PENGALAMAN BARU UNTUKNYA.
Sayup gemuruh pohon yang tertiup angin mulai menyambut kedatangan dua insan yang kini sedang terduduk di atas jok motornya. Gerbang itu terbuka secara otomatis membuat Grace membulatkan matanya takjub. Matanya menyelisik, menatap ke segala penjuru tempat agar otaknya dapat menyimpan memori mengenai apa yang telah dilihatnya. Kendaraan roda dua yang sedang ditumpanginya mendadak berhenti begitu saja. Grace bisa rasakan tepukkan pada lututnya; kemudian matanya mengerjap; memproses kejadian yang sempat dia lewati karena sedang asyik bermonolog pada dirinya menceritakan bagaimana indahnya tempat yang sedang dia kunjungi.
“Mega?” Jagat kembali memanggil perempuan di belakangnya, saat menyadari bahwa Grace diam bergeming merespons panggilannya.
“Eh, iya maaf.”
Segera Grace turun dari motornya, menyisakan kedua kakinya yang berdiri menopang beban tubuhnya.
Kedua ujung bibir Jagat terangkat membentuk senyuman ketika melihat raut kebingungan yang terpancar dari mimik wajah Grace.
“Lagi mikirin apa?” Tangan Jagat menengadah; meminta Grace untuk menyerahkan helm yang masih terpasang rapi di kepalanya. Grace melirik sekilas tangan lelaki itu hingga akhirnya dia paham dan menyerahkan helmnya.
“Ini kamu pernah kesasar sendiri di halaman rumah kamu nggak sih? Misalnya … kamu mau ke danau jadi kesasar ke sini?” tanya Grace dengan hati-hati, tanpa menolehkan wajahnya karena masih sibuk memandangi tempat sekitar.
Jagat refleks tertawa menghantarkan getaran pada tubuhnya akibat gelak tawa yang tak bisa dia sembunyikan. Lucu. Pertanyaan itu terlalu lucu baginya.
Grace dengan cepat menolehkan wajahnya ketika telinganya mendengar sebuah gelak tawa. Kepalanya dia miringkan saat melihat lelaki itu sedang tertawa ke arahnya. Rasa heran yang menghantui dirinya mulai muncul. Bagaimana tidak heran? Pertanyaannya hanya dibalas sebuah tawa yang hingga pada detik ini, tawa itu belum kunjung menghilang.
“Nggak usah dijawab aja pertanyaanku kalau gitu.”
Jagat menggeleng dengan cepat tak ingin membuat perempuan di depannya tersinggung. “Nggak pernah, Grace. Saya nggak pernah kesasar seperti yang kamu bilang.”
Grace mulai tersadar atas kebodohan dari pertanyaan yang telah dilontarkan. Dia memejamkan matanya sejenak kemudian menghela dan menghembuskan napasnya dengan pelan. Kedua kakinya sudah mengekori sang pemilik rumah dari belakang. Jarak antara kendaraan yang diparkirkan dengan tempat kuda berada cukup jauh; membuat Grace harus lebih pintar dalam mengatur napasnya.
“Capek?” Grace menggeleng.
“Maaf, saya izin.” Jagat mengulurkan tangannya lalu membantu menyeka dahi Grace yang mulai dipenuhi dengan bulir-bulir keringat. “Duduk dulu, ya, di sana. Saya mau bawakan dulu sepatu sama helm buat kamu.” Jagat menunjuk ke arah barat.
Grace cukup terkejut dengan perlakuan yang baru saya dialaminya. Bagaimana bisa seseorang dengan sengaja bantu mengusap keringatnya? Bahkan, tanpa bantuan sehelai kain ataupun tisu. Kedua pipinya mulai merona tatkala ingatannya secara tiba-tiba memutarkan kembali adegan tersebut.
“Nih, minum dulu,” ucap Jagat cukup mengejutkan Grace yang masih asyik pada pikirannya. Jagat menyerahkan satu botol minuman ke arahnya. Grace mengerjapkan matanya sejenak, lalu tak lama Grace meraihnya ketika Jagat menggoyangkan botol tersebut tepat di depan matanya. “Makasih.”
Minuman itu segera Grace teguk. Namun, saat air itu baru saja mengalir di tenggorokannya, Grace merasakan ada seseorang yang berusaha melepaskan sandal yang sedang dia gunakan.
“Eh, kamu ngapain?!” panik Grace, mengetahui Jagat adalah dari pelaku yang sedang berusaha melepas sepatunya.
Jagat mengangkat sebuah barang yang telah digenggamnya ke udara. Lantas Grace segera meliriknya; memperlihatkan lelaki itu sedang membawa satu pasang sepatu yang terasa asing untuknya. “Nggak usah, aku bisa sendiri. Kamu bangun, jangan jongkok.” Sebenarnya Grace ingin bertanya namun dia enggan; masih merasa malu atas kejadian sebelumnya.
Jagat mengangguk dan menyimpan sepatu itu persis di samping Grace, juga tak lupa menyerahkan sebuah helm untuk dia pakai. Dengan cepat Grace segera memasangnya tanpa mengeluarkan sepatah suara.
“Udah?” Grace mengangguk dan beralih menatap lelaki di depannya. Kaki kanan serta kepalanya dia bawa maju, memberikan akses untuk lelaki itu melihatnya.
“Ya udah kalau gitu ayo kita mulai, biar nanti kita nggak terlalu siang ke tempat hunting.”
Jagat mempersilakan Grace untuk maju lebih dulu dengan tangan kanannya. Grace malah menjawab dengan sebuah gelengan. Maka, Jagat hanya bisa menaikkan alis kanannya.
Seolah mengerti dengan tingkah lelaki di depannya, Grace pun segera menjelaskan, “kamu duluan, aku ngikut dari belakang.”
Jagat tidak mau ambil pusing, sehingga dia lebih dulu melangkahkan kakinya dan perempuan itu mengekori ke mana langkah yang akan dituju.
Sepanjang perjalanan Grace menatap penuh ke arah bawahnya; dia menatap sepatu hitam yang entah mengapa sangat pas di kakinya. Telinga Grace seketika diramaikan oleh rengekan dari kuda-kuda yang berada di stable; kandang kuda.
“Neigh, snort, whinny, dan nicker.”
Grace melangkahkan kakinya dengan tergesa, mensejajarkan langkahnya dengan lelaki itu. “Maksudnya?” heran Grace, kedua matanya sudah menatap lekat lelaki di sampingnya.
Jagat menoleh dan tersenyum. “Itu suara-suara dalam istilah kuda.”
“Kalau yang lagi rame ini biasa disebut apa?” tanya Grace cukup antusias untuk menerima jawaban dari pertanyaannya.
“Neigh or whinny.”
Ah. Dia baru mengetahuinya itu sekarang. Rupanya kedua telinganya cukup familier dengan suara tersebut. Suara yang sering dia dengar ketika berpapasan dengan hewan itu, entah di jalan maupun di tempat wisata.
“Tinggi banget …,” Grace berucap tanpa berniat untuk mengatupkan kembali mulutnya. Dia cukup terkejut melihat kuda yang akan ditungganginya memiliki postur jauh lebih tinggi dari postur tubuhnya.
“Dia Robbert, tingginya 171 cm. Kuda jenis Thoroughbred, umurnya menginjak 5 tahun.”
Jagat membawa hewan itu mendekat. Tangan kirinya sibuk memegang bridle; tali handling, sedangkan tangan kanannya sibuk untuk mengelus ubun-ubun kuda itu.
“Memang di sini ada berapa jenis kuda?”
“Empat; Thoroughbred yang lagi saya pegang, Mustang, Morgan, terakhir ada Kuda Poni. Kuda yang punya postur tubuh lebih kecil dibanding kuda lainnya.”
Grace menjawab dengan anggukkan. Dia tidak terlalu mengerti dengan jenis kuda yang telah disebutkan sebelumnya, tekecuali kuda yang terakhir disebutkan Jagat. Bahkan, di matanya terlihat bahwa kuda-kuda itu memiliki karakteristik yang mirip. Hanya saja pada kuda di depannya ini memiliki corak putih di kakinya; seolah sedang memakai kaos kaki, dibandingkan dengan kuda-kuda lainnya.
Jagat melirik sedikit menggunakan ujung mata ekornya; menampilkan Grace yang sibuk memandangi kuda itu lengkap dengan peralatan yang telah memenuhi Robbert.

“Jadi, sebelum berkuda harus ada peralatan yang menunjang. Contohnya ini, ini yang saya pegang namanya saddle atau tempat duduk dan di bawahnya saddle pad. Ini gunanya sebagai alas sebelum saddle, karena struktur dari saddle sedikit keras jadi dipakein alas biar nggak ngelukain kulit kudanya. Saddle ini perlu disesuaikan sama kudanya jangan sampai terlalu kecil dan buat nggak nyaman.” Tangan yang semula berada di Saddle, kini beranjak menuju sebuah tali yang melingkar di kepala kudanya. “Kalau ini namanya bridle, bite, dan reins. Kegunaannya buat ngarahin kuda saat menunggang. Terlebih head bridle, karena daerah kepala sensitif untuk kuda dan kita bisa mengontrol dari situ.”
“Kalau yang ini,” Jagat menggerakkan tangannya menuju daerah perut, disentuhnya sekilas sebelum akhirnya kedua matanya kembali menatap wajah perempuan yang telah memberikan atensinya penuh ke arahnya. “Namanya girth, gunanya sebagai penyokong saddle biar selalu di tempt. Kurang lebih sama kayak sabuk yang biasa kita pakai.”
Grace mengangguk, mulai memahami dengan sebagian peralatan yang telah dijelaskan Jagat. Meskipun dia sedikit lupa dengan penamaannya.
“Selanjutnya ada stirrup, stirrup ini sebagai pijakan kita waktu nunggang dan sebagai alat bantu kita mau naik ke punggung kuda.”
“Ah, iya iya. Aku paham.”
“Itu tadi peralatan untuk kudanya, ini peralatan untuk kita sebagai penunggang. Pertama ada boots yang sedang kita pakai,” Jagat mengangkat sedikit kaki kanannya lalu digerakkan dengan pelan. “Kedua ada helmet kurang lebih sama kayak helm yang biasa kita pakai kalau lagi berkendara motor.” Tunjuknya pada sebuah benda yang menutupi sebagian kepalanya.
Semua yang telah dijelaskan oleh Jagat sudah Grace simpan di dalam otaknya. Dia akan mengingatnya dan mempelajari setelah sampai di kediaman rumahnya nanti.
“Kalau gitu saya contohin dulu, ya. Kamu nanti liat step-step-nya mulai dari saya naik, jalanin, sampai berhenti, dan turun dari kudanya.” Jagat menolehkan wajahnya. Mengibaskan kedua tangannya, memberi isyarat agar perempuan itu mengambil beberapa langkah mundur dari tempatnya saat ini. “Mundur sedikit, ya, takut debunya nanti kena kamu.”
Grace pun langsung membawa beberapa langkah kakinya ke belakang, tak mau mengambil risiko.
Kedua matanya tidak mengedip, karena tak mau melewatkan gerak-gerik yang sedang dicontohkan oleh Jagat. Jika dilihat, cara menaiki punggung kuda sangatlah mudah. Entah karena memang mudah atau karena Jagat cukup telaten pada bidang berkuda.
“Setelah naik, jangan langsung maju. Kasih jeda sedikit, habis itu kamu tarik pelan talinya—ah, jangan lupa megangnya kayak gini, ya, jangan pegang seperti ini.” Jagat mencontohkan sebuah pegangan yang salah dengan kedua tangannya. “Tapi, yang benar itu ibu jari sebagai tumpuan, lalu diputer sampai kamu megang talinya kayak gini.” Jagat mengangkat sedikit sebuah tali yang sedang dia pegang, memperlihatkan kesepuluh jarinya dengan nyaman memegang tali tersebut. Grace menyipitkan matanya sejenak, kemudian membalas dengan mengacungkan jempolnya.
“Jangan lupa, kaki kanan yang ada di stirrup kasih hentakan sedikit pada perut kudanya. Ini gunanya sebagai tanda kalau kita siap untuk maju sesuai yang udah saya jelasin sebelumnya.” Jagat mulai menggerakkan kaki kirinya, dia menekan sedikit pada bagian perut kuda. Sepersekian detik kemudian, kuda tersebut sudah mulai berjalan.
Pandangan Grace tidak teralihkan dari objek di depannya. Kepalanya bergerak seirama dengan kuda di depannya yang berlari ke sana dan kemari dengan riang. Grace tidak tahu apakah dirinya bisa menunggangi kuda tersebut atau tidak. Apalagi setelah melihat lelaki itu menunggang membuat rasa percaya dirinya hilang begitu saja, seperti telah terbawa oleh hembusan angin sekitar.
“Let’s go, now it’s your turn.”
Jagat telah selesai memberikan sedikit contoh berkuda kepada Grace. Robbert sudah dia pegang agar tidak memberikan gerak yang berlebih dan memicu Grace takut untuk menaikinya.
Grace melangkahkan kakinya mendekati kuda tersebut. Tangannya dia simpan di atas saddle. “Usap dulu ubun-ubun kepalanya, biar kamu bisa berinteraksi dan membangun chemistry sama Robbert.” Tangan kanan Grace terulur. Dia usap secara perlahan kepala Robbert. Senyumannya merekah tatkala Robbert memberikan respons yang baik. Dia menundukkan kepalanya dengan riang, memberikan akses sepenuhnya agar perempuan itu bisa mengenalnya dengan jauh. “Itu tandanya dia mulai suka sama kamu, kalau udah kayak gitu selanjutnya kamu siap-siap naik. Nanti setelah naik, kamu posisiin dulu badan kamu di atas saddle, setelah itu kamu baru duduk, ya. Jangan langsung duduk, nanti Robbertnya kaget. Saya pegangin Robbertnya kok, kamu jangan takut.”
“Kaki kiri dulu?” tanya Grace memastikan.
“Yap, kaki kiri dulu. Tangan kanan kamu posisiin di ujung saddle, tangan kirinya pegang bridle atau reins. Hati-hati, ya.”
Sejujurnya Jagat sedikit khawatir apabila Grace memiliki kesan yang kurang baik pada kegiatan berkuda pertamanya. Dia hanya bisa mengontrol dari samping Robbert. Namun, dia sedikit lega mengetahui Grace sudah mulai pandai untuk menaiki Robbert sesuai dengan arahannya.
“Pegang reins-nya kayak waktu saya kasih contoh tadi di awal, masih inget?” Grace mengangguk, kesepuluh jarinya dengan sigap meraih tali tersebut dan mulai menggenggamnya sesuai dengan bagaimana Jagat mengajarkannya beberapa saat yang lalu. “Kayak gini?” Grace mengangkat sedikit talinya, memastikannya kembali.
“Pinter. Badan kamu tegak ya, jangan bungkuk. Kalau mau jalan kaki kamu kasih hentakan pelan ke perutnya, kasih hentakannya pakai kaki bagian dalem dan jangan terlalu keras.” Jagat menggenggam kaki kiri Grace dan memberikan contoh cara menghentakan kakinya. “Dan ini, kalau udah naik usahakan kaki kamu di stirrup jangan terlalu maju kayak gini.” Jagat menarik sedikit kaki Grace, agar kaki itu tidak terlalu depan dalam berpijak.
“Emang kenapa?” Kedua alis Grace menukik, menunggu jawaban dari ucapan sang empu yang telah membuat dirinya penasaran.
“Kalau seandainya kuda yang kamu tunggangi susah dikontrol kamu susah buat turunnya, takutnya nanti kaki kamu tersangkut dan badan kamu jatoh.”
Mendengar itu kaki kanan Grace pun segera dia mundurkan sesuai dengan kaki kiri yang telah dibenarkan sebelumnya oleh seseorang di bawah sana.
“Nanti kalau mau rem talinya ditarik pelan, kalau kudanya berhenti di tengah jalan terus mau jalan lagi. Kamu tinggal hentakin lagi kakinya. Begitupun kalau kamu mau makin kencang larinya, hentakannya lebih sering.”
“Katanya kamu bakal pegangin?” panik Grace setelah mendengar tuturan dari Jagat yang seolah ingin meninggalkannya seorang diri di atas Robbert.
“Iya saya pegangin, kok, cuman kalau nanti tiba-tiba berhenti kamu hentakin lagi.”
Grace mengangguk penuh semangat. Dirinya sudah sangat siap untuk menjalani kegiatan berkudanya. Kedua boots yang sudah membaluti kakinya, pun dengan helmet yang sudah terpasang rapi di kepalanya.
“Sip bagus, jalan dulu aja jangan lari.” Jagat yang semula diam, kini sudah mulai bergerak mengikuti langkah Robbert melaju. “Kamu kenapa pegangnya di bawah situ?” Grace menolehkan wajahnya ke arah bawah.
“Kalau pegang kuda lebih baik di samping, karena kalau kita pegang dari depan nanti takutnya kita digigit. Kalau di belakang pun takutnya kita kena tendangan dari kudanya. Jadi, di samping tempat yang cukup baik dan strategis.”
“Tapi sebenernya gapapa kalau kuda kita tunggangi gini? Apalagi dikasih kayak alat-alat gini takutnya buat dia nggak nyaman.”
Jagat tersenyum, membuat kedua matanya menghilang. “Kamu tau animal welfare?” tanya Jagat, kepalanya menengadah menatap kedua manik yang sedang memandang ke arahnya. Kedua tangan Jagat masih setia memegang bridle dari samping untuk menjaga agar seseorang di atas Robbert aman.
Sebuah gelengan pun didapatkan oleh Jagat.
“Ada yang namanya animal welfare, cantik. Animal welfare itu kesejahteraan yang didapatkan hewan tersebut. Animal welfare ini ada lima poin: bebas dari rasa lapar dan haus, bebas dari rasa tidak nyaman, bebas dari rasa sakit, luka, dan penyakit, bebas dari mengekspresikan perilaku, dan bebas dari rasa stress dan tertekan. Kita sebagai pemilik hewan harus tau dan peka kalau hewan yang kita pelihara sudah memberikan tanda ketidaknyamanan, artinya, kita harus memberhentikan itu semua. Jangan memaksa dan harus tau batasan dari hewan yang kita pelihara.”
Selama tujuh belas tahun Grace hidup, dia baru mengetahui perihal kesejahteraan hewan. Setelah bertemu dengan lelaki itu, Grace merasa banyak ilmu yang baru didapatkannya. Ilmu-ilmu yang bahkan sama sekali tidak pernah terlintas dalam pikiran Grace untuk mencari tahu dan mempelajarinya.
“JAGAT!” teriak Grace, sedikit panik ketika kakinya tidak sengaja menepuk perut Robbert.
Robbert menangkap hentakan itu mengartikan bahwa seseorang yang sedang dia bawa di punggungnya meminta untuk mempercepat jalannya.
“Ih!” Grace memukul pundak lelaki itu sekilas, saat mengetahui orang tersebut malah menertawakan dirinya. “Hahaha maaf, habisnya saya kira kamu emang mau naikin kecepatan jalan Robbert.”
Grace memberengut. Pipinya sudah mengembung, menahan kesal karena degup jantungnya sudah dibuat berdetak kencang oleh keteledorannya sendiri. “Mau turun.”
“Tarik talinya dong cantik, mana ngerti dia kalau kamu ngomong kayak gitu ….”
Ini kedua kalinya tatkala telinganya menangkap dengan jelas ucapan itu. Cantik, cantik, cantik katanya. Grace dibuat salah tingkah. Awalnya dia mengira lelaki itu salah dalam berucap dan telinganya salah dalam mendengar. Namun, ternyata perkiraan dia salah. Dia pun seakan menulikan telinganya. Tidak ingin menggubris panggilan tersebut yang telah membuat jantungnya berpacu tidak normal.
“Apa?” tanya Grace, menangkap sebuah tangan yang terulur di hadapannya.
“Saya bantu.”
Grace menggeleng, menolak sebuah penawaran untuk membantu dirinya. “Nggak usah, aku bisa sendir—”
“Kan, dibilang saya bantu aja.” Dengan sigap kedua tangan Jagat mencengkeram pergelangan tangan Grace saat melihat perempuan itu akan terjatuh. Bahkan kini Jagat telah melepaskan Robbert secara penuh, seakan mengerti dengan kondisi, Robbert hanya berdiam di posisinya.
“Boots-nya licin ditambah stirrup-nya dari besi, makanya kepleset tadi!”
“Oke…?” ucap Jagat dengan nada sedikit menggantung. Padahal dirinya tidak meminta penjelasan mengapa perempuan itu bisa terjatuh. Namun, kedua bibirnya dia tutup rapat tidak ingin membuat seseorang di hadapannya memberikan raut cemberutnya kembali. Meskipun apabila boleh jujur, Jagat menyukai pandangan itu, pandangan saat melihat Grace dengan raut cemberutnya. Lucu. Menurutnya itu sangat lucu.
“Makasih udah nolongin.”
“Iya, sama-sama, Mega.”
Keduanya mulai hening. Saling terdiam seribu bahasa. Padahal sebelumnya keduanya masih asyik bercengkerama, saling melempari dan menimpali ucapan tanpa berniatan untuk segera menghentikan topik yang sedang dibahas.
“Saya masukin Robbert dulu kalau gitu, ya. Biar kita langsung ke tempat hunting.” Jagat menjadi orang pertama yang melontarkan ucapannya.
“Boots sama helmet-nya?”
“Kamu simpan di tempat tadi aja, ya, tolong.”
Grace segera membalikkan badannya dan berjalan menuju tempat semula yang dia tempati. Boots-nya segera dia lepas setelah mendudukkan dirinya di salah satu bangku. Helmet yang masih terpasang di kepalanya pun kini sudah tersimpan rapi di atas meja. Sedari tadi Grace merasa bahwa tempat ini tidak seperti rumah, namun, seperti tempat rekreasi yang memiliki berbagai spot tempat yang berbeda.
Rasanya hari ini menjadi hari terindah di mana Grace bisa merasakan pengalaman baru untuknya. Pengalaman menunggangi kuda yang tidak pernah terbesit dalam pikirannya. Dia terlalu takut apabila harus menunganggu seorang diri seperti pada beberapa tempat liburan yang menyediakan destinasi wisata berkuda. Namun, entah mengapa berkuda tadi tidak membuatnya takut, meskipun di akhir terjadi sedikit tragedi yang tidak diharapkannya.
Jij Bent Mooi Alternate Universe.
By NAAMER1CAN0