PUKUL LIMA SORE
Burung-burung beterbangan riang bersamaan dengan lembayung senja mulai menampakkan dirinya di ufuk barat. Padatnya suasana di sore hari tak membuat kedua sejoli yang berada di atas motornya mengurungkan niat dalam berkencan.
“Ke arah mana lagi abis dari sini, Yang?” tanya seorang lelaki yang sedang menjalankan kendaraan roda duanya.
Perempuan di belakangnya tak langsung menjawab pertanyaan itu, melainkan ia terus-menerus memutar ponselnya. Ia sedang memastikan apakah mereka berdua berada di jalan sesuai yang diarahkan dalam ponselnya.
Merasa ucapannya tak digubris sang kekasih, Harri membawa kendaraan roda duanya untuk menepi di bahu jalan. Harri menolehkan kepalanya ke belakang. Mesin motornya ia biarkan menyala begitu saja.
“Yang, ih, jangan bilang maneh salah liat maps!”
Harri meraih ponsel berada dalam genggaman kekasihnya. Ia lirik sekilas untuk memastikan posisi mereka saat ini. Matanya memejam diiringi helaan napas pelan untuk sekadar menetralisir rasa emosinya. Tempat yang mereka pijak saat ini tidak sesuai dengan titik seharusnya.
“Yang, harusnya kita ke belokan tadi. Ah, ini mah kita harus muter lagi! Katanya tadi bisa baca maps. Tenang aja aku anak IPS jago baca maps.” Harri menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia ingat betul ucapan dari kekasihnya itu.
“Udahlah, aku udah nggak mood makan katsu Maranatha!” pekik Fara senderut. Tak terima disalahkan sebelah pihak. Padahal sebelumnya lelaki itu pun menyetujui untuk dirinya memandu perjalanan kali ini.
Kedua tangannya bersedekap di dada. Pipinya menggembung menahan amarah. Netranya sibuk menatap kendaraan yang berlalu-lalang. Ia kesal ketika lagi-lagi dirinya disalahkan oleh lelaki di depannya. Lantas kalau memang begitu mengapa tidak kekasihnya saja yang membaca maps? Mengapa harus menyuruh dirinya?
Lagi-lagi terdengar suara helaan napas dengan samar. Harri tak memedulikan ucapan sang kekasih yang merajuk. Netranya kini sibuk menghafalkan jalananan yang akan ditempuhnya. Awalnya ia akan kembali menyerahkan ponsel itu, namun ketika melihat raut kekasih yang tidak bersahabat itu membuat Harri segera mengurungkannya. Ponsel hitam itu dengan cepat Harri masukan ke dalam kantong celananya.
“Pegangan, Yang.”
Sadar ucapannya tak digubris oleh perempuan di belakangnya membuat Harri berinisiatif untuk menarik lengan kekasihnya dan segera ia melingkarkan pada pinggangnya. “Pegangan, takut jatoh.” Masih dengan perasaan kesal, Fara tak merespons ucapan itu. Suara miliknya kini terbilang mahal sehingga ia tak mau untuk sekadar membalas ucapan dari sang kekasih.
Suara deru kendaraan menjadi satu-satunya alunan yang menemani perjalanan mereka kali ini. Tak ada obrolan hangat seperti biasanya. Hanya ada keheningan menyertai keduanya.
Harri sangat mengerti dengan sikap sang kekasih apabila sedang kesal. Harri tak segan akan mendiamkannya hingga perempuan itu kembali memperlihatkan raut seperti semula. Lagi pula ia yakin bahwa kekasihnya tak benar-benar tak menginginkan makanan itu.
“Aku nggak beneran kok bilang nggak mau katsu Maranathanya, aku pengen banget itu, Yang.”
Kan, tebakannya benar. Sejatinya Harri memang mafhum dengan kebiasaan kekasihnya ketika merajuk. Suasana hati kekasihnya cukup labil dan mudah tergoyahkan.
“Geli, anjir!” Harri menepis lengan Fara yang sedang asyik menggambar di atas perut yang terbalutkan jaket hitam. Fara mendengkus pelan. Ia tak terima bahwa ucapannya sama sekali tidak direspons oleh sang empu.
“Aku mau katsu Maranatha, ih!”
“Iya, geulis, iya. Kan ini teh aing lagi menjalankan motornya menuju tempat itu! Maneh pikir aing mau ke mana gitu?!”
Tangannya Harri masih setia menutup akses agar perempuan itu tak kembali menarikan jemarinya di atas perut miliknya. Karena demi apapun itu sangat geli. Harri paling tidak tahan ketika seseorang dengan sengaja menyentuh bagian pinggang dan perutnya.
“Oh, kirain hehe,” cengenges Fara, malu ketika menyadari kekasihnya tak mengiakan ucapannya beberapa waktu lalu.
Raut wajahnya kini kembali bersinar. Bahkan, saking senangnya sang puan hingga memamerkan sederetan giginya dengan sengaja. Tak peduli angin sore akan membuat giginya mengering. Ia hanya ingin memperlihatkan bahwa sore ini ia sedang bahagia.
Kedua lengan Fara kini sudah dipenuhi kantong plastik berisikan makanan yang sudah ia dambakan dari lama. Pasalnya acapkali ia membuka media sosial akan langsung disuguhkan dengan beberapa review dari makanan yang kini sudah berada di genggamannya.
“Makannya di rumah aku, kan, Yang?” tanya Fara memastikan sembari menyerahkan kantong plastik itu kepada seseorang yang sudah lebih dulu duduk di atas kendaraan roda dua.
Harri mengangguk tanpa mengeluarkan suaranya. Tangannya masih sibuk menggantungkan makanan itu pada dek motornya. Setelah dirasa sudah tergantung rapi, Harri mendongakkan kepalanya untuk menatap netra sang kekasih.
“Sini, Yang.” Harri melambaikan tangan seolah sedang menyuruh perempuan itu segera mendekatinya.
Tahu apa yang akan dilakukan kekasih terhadapnya. Fara segera melangkah mendekati sembari menundukkan sedikit kepalanya. Harri tersenyum dan segera meraih helm untuk ia pasangkan pada kepala sang kelasih.
“Aku berasa anak kecil soalnya terus-terusan maneh pasang dan buka helmnya. Seolah-olah aku teh tidak bisa melakukan kegiatan itu sendirian!”
Harri terkikik geli. Ia menepuk pelan helm di depannya seraya memamerkan kedua maniknya yang telah menyipit akibat sang empu tak tahan untuk sekadar menahan gelak tawanya.
“Emang, kan, maneh masih anak kecil. Makan ice cream aja suka masih belepotan, kalah sama adi aing si Kaila.”
“Ih!”
Harri mengaduh pelan tatkala kepalanya sukses dipukul sang puan tanpa perasaan. Tangannya terjulur untuk mengelus pelan kepalanya yang masih dibaluti helm itu.
“Sakit, anjir!”
Melihat sang kekasih memancarkan raut kesakitan membuat Fara tak tega dan ikut mengelus kepala Harri. “Eh, maaf. Aing kayaknya terlalu bersemangat menimpuk kepala maneh, Yang!” Ucapan darinya hanya dibalas dengkusan pelan dari sang empu.
Fara refleks menaik kembali ke atas motor sang kekasih ketika melihat lelaki itu berancang-ancang akan menyalakan mesin motornya. Sepersekian detik kemudian, kendaraan roda duanya kembali membelah jalanan. Tak ada lagi pemandangan senja di langit di atas kepalanya. Kini yang ada hanya langit yang sudah berubah menjadi warna abu dan ia yakini beberapa menit lagi langit tersebut akan berganti menjadi warna hitam sepenuhnya.
Harri menyesal telah melewati jalanan yang dipenuhi oleh beberapa kendaraan yang sedang berdiam menunggu lampu lalu lintas itu berubah menjadi warna hijau. Rasa bosan mulai mendatangi dirinya, hingga ia membawa kelima jarinya untuk mengetuk pelan di atas paha kanannya dengan irama konstan. Kaki kirinya terjuntai kebawah untuk menahan beban keduanya di atas motor, pun menahan keseimbangan. Sedang perempuan di belakangnya masih setia memeluk dirinya sembari kepalanya ia istirahatkan pada bahu kirinya.
“Kesel banget, ih. Lama pisan, ya, ini teh lampu merahnya, Yang.”
Harri mengangguk menyetujui ucapan sang kekasih. Mereka sudah menunggu hampir lima menit lamanya, namun lampu lalu lintas itu tak kunjung memperlihatkan tanda-tanda akan berganti warna.
“Malam-malam lagi dingin gini memang enaknya pelukan di atas motor sambil nunggu lampu lalu lintas berubah jadi warna hijau, sih. Apalagi pas banget sama cuaca Bandung yang baru aja selesai dari hujan. Kayaknya makin nyaman gitu, ya. Sayang sekali jok belakang motor saya kosong.”
Apa sih sok kenal, batin Harri. Hingga akhirnya ia terpaksa menolehkan wajahnya ke arah samping kanannya untuk memastikan orang tersebut apakah sedang berbincang padanya atau bukan.
Seketika aliran darah Harri seakan berhenti. Bibirnya memucat pun matanya yang terbelalak. Ia ingin mengerjapkan matanya untuk memastikan seseorang di depannya bukanlah sebatas halusinasi, namun sepertinya kedua matanya begitu berat dan menolak apa yang ia inginkan.
“Kamu kenapa, Yang—”
Ucapan Fara menggantung begitu saja kala kedua maniknya melihat sosok seseorang yang sama sekali tak pernah terbesit dalam pikirannya akan bertemu dengan cara seperti saat ini. Sontak pelukan pada lelaki di depannya ia lepas dengan cepat.
Lelaki itu tersenyum sembari melambaikan tangan kanannya. “Hai.” Cukup satu kata yang terucap mampu membuat keduanya makin bungkam.
Alih-alih menjawab sapaan darinya, kedua orang di depannya itu tak berniat untuk sekadar membalas sapaannya. Padahal membalas sapa seseorang adalah basic manner yang harus dimiliki setiap individu.
Lelaki itu telah berancang-ancang menginjak pedal gasnya ketika lampu lalu lintas di depannya secara tiba-tiba berubah menjadi warna hijau. Ia memutuskan pandangan pada lampu lalu lintas di depannya untuk kembali menoleh pada kedua insan di sampingnya yang masih setia menatap penuh kejut ke arahnya.
“Saya duluan, ya, Harri, Fara,” pamit lelaki itu lebih dulu.
Jika saja kendaraan belakang tak membunyikan klaksonnya, ia mungkin masih setia bergeming di atas motornya. Masih dengan rasa keterkejutan yang dirasanya, ia mulai menjalankan kendaraannya dengan pelan. Hanya kecepatan 20 km/jam. Berbeda dengan sebelumnya yang melajukan dengan kecepatan 40 km/jam.
Pada hari itu keduanya menyesal karena telah menyambangi sebuah tempat makan yang diiming-imingkan oleh sebagian orang. Padahal seharusnya setelah kejadian tersesat itu mereka tak melanjutkan perjalanannya. Seolah kejadian itu menjadi sebuah pertanda bagi keduanya agar tak mengalami kejadian naas beberapa menit yang lalu.
Kolase Asmara Universe.
by NAAMER1CAN0