PERTENGKARAN TIADA HENTI.
Lantunan suara yang ditimbulkan dari sendok yang beradu dengan piring mulai berdesing, memberikan kesan lebih ramai di suasana siang hari. Terik matahari lebih panas dibanding hari sebelumnya membuat istirahat kali ini amat tersiksa. Selain merasakan udara panas di siang hari ini, pun mereka harus merasakan suasana pengap kantin sekolah yang entah mengapa berkali-kali lipat lebih ramai dari biasanya.
“Anjir ada apaan ini teh meuni rame gini ini kantin,” keluh Harri sembari menyimpan menu makan siang di atas meja dan segera mendudukkan dirinya di salah satu bangku yang masih kosong.
Jagat yang sedang menyuapkan makanan ke dalam mulutnya pun ikut memandang ke arah kanan dan kirinya, memperlihatkan beberapa siswa dan siswi mulai memenuhi kantin sekolahnya.
“Nggak ditungguin anjir kebangetan maraneh!” ketus Aksara melihat rekan-rekannya yang sudah menikmati makan siangnya masing-masing.
Rakha mengangkat kedua jarinya di udara membentuk huruf 'v' disertai cengiran tak bersalahnya.
“Abisnya maraneh lama, aing udah lapar banget.”
Aksara mendengkus, memutar bola matanya sekilas lalu mendudukan dirinya persis di samping Rakha.
Harri yang hendak ingin menyuapkan makanannya pun seketika terhenti ketika mendengar teriakan seseorang.
“ANJIR AING NGGAK MAU DUDUKNYA SEBELAHAN SAMA DIA!” tunjuk Fara pada sang empu yang kini sedang memandang ke arahnya lengkap dengan kedua matanya yang berkedip pelan seolah berusaha memproses sebuah perkataan yang baru saja memasuki rungunya.
Hanya ada satu bangku yang tersisa di sana, yaitu sebelah seseorang yang sangat Fara hindari ketika di sekolah. Entah karena sebuah titel 'musuh' ketika mereka sedang di hadapan teman-temannya atau karena kejadian semalam yang masih membuat dirinya tersipu malu kala potongan-potongan kejadian itu mendatangi pikirannya.
Satu detik ... dua detik ... persis di detik ketiga seketika bola mata Harri melebar. Ia melempar begitu saja sendok yang sedang digenggamnya secara sembarang. “EH ANYING MARUKNA AING HAYANG KITU DUDUK SEBELAHAN JEUNG MANEH? IH HOREAM BANGET AING!” timpal Harri sembari berdiri dan menunjuk ke arah perempuan itu yang menghadiahi sebuah tatapan kesalnya.
Lu pikir gua mau gitu duduk sebelahan sama lu? Ih males banget gua!
Semua orang yang sedang menikmati makan siangnya refleks berhenti. Mereka secara serempak mengedarkan pandangan ke sekelilingnya yang menampakkan orang-orang di sana sedang memperhatikan ke arah meja miliknya.
Jagat dengan cepat menarik Harri untuk kembali duduk di tempatnya semula. “Ri, udah, Ri. Malu diliatin orang-orang.”
“Atuh da dia duluan yang ngajak ribut!” ngadu Harri tak terima ketika dirinya disalahkan oleh Jagat.
“Iya, iya, udah, ya. Ayo duduk lagi, lanjutin makannya nanti terlanjur dingin jadi kurang enak.”
Jagat kembali menarik Harri dan menyodorkan makan siang milik Harri lebih dekat dengan sang empu agar memudahkan untuk kembali menikmati makan siang yang sempat terhenti.
Fara mendelik ke arah Harri sembari membawa kedua tungkainya untuk menuju salah satu tempat duduk paling strategis untuknya.
“Aksa tukeran ih,aing pengen duduk di sini!” Aksara yang baru saja menguyah makanannya hanya bisa pasrah dan segera berpindah karena takut membuat perempuan itu semakin marah.
“Sabar, Sa, kayaknya teh emang lagi badmood itu si dia, jadi si kamu jangan takut,” bisik Yolan dengan memajukkan badannya ketika Aksara sudah duduk di hadapannya. Yolan hanya memberikan sebuah kata penenang sebab Aksara memperlihatkan raut yang sulit diartikan di matanya.
“Iya anying, aing takut, Mang Yol.”
“Apa maneh ketawa-tawa!” ketus Fara kepada lelaki di hadapannya yang sedari tadi menyerukan sebuah kekehannya. Matanya memicing, menatap lelaki itu seolah tidak menyukai akibat sebuah reaksi yang baru saja diperlihatkan.
Lantas lelaki itu hanya bisa menyatukan kedua alisnya seraya menghentikan kekehannya. “Ya emang kenapa anjir? Aing ketawa aja dilarang,” sahut Jaya tak terima ketika dirinya secara tiba-tiba mendapatkan sebuah ketusan dari perempuan di seberangnya.
Harri tentu terkejut ketika dirinya sedang asyik menikmati makan siangnya dan langsung mendapatkan sebuah teriakan yang Harri sendiri tak tahu mengapa perempuan itu seperti sedang menahan amarah kepadanya. Kedua matanya kini secara diam-diam melirik ke arah perempuan itu yang sudah mulai menikmati makan siangnya. Ia terlihat bodoh ketika kedua maniknya bertabrakan dengan manik perempuan itu.
“APA LIAT-LIAT!”
Harri terlonjak dan berusaha menyembunyikan rasa terkejutnya. “IH MONYET AING SALAH TERUS!” frustasi Harri ketika dirinya baru saja menatap ke arah Fara dan langsung dihadiahi sebuah omelan yang dilontarkannya. “LAGIAN AING LAGI LIAT SI AJAY TEMEN AING BUKAN LIAT MANEH, GR AMAT ANYING JADI CEWEK TEH!“
“BODO AMAT!”
Merasa kesal dengan sebuah celotehan yang sedari tadi tak kian menghilang. Maka Rakha dengan cepat menghentakkan kedua tangannya di atas meja. “HEUP, GARADENG WAE ANJING AING TEH HAYANG DAHAR LAIN HAYANG NGADENGE JELEMA KEUR DEBAT!“
Sut, berisik terus gua tuh pengen makan bukan pengen denger orang yang lagi debat!
Harri menggelengkan kepalanya, berupaya meyakinkan Rakha. “ITU SI CEWEK BAR-BAR DULUAN ANJIR, KHA!” tunjuk Harri pada perempuan yang di ujung sana.
“APA! ORANG MANEH DULUAN!” sanggah Fara tak terima dirinya ditunjuk begitu saja.
Yolan mengacak rambutnya pelan. Kedua tangannya ia bawa untuk menutup telinganya karena sudah muak mendengar pertengkaran yang tiada akhir. “Ribut mulu anying, si kalian jodoh tau rasa!”
“AMIT-AMIT!” sahut keduanya secara serentak dan langsung membuang mukanya. Wajah Fara sudah memerah, entah karena ia sungguh sedang menahan rasa amarahnya atau ia yang sedang tersipu malu.
Mereka tak tahu saja ada satu orang yang sedang menikmati makan siangnya sembari menahan tawa yang sangat ingin ia lantunkan dengan keras, namun tentu ia tidak akan melakukannya mengingat dirinya sudah berjanji kepada temannya—Harri—untuk membantu menutupi perihal hubungannya.
“Kak Harri, aku duluan, ya!“
Ucapan itu sukses membuat mereka menolehkan wajahnya kepada sumber suara. Bahkan, Harri yang sedang menikmati makan siangnya pun ikut menolehkan wajahnya. Kedua alisnya menyatu ketika melihat punggung seorang perempuan yang sama sekali ia tak mengingat orang tersebut siapa.
“Siapa itu, Hag?” tanya Aksara yang dijawab sebuah gelengan olehnya. “Nggak tau anying, aing nggak kenal.” Harri mengedikkan kedua bahunya secara tak acuh. Tak mengindahkan sebuah kata pamitan dari adik kelasnya.
“Jadi si kamu teh sama adik kelas itu apa sama teman kelas si aku?” tanya Yolan secara tiba-tiba setelah melihat adegan yang sama sekali belum pernah dilihatnya.
“Temen kelas maneh siapa anjir!” Harri sedikit panik, ujung ekor matanya melihat kekasihnya yang sedang menikmati makanannya tanpa merasa ingin bergabung dengan obrolannya itu secara tiba-tiba terjadi.
“Itu yang si kamu biasa kedipin di kelas si aku, si Zalfa.”
Harri menggeleng cepat. Ia segera mengambil air minumnya dan meneguknya secara terburu-buru. “NGGAK ANJING MANA ADA! ITU MAH HEREUY, AING HEREUY, ANYING!” Harri menimpali ketika makanannya sudah mulai turun dari panggal tenggorokannya. Ia belingsatan dalam duduknya, khawatir ucapan dari Yolan akan membuat masalah besar dalam hubungannya.
“Berisik anjir, makan mah makan jangan sambil ngobrol,” ujar Jaya di tengah-tengah percakapan genting antara Harri dan Yolan.
Benar saja setelah melemparkan ucapan tersebut, kini suasana di antara mereka sudah sunyi kembali. Harri langsung menatap ke arah Jaya seolah sedang berterima kasih atas bantuannya secara tidak langsung dan dia berikan. Setelah menatap Jaya, kedua matanya menatap sosok seorang perempuan yang masih asyik menikmati menu makan siangnya. Harri hanya bisa menghela napasnya dengan lega kala tak melihat sebuah tanda-tanda yang tidak ia inginkan pada raut wajah perempuan itu.
“Tenang, Fa, aman,” bisik Jaya dengan pelan, seakan sedang memberitahu bahwa Fara tidak perlu memikirkan ucapan dari kedua temannya itu.
Fara yang mendengar ucapan itu mendongakkan kepalanya seraya mengangguk. Ia sebenarnya tak memerdulikan ucapan dari Yolan maupun Aksara, karena ia yakin bahwa Harri tidak mungkin melakukan hal tersebut. Hubungannya memang disembunyikan, namun rasa kasih sayang, rasa percaya, dan komunikasi di antaranya tak pernah mereka sembunyikan seperti hubungannya.
Kolase Asmara Universe.
by NAAMER1CAN0