalinya pun Ivanka tak berhasil menemukan keberadaan ikan tersebut. “Kaleel, coba, deh, kamu jalan sampai ke daerah sebelahnya,” kata Ivanka namun dibalas penolakan dari Kaleel.

Di bagian sana udah masuk daging sapi, Va.

Ivanka bergumam. “Hm, kamu kayaknya dateng ke tempat yang terlalu mewah, deh, Kaleel.”

Emang ikan itu nggak dijual di supermarket?

Ivanka menggeleng seraya mengangkat bahu. “Nggak tau. Aku biasanya kalau beli ikan asin gitu di pasar swalayan atau di warung-warung khusus sayuran.” Ivanka membenarkan duduknya. “Yaudah mending kamu lanjut ke tempat sayuran aja, nanti coba cari yang paketan kalau ada biar lebih enak masaknya.”

Diam-diam Ivanka menahan gelak tawa saat menyadari kamera laki-laki itu berganti menyorot orang-orang di sekitar, seakan sedang mempersilakan Ivanka untuk ikut melihat suasana di sana secara tidak sengaja. Terlebih bagaimana hasil video itu bergoyang, Ivanka sangat yakin apabila Kaleel sedang menggenggam ponsel seraya mendorong keranjang.

Langkah Kaleel berhenti. Layar ponsel Ivanka sudah normal kembali, memperlihatkan sayur-sayuran terlihat begitu segar. Sayur-sayur itu hampir setengahnya sudah pernah Ivanka makan karena ketertarikan Mama Sumarni dalam dunia sayur-mayur. Ivanka tak begitu keberatan apabila harus menikmati makanan sayur hijau itu setiap hari, namun adiknya—Jaya—akan menjadi orang pertama yang menentang. Aneh, bahkan di antara Ivanka, Mama Sumarni, dan Papa Jajang, hanya Jaya seorang diri yang tak begitu menyukai makanan sehat itu.

Nggak ada, Va. Kebanyakan buat sayur sop, dah.

“Beli satuan aja kalau gitu.”

Sayur asem emang harus banget pake melinjo, Va?

“Harus nggak harus. Tapi, adek kamu suka banget sama melinjonya.”

Kamera ponsel kembali bergoyang. Sepertinya Kaleel acuh tak acuh dengan sambungan teleponnya. “Aku nggak bisa liat.”

Bentar, Va, gua lagi perhatiin satu per satu buat nemuin letak melinjo.

Ivanka terkekeh pelan. “Saran aku, lain kali kalau mau belanja mending sekalian nyoba ke pasar aja. Lebih enak. Terus nanti kalau misalnya lagi nyari satu bahan makanan, pasti diarahin sampai ke tukang pedagangnya.”

Iye kapan-kapan, dah. Ini gua tinggal nyari labu siam, kacang panjang, melinjo, daun melinjo, jagung manis, sama kacang merah aja, kan, Va?

“Iya, Kaleel.”

Kaleel mematikan kembali kamera, mendekatkan ponsel agar dapat mendengar jelas suara Ivanka. Kesalahan utama Kaleel hari ini adalah lupa membawa earpods sehingga sedari tadi Kaleel harus berusaha menajamkan pendengaran demi mengetahui tiap kalimat yang diucapkan Ivanka. Sialnya, suara yang dihasilkan dari ponsel Ivanka pun sama pelannya. Bahkan, suara-suara musik di disana sedikit mendominasi. Ingin protes, tetapi Kaleel urungkan mengingat hari ini ia sudah merepotkan Ivanka dalam mencari menu makanan untuk adiknya Hartigan.

Kaleel siang tadi baru sampai di Jakarta. Setelah kembali ke rumah dan menyimpan barang bawaannya, Kaleel langsung bergegas keluar sebelum Hartigan nanti datang lebih awal. Kaleel sengaja pulang tak memberitahu Hartigan dan Daniel karena sesekali ingin memberi kejutan.

Dan, kejutan itu adalah dengan Kaleel memasak makanan selalu dibicarakan oleh Hartigan. Hartigan tak henti membicarakan betapa lezatnya sayur asem yang dibuat Mama Jaya, sehingga hal itu membangkitkan sisi ambisi Kaleel demi mendapatkan pujian yang sama.

Yaudah, Va, gua matiin kalau gitu, ya. Sisanya biar gua cari sendiri aja.

Kedua alis Ivanka menyatu keheranan. “Lah, terus ikan asinnya gimana?” tanya Ivanka, lantaran yang menjadikan alasan utama mengapa Kaleel sampai rela menghubunginya duluan adalah untuk mendapatkan ikan yang sudah diingin-inginkan.

Nggak apa-apa, nanti gua beli aja ikan biasa terus gua olesin garem yang banyak biar sama asinnya,” timpal Kaleel diselipkan dengan kekehan kecil. Tak kuasa membayangkan apabila ia benar-benar melakukan hal bodoh itu, pasti reaksi yang akan diperlihatkan adiknya akan sangat menghibur. Akan tetapi, setelah ingat betapa buruknya sifat merajuk Hartigan, Kaleel mengurungkan ide jahil tersebut.

Ivanka mendengkus. “Mana bisa kayak gitu!”

Kaleel tertawa untuk kesekian kali, kali ini tawanya lebih rendah dibandingkan tawa sebelumnya. “Nggak enak gua udah ganggu waktu lu. Kalau gitu gua tutup, ya, Va. Thank you udah mau bantuin gua.

Ivanka tersenyum dan mengangguk. “Iya sama-sama, Kaleel. Aku tutup, ya.”

Iya, Vanka, tutup aja.

Bersamaan dengan kalimat telah selesai Kaleel ucapkan, Ivanka benar-benar mengakhiri sambungan telepon tersebut. Suasana langsung hening, meski sebenarnya alunan musik masih mendominasi di sana. Rasanya seperti ada yang hilang.

Tawa terakhir yang dilantunkan laki-laki itu justru masih tersangkut dalam ingatannya. Setelah mencoba mengingat-ngingat, ternyata suara laki-laki itu mirip dengan suara dari salah satu penyanyi yang setiap malam hampir selalu Ivanka putar guna menemani dalam menggarap semua tugas-tugas yang selalu datang secara keroyokan. Pantas saja saat mendengar suara itu Ivanka berasa nyaman, ternyata Ivanka sudah lebih dulu familier.


Kaleel Ivanka Universe

by NAAMER1CAN0