MINGGU, PASAR MALAM.


Sambil dengerin ini yaa: https://open.spotify.com/playlist/1FhKKjpfjPMvsEog6XmioN?si=e1b5492e246247d3


Kelap-kelip lampu pancarona mulai memenuhi obsidian ketika langkah mereka berhasil menyambangi tempat destinasinya kali ini. Hiruk-pikuk teriakan, gelak tawa, hingga obrolan dari insan-insan yang memenuhi tempat ini mereka senandungkan dengan lantang seolah-olah mereka menjadi penghuni terbahagia di muka bumi ini.

Perempuan dengan tinggi 165 cm itu sibuk mengamati setiap permainan yang sedang dilewatinya. Jemari tangan kanannya dia tautkan dengan jemari kekasihnya—agar memudahkan keduanya mengunjungi tempat yang akan dituju dan meminimalisir kehilangan jejak.

“Naik itu kayaknya seru,” tunjuk Grace pada salah satu permainan yang dipenuhi pengunjung. Entah dipenuhi pengunjung yang sekadar menonton atraksi secara gratis atau pun pengunjung yang sedang mengantre untuk segera menaikinya.

“Jangan deh, Ay.”

Mimik Grace yang semula dipenuhi rasa antusias kini telah tergantikan dengan raut kecewanya kala sebuah tolakan diserukan oleh lelaki di sampingnya. “Ih … kenapa?”

“Bahaya, cantik. Permainan yang lain aja, ya? Masih banyak, kok.”

Agar tidak melukai hati Grace akibat Jagat yang menolak keras keinginannya, maka tangan Jagat yang terbebas dia bawa untuk mengusap pundak Grace penuh kelembutan.

Kepala Grace secara spontan menunduk setelah lagi-lagi sebuah tolakan telah terlontar dari bibir manis sang kekasih. Dia mengerucutkan bibirnya sembari melepaskan tautan mereka secara sepihak. Jagat hendak melayangkan sebuah protes-an, namun dia kalah cepat dengan Grace yang sudah mendongakkan kepalanya.

Please?

Grace cerdik dalam memanfaatkan situasi di atas kelemahan yang dimilikinya. Terlihat bagaimana obsidian miliknya dengan sengaja menabrak obsidiannya bahkan untuk dia sekadar berkedip pun tidak dilakukannya.

Melihat manik Grace yang menyimpan penuh harapan membuat keteguhannya seketika runtuh hanya dalam hitungan beberapa detik saja. Helaan napas menjadi sebuah reaksi pertama yang dia serukan kala mulutnya sekonyong-konyong membisu untuk sekadar menolak kembali permohonan dari sang empu.

“Sekali aja, ya?”

Bagai orang yang telah mendapatkan sebuah hadiah paling diinginkannya, Grace sontak menganggukkan kepalanya dengan penuh riang. Bibirnya yang sebelumnya mengerucut kini telah tersenyum bahagia lengkap dengan kedua matanya membentuk bak bulan sabit.

Lupa akan presensinya, Grace telah melangkahkan kedua kakinya mendekati tempat hiburan itu tanpa mengajaknya—jangankan mengajaknya untuk menolehkan kepalanya saja dia tidak melakukan hal itu—untuk melangkah mendatangi wahana yang diincarnya. Jagat menyunggingkan senyumannya disertai gelengan kecil tatkala kedua netranya menangkap dengan jelas bagaimana perempuan itu perlahan meninggalkannya seorang dir akibat rasa antusias yang tinggi.

“Bahagia banget kayaknya sampe aku ditinggal,” ucap Jagat penuh sarkasme saat kedua tungkainya mampu mengimbangi langkah perempuan dengan pemilik rambut coklat-hitam sepunggung itu.

Merasa sedang disindir, lantas Grace impulsif meraih lengan kekasihnya untuk segera dia gandeng disertai kekehan kecil dan merapalkan permintaan maafnya.

Untung saja mereka datang dengan cepat, sehingga keduanya tak perlu menunggu lama untuk mencoba wahana yang dielu-elukan sebagian pengunjung.

“Kamu udah pernah naik wahana ini belum?” tanya Jagat dihadiahi sebuah gelengan kecil dari Grace. Mereka berdua sedang menunggu giliran untuk lekas menaiki wahana pertama setelah perdebatan beberapa saat lalu.

Jagat mengangguk merespons reaksi yang diberikan kekasihnya. “Nanti aku duluan ya yang naiknya.” Alih-alih menjawab secara verbal, Grace lagi-lagi membalas ucapan darinya dengan gestur tubuh yang kini telah mengacungkan kedua jempolnya di udara—memberi isyarat dia paham akan perintah itu.

Ombak banyu merupakan wahana yang paling diminati pengunjung pasar malam setelah wahana kora-kora. Dua wahana itu mampu memicu adrenalin bagi siapa saja yang menaikinya, termasuk kedua insan yang saat ini telah terduduk dengan kedua lengannya melingkar pada sandaran di belakangnya.

“Jangan lepas pegangan.”

Jagat mewanti-wanti agar kekasihnya tidak melakukan kegiatan yang akan membahayakan dirinya.

Runtutan perintah itu sudah ketiga kalinya yang diucapkan kekasihnya, bahkan Grace sendiri sangat ingat setiap kata yang dilontarkan. Lagi pula, dirinya tidak mungkin seceroboh itu untuk melakukan kegiatan yang terlihat konyol. Apalagi melakukan hal di luar nalar yang akan membahayakannya sendiri.

Jagat sangat was-was menyadari ini menjadi pengalaman pertama bagi Grace dalam menaiki wahana ombak banyu. Sehingga untuk lebih menyakinkan dirinya, lengan kanannya sudah mengapit lengan kiri Grace agar dirinya bisa memastikan bahwa ini akan lebih aman dari sebelumnya.

“Cantik, kalau sakit bilang, ya.”

Grace sedikit terheran kala untaian kata itu diucapkan lelaki di sebelahnya secara tiba-tiba. Dengan spontan dia menolehkan wajahnya dan memberikan raut harap bahwa Jagat akan menjelaskan secara rinci maksud dari ucapannya itu.

Tanpa mengeluarkan suaranya, Jagat menepuk lengan kiri Grace yang sedang diapit lengan kanan miliknya.

Grace mengikuti arah pandang Jagat. “Oh!” seru Grace setelah merasakan lengannya yang telah ditepuk dengan pelan. “Iya, nanti kalau sakit aku bilang,” lanjut Grace dengan anggukkan kecilnya.

Acapkali Jagat selalu menjaganya secara terang-terangan Grace lagi-lagi merasakan rasa hangat yang sedang menjalari relungnya.

Berbicara tentang wahana ombak banyu, mungkin sebagian orang mengetahui alasan dibalik wahana ini acapkali digemari para pengunjung. Wahana ini tidak hanya berputar, naik, dan turun seperti wahana biasanya. Namun, di dalamnya sudah termasuk atraksi dari para arjuna yang berlari ke sana dan kemari sembari mendorong wahana. Wahana ini tidak sama dengan wahana lainnya yang secara otomatis akan bergerak hanya dengan satu sentuhan saja. Melainkan, wahana ini perlu tenaga ekstra dari sekelompok orang untuk membantu mendorongnya agar dapat bergerak. Dan di sinilah letak keseruannya.

Pekikan pengunjung mengudara, meninggalkan bekas di tempat yang kemudian perlahan pekikan itu melebur dalam indra pendengarannya. Bahkan, alunan musik yang sengaja diputarkan masih kalah kencang dengan jeritan para pengunjung. Entah jeritan ketakutan, kebahagiaan, bahkan jeritan kepuasan yang berlomba-lomba mereka serukan.

“SERU BANGET, AKU SUKA!”

Sekonyong-konyong Grace berusaha berteriak agar suaranya dapat terdengar oleh lelaki di sampingnya, dia masih kalah dengan teriakan penuh histeris dari pengunjung sekitarnya. Dia mendengkus kala menyadari bahwa kekasihnya tak menghiraukan teriakan darinya, terlihat dari kepalanya tak bergerak sedikit pun.

“Ih!” Grace dengan sengaja mencolek bahu Jagat dengan sisa jari-jarinya yang terbebas dengan harapan bahwa lelaki berzodiakan taurus itu akan segera merespons ucapannya.

Merasa ada seseorang yang telah mencolek bahunya, lantas Jagat segera menoleh ke arah samping kanannya; menampilkan Grace yang sedang mengernyitkan dahinya bersamaan dengan bibirnya yang sudah manyun seperti sedang menahan kesal. Jagat mendekatkan bibirnya ke telinga kekasihnya seraya menaikkan alis kirinya. “Kenapa, cantik?” tanya Jagat, sembari menatap intens Grace. Dia takut bahwa perempuan itu sudah merasa tidak nyaman dengan wahana yang sedang dinaikinya.

Sangat pelan namun telinga kiri Grace masih berfungsi dengan baik untuk menangkap ucapan itu.

Melihat tanda-tanda Grace akan balik membisikkan jawabannya, maka dengan cepat Jagat mendekatkan telinga kanannya pada sang empu.

“Wahananya seru banget!”

Setelah mendengar ucapan itu Jagat kembali menjauhkan telinganya dan menatap manik sang kekasih disertai anggukkannya. “Iya, seru!” Jagat merasa lega setelah mengetahui bukan sebuah ucapan tidak nyaman yang keluar dari bibir Grace.

Tak terasa sudah hampir sepuluh menit lamanya, putaran ombak besar sebelumnya kian perlahan memelan. Para arjuna yang memeriahkan wahana itu sudah mengosongkannya. Tidak ada lagi sekelompok lelaki yang berlari dan meloncat; menyisakan dua orang lelaki berada di tengah-tengah lengkap dengan sebuah tangga besi yang dipegangnya.

“Turunnya pake tangga besi lagi?”

Jagat menggeleng membuat Grace lagi-lagi mengernyitkan dahinya. “Terus, turunnya gimana?” Seperti enggan membalas pertanyaan itu dengan ucapan verbalnya membuat Jagat segera menunjuk menggunakan dagunya tepat pada orang-orang di seberangnya yang kini memperlihatkan mereka sedang berbondong-bondong untuk meloncat dari tempat duduknya.

Bola mata Grace melebar. Dia merasa terkejut ketika mengetahui bahwa dirinya harus meloncat dari ketinggian yang tidak bisa terbilang pendek ini. Padahal meloncat bukanlah suatu keahliannya.

“Aku duluan yang turun, nanti tunggu sampe bagian tempat duduk kita ditarik ke bawah baru kamu loncat, ya. Aku bantuin kok, kamu tenang aja.”

Ah. Grace kira dia harus meloncat dari jarak ketinggian tiga meter ini. Entahlah berapa ketinggian secara spesifiknya, namun mungkin tiga meter adalah jarak yang tepat setelah melihat kakinya yang masih menjuntai di udara.

Rasa tegang mulai terasa ketika Jagat sudah meloncat lebih dulu dan merentangkan kedua tangannya tepat di bawahnya. Dia seperti memberi isyarat untuknya segera loncat. Namun, rasa ketakutan dan rasa ragu masih membaluti relungnya.

“Aku tangkep kok, Ay. Kamu jangan takut, percaya sama aku.”

Grace tidak bilang bahwa dia tidak mempercayai kekasihnya. Hanya saja dia sedang mengumpulkan keberaniannya setelah melihat salah satu pengunjung gagal dalam melompat dan terjatuh akibat kakinya mendarat tidak sempurna.

“Mau pake tangga, Teh?” Jagat baru saja akan menyuarakan jawabannya, namun dia kalah cepat dengan Grace yang lebih dulu menggelengkan kepalanya lengkap dengan kata terima kasihnya.

Grace merentangkan kedua lengannya membentuk sudut empat puluh lima derajat ke bawah—berupaya mendekati kekasihnya. Jagat yang mengetahui isyarat itu langsung memegang pinggang Grace menggunakan kedua lengannya. “Lompat sekarang, Ay.”

Lompat sekarang.

Lompat sekarang.

Lompat sekarang.

Grace menghela napasnya terlebih dahulu sebelum akhirnya dia menutup matanya dan mulai menghempaskan badan sepenuhnya ke arah lelaki di bawahnya.

Hap! Wah, beruntung banget aku dapet boneka gede.”

Ucapan Jagat sukses dihadiahi sebuah pukulan kecil dari Grace. Grace mendengkus kala menyadari bahwa dirinya disamakan dengan boneka. Dia senang-senang saja disamakan dengan boneka, karena di matanya boneka sangatlah lucu. Namun, dia sedikit malu karena kekasihnya tak mampu mengecilkan ucapan itu sehingga banyak pasang mata yang sedang menatap ke arah mereka berdua dengan penuh penasaran.

Jagat hanya bisa melantunkan gelak tawanya saat Grace mendorong kecil punggungnya dengan celotehan kecil yang tak kunjung berhenti. Bahkan, mereka berdua kini sudah keluar dari wahana ombak banyu namun celotehan dari kekasihnya tak kunjung mereda.

“Kamu itu katanya nggak suka jadi pusat perhatian, tapi tadi kamu ngomongnya kenceng banget buat semua orang mandang ke kita, tau!”

“Mana aku dikatain boneka terus Abang-abang petugasnya malah ikut ketawa kan aku jadi makin malu, ish!”

Jagat memberi sedikit tekanan yang kuat pada kedua tungkai kakinya agar perempuan di belakang itu tak mampu mendorongnya kembali. Benar saja, dalam hitungan detik Jagat tidak merasakan tubuhnya terhuyung seperti beberapa saat yang lalu.

“Kenapa?” tanya Grace merasakan lelaki itu hanya berdiam diri lalu tak lama membalikkan tubuh dan menatap kedua maniknya.

“Ay, ngegambar, yuk. Kita lomba nanti yang dapet vote paling banyak dapet hadiah dari yang kalah.”

Merasa tertarik dengan perjanjian itu, maka Grace menganggukkan kepalanya tanpa perlu mikir panjang. “Siapa takut!”


Setelah sepuluh menit yang lalu Jagat memberikan sebuah tawarannya, mereka berdua saat ini sedang terduduk lengkap dengan sebuah gambar serta alat lukis di depannya. Banyak pengunjung sekitar yang memenuhi tempat ini untuk sekadar menontonnya, ada pula yang sedang menunggu giliran untuk melukis.

Setelah berdebat untuk menentukan gambar mana yang akan mereka pilih; Jagat bersikukuh ingin menggambar Frozen dan Grace pun menginginkan hal yang sama. Sehingga mereka berdua berinisiatif untuk bersuten untuk menentukan siapa pemenangnya. Seakan Dewi Fortuna sedang berada dipihak Jagat, maka, secara harfiah Jagatlah yang berhak memilih gambar mana yang akan dipilihnya.

“Barbie—”

Yes!

“Buat kamu, Meggie.”

“Ih!”

Grace berdecak kesal ketika menyadari bahwa Jagat bukan memilih gambar tersebut untuk dia sendiri, melainkan untuk dirinya; untuk Grace. Dia yang akan mewarnai gambar barbie.

“Terserah yang menang, yang menang berhak menentukan masa depanmu, Ay.”

Seolah menolak ucapan itu memasuki telinganya, Grace secepat kilat menutup telinganya. Dia tidak mau mendengar ejekan lebih jauh yang dilontarkan kekasihnya itu. Menyebalkan.

Baik Jagat maupun Grace bukan remaja yang kurang bahagia, hanya saja sebuah tawaran yang diiming-imingkan dapat hadiah sangat tertarik untuknya. Terlihat keduanya tak mengeluarkan sepatah kata yang diucapkan, sebab mereka sedang berlomba untuk menduduki titel sang juara. Grace sudah berancang-ancang untuk segera memoleskan cairan berwarna itu untuk pertama kali pada kertas di depannya, namun seseorang di sebelahnya sedari tadi sibuk menyimpan jari telunjuk dan jempol di dagunya sembari menatap lamat-lamat kertas itu tanpa berkedip.

“Frozen itu bajunya warna apa, ya.”

Gumaman dari lelaki itu sontak membuat fokus Grace terpecahkan, mau tak mau Grace menolehkan wajahnya dan memandang Jagat yang belum mengubah posisinya.

“Aduh aku waktu itu nggak inget kamu ngewarnain di Panti, ini adeknya juga baju apa, ya. Kenapa nggak ada Upin-Ipin, ya, padahal kalau ada Upin-Ipin aku jago banget.”

“Aku cek google dulu boleh nggak, sih, Ay?” Runtutan pertanyaan dari Jagat mampu menghentikan Grace dari kegiatannya dan mengalihkan atensinya secara penuh pada lelaki itu yang sibuk bergumam pada dirinya sendiri. Jagat pun menolehkan wajahnya dan menampilkan Grace yang sedang menatap dirinya penuh kebingungan.

“Nggak boleh.”

“Hah … oke deh.”

“Kan, padahal frozennya buat aku aja!”

Sst, kamu diem. Aku lagi berusaha nginget warna bajunya nanti gagal.” Jagat menyimpan jari telunjuk di depan bibirnya sembari meniup kecil untuk memperagakan titahan itu. Matanya terpejam, sebuah usaha agar ingatannya dengan cepat datang.

“Aku kasih clue, ada hubungannya sama salju.”

“Oh, putih!” antusias Jagat riang, matanya sudah sepenuhnya terbuka dengan mulut yang membentuk bulatan sempurna.

“Kamu kenapa diem aja?” heran Grace yang tak sengaja melihat Jagat hanya terdiam tanpa berniat untuk memulai kegiatan melukisnya setelah dia memberikan sebuah clue mengenai warna pakaian kartun itu.

“Kamu bilang putih, kan? Aku udah beres gambarnya, gambarnya kan udah putih. Jadi, buat apa aku warnain lagi. Iya nggak?” bangga Jagat dengan menaik-turunkan kedua alisnya tanpa henti, buat Grace yang melihat itu hanya bisa memutarkan bola matanya malas.

Grace menghela napasnya dengan gusar, sepertinya dia mulai kelelahan dalam menghadapi kekasihnya dengan sifatnya yang baru-baru ini diperkenalkan padanyaa.

“Jagat yang bener, ah!”

“Kan kata kamu putih, aku ikut clue yang disebutin dari kamu aja.”

Ingatkan Grace untuk tidak menggigit gemas lengan kekasihnya saat pulang nanti. Dia saat ini benar-benar tak bisa menahan rasa gemasnya terlihat dari jari-jemarinya yang sedikit mengepal.

“Langit.”

Satu kata namun penuh pertanyaan bagi Jagat yang mendengarnya. Langit katanya. Lantas Jagat segera mendongakkan kepalanya untuk menatap langit malam yang berada persis di atas kepalanya.

“Maksudku, clue-nya langit. Bukan nyuruh kamu buat liat langit!”

“Oh, biru!” ucap Jagat tak lupa mengulangi reaksi yang sama seperti sebelumnya. “Abisnya kamu bilangnya langit aja, Ay. Aku kira kamu nyuruh aku buat liat langitnya ….”

Grace tidak menggubris celotehan tersebut, mungkin dirinya masih sedikit kesal karena gambar keinginannya malah terjatuh ke tangan kekasihnya. Keheningan pun mulai menghantui di antara keduanya yang masih sibuk memoleskan cairan berwarna itu dengan telaten. Bahkan Jagat yang semula terlihat main-main kini sepenuhnya telah berambisi untuk mengalahkan Grace.

“Yah, jelek banget punyaku,” lirih Jagat, tidak percaya diri ketika melihat hasil Grace yang nyaris sempurna itu dibandingkan dengan gambar milik dirinya yang tidak pandai untuk menggunakan cat warna.

Grace terenyuh melihat raut wajah yang diperlihatkan Jagat yang menyorotkan sebuah kekecewaan atas karya hasilnya sendiri. Maka, untuk membantu membuat rasa percaya diri kekasihnya datang kembali Grace mulai asal untuk memoleskan cairan berwarna itu. Rasa keinginannya untuk menang pun mulai sirna dan berharap bahwa lelaki itu akan memang. Tak masalah baginya untuk memberikan hadiah apa yang diinginkan oleh sang pemenang.

“Punya kamu bagus banget, Agat! Liat punyaku salah warnainnya malah jadi kayak gini, ih, bete banget! Kayaknya ini kamu yang bakalan menang, deh! Kamu mau apa cepet biar aku bisa siapin dari sekarang hadiahnya!”

Mungkin bagi sebagian orang ucapan dari Grace seperti sebuah ejekan, namun baginya ucapan itu mampu membangkitkan kembali sisi ambisinya. Dia masih punya harapan untuk memenangkannya, meskipun peluangnya sangat kecil mengingat Grace pandai dalam melukis.

Jagat menjadi orang pertama yang menyelesaikan gambar itu terlebih dahulu. Kedua lengannya dia angkat ke udara berharap akan membantu mengurangi rasa pegal yang menjelari sekujur tubuhnya. Badannya menegak dan tangan kanannya yang mengepal dia bawa untuk memukul kecil pinggangnya.

Tak lama dari Jagat telah menyelesaikan gambar itu, Grace pun menyusulnya yang hanya diselingi beberapa detik saja. Benda pipih yang sedari tadi berada di tas kecilnya sudah dia keluarkan untuk mengambil hasil foto dari gambarnya dan segera membagikannya pada sosial media di salah satu aplikasi berada di ponselnya.

“Kamu post foto ini di twitter, terus nanti suruh pilih di antara dua foto itu who’s better. Nanti yang terbanyak pemenangnya, okay!”

Jagat mengangguk memahami sebuah titahan dari Grace. Dia mengeluarkan ponselnya. Dua foto yang telah diambil oleh Grace ini sudah Jagat sebarkan di media sosialnya, mereka saat ini hanya perlu menunggu beberapa menit saja untuk memastikan gambar siapa yang akan jadi pemenangnya.

Grace mengulas senyumnya dengan penuh kehangatan kala mengetahui bahwa Jagatlah pemenangnya.

“Selamat, Sayang!”

Uluran tangan itu segera Jagat raih untuk membalas ucapan selamatnya. Namun, seketika rungunya tak dapat mencerna ucapan yang baru saja didengarnya. Pandangannya mulai mengabur seolah tidak berfungsi kala perempuan di seberangnya mengucapkan sebuah kata yang sukses menggemparkan hatinya. Lagi-lagi dengan mudah Jagat terlihat salah tingkah hanya dengan satu sebutan itu saja.

“Dua kali ….”

“Apanya dua kali?”

“Nggak.” Jagat menggeleng dan merutuki dirinya saat menyadari gumaman darinya terdengar oleh Grace. “Bukan apa-apa,” lanjutnya.

Jagat mulai melepaskan tangan Grace dan berdiri dari tempat duduknya untuk memberikan akses pengunjung lain mencoba melukis. Jagat kembali mengulurkan tangannya untuk menautkan jari-jarinya dengan jari-jari milik Grace. Maka dengan senang hati Grace menerimanya dan mulai mengikuti langkah ke mana lelaki itu pergi.


Dinginnya angin malam tidak menghilangkan niat kedua sejoli ini untuk menghentikan dalam kegiatan menikmati es krim yang sudah mereka genggam dengan erat-erat. Perlahan kincir bergerak dengan pelan menghantarkan reaksi yang cukup mengejutkan bagi keduanya. Angin malam berduyun-duyun ingin lebih dulu menghempaskan dirinya pada sang empu yang berada di sekitarnya.

Dari semua hadiah yang bisa dipinta kekasihnya itu, pada akhirnya lelaki yang lahir tepat pada hari bumi itu memintanya untuk membelikan es krim nong-nong yang bahkan harganya tidak mencapai lima ribu. Lima ribu saja masih tidak tercapai, padahal mereka berdua sudah memegang es krim tersebut.

Keduanya sibuk mengedarkan indra penglihatan mereka pada pemandangan daerah yang sedang disinggahinya. Bangunan-bangunan itu semakin ditatap semakin kentara keindahannya ketika cahaya itu tanpa permisi mampu menembus kornea matanya. Lampu-lampu itu terlihat seperti titik putih apabila terlihat dari tempat mereka berada, namun ingatannya cukup ahli menyimpan memori keindahan itu.

“Hadiahnya mau ini aja?” tanya Grace, memecahkan keheningan di antara keduanya karena sedari tadi mereka berdua hanya membungkam mulutnya.

“Hm.” Anggukkan dari Jagat dengan sebuah dehaman menjadi jawaban atas pertanyaan yang sudah dia lemparkan kepadanya.

Grace kembali mengatupkan bibirnya ketika melihat perubahan suasana hati yang sangat drastis dari Jagat dibandingkan sebelumnya.

Jika boleh jujur rasanya Jagat ingin segera keluar dari wahana saat ini setelah ingatannya kembali pada hari sebelumnya akibat kesialan yang menimpa dirinya. Makanya sedari tadi Jagat hanya diam sebab terlalu takut kejadian itu akan terulang kembali.

“Jangan goyang.”

Pelan namun cukup mengintimidasi Grace yang secara tidak sengaja mengubah posisi duduknya ketika mereka berdua tepat berada di puncak wahana kincir ini.

“Kamu takut?”

Grace terkekeh pelan tak sengaja melihat jari-jari Jagat yang sibuk menggenggam sisi kirinya dengan penuh penekanan terlihat dari otot-otot tangannya yang mulai mencuat keluar. Bahkan, tanpa lelaki itu jawab pun kini Grace sudah mengantongi sebuah jawabannya.

“Nggak.”

Nggak. Tepat sasaran, Grace sudah menduga bahwa kekasihnya akan menjawabnya seperti itu.

“Oh, nggak takut, ya. Oke, deh nggak takut.”

Ingat sebuah kata-kata tentang semakin dilarang semakin akan dilakukan seseorang? Ini keadaan yang sedang Grace lakukan. Karena Jagat telah melarangnya, maka dia akan terus-menerus melakukannya.

“Ay, please.”

Grace tertawa melihat kedua mata Jagat yang terpejam. Padahal Grace hanya menggoyangkan dengan pelan, namun sepertinya angin malam ingin membuat keduanya memiliki kesalahpahaman.

“Katanya nggak takut?” tanya Grace, alisnya naik menganggap omongan Jagat sebelumnya menjadi sebuah tameng untuk terus dia ledek.

“Iya, iya, aku takut. Udah, Ay, jangan gerak-gerak lagi.”

Terlalu asyik menjahili lelaki itu sampai membuat Grace melupakan hal yang sangat penting. Tetesan-tetesan dari es krim yang sedang dipegangnya mulai mencair dan mengalir melewati jari-jemarinya yang sedang memegang es krim tersebut.

“Aku baru sadar es krim kamu udah ilang.”

“Udah aku abisin sebelum lewatin puncak.”

Grace menggulirkan matanya, sibuk mengingat kapan lelaki itu menyantap es krimnya. Padahal sebelumnya es krim tersebut masih bertengger di atas genggamannya, Grace masih ingat betul. Dia sudah memaksimalkan daya ingatnya namun masih gagal mengingat sehingga tanpa harus menunggu seluruh es krim itu mencair, dia langsung menyantapnya.

“Sampahnya jangan dibuang di sini, sini.” Tangan Jagat menengadah, meminta selembar tisu yang telah dipakai Grace seusai membersihkan jarinya dari tetes lelehan es krim. Grace pun segera menyerahkannya dan diterima dengan baik oleh orang tersebut.

Grace menyatukan kedua alisnya kala melihat tisu tersebut malah dikantongi oleh lelaki itu. “Kenapa malah dimasukin kantong?”

“Biar nggak lupa.”

Entah sudah keberapa kali wahana ini terus berputar, Jagat sendiri tidak ingat. Dia benar-benar tidak ingin melewati puncak wahana ini, itu saja.

“Ay, jangan gerak ….”

“Aku nggak gerak, ish! Itu angin tau, dia mau buat kita berantem kayaknya!”

Seakan lupa dengan ketakutannya, tawa Jagat pecah selepas mendengar tuturan dari Grace. Grace yang sudah mengerucutkan bibirnya, semakin maju karena lelaki itu malah tertawa atas ucapannya. Padahal Grace tidak berbohong bahwa anginlah pelaku utama yang sengaja membuat tempat mereka bergerak.


Jij Bent Mooi Universe.

by NAAMER1CAN0